Minggu, 11 September 2011

cover lagu 2ne1 - it hurts


Yang Terakhir

Jantungnya tak lagi berdetak, ia tewas 3 jam yang lalu dan kini mayatnya dibiarkan berada di kamar mayat rumah sakit kota. Penjaga menunggu menggiring orang untuk menemuinya, mungkin saja teman atau sanak saudara. Ia ditemukan oleh seorang supir taksi duduk tenang di halte sambil mendengarkan lagu lewat iPod pink itu. Jenis kelaminnya laki-laki, mungkin kelahiran tahun 1989 atau 2 tahun lebih muda. Bersih, tidak ada luka ataupun tanda-tanda kekerasan di tubuhnya. Supir taksi menyangka laki-laki itu menunggunya, maka ia menghentikan taksinya di depan halte itu. Karena curiga, supir taksi itu pun turun dan memeriksa laki-laki ini.
###
Aku sekarang sudah beranjak dewasa, ya tapi aku masih mengganggap anak kemarin sore. Bagaimana tidak, aku bahkan mengatai diriku ini adalah cowok cemen. Mana ada seorang murid SMU laki-laki yang mempunyai diari? Ya itu adalah aku, aku diam-diam suka menulis buku harian ini semenjak SMP kelas 1 kemarin, aku merasa kesepian karena aku anak tunggal dan kedua orang tuaku jarang berada dirumah. Tidak selalu, setiap malam aku bertemu mereka, mengobrol seadanya. Tapi aku masih saja kesepian, dan hari ini adalah minggu terakhir dibulan Agustus, 1 bulan sudah aku berada di kelas 10-4 di UMIPTA, SMU Bumi Hepta, sekolah swasta pilihanku untuk tiga tahun kedepan.
Sekolah menyenangkan, aku suka sekolah disini. Walaupun baru mempunyai sedikit teman akrab, tapi aku sudah bisa beradaptasi dengan baik di kelas, senior galak itu sudah biasa, memalak sudah biasa juga. Tapi untungnya aku murid yang termasuk kalem jadi tidak pernah menjadi incaran mereka. Aku juga tidak berencana memiliki pacar selama 3 tahun ke depan sampai benar-benar bisa meraih juara kelas.

“Eh kamu sudah bikin tugas yang kemarin?” tanya seorang teman wanita barunya.
“Yang buat peta itu?”
“Iya, aku lihat kamu mengerti pelajaran Geografi, aku bukan ingin menyontek, tidak. Tapi kamu kapan ada waktu untuk ajari aku tentang bab peta itu?”
“Oh, jadi kamu ga ada niatan nyontek gitu?”
“Ga lah..,” dia tersenyum manis, “ajarin aku aja, ya? Dari dulu aku paling engga bisa Geografi, aku rasa sekarang persaingan bener-bener dimulai.”
Reno melihat seisi kelas yang ramai karena guru Matematika kali ini tidak masuk karena sakit perut.
“Bisa saja sih, tugasnya ini dikumpul hari....Sabtu kan?”
“Iya, tapi aku juga masih nunggu keputusan Kak Ina yang ketua cheerleaders itu lho, soalnya aku ikut kegiatan itu juga...jadi gimana dong?”
“Ya udah, kamu tanya aja dia dulu kapan jadinya latihan, kalo aku saranin sih bagi waktu yang bener aja biar kamu ga salah nentuin jurusan buat nanti.”
“Okay, thanks banget ya kamu udah mau ngajarin aku, oh ya....rasanya selama sebulan ini aku belum tahu namamu deh..hahaha.” Vio mengajaknya bersalaman.
“Reno. Kamu Violet kan? Kamu sekretaris, gimana aku ga tahu coba.”
“Sorry ya, belum sempat kenalan, ya kamu tahu kan data anak anak sekelas ini repot, mereka pada telat di mintain isi form gitu aja lelet. Oh ya, kamu dari SMP mana dulu?”
Ini kali pertamanya aku berbincang dengan murid perempuan di kelas, aku suka berteman dengannya, anaknya ramah dan bersahabat sekali. Dia suka kegiatan yang menantang ya cheerleader itu tidak mudah, apalagi dia cantik dan pasti banyak senior yang iri dengannya. Benar saja, 3 bulan setelah dia bergabung dengan kelompok itu dia sudah di tendang keluar oleh Kak Tara yang mengaku-ngaku jika Vio merebut pacarnya, sungguh alasan yang tidak masuk akal jika pun Vio memang begitu ia terlalu murah di mataku.

“Huh!” Vio datang dan duduk di samping Reno dikantin, mukanya seperti pantat ayam.
Reno menyodorkan airnya kepada Vio dan juga kentang goreng itu.
“Lanjut ga ya ikutan cheer? Padahal aku seneng banget ikut kegiatan itu...gimana Ren? Ada solusi? Aku capek nih di sindir sindir melulu ama mereka.”
Belum sempat Reno memberikan solusi, Tara datang ke kantin yang sama seorang diri. Dia sudah berhenti dan ingin kembali, namun rupanya ia sudah sangat haus dan kelaparan, sedangkan sore ini kantin yang sudah sepi hanya dihuni Reno dan Vio saja.
Vio berbisik kepada Reno, “aduh gimana ini Ren? Kita pulang aja yuk?”
Reno hanya tertawa kecil dan kembali makan kentang gorengnya.
“Udah cuekin aja Vi, kamu kan ga salah kenapa takut? Kan ada aku, kalo dia mau macam-macam kan bisa aku pukul saja?”
“Kamu gila Reno! Aku ga mau ah bawa-bawa kamu ke dalam masalahku! Kamu mau dipersulit masuk sekolah? Dia itukan banyak punya geng diluar sana...”
Suasanya seperti dikuburan ketika Tara mendekati mereka. Tara akhirnya berbicara kepada Vio disana, didengar oleh Reno juga.
“Dik, maaf ya soal beberapa hari yang lalu, Kakak udah langsung ngejudge kamu yang ngerebut Andi. Ternyata tadi pagi aku baru tahu kalo orangnya itu bukan kamu, kamu udah di jadiin kambing hitam sama Ina tahu! Mendingan kamu ga usah ikut cheer lagi ya, Kakak kasian sama kamu kalo Ina berlakuan kayak gini terus.”
“Ah, masa` sih kayak gitu Kak?”
“Iya, tadi aku baca smsnya begitu, Andi juga udah cerita sama aku, jadi Kakak minta maaf ya udah hina-hina kamu di depan anak-anak kemarin.”
Pelajaran yang gue dapet hari ini adalah tidak boleh mudah percaya kepada orang lain, sebaiknya menggunakan kepala dingin. Dan aku tahu, Vio bukan perempuan seperti itu. Latar belakangnya bagus, agamanya kuat dan Vio adalah gadis baik-baik.
Sepeninggal Kak Tara, Vio mengelus dada dan ikut melahap kentang goreng milik Reno, sahabatnya.
“Makasih ya.”
“Buat??”
“Selama kita kenal kamu udah banyak kasi aku nasehat, seharusnya kamu langsung jadi anak kelas 3 aja, dewasa banget..aku belum genap 16 tahun nih.”
“Idih, aku kan harusnya udah kelas 2 sekarang. Aku sudah 17 tahun.”
“Trus kenapa sekarang masih kelas 1? Kamu telat masuk sekolah dulu?”
“Hahaha, dulu aku pernah ga naik kelas..!”
“Serius kamu Ren? Kamu kan pinter, ga mungkin ah! Aku ga percaya!”
“Seriuslah, waktu aku kelas 3 SD dulu tinggal kelas soalnya hampir 2 caturwulan engga masuk sekolah.”
“Kenapa Ren? Kok parah gitu?”
“Aku sakit, di opname, katanya koma.”
“Sakit apa? Kamu keliatannya sehat, apalagi kamu kuat lari sama gendong orang?”
“Mama bilang penyakitku langka, aku bisa sewaktu-waktu mati, aku sudah desak Mama sama Papa buat speak up, tapi mereka selalu bilang aku baik-baik aja.”
Vio memindah duduknya disebelah Reno, “serius kamu? Kalo gitu kamu bilang aja ga boleh olah raga yang keras-keras lagi!”
“Kata dokter aku harus banyak olah raga, aku ini bukan seorang lemah jantung. Jadi lari itu ga jadi masalah.”
“Kamu jangan buat aku was-was Ren!”
“Ga usah khawatir, seseorang mengatakan jika aku masih bisa menyelesaikan sekolah di UMIPTA, jadi aku ada 3 tahun kok Vi!”
Vio mendadak menjadi sangat khawatir setelah ini, dia merasa jika seorang Reno tidak mungkin berbohong padanya.
#
Aku tidak tahu mengapa aku segampang itu menceritakan kisah hidupku yang paling memalukan kepada Violet. Aku terbiasa tidak mempercayai orang lain, tapi kali ini aku tak kuasa menolak, dan beberapa hari yang lalu seorang teman bermain futsal bertanya padaku ‘apa kamu memacari Violet’ astaga, aku bingung harus menjawab apa. Raut wajahnya sudah tidak enak, dia temanku, dan aku tahu, temannya adalah mantan Vio namun kami berbeda SMU. Aku bahkan tidak pernah memikirkan hal ini, apa iya aku menyukai Vio, gadis ramah dengan senyum yang menawan itu? Aku sudah bertekad tidak akan berpacaran selama aku belum bisa mencapai juara kelas.

Rabu sore, bazzar sekolah dibuka. Reno tentu saja datang bersama Vio, siapa lagi? Murid-murid seangkatan sudah menganggap mereka pacaran, tapi banyak adik kelas yang tak suka melihat Vio berjalan bersama Reno. Ya, Reno dan Vio masing-masing aktif di kegiatan organisasi, dan menyita perhatian murid  baru.
Mereka sudah semakin dewasa, berada dalam satu jurusan, IPA dan betapa beruntungnya mereka bisa kembali berada di satu ruangan, artinya mereka sekelas. Reno kemarin hanya bisa meraih juara 2 saja, Vio sempat menghiburnya dengan mengajaknya karaoke bersama untuk menghilangkan sedihnya.
“Wah rame banget! Kita mau ngapain dulu nih Ren?”
“Apa ya, aku juga bingung....makanannya enak semua nih!”
“Kita ke dalam aja dulu yuk, siapa tahu ada pertunjukkan menarik?”
Vio menarik Reno gembira.
Tidak banyak yang bisa mereka perbuat, semakin ke dalam semakin sempit saja namun yang ditawarkan semakin menarik hati.
“Ini benar-benar seperti pasar malam! Hahaha...!” Reno senang sekali menghadiri bazzar ini, di balik panggung band Geisha dari Jakarta kota sudah siap manggung membawakan lagu melow malam ini. Mereka sedang check sound dan Vio merengek ingin turun dan ikut bergabung bersama yang lain. Reno tidak bisa menolak permintaan gadis ini, baginya mungkin terlalu sadis.
“Hai Violet! Aku kira kamu tidak datang lho!” sapa anak basket yang kabarnya sangat menyukai gadis ramah ini.
“Eh Edo? Datang pasti, kan ada Reno.”
“Eh, hahaha halo bro! Makin lengket aja nih kayaknya sama Violet? Pacaran ya?” tanya Edo membuat Vio melirik Reno dan berdeham keras.
“Hmmm! Kamu datang ama siapa?”
“Biasalah, sama anak-anak basket juga...nanti kita ada pertunjukkan freestyle loh! Nonton ya, habis Geisha manggung kok!”
“Iya aku sampai nanti kok disini.”
Sepeninggal Edo, suasana kagok menyelimuti mereka berdua. Keduanya berdiri berjarak, satu meter mungkin.
“Kenapa sih semua orang ngiranya kita pacaran?”
“Hahaha,” Reno ketawa garing, “cocok kali?”
“Kamu good looking, aku engga tuh!”
“Eh, ya udah ga usah di bahas, yang penting kan kita sahabatan.”
“Maksud kamu?”
“Ya, kita kan sohib neng. Menurut kamu?”
Aku mengerti, seorang perempuan akan menganggap hal seperti ini dengan ‘lebih’ aku mengerti mereka. Namun bukan laki-laki jika bermain sedikit permainan disini.
“Eh, sebelum Geisha mulai beli minuman dulu yah? Aku yang traktir deh, haus nih!”
Mereka membeli minuman yang sama, es teh.
#
Siswa SMU akhir tahun. Itulah aku dan teman-teman. Aku berhasil menyabet juara umum 1 kenaikan kelas tahun ini. Ini berkat dukungan dari orang tua dan juga Violet. Aku tiba-tiba teringat dengan janjiku di masa lampau, aku tidak akan berpacaran sampai aku bisa meraih peringkat yang aku inginkan.
Tapi sekarang sepertinya aku bisa melanggar janji itu kan? Tapi sungguh aku ragu, apakah Vio juga menyukaiku? Bagaimana jika dia sudah menyukai orang lain?

“Ren, ngantin yuk? Tugasku udah selesai nih.”
“Tunggu ya? Aku masih kurang 2 nomor nih, sulit.”
“Tumben? Biasanya kamu yang duluan selesai dari pada aku? By the way, tumben aku lihat kamu sambil dengerin lagu ngerjain tugas gini?”
“Iya, hadiah ini dari Papa kemarin. Rugi kalo ga dipake. Lagian aku sekarang sudah punya hobi kok.”
“Syukur deh! Aku ikut seneng dengernya. Habis kamu orangnya flat banget sih selama aku kenal.” Vio mengambil satu earphone yang nyangkut di kantong baju Reno.
Vio tertegun mendengar lagu yang Reno dengarkan, suara vokalis Dewa, Once mengalun pelan sedang menyanyikan lagu Dealova. “Sejak kapan kamu punya lagu ini?”
“Oh, sudah lama kok. Aku download di internet, aku simpan di komputer dirumah.”
“Jadi selama ini kamu sering mendengarkannya?”
“Sesekali sih, kalo lagi bener-bener bosen. Eh yang ada malah resah hahaha, lucu banget lagu beginian bisa ngaruh banget ternyata. Nah kalo lagu ini aku favoritin banget, lagunya Peterpan, judulnya Dunia Yang Terlupa.”
Reno membereskan peralatannya dan menyerahkan tugas kepada ketua kelas lalu mereka menuju kantin bersama-sama.
“Aku ga nyangka selera musikmu tinggi deh. Tapi sekarang aku lagi kena demam korea nih hahaha!”
“Aku juga suka kok, itu tuh lagunya Jung Yeop, yang jadi soundtracknya Bad Boy keren. Aku suka ngejazzy gitu musiknya.”
“Kamu sukanya aliran musik apa sih?”
“Apa aja yang buat nyaman.”
Setelah memesan makanan dan segala macam, mereka duduk bersebelahan. Benar-benar seperti sepasang kekasih.
“Ren, aku mau tanya nih...tapi kita kamu jangan ngomong sama anak-anak!”
“Apa? Tumben nih, ada masalah lagi kamu?”
“Iya nih, aku lagi suka sama cowok....sebenernya udah lama banget aku suka sama dia, tapi ga tahu kenapa aku ga brani bilang suka sama dia...aku harus gimana ini?”
“Emangnya kalo kamu bilang kenapa? Dia udah punya pacar gitu?”
“Engga sih, aku juga ga tahu, tapi kayaknya dia belum punya cewek sih.”
“Tahu dari mana kamu dia masih jomblo?”
“Tahulah pokoknya, dia masih single gitu.....tapi aduh gimana ya aku takut ditolak lho!”
“Mana ada sih yang mau nolak cewek kayak kamu? Setahuku, Edo tuh ngejar kamu tapi kamunya aja yang ga respect.”
“Aku tahu kok Ren, ya udah aku diemin aja dianya, aku ga suka sama dia. Aku kan sudah suka sama cowok lain. Tapi ya itu, aduh gimana yaaa.....”
Vio terlihat resah kali ini.
“Bilang dong siapa orang yang kamu sukain itu, siapa tahu aku bisa bantu kamu.”
“Ihh, ga usah...aku ga mau bilang ah, kamu juga ga pernah cerita selama ini sama aku.”
“Aku? Cerita apa? Aku udah cerita semuanya kok.”
“Kamu ga pernah bilang cewek yang kamu sukain siapa. Aku juga ga tahu kamu ini normal apa engga.”
“Eits, jangan ngajak ribut Vio...aku normal kok!”
“Nah, kalo normal kasi tahu siapa cewek yang kamu sukain... masa` dari kelas 1 ampe sekarang gada yang bikin kamu tertarik...?”
“Oh, banyak...anak sini kan cantik-cantik, imut lagi.”
Ekspresi Violet lucu.
“Hahaha, iya deh aku kasi tahu kok...ntar malem dateng ya ke rumahku. Makan malam bareng oke? Mamaku lho yang undang kamu. Kamu kan sering bawa makanan enak kalo kerumahku, sekarang giliran kamu yang aku kasi makanan enak.
Playlist di iPod Reno masih tetap memutar lagu melow. Suasananya cocok sekali.
“Kalo aku dateng, kamu bakal kasi tahu aku gitu siapa cewek yang kamu suka?”
“Iya, mana pernah aku bohong.”
“Ya udah, biar sama-sama adil aku bakal kasi tahu siapa cowok yang aku taksir itu. Deal?”
#
“Sebuah cita tak mengenal asa, tapi cinta bisa sakit atau tersakiti.
 Walau aku tak dapat mengatakannya sekarang, tapi cinta bisa tersenyum melihatmu bahagia.
 Senyummu tak bisa membendung air mataku,
 Aku bukan lelaki malam ini.”

Pagi ini, suasana kelas benar-benar hening. Murid-murid terus memandangi Reno dan juga Violet. Ada apa dengan mereka?
“Ren, kamu udahan sama Vio?” tanya Gatot, teman sebangkunya.
“Ah, siapa juga yang pacaran...kalian ini lho ngejudge sembarangan aja, gandengan tangan aja ga pernah lho.”
“Tapi raut wajahmu itu lho, seharian ini ga senyum sama sekali, ga ngomong juga sama Vio, biasanya kan kalian ke mana-mana selalu bareng?”
“Ya ga musti sama aku aja kali Gat, dia kan temennya banyak.”
“Tapi tadi pas kamu ke WC, ada cowok lho yang nyari dia ke sini, ngajak makan bareng!”
“Oh, iya...kamu nguping? Hahahaha, pacarnya kali...”
“Hah? Beneran kamu selama ini ga pacaran sama Vio?”
“Engga kok Gat, kita itu sohib aja dari kelas 1....”
“Ah ga mungkin, tapi ya sudahlah kalo kamu bener-bener putus sama dia udah cari yang lain aja ya, masih banyak kok yang cantik, baik buatmu Ren!”
“Thanks.”

Semenjak malam itu dia menolakku, aku jadi jarang pergi bersamanya lagi. Aku tidak tahu dimana letak kesalahanku, malam itu dia hanya pamitan dengan buru-buru, ingin ku antarkan karena sudah malam, tapi dia tidak menolakku. Aku rasa dia tahu aku sudah menyukainya selama ini, tapi mungkin dia tidak ingin menolakku terang-terangan, mungkin fikirnya hatiku akan sakit mengetahui kenyataan itu.
Aku rindu senyumnya, jujur prestasiku agak menurun 5% setelah beberapa minggu itu. Aku sudah jelaskan kepada Vio, namun dia semakin menjauhiku dan kini kabarnya aku dengar sedang jalan dengan murid kelas 2 IPS, aku tidak tahu siapa dia. Dan....aku tidak mau tahu.
Aku melanjutkan kuliah di Universitas UMIPTA juga, Papa punya kolega disini, jadi aku bisa masuk dengan mudah disini, namun sebenarnya aku masuk karena prestasiku. Nilai ujianku bagus sekali, tapi seolah ini semua sama sekali tidak berarti jika Violet tidak ikut berpartisipasi. Bahkan aku kehilangan kontak dengannya, akhir-akhir ini juga aku sering sekali sakit, padahal aku merasa sehat-sehat saja namun tiba-tiba aku merasa amat letih seperti habis mendaki gunung seharian penuh.
Di masa rehat ini aku benar-benar beristirahat dirumah dengan beban pikiran yang semakin berat karena kehilangan Violet. Aku tidak melihatnya saat acara corat-coret baju di kelulusan beberapa minggu yang lalu. Aku datangi rumahnya, Ibunya menyambut dengan wajah yang sedih, menolakku dengan sopan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, teman-teman sekelas menghujaniku dengan pertanyaan yang sama, “Dimana Vio, kenapa tidak hadir di acara kelulusan?”
Aku berusaha menggali sampai aku kehabisan tenaga, aku jatuh sakit beberapa hari ini, aku benar-benar drop, yang berlarian di kepalaku hanya namanya, Violet. Entah mungkin aku sudah gila, tanpa sadar aku sudah merubah kamarku dengan nuansa warna itu. Aku terobsesi dengannya! Semuanya tulisanku hanya bertuliskan Violet, buku harianku berwarna violet, dan aku menyukai Violet!!!
Aku baru menyadari betapa bodohnya aku tidak mengatakan dari awal jika aku menyukainya, kini aku tidak tahu dia berada dimana!
#
Reno, mahasiswa semester 4 jurusan Sastra Indonesia.
Namun baginya itu semua sungguh tak mempunyai makna. Semuanya pergi, seperti butiran pasir yang menjadi debu, tak terlihat namun membuatnya sakit. Terbang kemana pun ia sukai, menjadi sarang parasit, ia lakoni semuanya dengan hampa, hambar tanpa Violet.
2 tahun yang lalu, Gatot berkunjung. Dia membawa sebuah kabar. Buruk.
Sebelumnya, Reno sudah bisa dan berhasil membukukan kumpulan-kumpulan puisi untuk Violet ia sempat mengirimkannya ke rumah Vio, namun lagi-lagi Ibunya menyambut dengan wajah dan ekspresi yang sama seperti terakhir bertemu kala itu. Belakangan Reno mengerti, sungguh ini bukan seperti yang di harapkan.

Tenanglah kawanku, cintaku. Reno disini untukmu, meneruskan langkahmu yang tertunda, tunggu aku. Ini janjiku.

Violet sudah meninggalkan dunia ini, 4 tahun yang lalu. Semalam sesudah berita kelulusan menyebar, dia pergi dengan Ayahnya ke sebuah tempat. Tiba-tiba tanpa disangka, mobilnya melaju dengan sangat cepat, serangan jantung dadakan di idap oleh sang Ayah. Sialnya, pedal gas terus di tekan kaki orang tua 50 tahun itu, Violet yang tidak bisa menyetir tidak mengerti jika sang Ayah sudah tiada saat itu juga. Tidak sempat, Violet menggerakkan setir ke arah tebing, mobil Volvo itu jatuh. Kemudian, Violet pergi.
Ibunya memang sengaja tidak mengatakan hal ini kepada Reno, karena Beliau tahu, mereka mempunyai hubungan yang melebihi pertemanan, dan ini mungkin akan menjadi sangat tega jika waktu itu dikatakan.

Kini, setiap hari makam itu cantik seperti Violet. Penuh dengan bunga krisan, mawar, lili, dan melati. Wanginya menggoda setiap orang untuk panjatkan doa untuknya yang terkasih.
###
“Ren, lo balik duluan deh. Ini gue bisa selesein sendirian kok. Lo ga enak begitu roman mukanya...mending lu istirahat di rumah aja bro!” nasehat seorang teman kampusnya.
“Yakin kamu bisa sendirian ngetik naskahku ini? Masih banyak yang salah tulisannya...”
“Gue udah baca kemarin, udah gue tandain mana-mana aja yang salah. Cerita loe bagus banget, gue yakin ini novel bakal lolos ke Gramedia!”
“Thanks ya, sudah mau susah bantuin aku. Kalo gitu aku balik dulu.”
“Hati-hati ya, apa mau gue anterin loe? Udah malem nih!?”
“Ga usah, jam segini bis masih ada kok. Lagian rumah ga jauh-jauh amat dari sini jalan kaki juga bisa.”
“Take care ya! Besok lo ga usah kuliah aja, acaranya free kok kan lagi ada Maba mau terima sertifikat!”
Reno hanya mengakat tangannya sambil berlalu meninggalkan gedung kampus. Langkahnya gontai, ia masih saja merindukan, sangat merindukan sosok Violet di sisinya. Beberapa hari ini Violet datang di mimpinya, mengajaknya ke suatu tempat yang indah, dan dia berharap malam ini akan bertemu dengan Vio lagi dalam mimpi.
Tidak biasanya aku mendengarkan musik di kala jalanan basah seperti ini, barusan hujan lebat dan aku berlindung di bawah halte ini, halte kecil yang sudah bobrok setengahnya. Aku dengarkan lagu-lagu kesukaanmu, agar malam ini kamu datang temui aku didalam mimpi. Dan aku kini sudah mau jika kamu mengajakku pergi lagi di dalam mimpi, aku akan menurutimu, biar kamu senang di sana.
Tumben hari ini aku membawa diariku yang berwarna sama seperti dirimu, Violet. Aku ingin sekali bertemu denganmu, Vi. Sudah lama sekali kita tidak makan mie goreng kantin sekolah. Di kampusku yang sekarang, mie nya tidak enak, aku masih ingat mie kuah buatanmu, itu masih jauh lebih lezat walaupun begitu hambar tapi tetap terasa sangat berbumbu di lidahku.
Tunggu aku ya Vi, cepat! Segera temui aku di dalam mimpi!
Reno menyimpan diari ke dalam tasnya, mengeraskan volume iPodnya dan memutar lagu-lagu melow kesukaan mereka, karena kelelahan Reno memutuskan untuk tidur sejenak sampai ada kendaraan yang datang menjemputnya, hujan gerimis kembali turun. Ia jengah untuk berjalan malam-malam gerimis seperti ini.
Setengah jam, 10:34 malam. Sebuah taksi putih datang membunyikan klakson menyapa Reno. Ini taksi langganan Reno semenjak SMP, ini halte yang sama seperti biasanya.
“Mas, Mas! Nungguin saya ya? Mas Reno?”


TAMAT