Senin, 02 September 2013

Another Poison [FF-oneshot]



Tittle : Another Poison

Cast : Lee Hongbin (VIXX) – Jang Moonie (OC) – Yoo Ah In (actor from Antique Bakery) – Lee Ilsoon (OC) – Soo Jin Byul (OC)

Genre : Fantasy / Lover / Friendship

Theme Song : all kpop song

Author : Ravla Lavender


-------------------------------------------------

ANOTHER POISON

[Jang Moonie’s POV]
“Kamu suka tempat kita yang baru,...Moonie?”

Gadis itu cukup lama berdiri memandang hamparan padang rumput luas yang membentang di depan halaman rumahnya. Sebuah desa namun tempat ini tidak sekuno yang ia pikirkan. “Kurasa aku akan betah disini, Oppa. Tapi bagaimana dengan pekerjaanmu? Itu kan jauh sekali dari sini.”

“Moonie-ya, Oppa akan baik-baik saja. Jangan terlalu merisaukan aku! Ku rasa kau harus segera berbenah, sebentar lagi Appa dan Eomma akan segera datang.” Ucap Oppa itu dengan menepuk pundak adik perempuannya dua kali. “Aku akan mencari makanan ringan di sekitar sini. Jangan pergi jauh-jauh ya! Tunggu aku!” ucapnya kemudian berlalu.

“Ah In Oppa!” panggil itu kemudian melambaikan tangan dan kemudian menuju kamarnya dan mulai membuka tumpukan kardus berisi pajangan dan buku-buku sekolahnya.

‘GRASAK!’

Sebuah suara gaduh terdengar dari sebuah sudut di luar rumah. Moonie mendatangi sumber suara dan tidak menemukan apa-apa. Namun ia merasa ingin menelusuri padang rumput itu karena nampak dari kejauhan ada sebuah gundukan tanah yang membentuk bukit, cukup tinggi dan ditumbuhi oleh pohon-pohon yang cukup lebat.

Moonie menghentikan langkahnya dan mencoba menahan diri, ia tidak mau membuat masalah di hari pertama mereka pindahan. Ah In Oppa akan begitu khawatir jika ia menghilang.

“Tapi aku ingin kesana...sepertinya tempat itu menarik...tapi bagaimana....aku tidak mau membuat Ah In Oppa khawatir lagi...”

Angin yang berhembus sore hari membuat suasana semakin indah dengan cahaya mentari yang samar-samar menyinari tempat itu. Terkesan sangat damai namun begitu misterius.

“Moonie-ya, dimana kau? Moonie-ya!” sebuah suara memanggilnya, sepertinya orang tuanya sudah datang.

“Ne~ Eomma! Aku segera datang!”

*
Malam hari begitu tenang dan yang terdengar hanya suara gemericik air dan gesekan dedaunan yang terkena angin. Sesekali terdengar suara jangkrik yang membuat tidur akan semakin pulas. Namun tidak dengan Moonie. Ia sengaja memilih kamar yang bisa melihat langsung ke arah gundukan tanah besar itu. Ia mengamatinya dibawah sinar bulan yang cukup terang. Tempat itu di malam hari terasa begitu menyeramkan, namun tetap saja, hasrat gadis itu semakin besar.

“Kenapa tidak sekarang saja aku kesana?” ucapnya pada dirinya sendiri. Ia bangkit lalu mengambil jaket dan memakai sepatu, “gila. Apa yang sedang aku lakukan? Ini sudah jam 2 dini hari!” tegurnya kemudian saat ia hendak melangkah keluar kamar. “Kenapa aku ingin ke sana?” ujarnya saat ia mulai mengambil langkah pertama.

‘SRAK, SRAK...’

Moonie berjalan perlahan agar tak ada seorang pun yang mendengarnya, ia menyinari pijakannya dengan sinar ponselnya. Semakin dekat, perlahan namun pasti. Ia semakin merasakan debar jantung yang kencang. Padahal Moonie tahu, tempat itu hanya di tumbuhi pepohonan tua.
[Jang Moonie’s POV end]


***

[Yoo Ah In’s POV]
“Apa yang dia lakukan?” gerutu laki-laki dewasa itu dari balik jendelanya, melihat sang adik yang berjalan seorang diri menuju gundukan tanah tersebut. Bagaimana tidak, dia tahu benar tabiat adiknya itu. Seorang insomers akut yang selalu dipenuhi ide gila dan tidak masuk akal. Ia menganggap Moonie perlu untuk lebih banyak melakukan sosialisasi dengan orang lain.

Ah In kemudian menyusul adiknya, namun tanpa ia sadari, Moonie sudah menghilang di tengah kegelapan. Ia tidak bisa berteriak, ia tidak mau membangunkan kedua orang tua Moonie, ia sadar betul, kehadirannya dirumah ini hanya sebagai penjaga Moonie semenjak gadis itu suka berjalan dalam tidurnya.

Yoo Ah In bukanlah kakak kandung Moonie, keluarga Jang mengadopsi Ah In ketika ia berusia 10 tahun dan kala itu Moonie masih berusia 4 tahun. Usia mereka terpaut enam tahun.

Yoo Ah In merupakan kerabat dekat dari Moonie, kedua orang tuanya menelantarkannya dan pergi entah kemana. Karena rasa iba yang tinggi, ayah Moonie memutuskan akan mengurus Yoo Ah In dan juga menjadikan dirinya sebagai penjaga Moonie. Sejak 5 tahun yang lalu, ketika Moonie berusia 15 tahun, ia memiliki kebiasaan aneh yaitu berjalan dalam tidur. Semenjak itu Ah In tidak bisa tidur sebelum memastikan adiknya itu tidur nyenyak dan aman.

“Jang Moonie! Moonie-ya!” desisnya berusaha keras, namun ia tidak bisa menemukan adiknya. Hanya ponsel milik Moonie yang masih menyala di dekat dirinya berpijak. “Apa dia berjalan dalam tidur lagi?”

Suasana gelap dan angin mulai berhembus pelan. Sudah setengah jam, tepatnya pukul 2.30 dini hari ia menghilang di dalam kegelapan. “Moonie-ya, jangan bercanda! Cepat kemari! Kau tidak ingin membuat Appa dan Eomma terbangun, bukan?”

Oppa itu seperti bicara dengan ilalang tinggi, gundukan tanah itu terlihat begitu mengerikan baginya. Ia tidak akan mencari Moonie ke sana. Yoo Ah In memiliki kenangan buruk dengan hutan dan sejenisnya. “Jang Moonie! Cepat kembali!”

‘KRIK, KRIK, KRIK....’

Hanya suara jangkrik yang kemudian terdengar. Ponsel yang ia genggam masih menyala, masih hangat. Moonie pasti telah menggenggamnya erat.

Kemana bocah itu?!
[Yoo Ah In’s POV end]

***

“Moonie-ya! Ayo cepat bangun! Kau tidak mau terlambat ke sekolah baru kan?” Eommanya berteriak dari balik pintu kamarnya, sesaat gadis itu tersadar dan membuka matanya.

Ia tertidur jauh dari selimutnya, bahkan ia tidur dengan masih menggunakan sepatu, lengkap dengan jaket dan topi. “Semalam....semalam....” Moonie mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam, namun sepertinya jam dinding yang ia lihat membuyarkan segalanya, “OMO! Aku bisa terlambat jika tidak segera mandi! Ini sudah pukul setengah tujuh pagi!”

Dengan segala kerumitannya ia buru-buru mengambil perlengkapan mandi yang belum sempat ia keluarkan dari dalam kopernya, mengambil pakaian seadanya dan memakai seragam barunya begitu saja. Bahkan ia lupa mengelap wajahnya yang masih basah.

Ah In yang melihat adiknya begitu tergesa-gesa, menariknya dan mengelap wajah gadis itu sejenak menggunakan tisu. “Berikanlah kesan pertama yang baik di hadapan teman-temanmu! Jangan berlari, nanti kau bisa jatuh lagi seperti itu. Dan jangan lupa mengikat tali sepatumu dengan rapi!”

“Ah! Aku sudah besar Oppa!” Moonie menyeka air yang tersisa dengan dasi yang melingkar di lehernya. “Sudah ya, aku bisa terlambat jika berdiri di depanmu terus! Bye Oppa!”

Ah In melihat gadis itu menuju meja makan dan menggigit sandwich di mulutnya dan tangannya sibuk menganyam dasi di lehernya, setelah itu ia memakai sepatu dengan tali yang di ikat seadanya. “Gadis itu kapan bisa rapi sedikit saja?!” gerutu Ah In yang kesal melihat adiknya selalu terlambat di hari pertama sekolahnya.

*

Moonie mengikuti langkah murid lain yang berjalan di sekitarnya, sampai seseorang menyapanya dan membuatnya menghentikan langkah. Ia menatap orang itu dengan melotot, ekspresi tidak percaya.

“Hei kamu yang memakai sepatu putih!! Tunggu!”

Moonie menatap orang itu dengan tidak percaya. Mulutnya terkunci, bahkan ia tidak bisa membuka mulutnya.

“Kita bertemu lagi.” Bisik bocah laki-laki itu, “Apa yang kau lakukan, jika tidak cepat, kau akan terlambat! Kajja!”

‘Dia yang semalam kan?`

*

/FLASHBACK/
“Aduh!” Moonie tanpa sengaja tersandung batu dan terjatuh. Ponselnya terlepas dari genggaman tangannya. “Gelap! Aku tidak bisa melihat! Bagaimana ini?”

Moonie menengadah dan bulan yang bersinar terang menyembunyikan sinarnya di balik awan tebal. Moonie meraba sekitar dan berharap ponselnya tidak terlempar begitu jauh dari tempatnya terjatuh, namun ia tidak bisa menemukannya.

“Siapa kau? Apa yang kau lakukan disini?”

Sebuah suara mengejutkannya, wajahnya bersinar. “Jangan makan aku!” ucap Moonie sambil menyilangkan kedua tangannya di depan wajah. “Aku tidak enak!”

“Aku tidak makan manusia. Sedang apa kau disini? Datang dari rumah yang disana? Penghuni baru ya?”

“Iya!”

Orang itu menghela napas, “Mau ke gundukan bukit itu? Itu rumahku. Bahkan tidak ada orang yang berani kesana. Aku bisa membunuhmu.”

“Hah? Apa maksudmu?”

Dia laki-laki, menggosok leher, kemudian membantu Moonie berdiri. “Sepertinya kau keras kepala, kalau begitu ikutlah denganku!”

*

“Ah ini tidak bagus....dia suka sekali mengganggu waktuku...dia cerewet...aku tidak suka...dia memperlakukan aku seperti anak kecil. Aku sudah 18 tahun!” ujar Moonie saat ia melihat Ah In Oppa dari atas gundukan bukit itu. “Ah, itu ponselku!”

“Siapa namamu?”

Moonie memandang orang itu dalam kegelapan, namun wajah orang itu memancarkan sinar, “Jang Moonie. Itu kakakku, Yoo Ah In.”

“Marga kalian beda?”

Moonie mengangguk, “Iya, dia bukan kakak kandungku. Aku anak tunggal, tapi dia sudah ada di keluargaku sejak aku umur 4 tahun. Kami terpaut usia 6 tahun. Sekarang dia sudah bekerja di sebuah perusahaan bulog. Ah sudahlah, aku malas membicarakan orang itu.”

“Lalu, kenapa kau mendatangi bukitku? Apa yang ingin kau ketahui?”

Moonie menyandarkan punggungnya ke batang pohon besar, “Sebelum aku pindah kesini, aku pernah mendengar sebuah urban legend, di desa ini, ada bukit yang berpenghuni makhluk setengah manusia. Aku ingin tahu apakah itu benar atau tidak.”

“Jika itu tidak benar? Kau mau apa?”

Moonie memandang lelaki itu, “Jangan katakan jika kau setengah manusia....”

Lelaki itu tersenyum, kemudian wajahnya tampak semakin gelap, meredup. “Manusia tidak akan bisa mengeluarkan cahaya. Apakah itu cukup menjawab pertanyaanmu, Jang Moonie?”

Moonie tampak bersiaga, namun lelaki itu terlanjur menyentuh keningnya dengan sebuah jari telunjuk.

“Tidurlah, aku akan mengantarkanmu pulang.”
/FLASHBACK END/

*

Bahkan Moonie terlalu sibuk mengingat kejadian semalam. Ia hanya duduk di kelas saat jam istirahat, sesekali teman baru menghampirinya dan berbagi makanan. Ia melupakan kotak makannya di teras rumah.

“Jang Moonie!” seru sebuah suara dari pintu kelasnya, kemudian lelaki itu masuk begitu saja dan duduk di kursi depan Moonie. “Kau lapar kan? Aku sudah kenyang, makanlah roti coklat ini! Sungguh lezat.”

Moonie menatap orang itu dengan sinis juga bingung, “Mau apa kau. Apa yang semalam kau lakukan padaku?” ujarnya pelan.

Lelaki itu hanya tersenyum, “Aku tidak melakukan apa-apa. Jika semalam kita melanjutkannya, kita tidak akan bertemu saat ini. Benar kan?”

Jawaban lelaki itu seperti tidak bisa di tebak. Moonie mengambil roti coklat yang ditawarkannya, “Lee Hongbin? Itu namamu?” ucap Moonie ketika melihat tag nama yang tercantum di seragam lelaki itu. “Jadi benar, kau setengah manusia?” bisiknya sambil mengunyah rotinya.

Lelaki itu menyunggingkan salah satu ujung bibirnya, “Jika bukan, apa kau tetap mau menjadi temanku?”

Moonie tidak menjawabnya.

“Atau jika memang iya, apakah kau tetap mau menjadi temanku? Aku....menakutkan lho!”

“Kau ini tidak punya teman ya? Semua orang pasti takut denganmu.”’

Kemudian Hongbin melirik ke salah satu sudut ruang kelas, ia melihat segerombolan murid yang berbisik dan melihat ke arah mereka. Seketika itu ekspresinya terlihat jauh lebih sedih.

Moonie jadi ikut menoleh ke arah sudut kelas, kemudian salah seorang menghampirinya dan berkata, “Jang Moonie, jangan berteman dengannya! Kau belum tahu kan, dia ini berbahaya! Dia ini memiliki racun yang perlahan bisa membunuhmu!”

Moonie kemudian melirik Hongbin, ia terlihat menunduk, sesekali raut wajahnya terlihat terganggu dengan celotehan itu. Kemudian, Moonie berdiri tepat di depan wajah orang itu.

“Aku memang baru di sini, dan terima kasih atas infonya. Tapi kau tidak berhak melarangku berteman dengan siapa pun. Aku tidak mau beradu argumen dengan kalian. Jadi ku mohon jangan campuri urusanku.”

“Moonie!” ucap Hongbin setengah mendesis. “Sudahlah~ aku pergi saja kalau begitu...maaf sudah mengganggu kalian!”

‘GREB!’

Hongbin merasakan tangan gadis itu mencegahnya pergi. “Mau kemana? Kau tidak perlu mendengarkan mereka, apapun dirimu, bagaimanapun bentukmu, aku tetap temanmu!”

Hongbin menatap gadis itu, binar matanya begitu kuat dan tidak ada kebohongan di dalam ucapannya.

“Jadi, jangan ganggu dia lagi sekarang. Jika aku melihat kalian lagi, dan terlihat mengganggu Hongbin, kalian akan berurusan denganku!”

Kemudian, sekumpulan murid yang ternyata datang dari kelas lain itu bubar.

Moonie kembali mengajak Hongbin duduk dan ia melanjutkan memakan roti yang baru setengah habis itu. “Sudahlah, sekarang kau tidak sendirian lagi.....aku temanmu sekarang!”

“Jang Moonie, apa yang mereka katakan benar. Tahun lalu, kejadian serupa seperti ini juga terjadi. Dan aku melukai temanku, aku takut, melukaimu lagi seperti waktu itu.” Ekspresi wajahnya begitu sedih, terlihat sedikit trauma.

“Lee Hongbin, jangan samakan aku dengan temanmu yang lama~ aku tidak suka di samakan dengan orang lain!” ucapnya sambil melirik penasaran ke arah Hongbin. “Hei, jangan pasang wajah begitu! Aku tidak suka melihat  orang yang murung!”

Hongbin mencoba tersenyum, lesung pipinya begitu mengganggu Moonie, ia merasakan darahnya melonjak ketika melihat lelaki itu tersenyum. “Sudahlah, kembali ke kelasmu, sebentar lagi bel masuk akan berbunyi!”

“Aku baru sekali ini masuk ke ruangan kelas 3.” Ujar Hongbin sesaat setelah ia bangkit dan hendak melangkah.

“Maksudmu? Jangan katakan padaku jika kamu adalah juniorku?”

Hongbin kemudian hanya tersenyum dan melambaikan tangan, ia meninggalkan ruangan kelas dimana Moonie berada.

***

Bel pertanda usainya jam pelajaran sudah berlalu 10 menit, Moonie masih terlihat berkeliling di sekolah, ia selalu merasa ingin tahu dengan tempat baru. Sampai ia melihat seseorang yang tidak asing di dalam kelas 2-4.

“Lee Hongbin? Kau kah itu?”

Namun lelaki itu tidak menjawab, Moonie mendekatinya dan wajahnya menunjukkan ekspresi lain. Binar matanya berubah. “Lee Hongbin, kau baik-baik saja?”

Seperti tersadar, namun belum sepenuhnya. Lelaki itu menoleh kemudian berpaling begitu cepat. Ia menutupi dadanya dengan tangan kanannya.

“Kau kenapa?” tanya Moonie sekali lagi, sampai akhirnya ia melihat suatu noda dibalik telapak tangan itu. “Hongbin! Kau berdarah!” kemudian Moonie meraih tangan itu dan menemukan seragam lelaki itu tersayat dan kulitnya tergores. Moonie terdiam sesaat, sampai ia menggelengkan kepala dan membawa Hongbin pulang.

*

“Katakan, siapa yang melakukan ini padamu. Aku akan membuat perhitungan dengan orang itu!” ucapnya membara sembari membersihkan luka di dada lelaki itu.

“Sudahlah, aku sudah sering di perlakukan seperti ini.”

Moonie melemparkan kapas yang ia pegang ke arah wajah Hongbin, “Kau senang? HAH? Aku tadi kan sudah katakan padamu, aku temanmu dan aku tidak suka melihat temanku di ganggu oleh orang lain!”

Moonie terlihat jengkel dan ia menyibak poninya menjadi berantakan. “Cepat katakan, siapa yang melakukan ini padamu!”

“Orang yang tadi siang menghampiri kita dikelasmu. Murid dari kelas 3-6. Namanya Soo Jin Byul. Dia memang seperti itu, selalu ingin menarik di hadapan murid baru. Tapi tentang ucapannya, itu benar.”

Moonie melihat lurus ke arah Hongbin, kemudian ia membereskan kotak P3K dan menyugukan segelas air putih untuk tamunya. Tidak lupa memberikan jajanan ringan untuk Hongbin.

“Aku tidak mau kau terlihat oleh Ah In Oppa. Aku tidak suka masalah pribadiku di campuri olehnya.” Ujar Moonie begitu serius. Ia hanya melihat Hongbin mengangguk.

“Tapi kurasa dia begitu menyayangimu. Seperti saudara kandung. Kurasa, ada baiknya juga aku tidak mengenal kakakmu.”

Mereka terlibat dalam sebuah pandangan, namun Moonie segera mengalihkan padangan ke arah gundukan bukit itu, “Bagaimana rasanya tinggal di sana? Apakah disana ada rumah juga?”

Hongbin mengangguk, “Tentu saja, aku tinggal bersama kakak perempuanku. Lee Ilsoon. Tapi dia berbeda denganku. Dia hidup normal dan dia manusia. Kurasa aku iri dengannya bisa banyak mempunyai teman.”

“Lee Ilsoon? Lalu, kau apa? Setengah manusia? Lalu setengahnya lagi, apa?”

Hongbin duduk di samping Moonie dan meminjam pundak gadis itu, “Aku lelah, sebenarnya. Jika saja ada cara untuk mengubahku menjadi manusia....”

“Tapi kurasa tidak ada yang salah, lebih baik kau menjadi dirimu sendiri dari pada harus mati-matian menjadi orang lain. Belum tentu orang lain menyukainya.”

Hongbin mengarahkan bola matanya ke arah wajah gadis itu, namun ia hanya bisa menatap dagunya, “Ilsoon Nuna pasti akan suka melihatmu. Dan dia pasti akan terkejut aku memiliki teman lagi.”

“Hongbin, kau belum menjawab pertanyaanku...”

“Aaah~ itu.....mungkin ini terdengar seperti komik fantasi. Tapi yang bisa aku ceritakan adalah,...ibuku seorang dewi bulan. Ayahku, manusia biasa. Kakakku manusia biasa, dan aku setengah manusia.”

“Jadi semalam, wajahmu bersinar...itu bukan hanya delusionalku saja kan?”

Hongbin tersenyum dan mengambil tasnya, “Menurutmu?? Oh iya, terima kasih perbannya. Kita bertemu besok di sekolah ya!”

Moonie bangkit dari duduknya dan tidak punya ide untuk mengeluarkan kata-kata lagi. Dia selalu terpana dengan cerita fiksi. Yah, dia masih berpikir semua ini adalah sebuah mimpi. Mimpi yang nyata.

***

“Moonie-ya! Ayo makan dulu!” teriak Eomma dari dapur, sementara itu Moonie sedang sibuk tiduran dan memandang gundukan bukit itu. Begitu gelap dan lelaki itu tinggal di dalam sana.

“Aku tidak melihat cahaya disana. Dia berbohong padaku? Haruskah aku kesana lagi malam ini?”

“Jang Moonie, apa yang kau lakukan?!” tegur Ah In sambil menyalakan saklar lampu yang membuat mata Moonie kesakitan. “Cepatlah makan! Ini sudah malam!”

`Oppa ini....begitu berisik...kenapa Eomma mengadopsi orang seperti ini?`

*

Berujung di meja makan, Moonie hanya melihat yang lain begitu lahap mengunyah. Bahkan ia tak merasa lapar dan sesekali menghela napas panjang.

“Ya~ kenapa kau tidak makan? Eomma sudah susah payah membuatkan bulgogi untuk kita!” Ah In mengetuk kepala Moonie dengan ujung sumpit.

“Oppa, aku tidak lapar. Jadi jangan memaksaku untuk makan malam ini. Simpan saja di kulkas, aku akan membawanya untuk bekal sekolah besok.”

Moonie bangkit dan kembali ke kamarnya. Sebelum ia mematikan lampu kamar, ia melihat secarik kertas terhimpit di balik bantal tidurnya.

“Hmm? Apa ini?”

Berhenti memandangi bukitku, aku bisa melihatmu dari sini. Sampai bertemu besok di sekolah! Jangan lupa membawa bekal, dan makan siang bersama di atap sekolah!

Moonie membaca surat tanpa nama pengirim itu. Sudah pasti dari Hongbin, “Tulisannya bagus. Aku akan menyimpan ini.” Moonie menyimpan surat itu di dalam bonekanya. Ia sengaja membuat ruangan pada bonekanya agar semua barang berharganya tidak bisa di lacak oleh kakaknya.

***

Hari ini suasana hati Moonie benar-benar bagus, sampai sebuah pemandangan buruk membuatnya naik darah. Moonie tetap berusaha terlihat tenang.

“Soo Jin Byul!” teriak Moonie dari kejauhan, ia mempercepat langkahnya. “Ku rasa aku sudah memperingatkanmu kemarin.”

Soo Jin terlihat tersenyum getir. Murid laki-laki yang nampak rapi dari luar namun memiliki kelakuan buruk. “Setengah manusia ini yang mulai duluan! Kau tidak lihat bajuku jadi kotor begini? Dia menumpahkan susu coklatnya tepat di bajuku!!” teriak Soo Jin di hadapan Moonie.

Moonie terlihat dengan tenang menyerahkan kotak makannya kepada Hongbin.

“Aku benar-benar tidak sengaja!” Hongbin memberikan pembelaan. “Aku tidak tahu jika dia berdiri di belakangku!”

“Apa yang kau katakan!? Dasar makhluk setengah manusia!” ucap Soo Jin sambil mencengkram kemeja Hongbin.

‘BUKK!’

“Jangan sentuh Hongbin, atau kau akan menyesal berurusan denganku!”

Hongbin begitu terkejut melihat Moonie memberikan sebuah pukulan tepat di mata kiri Soo Jin. Pemuda itu meringis kesakitan dan kemudian pergi. “Akan ku balas kau!” teriaknya pelan. Mungkin itu hanya gertakan.

“Moonie! Apa yang kau lakukan!? Bagaimana jika dia melapor ke Kepsek? Kau akan di kenakan sangsi!”

Moonie meraih kotak makannya dan tidak banyak bicara, dia melangkah meninggalkan Hongbin menuju atap sekolah.

“Jang Moonie! Jangan lakukan itu lagi, aku tidak mau orang lain susah karena aku!”

Moonie berhenti dan berbalik, matanya terlihat memerah. Ia merangkul kotak makanannya, erat. “Aku tidak mau melihat temanku dalam kesulitan. Kurasa ini cukup adil. Aku tidak punya alasan untuk tidak membela temanku. Kamu mengerti itu kan, Lee Hongbin?”

Hongbin melihat gadis itu berbalik kemudian sibuk dengan bekalnya, ia hanya bisa menemani Moonie tanpa protes sedikit pun. Ia melihat tangan gadis itu bergetar, memerah dan terlihat lebam akibat memukul wajah Soo Jin Byul tadi.

*

Semenjak kejadian tadi siang, Moonie benar-benar membisu. Bahkan Hongbin tak berani menanyakan perihal tangannya yang sedikit membengkak.

“Hongbin-a...,mulai sekarang,...jangan jauh-jauh dariku. Mengerti?” ucap Moonie sebelum ia menghilang di balik pintu rumahnya.

‘Gadis itu...bahkan ia lebih keras kepala dari Ilsoon Nuna...’ batin Hongbin, ia teringat dengan Ilsoon yang pernah menghajar seseorang yang mengganggu dirinya beberapa tahun yang lalu.

***

[Lee Hongbin’s POV]
“Nuna, jadi aku harus bagaimana?” tanya Hongbin kepada Ilsoon ketika ia selesai menceritakan tentang teman barunya itu.

Ilsoon tampak sibuk dengan pekerjaan kampusnya, usianya sepantaran dengan Yoo Ah In. “Aku hanya khawatir ia sama seperti Jaeshik, lama kelamaan ia akan meninggalkanmu. Ingat kan? Jaeshik takut kepadamu ketika kamu menunjukkan wujud aslimu pada saat kalian camping bersama tahun lalu? Nuna tidak mau kau sakit hati lagi.”

Hongbin berpikir sejenak, ia tidak bisa membayangkan jika kali ini, Moonie bersikap seperti Jaeshik. “Tapi Nuna, hari ini ia memukul Soo Jin untukku. Dia perempuan dan memukul sekeras itu.”

Ilsoon tampak tertarik dengan cerita adiknya, “Jinjjayo? Tidak biasanya aku mendengar pembelaan sampai seperti itu. Apa dia bisa karate atau sejenisnya?”

Hongbin menggeleng, “Kurasa tidak, dia cenderung pemalas. Tapi semenjak ia berbicara dengan Soo Jin kemarin, kurasa dia tidak main-main dengan orang itu. Aku hanya khawatir ia terkena sangsi dari sekolah.”

Ilsoon menepuk pundak Hongbin, “Sudahlah! Dia akan  baik-baik saja, Nuna berani jamin itu. Tapi kenapa, kenapa dia begitu ngotot melindungimu. Tidakkah kau merasa aneh? Bahkan pertama kali kalian bertemu, dia tidak merasa takut padamu kan?”

Hongbin berpikir lagi, terus berpikir sampai akhirnya ia mendapatkan satu kesimpulan, “Apa dia menyukaiku? Tapi kurasa ini terlalu cepat. Kami baru 2 hari bertemu.”

Ilsoon melirik adiknya dengan genit, “Eiy~ atau bisa juga kau yang menyukainya terlebih dahulu.” Ucapnya kemudian pergi ke dalam kamar.

“Itu....terdengar tidak mungkin....” ucapnya pada dirinya sendiri kemudian melihat ke arah kamar Moonie di kejauhan sana. Pandangan seorang Hongbin bisa melihat jelas gadis itu sedang memandangi bukitnya sama seperti kemarin malam. Kemudian ia mengambil lampu senter dan menghidupkannya ke arah kamar Moonie.

‘PEET, PEET’

Hongbin memainkan lampu senternya, namun tak ada respon cahaya dari kejauhan. “Ah, dia menutup matanya....mungkin dia lelah hari ini..” gumamnya saat mencoba melihat gadis itu lebih dekat dengan pandangan supernya.

‘Aku memang setengah manusia, namun aku kira, aku sama dengan yang lainnya...aku berpikir sama dengan manusia yang lainnya. Aku menghirup oksigen, aku juga makan nasi...namun mengapa sebagian orang begitu membenciku? Apa hanya karena aku setengah manusia?’

Hongbin mengambil cermin dan melihat dirinya dalam kegelapan. Wajahnya perlahan memunculkan sinar kekuningan redup, sama seperti sinar bulan. Dia, Lee Hongbin, adalah anak seorang dewi bulan dan juga manusia. Ia bisa menyala dalam gelap, namun ketika ia benar-benar sedih, ia akan berubah menakutkan. Hal itu yang terjadi setahun yang lalu ketika ia mengetahui jika Jaeshik berteman dengannya hanya untuk bahan penelitian.

Hongbin merasa sedih dan ia tidak bisa mengontrol emosinya. Perlahan wujudnya tak seindah biasanya, dan malam itu Jaeshik tak pernah muncul lagi. Sampai saat ini, ia bertemu dengan Jang Moonie. Gadis yang begitu cepat merubah suasana kesepian di sekelilingnya.

***

“Nuna, aku berangkat sekolah!” teriaknya dari luar kamar Ilsoon kemudian ia berjalan kaki menuju sekolah. Ia sengaja berangkat agak siang biar bisa bertemu dengan Moonie di jalan, namun setelah mengulur waktu ia tidak bertemu dengan Moonie.

Ketika jam sekolah usai...
Bahkan hari ini ia tidak melihat Moonie disekolah, Hongbin mengecek ke seluruh sudut sekolah, namun ia tidak melihat Moonie. Hari ini juga ia tidak melihat Soo Jin Byul yang biasanya selalu saja mengoloknya.

“Sesuatu berjalan aneh hari ini...”
[Lee Hongbin’s POV end]

***

Sudah 4 hari Hongbin tidak bertemu dengan Moonie, namun ia selalu melihat gadis itu di kamar memandangi bukitnya. Tanpa ekspresi dan Hongbin melihat Moonie berkali-kali menghela napas panjang.

“Ada apa, Moonie?!”

*

Jang Moonie, beberapa malam ini ia terus memandangi gundukan bukit itu dengan perasaan yang gelisah. Sebenarnya ia tidak bisa menahan hal ini lebih lama lagi atau ia akan meledak tersedu-sedu tak terkendali.

“Moonie-ya, makanlah sesuatu! Aku tidak bisa melihatmu begini terus! Aku tidak tahu harus menjawab apa kepada Eomma...” ucap Ah In sambil duduk di samping  Moonie. “Aku memang tidak tahu apa yang sedang terjadi antara kau dan temanmu itu, namun jika tidak keberatan, ceritakanlah padaku...”

“Hhhhh~....aku tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang....semuanya tampak sama...”

/FLASHBACK/
“Aku akan memberikan cupcake ini kepada Hongbin!” ucap Moonie riang kepada dirinya sendiri, namun seseorang ternyata merebutnya dan menghancurkan cupcake yang telah ia buat susah payah itu.

“Ups, maaf ya aku menghancurkan makananmu.” Soo Jin tertawa geli dan kemudian berlagak tidak sengaja menginjak kue itu. “Sayang sekali bekalmu untuk hari ini sudah jatuh dan tidak sengaja terinjak olehku...”

Moonie tidak menunjukkan ekspresi apapun, ia hanya memandang lurus ke arah wajah lelaki yang sedikit lemah gemulai itu. “Maumu apa. Katakan.”

Soo Jin terlihat tersenyum licik kemudian menarik Moonie ke sebuah balik semak-semak. “Mudah saja...aku bisa terima kamu memukulku kemarin siang. Aku tidak membalasmu karena kau perempuan...tapi kenapa  kau begitu keras kepala membela Hongbin? Kau kan tidak tahu dia bagaimana, kau baru saja bertemu dengannya. Dan saranku, jika kau menyayangi Hongbin, jauhilah dia...”

“Jangan bicara omong kosong denganku!”

Soo Jin memeluk paksa Moonie, dan berbisik sesuatu, “Hongbin itu milikku....tidak siapapun bisa memilikinya selain aku...mengerti?” kemudian Soo Jin menepuk punggung Moonie dua kali.

“Kalau aku tidak mau? Kalau aku juga menyukai Hongbin?”

Soo Jin berbalik dan mencekik leher Moonie, gadis itu merasakan tangan di lehernya berbulu dan bercakar tajam. “Kau tidak mengerti juga ya? Manusia dan makhluk seperti Hongbin itu tidak akan bisa bersatu..jadi kau tidak boleh terlihat olehnya lagi. Jika tidak, tentu kau tahu apa yang akan terjadi pada dirimu, iya kan?”

Soo Jin melepaskan cengkramannya dan Moonie terjatuh bersimpuh dan mencoba bernafas normal, cekikan itu meninggalkan bekas kemerahan di leher Moonie.

“Soo Jin, kau monster!” Moonie mengambil kayu dan memukul tengkuk lelaki itu, namun Soo Jin tetap melenggang menuju sekolah. “Tidak ku sangka....kau monster yang berteriak monster....”

Moonie membereskan dirinya dan ranting dan dedaunan kering di balik semak-semak, ia melihat sosok itu berjalan riang menuju sekolah. Sudah pasti tidak sabar ingin bertemu dengan dirinya. Namun Moonie tidak bisa, ia tidak ingin Soo Jin menyakiti Hongbin lebih jauh lagi. Ia juga tidak ingin Hongbin merasa terus kasihan pada dirinya karena harus melihatnya menghadapi Soo Jin itu.

“Mianhaeyo, .... Hongbin-a...”
/FLASHBACK END/

*

“Moonie-ya, aku tidak mau kau sakit karena terlalu memikirkan masalah itu. Aku juga sebenarnya belum begitu percaya sepenuhnya dengan ceritamu. Namun aku tidak punya pilihan lain selain mempercayaimu.” Ucap Ah In yang masih belum bisa menerima pengakuan itu secara logis.

“Arraseo Oppa, anggap saja aku sedang mimpi panjang.”

Ah In Oppa tidak bisa berbuat banyak selain memberi Moonie support dan menjaga cerita ini agar tak terdengar oleh orang tua mereka. “Moonie-ya, kenapa? Kenapa kau seperti ini padanya...? Aku iri, kau bisa melindungi bocah itu...”

Hal ini membuat Moonie bangkit dari posisi tidurnya, “Apa maksud Oppa? Dia temanku, aku harus membelanya.”

Ah In menggeleng, “Tidak, tidak bukan apa-apa. Jika kau lapar, aku menyisakan 4 potong pizza di kulkas. Jaljayo.” Ah In kembali ke ruangan kerjanya, ia merasa bahwa Hongbin begitu beruntung bisa bertemu Moonie. Dia tidak pernah melihat Moonie begitu membela seseorang selama ini.

***

Jam 3 dini hari, Moonie ternyata masih terjaga dan sama sekali tidak mengantuk sedikit pun, ia nekad mendekati gundukan bukit itu untuk menemui Hongbin.

“Dari mana kau tahu aku tinggal disini? Apa kau memata-mataiku selama ini?”

Moonie mendengar suara itu, “Soo Jin?” Moonie melihat Soo Jin memeluk Hongbin, namun Hongbin meronta, ia mendorong Soo Jin sampai tersungkur, namun ia bangkit lagi, mengulangi perbuatannya.

“Apa yang kau lakukan? Pulanglah!” teriak Hongbin mengusir Soo Jin, namun ia merasa terpojok dan Moonie melihat perubahan Hongbin malam itu.

“Hongbin-a...”

Dia memudar dan pucat, warnanya seperti bulan yang muncul di siang hari. Matanya berubah menjadi abu-abu terang dan bercahaya dalam kegelapan. Begitu juga dengan rambutnya yang berubah menjadi abu-abu silver. Hongbin ketakutan, ia membutuhkan pertolongan.

“Lee Hongbin...jangan takut...jangan lari...kau milikku...” Soo Jin terus saja menggiring Hongbin lebih jauh masuk ke dalam pepohonan yang menumbuhi bukit itu, ia membuat posisi Hongbin terpojok.

“YAA~ SOO JIN BYUL!” teriak Moonie kemudian melemparkan lampu senter tepat ke depan wajahnya. “Aku sudah katakan jangan ganggu Hongbin! Kau monster!”

Soo Jin berbalik dan dirinya mulai berubah. Tentu saja kini Moonie mengerti mengapa Soo Jin begitu menyukai Hongbin. Dia adalah jelmaan manusia serigala, dan mereka selalu berubah saat bulan purnama datang. “Kau tamat malam ini, Moonie.” Ucapnya sambil mengerang pelan.

“Soo Jin....?” Hongbin terkejut melihat orang yang selama ini mengolok-ngoloknya ternyata tak jauh beda dengan dirinya.

Kini giliran Moonie yang berhadapan dengan Soo Jin. Namun ia tak gentar, ia berdiri dengan tegap dan percaya diri, semuanya akan baik-baik saja.

“Baboya! Cepat lari!” teriak Hongbin kemudian menusuk dada Soo Jin dengan linggis kecil dari arah belakang. Soo Jin melempar Hongbin keras sampai kepalanya membentur pepohonan pinus.

“Hongbin-a! Aku sudah katakan, jangan sakiti Hongbin lagi!!!” teriakan Moonie membuat manusia serigala itu bersujud dan menutup telinganya. “Apa kau tidak dengar, kau begitu hina! Tidak ada seorang pun yang menyukaimu, kau hanya hama! Mengerti?!”

Saking kesalnya dengan Soo Jin, Moonie menghajarnya dengan tangan kosong. Ia juga mendapatkan Soo Jin mencakarnya di beberapa bagian ditubuhnya, mereka bertarung dengan liar dan akhirnya Moonie dengan mengerahkan tenaga terakhirnya ia dapat membuat Soo Jin kembali ke bentuk semula.

“Apa yang....oh, Hongbin!”

Dalam kegelapan ia melihat seseorang menghampiri Hongbin dan kemudian orang itu melihat ke arah dirinya. “Ilsoon...eonni~....”

***

“Ugh~.....” Moonie membuka matanya, ia melihat atap kamarnya berbeda. Semuanya bermotif bintang-bintang dengan segala ukuran. “Siapa yang meletakkan bintang di atap kamarku?”

“Jang Moonie! Moonie-ya! Kau sudah sadar? Kau bisa melihatku kan? Jawab aku Moonie!”

Masih antara sadar dan tidak, Moonie mendengar suara yang begitu familiar. “Oppa? Ah In Oppa? Ada apa...aku kenapa?”

“Kau tidak mengingatnya? Kau sungguh tidak mengingatnya? Hongbin yang membawamu ke sini. Kau tidak ingat?”

Moonie berpikir sejenak, “Hongbin? Hongbin?” tanyanya sampai dua kali. “Siapa Hongbin?”

Ah In tampak kebingungan, Ilsoon yang menceritakan semuanya pada Ah In malam dimana ia melihat seorang gadis pingsan dengan banyak luka di dekat rumahnya. Hongbin memaksakan dirinya untuk menghapus ingatan tentang dirinya di benak Moonie, ia tidak ingin melihat orang di sekelilingnya harus menderita karena dirinya.

*

Moonie telah sadar sepenuhnya, ia memandang keluar kamar dan tidak melihat gundukan bukit itu lagi di sana. Semuanya sudah rata dengan tanah. Namun percuma, batinnya, ia tidak mengingat apapun tentang Hongbin juga Ilsoon.

“Oppa, apakah ceritamu itu benar? Mengapa aku tidak bisa mengingat sedikit pun tentang mereka? Dan mengapa di tubuhku banyak sekali luka goresan? Kenapa tanganku begitu terasa sakit? Apa yang terjadi denganku?”

Kemudian Yoo Ah In memeluk adiknya dengan penuh kasih sayang, “Ada hal-hal yang mungkin hanya di simpan dalam sebuah kenangan indah. Sebenarnya itu masih ada di suatu tempat, hanya saja, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk kau mengingatnya..aku yakin, suatu saat, kau akan mengingatnya seolah itu baru saja terjadi kemarin.”

Moonie memandang Ah In dengan tatapan tidak mengerti, namun ia setuju dengan perkataan kakaknya. “Suatu hari. Aku akan memberitahumu jika aku sudah mengingatnya dengan baik.”

***

Setahun berlalu, selama itu pula Moonie berusaha mengingat mengenai Hongbin. Sudah segala cara ia coba, namun belum menghasilkan apapun. Sampai suatu malam di bulan purnama ia memeluk bonekanya sambil mengamati bulan yang bersinar terang kekuningan.

“Langitnya jernih, .... bulannya bulat sempurna...., cahayanya temaram...., .....angin yang berhembus pelan......seperti.......malam....itu....”

‘KLAK’

Dengan hati yang berdebar kencang, ia meraba bonekanya dan menemukan sebuah resleting, perlahan dibukanya dan ia menemukan secarik kertas yang masih terlipat rapi di dalamnya.

Berhenti memandangi bukitku, aku bisa melihatmu dari sini. Sampai bertemu besok di sekolah! Jangan lupa membawa bekal, dan makan siang bersama di atap sekolah!

“LEE HONGBIN!”

Moonie mendapatkan ingatannya yang hilang.

Ia berlari menuju bekas gundukan bukit itu, ia tidak menemukan apa-apa. “Seharusnya ini disini! Seharusnya aku dapat melihat bukit itu disini! Kemana bukitnya? LEE HONGBIN!”

Teriakan Moonie terdengar sampai telinga Ah In, ia juga menghampiri dan Moonie menceritakan semuanya, termasuk kejadian malam itu.

***

Keesokan paginya, Moonie terlihat begitu risau dan bingung. Ia masih tidak mengerti mengapa Hongbin melakukan hal ini padanya. Ah In mengatakan suatu hal padanya semalam, “Ilsoon memberitahuku, racun Hongbin yang membuatmu tetap bisa bertahan dari Soo Jin. Diam-diam ia sudah mencampurnya dengan roti coklat yang ia berikan padamu waktu itu. Dan racun milik Hongbin juga yang telah membuatmu melupakannya juga Ilsoon. Dia tidak memberitahuku mengapa itu semua di lakukan. Menurutku, mungkin Hongbin tidak ingin melihat kau menderita karenanya.”

“Hongbin-a, babo!”

Moonie berlari lagi ke padang rumput yang terletak persis di depan kamarnya, ia berharap ini semua hanya rekaan Hongbin dan Ilsoon, ia masih berharap gundukan bukit itu masih utuh disitu.

“Hongbin, mengapa....kau lakukan ini padaku...”

*****

“Wae....wae...aku menyukaimu.....”

“Hei Moonie-ya! Bangunlah! Mau sampai kapan kau tidur siang? Sebentar lagi hari sudah sore dan masih banyak pekerjaan yang belum kita bereskan!”

Perlahan, Moonie membukanya matanya. Dan ia cepat tersadar, semua itu hanya bunga tidur. Gadis itu tertidur saat sedang membongkar kardus yang berisi foto-foto dirinya juga Ah In. “Jadi...yang tadi itu hanya mimpi ya? Seperti nyata... bahkan gundukan bukitnya masih ada disana....”

“Bicara apa kau Moonie-ya! Cepat bereskan barang-barang milikmu! Eomma sudah hampir tiba! Kau terlalu banyak membaca komik fantasi! Jadi bermimpi aneh seperti itu!”

Moonie bangun dan terkesan lemas, cukup lama ia tidur siang sampai bermimpi seperti itu, sampai seseorang mengetuk pintu rumahnya.

‘TOK, TOK!’

‘CEKLAK.’

“Hongbin-a?”

Lelaki berambut gondrong itu nampak terkejut sama dengan Moonie. “Kenapa? Kenapa? Ada yang aneh dengan penampilanku?”

“Lee Hongbin? Hongbin-a! Manusia bulan! Benar kan? Aku tidak bermimpi? Iya kan?” Moonie menggoncang tubuh Hongbin keras. “Katakan jika itu nyata!”

“Kau kenapa Moonie-a? Aku kesini untuk  mengembalikan buku yang kupinjam di sekolah kemarin. Ini!” Hongbin memberikan buku tulis itu kepada Moonie, “sudah ya! Aku pulang dulu!”

“Tunggu dulu, tunggu!”

Hongbin berbalik dan ekspresinya begitu ‘hidup’. “Apa lagi? PR-mu belum aku kerjakan, itu sulit!”

“Bukan, bukan itu...aku hanya ingin menyampaikan sesuatu sebelum ini terlambat...”

Hongbin menunggunya dengan santai, “Ya sudah, katakanlah!”

Moonie memandang Hongbin serius, “Aku...aku...menyukaimu!”

Kemudian Hongbin tertawa, dia menyibak rambut depannya. “Aku sudah tahu, aku sudah tahu sejak dulu. Hanya saja selama ini aku menunggumu mengatakannya.”

Moonie kebingungan lagi, “Jangan membuat aku bingung, Hongbin!”

‘GREB’

Hongbin memeluk gadis itu dan berbisik, “Gomawo Moonie-ya. Berhenti memandangi bukitku, aku bisa melihatmu dari sini. Sampai bertemu besok di sekolah! Jangan lupa membawa bekal, dan makan siang bersama di atap sekolah!” kemudian ia melepaskan pelukan itu perlahan dan tersenyum puas kearah Moonie. Ia berlalu dengan skuternya.

‘Aku tahu, itu bukan mimpi......tapi itu mimpi yang terindah yang pernah aku lihat sepanjang hidupku.’

***

“Jadi bagaimana Hongbin-a?” tanya Moonie keesokan harinya saat mereka makan bersama di atap sekolah.”

“Kau suka kan? Mana yang lebih kau sukai, mimpi kemarin atau kenyataan sekarang?”

“Pertanyaanmu membuat aku bingung, Hongbin. Mungkin ini semua hanya kebetulan. Tapi aku tidak mempercayai yang namanya kebetulan. Semuanya sudah di atur.”

Hongbin memberikan sepotong sandwich untuk Moonie. “Gomawo, jika kau tidak keluar mencariku malam itu, mungkin kita tidak akan bisa mengobrol disini sekarang.”

“Jadi, semua itu nyata kan? Iya kan?”

Hongbin tersenyum, “Nyata atau tidak, kau yang merasakannya. Dan bagiku itu sungguh nyata. Terutama perasaanmu saat tidak ingin melihat aku tertindas Soo Jin Byul.”

“Aku hanya bertindak sesuai apa yang aku rasakan saja. Aku tidak suka melihat orang yang kusayangi disakiti orang lain.”

Hongbin masih menatap gadis itu dengan senyuman merekah, “Karena itu, aku juga menyukaimu. Tapi aku minta maaf, aku telah meracunimu.”

“Mungkin, setelah ini aku tidak bisa bermimpi tanpa kau racuni aku terlebih dahulu. Poison man!”

Hongbin mengecup lembut pipi Moonie, mereka hidup dalam mimpi yang indah. Mimpi yang dibuat dengan ramuan beracun. Mematikan.




TAMAT




*maaf ya kalo banyak typo ^^ happy reading!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar