Jumat, 07 Juni 2013

GODDESS [anime-story]

buat cerita ini sambil ngebayangin versi komiknya ~
ada yang suka rela mau gambarin komiknya mungkin?
i love anime
so this one not a FF like always
im just kinda bored with FF



Titte : Goddess
Cast : Tomoya Haite – Namiya – Wonryu – Jun – Hiruka [all OC]
Genre : Fantasy / Light Romance / Light Fantasy
Rated : All ages
Theme Song : anysongs you want hear
Author : Ravla

-----------------------------------------

2009. Festival Bunga Sakura.
“Aku pasti bermimpi....”

Dia berbalik dan tersenyum, trus menarik tanganku dan mengajakku melewati jalanan yang penuh dengan bunga sakura yang berguguran.

“Bagus ya bunganya... ~” ucap bidadari yang menggunakan dress bermotif bunga merah. Dia tertawa, juga tersipu malu.

“Kamu ini apa..? Setan? Iblis? Malaikat..?” tanyaku. Aku sudah masuk dimensi lain...ini bukan tempatku berasal...semuanya terasa hangat...padahal aku tahu, bunga sakura nggak bisa mekar di musim dingin...

Dia berhenti, menunduk, aku nggak ngerti....

“Terima kasih....” ucapnya, dengan masih menunduk ia terdengar sedikit gemetar. Mungkin menangis namun menahannya. “Ku harap kita bisa ketemu lagi,...di lain waktu.”

“Uungg~ ngomong apa sih? Aku nggak ngerti..”

Aku nggak sempat melihat dia berbalik, begitu cepat, ia menyentuhku di bahu dan kemudian mendorongku dengan keras. Begitu silau, aku ngga bisa melihat wajahnya....cuma air mata itu yang ku lihat menetes sampai dagunya....

GODDESS


2012. Awal tahun yang kacau.
Tomoya Haite. Mahasiswa tingkat akhir yang selalu mengeluh dan pusing dengan skripsinya yang belum selesai juga. Motto hidupnya adalah “Aku tidak hidup untuk waktu yang lampau”. Tapi mungkin tidak seperti itu kenyataannya.

“Mungkin besok aku mati nih....” ucap Haite kepada dirinya sendiri setelah selesai menjawab soal ujian.

“Hei Tomoya! Gimana kalau kita makan pizza?” ajak Wonryu, temannya yang bermata segaris. “Aku lapar.”

Haite meliriknya malas, “Aku enggak.........”

Wonryu mendengus kesal, “Ah iya,....ah sudahlah, kamu pasti nolak ajakanku...ngajak yang lain aja ah!”

“Bilang sampai selesai!” Haite berbalik dan meremas kerah baju Wonryu. “Kalo nggak pengen bilang, lebih baik jangan di omongin..”

“Eih! Minggu depan aku mau kemping dengan Jun sama Hiruka! Kalo kamu mau ikut...”

Haite melepas cengkramannya, “Ah~ aku tahu, tempatnya pasti itu itu aja...bosan ah!” dengan santainya Haite menaruh tangannya di belakang kepala.

“Jepang!” teriak Jun, “Jepang lho, JEPANG!”

Aku nggak menahan diriku kalo denger ada orang bilang nama negara itu.

Haite tampak melongo, ia mendengarkan rencana Jun juga Wonryu. “Ke Jepang, minggu depan hari Selasa. Tapi disana luas banget,...aku nggak kenal daerah sana...” Jun tampak melirik ke arah Hiruka.

“Aku...ikut.” jawab Haite membuat keduanya saling melempar pandang tidak percaya. “Kabarin aja aku nanti, kalian tahu kan harus nyari aku dimana?” Haite kemudian berlalu meninggalkan kelas. Seperti hari biasanya, ia tidak pernah absen dari rumah kaca tempat mengembang biakkan segala jenis tanaman langka.

***

‘SRET, SRET.’

‘I DON’T LI........’ “Gimana aku bisa punya motto kayak ini kalo sampai sekarang aku nggak bisa lupa kejadian itu?”

Haite meletakkan penanya dan mulai menatap lampu kecil yang terletak di atas meja belajarnya. Ia mengingat kembali peristiwa yang membuatnya bingung setengah mati sampai detik ini.

“Mungkin dia mengira aku orang Jepang, makanya mengajakku ke tempat itu...tapi kenapa aku? Kenapa nggak Hiruka saja? Hiruka kan.....asalnya dari Nagoya...”

‘PLETAK!’ terdengar bunyi kerikil yang di lemparkan ke arah jendela kamar Haite. Mulanya ia mengacuhkan, namun karena bunyinya semakin berisik, Haite mencoba menegur orang yang iseng pada larut malam seperti ini.

“Siapa sih?!”

Haite melihat sekeliling dari kamarnya di lantai dua dan suasana tampak sepi, tidak ada kerikil yang terdapat di dekat jendela kamarnya, pot bunga yang ada disana pun tampak tak rusak ataupun lecet.

“Orang iseng!”

Haite menutup jendela kamar dan menarik napas panjang sebelum ia berbalik, “Padahal lagi asyik flashback tadi...”

“Lagi mikirin aku yah?”


Haite begitu terkejut ketika berbalik ia menemukan seorang gadis tengah melayang sambil tersenyum kearahnya. Tubuhnya bercahaya.

Haite berdiri mematung, ia tidak tahu harus merespon seperti apa. Dahinya berkeringat, ia tidak tahu mengapa semua hal aneh terjadi pada dirinya.

“S-ss-ssi--....siapa??!!” Haite meraih tongkat baseball dan memukul gadis itu, namun tongkat baseball itu menembus badan gadis itu.

“Kenapa kamu memukulku? Aku salah apa?”

“Kamu..ini apa?! Apakah Jun dan Hiruka sedang mengerjaiku? Aku nggak takut!”

Gadis itu kemudian menghilangkan anti gravitasinya dan ia menapak di lantai kayu tanpa alas kaki. “Aku Namiya, kamu....Tomoya kan?”

Haite terdiam dan masih tidak tahu harus merespon apa, kini gadis itu berkeliling kamar pemuda 21 tahun itu. Menyentuh semua benda yang ingin ia sentuh.

“Tadi...kenapa kamu mikirin aku sampai begitu? Aku kan jadi datang kesini...” ucap gadis itu.

“Kamu ini siapa sih?”

Gadis itu mendekati Haite dan setengah berteriak. “Aku kan tadi sudah bilang, aku Namiya! Kamu ngga tuli kan?”

Gadis itu membuat Haite kesal. Ia mengangkat tongkat baseball itu dan kembali memukul leher belakang gadis itu. ‘BUKK!’

“EH?!”

Haite melihat gadis itu terhuyung ke lantai, kemudian tergeletak pingsan.

***

Err....semoga gadis itu tidak membuat kamarku berantakan...!

“Hei Haite! Tunggu, tunggu, jangan pulang dulu!” teriak Hiruka, gadis tomboy yang penampilannya benar-benar seperti anak lelaki.

“Ada apa?”

“Ke Jepangnya batal...maaf ya! Nggak bisa...minggu depan Jun dan Wonryu harus pulang ke Busan...kamu tahu kan mereka sepupu, neneknya meninggal. Aku juga akan ikut kesana, kamu gimana?”

“Hng? Enggak ah, aku nggak kenal sama keluarga mereka. Jadi...beneran batal yah?”

“Maaf ya Haite! Mungkin lain waktu!”

*

“Kenapa kamu pulangnya lama sekali sih!? Aku kan belum makan dari kemarin!”

“Bagaimana bisa.....?! Errr~ HEI! Siapa yang menyuruhmu ke sini?! Dan bagaimana kamu tahu kampusku? Naik apa kamu ke sini?”

Gadis yang semalam pingsan mendatangi Haite ke kampus, dengan dress putihnya dan tanpa alas kaki.

“Aku dan kamu kan punya antena, jadi aku tahu dimana pun kamu berada!”

Orang ini ngomong apaan sih..malu-maluin aja...

*

Haite kembali membawa pulang gadis antah berantah itu, dan meminjamkannya sepasang sepatu.

“Jangan pernah keluar mencariku jika tidak begitu penting! Kamu kan tidak tahu aku begitu sibuk! Kamu mengganggu! Kembalilah ke tempat asalmu!” teriak Haite sambil menempelkan kertas mantra kuning ke dahi Namiya.

“Kamu tidak akan bisa mengusirku, Tomoya! Lagian, ngapain juga semalem kamu mikirin aku sampai bengong begitu?”

Haite mengingatnya lagi, iya. Semalam ia memikirkan gadis yang mendorongnya dan menangis sambil mengucapkan terima kasih 3 tahun yang lalu. “Aku tidak percaya gadis yang aku temui dulu begitu cantik dan lembut, tidak sepertimu!”

“Memangnya aku kenapa? Aku aja udah lupa sama kejadian itu, kenapa kamu masih ingat?”

Haite mendekati wajah Namiya, “Kamu ini apa? Setan ya?”

“Aku bidadari pohon sakura. Aku lihat kamu terpesona dengan bunga sakura, kamu menatapku lama sekali, jadi, aku membawamu ke duniaku, tapi ternyata kamu sudah menyadarinya kalo itu bukan duniamu, iya kan?”

Haite tersentak, ia mundur tersungkur karena Namiya mendorongnya sama seperti waktu itu. Ia masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Kapan aku kayak gitu!? Iya sih kamu mirip bidadari, tapi mungkin kamu salah orang. Aku nggak pernah melihat bunga sakura sampai kayak itu!” ucap Haite sambil melipat tangannya dan membuang pandangan keluar jendela.

“Bidadari seperti aku tidak akan mungkin salah orang. Kamu cuma malu aja kan mengakuinya kalo semalam kamu memang mikirin aku dan pengen ketemu aku lagi?” ucap Namiya sambil memandang tajam Haite.

Uh...makhluk ini......

“Sudah ah! Terserah apa katamu saja! Aku harus kembali ke rumah kaca! Jangan cari aku lagi! Aku  pulang jam 7 malam!”

Haite meninggalkan Namiya seorang diri di kamar dan ia berlari menuju rumah kaca.

***

5 jam Namiya menunggu Haite di kamar itu, namun sosok tinggi berambut coklat itu tidak muncul juga, waktu sudah menunjukkan pukul 7.49 menit.

“Tomoya kemana sih? Antenanya ga bisa nangkap sinyalnya nih...” Namiya mengangkat kelingkingnya dan berusaha menemukan posisi Haite. Namun sepertinya Haite pergi terlalu jauh dari jangkauannya.

“Ngapain sih? Aku ngga perlu di cari, aku bisa pulang sendiri.” Ucap Haite yang tiba-tiba muncul dari belakang Namiya.

“Darimana aja sih? Lama banget pulangnya! Aku laper nih! Aku mau makan!”

Haite merogoh ranselnya dan mengeluarkan sebotol soda dan juga memberikan seporsi sushi untuk Namiya. “Jangan kira aku kasian sama kamu yah! Aku juga lapar tahu!”

Namiya membuka kaleng sodanya dan mengunyah sushi yang tampak begitu lezat. “Kamu tanggung jawab dong Tomoya...” ujar Namiya dengan mulut yang penuh dengan makanan.

“Tanggung jawab??”

“Aku ga bisa pulang nih, aku mau pulang. Aku ngga suka kamarmu, gelap.”

Haite menyalakan lampu kamarnya, dengan jelas ia melihat bidadari itu makan sushi dengan lahap. “Sekarang terang kan?”

“Aku mau pulang.” Ujar Namiya.

“Ya udah bagus deh kalo kamu pengen balik pulang, aku jadi nggak kerepotan disini.” Tahu gitu kemarin aku nggak flashback ya...kalo tahu bidadarinya ternyata ngeselin begini...

Namiya terlihat terlalu fokus dengan sushi yang ia habiskan sendirian, dan Haite terlihat kebingungan dengan tingkah bidadari aneh tersebut.

“Aku nggak tahu gimana caranya pulang, mungkin dengan kamu ngingat kejadian yang waktu itu, aku bisa pulang. Coba dong Tomoya!”

“Kenapa aku harus nurutin perintahmu? Iya kalo kamu langsung ngilang pas aku mikirin hal itu, kalo kamu nggak ilang-ilang gimana?”

Namiya memandang kosong ke wajah Haite. Dia mengangguk, membenarkan perkataan Haite.

“Ya gimana, pokoknya aku mau pulang!!” teriak bising bidadari aneh itu.

“Asal kamu dari mana aja aku ngga tahu, gimana bisa mulangin kamu. Kalo kamu dateng dari ingatanku, mungkin aku harus ketiban batu dulu biar bisa amnesia, lupa sama kamu, habis itu kamu ilang deh.”

Namiya duduk di samping Haite dan memandangnya, “Iya kalo kamu amnesia, kalo kamu langsung mati gimana?”

Demi.....oh..hidup di kehidupan macam apa aku ini?!

***

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan hidup dengan seseorang bidadari yang aneh membuat hidup Haite menjadi lebih meriah. Setidaknya itu hal positif yang ia rasakan, namun tidak semulus itu. Namiya mulai di kenal oleh teman-teman Haite dan mereka menyebutnya Haite’s woman. Semua orang yang mengenal Namiya menganggap ia adalah kekasih Haite.

“Besok kita ketemu lagi ya Nami...Nami-chan~.....” teriak Hiruka yang kini lebih sering bermain ke rumah Haite karena kehadiran Namiya membuat dirinya berubah menjadi sedikit lebih feminin.

Sudah hampir 4 bulan....aku harus gimana? Aku ngga bisa gini terus dengan makhluk itu...kalau Ibu datang ke sini aku harus bilang apa?

“Tomoya!” bidadari itu menepuk pundak Haite. “Kapan nih aku bisa pulang? Bosen juga lama-lama disini...tapi temen kamu asyik semua orangnya..apalagi si Ryu! Orangnya lucu deh...”

“Kamu suka sama Wonryu yah?” tunggu dulu, pertanyaan bodoh macam apa ini?

“HEH? Kok kamu bisa narik kesimpulan begitu? Emangnya aku keliatan suka sama Ryu yah? Hm....Ryu manis juga kok kalo di liat-liat....jadi aku boleh ngga suka dia?”

Haite menyembunyikan wajahnya di balik tudung jaketnya dan berusaha memikirkan satu cara bagaimana bisa agar Namiya pergi dari kehidupannya.

“AH, AKU TAHU! Gimana kalo mulai besok tinggal dirumah Ryu aja? Jadi, aku bisa bebas! Kamu kan suka Ryu, jadi Ryu pasti ngga nolak kamu dirumahnya, iya kan?! Ideku brilian kan?”

Namiya melepaskan diri dari cengkraman Haite yang begitu keras, “Kamu mau lempar tanggung jawab ya? Bilang aja kamu ngga bisa mulangin aku....ya kan? Ngaku aja.”

Aku lupa dia bisa baca pikiran.

“Ketauan yah? Terus kamu mau sampe kapan disini? Aku bosen liat kamu setiap hari makan sushi.”

“Kalo gitu besok aku makan roti aja yah. Gimana, jadi ngga bosen lagi kan liatnya?”

Tiba-tiba ekspresi Haite terlihat begitu serius, “Aku mohon banget sama kamu, pulang deh. Aku bosen tiap hari kamu gangguin. Aku nggak merasa manggil kamu waktu itu, memangnya aku salah kalo inget dan penasaran sama kejadian yang aku alami waktu itu? Kamu aja mungkin yang sengaja dateng dan bikin rusuh disini. Kamu senang karena kamu berhasil kan? Kamu belum puas juga bikin aku pusing tiap hari? Kamu deketin semua temenku dan bikin koneksi sama mereka. Biar pas kamu ngilang, mereka semua nyalahin aku, gitu kan? Kamu benci sama aku kan? Iya kan?!!!”

“Tomoya....kenapa kamu nuduh aku kayak gitu? Kalo memang aku benci sama kamu, aku ngga akan nunjukin diri waktu itu...harus berapa kali aku bilang, kalo aku juga pengen pulang...bidadari yang lain juga pasti khawatir tentang aku...kenapa kamu ngga bisa bersikap hangat sekali saja sama aku?”

Aku...kenapa? Kenapa aku berteriak begitu keras kepada Namiya? Ada yang salah dengan diriku? Kenapa?

***

Satu bulan kembali ke kehidupan normal namun ada yang berbeda.
Hiruka merubah tampilannya. Belakangan ini dia memakai heels dan juga dress seperti Namiya, namun sayang sekali Namiya tidak bisa melihat perubahan itu.

“Aku kangen sama Nami-chan deh. Kenapa dia pulang cepat?”

“Haite, ayolah kasi nomor teleponnya Namiya ke aku...kangen deh pengen denger suara ketawanya.” Ujar Wonryu yang membuat Haite terdiam. Ia terdiam karena tidak bisa menjelaskan kepada teman-temannya siapa sebenarnya Namiya.

Kenapa sih kamu masih ninggalin sesuatu setelah  kamu pergi?

“Haite! Gimana kalo kita nyusulin Namiya ke Jepang? Dia asalnya dari sana kan? Hiruka mungkin bisa jadi tour guide kita.” Usul Jun.

“Aku setuju aja, tapi Namiya nggak pernah cerita dia dari Jepang sebelah mana...ah gimana dong...lagian kenapa Namiya pergi ga pamit yah? Padahal aku sudah janji mau ngajak dia piknik lho!” Hiruka menyampaikan kekecewaannya yang disambung dengan cerita dari yang lainnya. Hal ini membuat Haite semakin tertekan.

*

Hanya berkisar satu bulan semenjak Haite berteriak kencang kepada Namiya, keesokan harinya gadis itu benar-benar menghilang. Tanpa meninggalkan apapun, bahkan ia seperti tidak pernah hadir di rumah itu. Hanya meninggalkan begitu banyak kenangan.

Dan rutinitas Haite pun kembali seperti semula, ia menghabiskan waktu untuk skripsinya dengan meneliti sebuah tanaman di dalam rumah kaca bersama 5 orang lainnya. Namun batinnya lama kelamaan mulai terusik. Kenangan yang sudah ia lalui dengan Namiya mulai mengganggunya, semua tulisan yang ia baca terbaca seperti nama Namiya. Semua orang yang ia lihat berwujud seperti Namiya.

“Nggak...aku bisa gila kalo begini terus....”

Kepalaku seperti sedang me-rewind semua yang sudah berlalu 5 bulan yang lalu. Bahkan Namiya muncul di dalam mimpiku, setiap aku melangkah aku seperti mendengar suaranya memanggilku, ‘Tomoya...Tomoya...’ ia berteriak...

“Haite, kenapa sih...belakangan ini aku liat kamu jadi kayak orang kurang konsentrasi begitu....kamu sakit?” tanya Hiruka sambil menepuk-nepuk punggung Haite.

“Aku nggak apa-apa...kurang makan mungkin....atau kelamaan di rumah kaca bikin aku halusinasi berlebihan.”

“Halusinasi? Oh...hahaha....,” Hiruka tertawa seperti mengerti keadaan Haite, “halusinasiin Nami-chan ya?”

Haite tampak terkejut Hiruka mengatakan hal itu, “Ah ngaco deh kamu!”

“Gimana aku bisa kamu bilang ngaco, liat deh buku kamu ini. Dari minggu lalu kamu cuman nulisin nama Namiya disini. Kamu kangen kali sama Nami-chan, dia kan anaknya rame banget. Gada dia dirumah kamu kan jadinya sepi banget.”

Haite tidak merasa menuliskan nama Namiya di bukunya, namun begitu ia melihatnya, buku itu penuh dengan coretan nama NAMIYA. “Aku nggak merasa melakukan hal ini....aku pasti lagi mimpi panjang ini...Hiruka, tampar dong, tampar yang keras biar aku bangun.”

“Eh? Kamu ini,...siapa bilang kamu lagi mimpi?”

“Udah tampar aja apa susahnya sih?!”

‘PLAK!’

“ADUH HIRUKA, SAKIT TAHU!”

“Aku kan sudah bilang kamu lagi ngga mimpi! Udah deh, kamu itu cuman ngga mau jujur ama diri sendiri kalo kamu itu memang udah lama suka sama Namiya! Makanya jangan di rumah kaca melulu!” Hiruka meninggalkan Haite dengan sejuta nasehat.

Aku? Suka sama bidadari aneh itu? Ah masa iya? Aku benci banget sama Nami!......benci sih, tapi ga benci segitunya juga.....ah! Aku benci Nami! TITIK!

Haite mencoba melawan nasehat Hiruka. Ia berdiam diri meneliti tanaman sampai tengah malam di rumah kaca. Ia tidak menghiraukan suara berisik penjaga yang sedang bermain catur dengan salah satu petugas keamanan pabrik sebelah. Ia mencoba berkonsentrasi dengan penelitiannya.

“Ah bermain catur? Aku suka...tapi aku tidak bisa...Om mau ngajarin aku ngga?”

“Bisa kok, sebelumnya sudah tahu tentang benteng, raja, dan kuda belum?”

Terdengar dari luar suara orang-orang itu makin mengusik Haite yang membutuhkan waktu dan konsentrasi yang tinggi.

Orang-orang itu kenapa berisik sekali sih....main catur boleh aja tapi ngga berisik juga!

Haite menuju keluar untuk menegurnya, namun ia terkejut setengah mati. Halusinasi itu muncul lagi.

“Oh hai Tomoya!” sapa Namiya sambil melambaikan tangan dan tersenyum sumringah.

“Halusinasi lagi!” ucap Haite kepada dirinya sendiri kemudian masuk ke dalam rumah kaca tanpa menutup pintunya lagi.

“Ah, anak itu kenapa?” tanya salah satu petugas keamanan yang terheran-heran dengan sikap mahasiswa tingkat akhir itu.

“Hahaha...mungkin dia lagi stress aja Om. Kan mau skripsi. Aku susulin dulu ya Om, temen aku tuh butuh ditenangin dulu!” Namiya dengan santainya menuju ke arah Haite yang sibuk membasuh wajahnya dengan air dingin.

“Pasti mimpi...mimpi...mimpi....bangun..bangun...bangun!!!” ucapnya sambil membenturkan kepalanya ke dinding.

“Tomoya...ngapain sih? Kamu nggak akan mati kalo nggak keras jedukin kepalanya ke tembok!”

“Ini mimpi...mimpi...bangun Haite...bangun....bangun Haite...”

Keadaan menjadi hening seketika. Haite masih menundukkan kepalanya, ia memandang ujung sepatunya.

....dia pergi ya?

Perlahan Haite memberanikan mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Ia tidak melihat sosok gadis berambut panjang itu lagi, dia fikir dia sudah terbangun dari mimpinya.

“Namiya?” panggilnya dan kemudian menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. Bodoh, kenapa aku sebut namanya? Padahal aku udah bersusah payah ngusir dia!

“Kamu ngapain sih kayak anak kecil aja...udah malem nih, mendingan pulang trus makan....” namun Namiya masih disana dan tidak menghilang seperti harapan Haite.

“Ngapain kamu dateng lagi? Aku kan udah seneng kamu ngilang!”

Namiya tersenyum, “Masa? Kamu seneng gitu aku kemarin ini ngilang?”

“Iyalah! Suka banget, aku kan jadi bebas! Ngga ada yang ngikutin ke mana-mana. Temen aku juga jadi bisa maen bareng aku lagi.”

Aku tahu kok, aku lagi bohong.

Namiya menatap Haite, “Kalo gitu, aku boleh kan yah sama Ryu aja? Kayaknya dia bisa bikin aku tiap hari ketawa....nggak kayak kamu tiap hari marah-marah nggak jelas....”

“Ya udah sana cari Wonryu aja...lagian apa hubungannya sama aku...mau kamu suka sama siapapun bukan urusanku!”

Jangan...jangan lakukan itu.

“Kamu serius Tomoya? Aku boleh menyatakan perasaanku ke Ryu?”

Haite merasa tercekik, ia tidak bisa mengatakan hal omong kosong lebih banyak lagi. Ia merasa ingin membiarkan semuanya, namun ia ingin segera menarik Namiya menuju kerumahnya.

“Tomoya, kok diem sih? Jawab aku dong, aku boleh kan bilang suka ke Ryu? Kalo emang gitu, kamu bisa telfon Ryu untukku kan?”

Haite tampak berdiri mematung disana. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana ekspresinya saat ini. Mungkin ia benar-benar tampak bodoh di hadapan Namiya.

Haite meraih ponsel di sakunya dan menatap layar. Ia perlahan mencari kontak Ryu dan mendialnya. Namiya begitu saja merebut ponsel itu dan mulai berbicara dengan Ryu diseberang sana.

“Ryu! Ryu ini aku, Nami-chan!!! Oh apa kabar aku kangen sama cerita-cerita lucu kamu! Lagi apa kok jam segini belum tidur? Ah apa? Aku? Oh aku kemarin mendadak ada urusan jadi tidak sempat pamit, begini Ryu...aku meminjam ponsel Tomoya...hmm aku hanya ingin bilang kalo aku.....”

Haite merebut ponsel itu dan mencabut baterainya kemudian menarik Namiya berlari menuju rumahnya. Namiya begitu terkejut dan tidak menyangka Haite akan melakukan hal itu padanya.

“Kamu ini kenapa sih? Aku kan belum selesai ngomong sama Ryu! Ngga sopan kamu...”

Haite mendorong Namiya merapat ke dinding, “Apa maksudmu bilang terima kasih waktu itu? Jelaskan...”

“Hng? Waktu itu? Kenapa tiba-tiba kamu jadi penasaran? Kan kamu bilang kamu mau amnesia aja daripada aku ikutin terus-menerus?”

“Kenapa waktu itu kamu menarikku ke duniamu? Kenapa kamu memilihku, kenapa kamu tidak memilih Hiruka atau yang lainnya?”

“Hei Tomoya, kamu ini kenapa sih? Kalo kamu emang penasaran kenapa kamu pengen banget aku ngilang? Ujung-ujungnya kamu nyariin aku lagi kan, demi rasa penasaranmu itu!”

“Jawab saja.....”

Haite memandang Namiya dalam dan serius, Namiya merasa terintimidasi. “Kalo aku ngga mau jawab kamu mau apa? Ah tahu begini aku tadi nggak usah dateng lagi yah! Aku nyesel kamu nggak berubah juga, masih sama aja galaknya!”

‘GREB.’

Jangan pergi.

“Lepasin deh, aku mau kerumah Ryu aja! Benar apa yang kamu bilang, aku salah pilih orang..seharusnya waktu itu aku pilih Ryu aja!”

“Kenapa kamu milih aku?” Haite menanyakan hal itu berulang kali sambil memeluk Namiya dari belakang.

“Soalnya kamu mandangin aku begitu dalam pada saat itu. Jadi aku milih kamu, aku kan sudah bilang di awal pertemuan kita! Aku tidak punya alasan lain lagi Tomoya! Dan aku ngga ngerti kenapa kamu pengen banget aku pergi dari sini. Pas aku udah pergi, kenapa kamu nyariin aku lagi sih!? Bikin repot aja tahu ga sih kamu itu!”

Aku tidak tahu kenapa aku senyum sekarang. Aku Cuma ngerasain perasaan senang yang meluap-luap ...

“Kalo gitu aku minta maaf ya...Namiya.”

Namiya tampak tenang dan tidak memberontak lagi, “Dan alasanku bilang terima kasih waktu itu.....karena aku tahu kamu bakal minta maaf sama aku...bidadari nggak pernah salah, Tomoya.”

Aku lega...

Haite memeluk Namiya lebih erat lagi, ia mendapat respon dengan tangan Namiya yang menyentuh tangannya.

“....dan alasanku nangis waktu itu, karena aku tahu kamu ngga akan bisa bener-bener ngusir aku dari hidup kamu..”

“Makasi Namiya....”

Aku nggak tahu selama ini jika kehilangan seseorang itu begitu berat...aku nggak akan melepaskan Namiya untuk yang kedua kalinya.

“...dan alasanku mendorong kamu waktu itu, supaya kamu bisa ketemu aku lagi. Kalo aku nggak ngelakuin itu, temen kamu bakal sedih kehilangan kamu.”

“Terima kasih Namiya, aku ngerti sekarang kenapa kamu ngelakuin ini semua buat aku....jangan pergi lagi....aku butuh kamu di hidupku.”

*

Menurutku, Namiya itu...bidadari kehidupan.



TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar