Rumah itu kosong terbengkalai. Halaman depannya penuh dengan daun-daun kering yang berserakan, menimbulkan kesan yang angker. Bangunan itu bergaya rumah eropa jaman dulu. Pemilik sebelumnya sudah tewas dalam peperangan, dan dikabarkan anak gadisnya hilang begitu saja tak pernah terlihat lagi disana. Padahal anak gadisnya tidak ikut dalam penghijrahan saat itu. Dan beberapa orang di sekitar daerah itu sering mendengar jeritan suara anak perempuan. Kencang sekali, sampai terdengar dari luar areal rumah kosong itu.
Ada 5 patung malaikat di paling depan rumah itu, seolah mereka adalah pelindung suci tempat itu. Tapi jika anak gadis itu sekarang masih hidup, pastilah cantik sekali. Bagaimana tidak, tahun ini anak gadis itu memasuki usia 14 tahun. Logikanya, tidak akan ada manusia yang bias tinggal di dalam rumah itu seorang diri. Tanpa minum apa lagi makan. Disana benar-benar tidak ada kehidupan.
“Lemparkan saja ke sana! Besok kita ambil lagi!” bisik seorang anak perempuan yang sedang bermain dengan kelompoknya.
Louise, anak seorang pejabat ternama di daerah itu mencoba mengunjungi rumah angker itu bersama teman-teman sepermainannya. Dan Sprita, teman perempuannya menantang Louise bermain dirumah angker itu.
“Jika koin ini hilang, ayahku bisa marah!”
“Tidak akan hilang! Rumor gadis itu hanya isu belaka! Lagian tidak mungkin ada manusia hidup di dalam rumah yang seperti itu!” Sprita terus memanas-manasi Louise yang polos itu.
“Tidak ah! Kalian semua pasti mengerjai aku! Iya kan?! Ngaku saja!”
“Tidak, percayalah pada kami. Mana mungkin kami mengerjai anak sepertimu!?” Sprita jelas-jelas berkilah.
“Ah! Pokoknya aku tidak mau melakukan apa yang kalian suruh!”
Karena yang lainnya merasa kesal, direbutlah koin emas itu. Dilemparkannya melambung tinggi kemudian mendarat di teras depan rumah angker itu. Yang lainnya juga tidak akan menyangka jika lemparan itu terlalu jauh dari ancang-ancang.
“Nah! Begitu!”
“Aku kan tidak setuju dengan permainan kalian! Sprita!”
“Ayo kawan, kita pulang!” dengan sombongnya Sprita dan 2 temannya meninggalkan Louise sendirian di sana.
Bagaimana jika ayah menanyakan koin itu malam ini? Bisa mati ditembak ayah aku! Itu koin peninggalan ibu…
Hari beranjak gelap, dan Louise dalam perjalanan pulang. Otaknya bisa saja tidak lagi keriting, karena dia belum menemukan alasan yang tepat mengenai koin emas itu. Untung saja malam ini sang ayah sedang bertugas, karena sebentar lagi mereka akan melakukan perang kembali. Louise menyingkir dari semua itu dan menunggu fajar kembali menyapa. Karena dia harus kembali ke tempat yang sebenarnya tidak ingin dia kunjungi itu, jika bukan tantangan dari Sprita.
****
Pagi-pagi benar sebelum ayahnya bangun dari dunia mimpi, Louise sudah berada di depan rumah seram itu. Ia pandangi kelima malaikat itu, terlihat ramah…mungkin hanya masuk ke teras tidak akan jadi masalah..pikirnya. Louise cukup bernyali, dengan langkah ringannya dia berjalan santai menuju teras rumah itu. Debunya sudah setebal kulit badak, mungkin berlipat lipat dari kulit badak. Bahkan itu sudah tidak tampak seperti lantai yang mewah karena benalu dan bangkai burung berserakan dimana-mana. Koin emas adalah salah satu benda yang paling menyala diantara semuanya.
“Ah! Untung saja koinnya masih ada!” Louise meraihnya dan tiba-tiba koin itu bergeser. Louise merasa tidak percaya, “ini pasti halusinasi belaka!” Kemudian Louise kembali meraih koin kesayangannya itu. Ajaib! Koin itu bergeser lagi! Merasa aneh, Louise mengucek kedua matanya. Tidak mungkin, apa ini perbuatan hantu? Dengan menyingkirkan rasa takutnya, Louise besikeras untuk mendapatkan koin itu kembali. Koin it uterus bergeser ketika ingin diraih, sampai akhirnya koin itu letih untuk bergeser dan Louise mendapatkannya. “Dapat!!” seruannya keras sekali sampai membuat burung-burung yang bertengger disana melarikan diri.
Suasana berubah sejenak, mencekam padahal ini masih pagi sekitar pukul 9. Koin emas itu mengkilat diterpa sinar matahari. Menyilaukan mata. Sekelebat Louise melihat seseorang bersembunyi dibalik dinding rumah bagian samping. Sebenarnya Louise hendak pulang kerumah, agar ayahnya tidak khawatir padanya. Tapi ini masa puber, jadi rasa penasaran dan ingin tahu mendorongnya untuk masuk lebih dalam ke bagian rumah itu. Astaga…ternyata ini rumah yang sangat bagus! Interornya sangat mewah, jika saja mereka tahu…
Sratt! Ada yang lewat di belakang Louise. Bulu kuduk mengembang, Louise menggosok leher belakangnya. Mencoba untuk tidak ketakutan, karena baginya tidak ada hantu yang muncul pada pagi hari. Ada sesuatu yang menarik perhatian Louise. Sebuah lukisan nan besar terpajang di ruangan seluas itu. Samar-samar itu adalah lukisan akbar satu keluarga. Walaupun berdebu, tapi samar-samar bisa terlihat 1 orang pria yang tampan beserta 1 orang wanita cantik tampil dengan seorang anak laki-laki yang terlihat balita dan seorang bayi perempuan yang memiliki mata hijau yang indah, berdecak kagum siapapun yang melihatnya. Pasti bayi ini yang dibicarakan semua orang..jika dia masih hidup pasti cantik..aku mau dengannya. Siapa yang menolak bayi perempuan secantik ini?
Ada langkah kaki di belakang Louise. Nampaknya diseret, dan terdengar sangat rapuh. Louise seperti dirantai, badannya tidak bisa bergerak. Kaku! Tapi bola matanya berputar-putar, melirik dengan lincahnya ke kanan dan ke kiri. Bibirnya bergetar, bisa tebak Louise pasti ingin berteriak ‘tolong’.
“Kamu siapa?” Tanya langkah itu. Ternyata setelah didengar baik-baik itu suara seorang perempuan.
Louise ingin menjawab, tapi rupanya gugup dan koin miliknya jatuh dari genggaman tangannya.
Koin itu diraih oleh jemari yang putih pucat. Jelas tangan perempuan itu.
“Koin milikmu bagus, aku juga punya yang seperti ini.” Ucapnya sambil meletakkan koin emas itu ke dalam saku baju Louise.
“Ka…kak…ka..kamuu…ha.hhha…hann..tt..uuu????” dengan sangat gugup, Louise berhasil mengeluarkan suaranya dan menggerakkannya bibirnya yang sudah pucat pasi itu.
“Bukan. Namaku Anne. Aku bayi yang ada di lukisan itu. Tenang saja aku masih hidup dengan sehat dirumah ini.”
Mendengar hal itu lutut Louise mulai lemas dan dia jatuh berlutut di depan lukisan itu. Tapi Louise masih takut untuk menoleh ke belakang, melihat rupa dari gadis bermata hijau itu. Dan disanalah Louise pingsan lemas.
Dengan susah payah Anne membawa anak laki-laki tampan itu ke sofa panjang yang berdebu tebal. Cukup lama Louise pingsan, sampai matahari tengah condong ke barat.
“Kamu mau minum?” tawar Anne.
Louise loncat dari sofa panjang itu, masih shock dengan kejadian beberapa jam lalu. Tapi kini dia benar-benar menatap mata hijau itu, asli. Indahnya tak lekang oleh waktu, tapi…lihatlah untuk seorang anak perempuan yang sebaya denganku dia terlalu kerempeng!
“Mau?” tawar Anne sekali lagi.
Louise meraih gelas using dengan air yang jernih itu. Dan hal itu membuatnya memutar otak, “Air bersih? Kamu dapat dari mana?”
“Hm? Aku punya sumur, kamu mau lihat?” dengan mata yang berbinar-binar Anne langsung menarik Louise menelusuri rumah seram itu.
Sprita dan kedua temannya berusaha membantu keluarga Louise mencari teman mereka. Sprita tidak pernah mengatakan jika Louise pergi ke rumah angker milik keluarga Lortuire. Dan Louise menghilang seiring berjalannya waktu. Tidak ada yang berani membuka tentang koin emas yang dilemparkan ke teras rumah angker itu.
****
Perang berlangsung, diseluruh sudut kota ini menjadi sarang peluru berbagai kaliber. Darah segar mengucur di setiap jengkal lahan pertanian milik warga. Baju-baju besi kokoh itu tak luput dari ganasnya peluru-peluru. Tapi ada satu tempat yang damai di salah satu sudut kota itu. Ya, rumah angker nan seram itu.
“Aku rindu rumahku, aku janji pasti aku akan kembali untukmu, Anne.”
Louise. Iya anak laki-laki itu kini sudah dewasa. Semua orang menyangka jika Louise sudah meninggal gara-gara diculik atau dimakan binatang buas. Rumor mengenai hantu Louise pun gencar pada waktu itu, dan tidak seorang pun Sprita sekalipun kembali ke rumah seram itu.
Kini Louise, merasa rindu pada ayahnya dan tentunya dunianya. Dia memutuskan untuk singgah sejenak pada dunia luar untuk hanya sekedar melihat kehidupan yang seharusnya dijalaninya. Dengan tubuh yang gagah dan wajah yang semakin tampan, Louise berlari dengan senyum penuh harap menuju rumahnya. Langkahnya terhenti, tenggorokannya terasa meradang. Rumahnya tak ubahnya seperti rumah Anne, suram dan gelap. Bahkan lebih mengerikan saat Louise berusaha masuk ke dalamnya. Semuanya, semua orang yang dia kenal dahulu tewas mengenaskan bersimbah darah. Bahkan salah satu bagian tubuh mereka ada yang hilang, sudah tidak lengkap! Louise kemudian menyadari salah satu dari mereka adalah Sprita, teman sepermainannya yang suka mengerjainya.
“Sprita!!” Louise mengguncang tubuhnya dengan hebat.
Terbelalak Sprita yang terkejut melihat Louise, karena anak laki-laki itu menghilang sudah lama dan kini kembali lagi, disaat yang seperti ini pula.
“Bertahanlah! Aku akan menolongmu! Kamu masih bisa bertahan kan?”
Sprita hanya mengerjapkan matanya sebagai jawaban ‘iya’. Peluru menembus bahu kirinya dan lukanya harus segera dibalut kain agar darahnya tidak terus mengalir. Di keadaan panik seperti itu Louise harus segera cepat mencari kain. Setelah ia dapatkan, ia langsung membalut bahu yang bolong itu dan membawa Sprita menuju rumah Anne. Awalnya Sprita tidak mau sama sekali masuk ke dalam rumah berhantu itu, tapi karena fisiknya tidak bisa banyak bergerak, akhirnya Sprita menuruti kaki Louise saja.
Mata hijau itu memandang Sprita dengan lembut, tangannya basah, sepertinya sedang membasuh luka yang menganga itu. Kesadaran Sprita belum 100 persen pulih, tapi dia dapat mencium aroma wangi itu. Benar-benar harum, lebih harum dari pada parfum yang dipakai ibunya. Seseorang lagi sedang berbicara dengan si mata hijau itu, Ah! Pasti itu suara Louise…apa mungkin aku sedang berada di surga?
“Bagaimana keadaannya?”
“Tidak terlalu buruk, untung peluru tidak sampai mengenai jantungnya. Apakah perang terjadi lagi diluar sana?”
Siapa perempuan bermata hijau ini? Matanya, indah sekali…sudah lama aku tidak melihat warna hijau yang seperti itu….
“Iya. Dan aku belum menemukan dimana ayahku berada. Rumahku bahkan lebih seram dari pada disini. Sungguh mengenaskan, bercak berwarna merah dimana-mana. Bahkan aku tidak bisa mengenali semua yang tewas disana, beruntunglah Sprita..aku masih sempat menyelamatkannya.”
Anne beranjak mendekati Louise yang rupanya mulai berlinang itu. Memeluknya, mungkin adalah perbuatan menenangkan yang paling mujarab disaat seperti ini. Louise bertekad akan mencari mayat ayahnya jika memang ayahnya sudah gugur dalam medan pertempuran.
“Aku harus kembali ke sana!”
“Jangan!” Anne mencegah Louise, karena dia tidak ingin kehilangan orang-orang yang sudah di sayanginya sekali lagi. Cukup semua anggota keluarganya dihabisi dalam perang sebelumnya, jangan yang ini lagi.
“Tapi aku harus Anne!”
“Aku tidak mengijinkanmu Louise. Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sayangi, cukup mereka saja. Bukan kamu atau kamu belum puas melihat aku tersiksa selama bertahun-tahun kemarin?”
Louise pun sebenarnya tidak ingin meninggalkan gadis bermata hijau ini. Hatinya terjebak disini, dirumah besar ini, dengan si gadis bermata hijau ini.
Beberapa hari berlalu, sekitar 10 hari Sprita sudah bisa membantu Anne di rumah ini. Terkadang Sprita merasa ngeri karena rumah mendengar cerita-cerita seram tentang rumah ini, tapi sekarang Sprita tahu semuanya, tidak ada hantu dan tidak ada cerita seram dirumah seindah ini. Bahkan Anne terlihat amat senang mendapatkan teman perempuan seumuran. Sprita pun merasa lega karena lukanya berangsur-angsur pulih. Tapi mereka belum tahu, keadaan diluar sana bagaimana. Maka ketika Louise merasa keadaan sudah terkendali dan mulai ada tanda-tanda kehidupan yang baru, dia memutuskan untuk keluar rumah. Meskipun Anne melarangnya, tapi Louise tidak menggubrisnya.
Rumahnya sudah rata dengan tanah, mayat-mayat yang beberapa hari lalu bergelimpangan sudah tidak ada. Bersih tanpa sisa. Sudah Nampak masyarakat baru yang menempati wilayah ini. Orang tua sampai anak kecil sudah mulai menempati rumah-rumah yang masih layak huni. Mereka tidak saling kenal, tidak ada tegur sapa, tidak ada sapaan senyum yang menghiasi rona wajah mereka. Sampai anak kecil menghampiri Louise dengan raut wajah yang sangat sedih, menangis.
“Kakak…carikan orang tuaku…” rengek anak perempuan yang umurnya sekitar 6 tahun itu.
Louise bingung, harus membantu gadis cilik ini atau tidak. Karena dia sendiri mencari jasad ayahnya yang entah sudah dibakar massa, dimutilasi, atau di kuburkan missal bersama mayat-mayat yang lainnya.
“Baiklah, ayo kita cari sama-sama?” Louise menggandeng anak kecil itu, menelusuri jalan yang masih bau anyir, amis. Aroma darah masih tercium kuat disana dan sisa-sia amunisi dan pecahan senjata masih berserakan. Menimbang jika anak kecil yang melihat ini bisa terganggu psikis nya, maka Louise menggendongnya. Mata mereka menelusup sampai celah terkecil, tapi sudah tidak ada mayat yang tergeletak begitu saja. Sampai akhirnya Louise bertanya pada salah seorang yang sedang mengumpulkan amunisi yang terbuang percuma.
“Semua mayat yang ada disini, kemana?”
Pak Tua itu menggeleng lunglai, seperti orang yang tersihir.
“Kakak…dimana orang tuaku?”
Louise bingung, sementara itu pasti Sprita dan Anne menunggunya cemas di rumah.
“Namamu siapa adik kecil?”
“Ayah…” anak kecil itu malah memanggil ayahnya dan tangisannya semakin keras.
Aduh, bagaimana ini?
Louise mencari sesuatu untuk menenangkan anak kecil ini. Matanya terus mencari ke bawah, berharap menemukan sesuatu yang apik, yang bisa membuat anak ini berhenti menangis. Ada! Dalam hati Louise berteriak senang karena melihat benda yang mungkin bisa menghentikan tangis anak ini.
“Bagaimana jika benda ini? Bisa membuatmu berhenti sedih?”
Takjub, anak perempuan itu berhenti menangis karena benda yang di pakaikan di kepalanya. Setengah lingkaran dan berwarna merah.
“Kamu mau tinggal bersamaku? Kakak tidak tinggal sendirian..”
Dia mengangguk, sudah tenang.
“Tapi, sebelumnya nama kamu siapa gadis cilik?”
“Meidia. Ayo Kak, aku ngantuk pulang..”
Louise sudah putus asa, tidak bisa menemukan jasad ayahnya dan akhirnya kembali ke rumah dengan membawa anak kecil. Sprita sempat memberitahu Louise jika semua orang telah mengira dirinya tewas 4 tahun yang lalu dan mulai melupakan Louise. Ayahnya sempat depresi 3 hari karena bocah kesayangan dan satu-satunya menghilang tanpa jejak. Louise yang mendengar cerita ini tidak menyangka jika ayahnya masih peduli dengannnya dan bertolak belakang dengan apa yang ada di dalam benaknya selama ini.
“Lalu, apa ayahku ikut tewas dalam perang itu?”
“Aku melihatnya melarikan diri ketika semua pasukannya berdiri dibaris depan. Aku tidak tahu dia lari kemana. Mungkin saja saat ini dia hidup disuatu tempat yang aman. Apa yang ada di luar sana setelah perang usai?”
Louise memelankan sedikit suaranya, karena Anne dan Meidia sedang tertidur, seperti ibu dan anak. “Tidak ada mayat sama sekali, banyak orang asing. Aku tidak kenal mereka. Mungkin pengungsi dari luar yang sama seperti kita, akibat perang mereka melarikan diri ke tempat yang lebih aman.”
“Kamu sempat bertanya pada mereka, Louise?”
“Iya. Tapi ekpresi mereka seperti tersihir..menggeleng seperti itulah. Aku tidak bisa menggambarkannya. Mengerikan, seperti kota mati. Bahkan rumahku sudah rata dengan tanah. Kemudian, Meidia menghampiri aku. Minta tolong padaku untuk mencarikan kedua orang tuanya. Apakah kamu kenal dengan anak itu?”
Sprita menolehnya sebentar sambil meperhatikan wajah imutnya yang sedang tidur. “Sepertinya anak pasangan dari petani yang tinggal di ujung desa. Masih ingat? Yang suaminya terlahir cacat?”
“Oh, aku ingat. Bagaimana kamu tahu?”
“Wajahnya mirip dengan ibunya yang cantik.”
“Kasihan benar, anak sekecil ini hidup di jaman perang seperti ini.”
“Aku punya usul, mengapa tidak kamu angkat saja dia sebagai adikmu? Rupanya mereka cocok?”
“Siapa? Anne dengan Meidia?”
“Iya, siapa lagi? Hubunganmu dengan Meidia juga sudah serius kan? Dan bagaimana perasaanmu ketika bertemu dengannya 4 tahun silam?”
Louise memutar kenangannya ke 4 tahun yang lalu.
****
“Tunggu! Kamu kuat sekali sih menarik aku yang lebih gemuk darimu?”
“Kenapa? Kamu tidak suka?”
“Kamu mau ajak aku kemana? Aku harus segera pulang, sebentar lagi sore tiba.”
“Jangan pulang, temani aku disini.”
Spllatt! Louise menarik kasar tangannya dari genggaman Anne.
“Tidak! Ayahku pasti khawatir jika aku tidak pulang. Lagian kenapa kamu kuat hidup bertahun-tahun ditempat seperti ini?”
“Karena ini rumahku!!” Anne membentak keras Louise.
Kemudian Louise mengurungkan niatnya untuk pulang, dia rela pulang agak malam demi menyenangkan gadis bermata hijau ini.
Ada yang tidak bisa aku tolak darinya…bando berpita yang ia kenakan. Aku teringat ibu yang sangat suka memakai benda itu di kepalanya. Andai saja ibu masih ada, pasti aku di ijinkan membawa gadis ini pulang ke rumah…
“Baiklah Anne, tapi jangan mengajakku ke tempat yang seram ya! Aku paling tidak suka dengan hantu dan semacamnya!”
“Disini tidak ada hantu, hanya ada aku, Anne si gadis bando berpita.” Tegasnya sambil melempar senyum indah. Entah berapa lama Anne tidak tersenyum seperti itu kepada orang.
Satu per satu ruangan mereka jelajahi, Anne sudah seperti pemandu wisata rumah hantu saja. Dengan gaun lusuhnya yang berwarna putih dan bando berpita merah yang melingkar di kepalanya dia menjelaskan dengan detail mengapa rumah ini kosong dan juga menjelaskan apa-apa saja yang tidak dimengerti oleh Louise. Sebenarnya Anne perempuan yang pintar, mungkin karena saking banyaknya buku yang ada di ruang perpustakaan. Anne mengaku selama ini dia hamper selesai membaca semua buku-buku itu. Dalam kesendirian dan kesunyiannya, Anne bisa bertahan karena ada ruang rahasia dan taman di ujung belakang rumah raksasa ini. Sayangnya, Anne mengakui jika tidak seorang pun akan mau masuk ke dalam rumahnya yang seram dan terkesan angker ini. Padahal selama ini Anne sering berteriak agar ada orang yang melihatnya, tetapi hal itu malah membuat orang semakin enggan untuk hanya sekedar melongok saja ke rumahnya. Sampai akhirnya Louise datang dengan tujuan mengambil koin emasnya. Anne sebenarnya tahu jika teman Sprita melemparkan koin itu ke teras rumahnya dan Anne memasang tali ke koin itu. Memang sebenarnya agak licik, tapi jika tidak seperti ini Anne tidak akan pernah mendapat teman.
“Aku haus lagi.” Keluh Louise.
“Kamu merepotkan..tunggu disini akan aku ambilkan.”
“Tidak! Aku ikut!”
“Buat apa? Nanti persediaan makananku bisa habis...”
“Janji deh aku engga makan punyamu.” Louise mengajukan jari kelingkingnya.
“Ah! Aku tidak percaya dengan janji kelingking!”
“Ya sudah, pokoknya aku tidak akan makan punyamu!”
Mereka beranjak dari ruangan kaca ke halaman belakang, tempat dimana ada banyak makanan dan air. Wah, ternyata tempat ini persembunyian yang menakjubkan! Bisa tidak aku tinggal disini saja semalam ini saja? Sudah ku putuskan, aku akan pulang besok saja!
“Ini! Habiskan!”
Louise menghabiskan satu gelas bir air jernih itu. Rasanya benar-benar segar, seperti mengambil dari mata air. Seperti tersihir, Louise pun mengutarakan jika ia ingin tetap disini sampai esok hari. Namun rupanya kecantikan Anne menyihir Louise juga. Dia menunda untuk pulang kerumah, dan berencana akan pulang pada keesokan harinya. Dan kejadian ini berulang terus, dari hari ke hari sampai akhirnya 4 tahun sudah Louise meninggalkan keluarganya dan dunianya.
Kenapa? Apakah benar gadis bando berpita ini menyihirku dengan kecantikannya? Atau memang aku yang jatuh cinta dengannya semenjak pertama kali bertemu? Mata hijaunya, menyimpan segala pesakitan dan kemurungan dalam dirinya. Ingin aku membawanya melihat dunia yang indah, apalagi memperkenalkannya pada ayah…ah! Ayah! Sudah berapa lama aku disini bersama Anne? Sampai bisa aku melupakan Ayah! Oh aku harus pulang! Akan ku kenalkan Anne pada Ayah!
****
“Itulah yang aku rasakan. Dan aku senang bisa menjaganya. Dan aku berpikir, untuk menghidupkan rumah ini lagi.”
“Aku juga berpikiran sama denganmu Louise. Tapi, aku masih sangsi…apakah aka nada perang lagi setelah ini? Kita semua adalah korban perang, kita semua mungkin sekarang sudah menjadi anak yatim piatu dan kita sudah dewasa sebelum waktunya.”
“Jujur aku bingung, Sprita. Aku sangat senang karena bisa menolongmu, ada hal yang tidak rela jika aku harus kehilangan teman kecilku. Yah walaupun kamu sering mempermainkan aku. Tapi gara-gara kamu, aku bisa bertemu dengan si gadis bando berpita, Anne.”
“Dan, Meidia? Bagaimana? Dia masih membutuhkan perhatian orang tua.”
“Kita bertiga akan menjadi kakak dan orang tuanya juga. Aku yakin, kita pasti bisa.”
Selang beberapa bulan, Meidia bisa menerima jika dia kini memiliki keluarga baru. Ada Louise, Anne, dan juga Sprita. Mereka adalah keluarga kecil yang bahagia. Anak-anak umur 18 tahun itu belajar menjadi seseorang yang dewasa, menjadi sosok panutan bagi Meidia atau yang sekarang lebih akrab di panggil Mei. Mei senang bisa memanggil Ibu dan Ayah lagi, dan kini di tambah dengan Bibi. Ya, Bibi Sprita atau Bibi Ita. Lidah anak kecil masih agak sulit untuk mengucapkan s-pr-i. Setiap hari bersenang-senang, bermain, dan belajar hal besar lainnya. Meidia, tumbuh sebagai gadis yang pandai seperti ibunya, Anne. Semua orang suka pada Mei, dan kini usianya sudah beranjak 13 tahun. Dia tumbuh cantik, baik dan rendah hati, lugu. Dan Mei adalah si gadis bando berpita, mirip sekali dengan ibunya. Siapa yang tidak jatuh cinta melihat Mei, sangat menawan hati. Perang telah usai, mereka hidup dalam dunia yang tenang. Rumah besar nan angker itu pun mulai menunjukkan wajahnya yang indah. Pelan-pelan semenjak Mei tinggal disana rumah itu pun muda kembali. Tidak lupa Anne mencari seorang pelukis untuk melukis kebahagiaan mereka berlima ketika Mei berusia 10 tahun. Louise dan anne tidak lupa menikah secara resmi pada usia 20 tahun dan mereka dikaruniai 1 putra yang kini berusia 5 tahun. Senyum itu tak cuma jadi sebuah senyuman biasa, tapi itu adalah senyuman untuk kedamaian dunia kala perang telah musnah.
“Ibu, bolehkan aku meminta bando milikmu?”
“Tentu saja Mei, kapan Ibu melarangmu menggunakan bando-bando itu?”
Kehidupan sudah kembali normal semenjak 5 tahun yang lalu.
“Bibi Ita? Jangan gelung rambutmu seperti itu! Bibi terlihat 5 tahun lebih tua lho!” goda Mei kepada Sprita.
Buru-buru ia menggerai rambutnya.
Hmm….Ayah dimana? Dalam hatinya, Mei paling sayang dengan Louise. Tapi Mei selalu mengerti pekerjaan ayahnya yang hanya sebagai penulis untuk harian kota. Gajinya memang besar, tapi Mei berusaha hidup sederhana di dalam kecukupan mereka. Anne, selalu mengajari anak perempuannya hal-hal semacam itu, agar tidak salah jika sudah bergaul nanti.
Sementara itu, adik laki-laki Mei, Vanbeth yang masih balita itu terus berkembang secara pesat. Tidak jarang Mei sering menggendong adiknya yang sudah mulai berat itu hanya untuk sekedar berkeliling rumah. Rumah itu kini ramai, dengan tangis Vanbeth ketika belajar berjalan kemudian tersungkur karena kakinya belum kuat untuk menopang tubuhnya. Terkadang Bibi Ita yang menyanyi gembira saat membersihkan rumah dan perabotan. Dan di tambah dengan dua tenaga kerja yang membantu Anne dan Louise dirumah itu. Rumah itu hidup kembali setelah sempat tidur selama beberapa tahun. Anne senang sekali dia kini mendapatkan teman yang banyak dan kehidupan yang damai. Andai saja Ayah, Ibu, dan Kak Vanbeth ada bersamaku sekarang…
Ternyata nama anak laki-lakinya di ambil dari nama kakak kandungnya yang tewas di medan pertempuran dahulu, Vanbeth. Inilah hidup, ada yang pergi dan ada yang datang. Yang pergi telah memberikan kenangan indah, dan yang datang akan membuat kenangan yang lebih indah.
“Ah, Ayah rupanya sedang santai disini…”
“Mei? Adikmu mana?”
“Baru saja aku menidurkannya, Yah. Ayah sendiri, sedang apa disini?”
“Hanya menikmati harumnya udara.”
“Harum?” Mei mengenduskan hidungnya, tapi yang tercium hanya aroma kopi panas milik Ayahnya yang tampan itu.
“Hahaha! Sini, kamu belum waktunya untuk mengerti hal ini!” Louise merangkul anak gadisnya yang cantiknya tidak kalah dengan sang istri, Anne.
“Aku cantik kan, Ayah?”
“Cantik sekali, kamu memang si gadis bando berpita milik Ayah!”
“Hahaha..!” mereka tertawa bersama, bahagia.
****
Aku, berdiri menatap keluar jendela. Sunyi, pagi yang indah...aku hanya ingin mengatakan..aku ingin mempunyai teman. Akan ku pikat semua temanku dengan mata indah milikku, karena hanya aku yang bisa dan mampu…muak aku dengan semua pesakitan ini! Seseorang harus menemani aku dirumah ini…
Gadis itu berdiri di dekat jendela kaca yang besar, sambil mendekap boneka beruang di dadanya, ia melihat segerombolan anak diluar yang sedang berdiri di depan rumahnya, mengobrol.
Pletikk! Koin emas itu terjatuh di teras rumahnya dan si gadis bando berpita itu menyunggingkan bibirnya sambil melihat seorang anak laki-laki yang ditinggal pergi oleh ketiga temannya.
****
T A M A T