Jumat, 13 Mei 2011

Dua Cermin (sekuel dari Sebuah Cermin)


Semenjak kepergian Ruzzy, Ungu terlihat benar-benar kesepian. Dia selalu mengenang Ruzzy karena sekarang ia menempati rumah Ruzzy. Mendadak hidupnya berubah drastis sejak Ruzzy memasuki kehidupannya. Kelompok yang menamai dirinya sebagai “AntiUngu” pun menjadi bubar sendirinya dan beberapa orang sudah menjadi orang terdekat Ungu.
Tak terasa sudah 1 tahun berlalu sejak kematian Ruzzy yang bersamaan dengan hari ulang tahun Ungu.  Ungu yang sudah menginjak tahun ketiga disekolahnya itu tidak pernah menyangka bahwa akan ada sesuatu hal yang membuat miris hatinya.
```
“Ngu, sebentar lagi kita lulusan nih...” ujar Kiki, teman yang cukup dekat dengan Ungu.
“Iya...”
“Ngu, besok kan kita mulai pelajaran nih, kamu semangat gak? Aku lagi semangat banget nih!”
“Iya, sama.” Jawab Ungu tidak berhasrat.
“Kamu kenapa sih Ngu? Itu kan udah lama banget..so..kamu harus bangun hidup baru juga! Okelah mungkin bulan-bulan yang lalu kamu masih terbayang, tapi ini udah 1 tahun Ngu...”
“Tolong ya Ki,..”
“Okey....kalo kamu butuh aku, aku ada di kantin.”
Ungu mengangguk.
Merasa bosan hanya diam di kelas, Ungu pergi menyusul Kiki ke kantin. 10 menit lagi bel akan berbunyi dan Ungu mengacuhkan itu. Ungu berjalan dengan santai menuju ke kantin sambil mengeringkan matanya yang agak sedikit basah itu karna mengingat Ruzzy. Ungu benar-benar masih lara karena Ruzzy pergi untuk selamanya. Lalu Ungu menghampiri dan ikut makan bersama Kiki.
Bel pun berbunyi, Kiki segera berlari menuju ke kelas tanpa memperdulikan Ungu yang masih santai menyantap makanannya itu. Kira-kira 3 menit setelah bel berbunyi Ungu barulah kembali ke kelas. Ups, ternyata sudah ada guru di dalam. Ungu mengetuk pintu dan guru itu mempersilakan Ungu masuk, tapi...ada seorang cowok yang baik fisik maupun mimik wajahnya sangatlah mirip dengan Ruzzy. Ungu tidak sengaja memanggil cowok itu dengan nama Ruzzy.
“Ruzzy?” semua teman sekelas Ungu terkejap.
“Ruzzy?” tanya balik cowok itu.
Ungu malah bingung.
“Ungu, ayo duduk dulu.” Pinta guru.
“Maaf Pak.”
Selama berjalan menuju bangkunya, Ungu tidak lepas menatap mata cowok itu. Air mata mulai tergenang.
“Ngu, Ruzzy itu udah nggak ada..” ucap pelan Kiki kepada Ungu sehingga pecahlah tangis Ungu, ia buru-buru menghapusnya dengan jarinya.
“Baiklah, sekarang kamu bisa mencari tempat duduk kosong, yang lain, tolong bantu dia ya.”
“Iya Pak...” jawab anak-anak semua.
Ungu tidak lepas memandang cowok yang benar-benar sangat-sangat mirip dengan Ruzzy itu, Ungu tidak lagi bisa menahan air matanya itu, dia langsung pergi entah kemana dan Kiki menyusulnya.
Ungu memojok di kamar mandi. Entah bagaimana ia tidak bisa melupakan Ruzzy sehingga bertemu kembali dengan makhluk Tuhan yang benar-benar mengingatkan Ruzzy yang tlah tiada itu.
“Ungu, hapus air mata kamu...dia itu hanya cowok biasa, yang dimana-mana bisa kamu temukan.”
“Sejak awal aku tahu, kamu dekat denganku hanya untuk memanfaatkanku sebagai alat pengerja Prmu saja kan?”
“Ungu?!” Kiki tersentak mendengar Ungu berucap seperti itu. “Okey, kalo kamu udah baikan, balik ke kelas.” Kiki meninggalkan Ungu sendirian di kamar mandi.

Sementara keadaan di kelas...
“Eh, aku mau tanya nih...cewek yang duduk sama cewek itu siapa sih namanya?” tanya anak baru itu.
“Oh...cewek yang duduk sama Kiki?”
“Iya.”
“Namanya Ungu.”
Ungu....unik namanya. “Dia itu gimana sih?”
“Oh...baik, juara kelas lagi. Meskipun 1 tahun yang lalu ada masalah yang menimpanya, dia tetap bisa mempertahankan gelar juaranya itu.”
“Ceritain lagi dong tentang Ungu, semuanya deh!”
“Kamu kenapa sih? Suka ya sama Ungu?” tanya Nico, yang semenjak tadi sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari murid baru itu.
“Yah pokoknya ceritain aja, gue penasaran nih soalnya!”
Nico menceritakan semua tentang Ungu dari A sampai Z. Cowok itu hanya manggut-manggut mendengarkan cerita dari Nico. Yang lain juga ikutan mendengar, dan tidak sedikit dari murid perempuan menunjukkan simpati mereka dengan menitikkan air mata.

Ungu masih menenangkan dirinya di kantin. Memainkan pipet, sehingga pipet itu hancur. Hampir semua yang dilakukan Ungu adalah kebiasaan-kebiasaan Ruzzy terdahulu.  Ungu telah siap kembali ke kelas, tanpa harus tahu ingin berbuat apa sesampainya ia di kelas. Untungnya Nico telah usai menceritakan kisah Ungu yang memilukan itu. Ungu melihat cowok itu sibuk dengan lukisannya sambil mendengarkan lagu di iPodnya. Ungu menghela napas panjang, berharap tidak ingin mengenal cowok itu.
Mata Ungu sembam karena menangis tadi. Kiki menjadi iba melihatnya dan  membiarkan Ungu membaik dengan sendirinya.
Eh, itu yang namanya Ungu ya? Kalo dilihat baik-baik, dia manis juga...
Cowok baru menghampirinya. Dan duduk dihadapannya membuat Ungu menatap mata yang sudah lama tak ditatapnya.
“Hello, kenalan yuk?”
“Kamu Ruzzy kan?”
“Ruzzy?”
Nada bertanyanya pun sama... batin Ungu.
“Lalu, jika kau bukan Ruzzy, siapa?” Ungu menangis lagi.
“Hei, jangan nangis dong! Gue kan Cuma pengen kenalan aja!” cowok itu mengeluarkan sapu tangan berwarna ungu dan mengusap airmata Ungu yang terus membanjir itu.
“Jadi benar, kamu bukan Ruzzy?”
“Aku Ruzze, bukan Ruzzy.”
“Ruzze?” Ungu benar-benar menangis.
“Sorry ya jika aku benar-benar mengingatkan kamu kepada sahabat baikmu itu. Maaf untuk semuanya, karena aku telah lancang meminta Nico menceritakan semuanya padaku.”
Ungu tertunduk lesu, bukan hanya karakter dan wajah yang mirip, tetapi dari segi nama pun mereka hanya beda di satu kata, Y dan E.
“Jadi memang bukan ya?”
“Bukan, maaf! Sudah membuatmu membuka diary lamamu.”
“Mau bagaimana lagi, ini sudah takdir, Ze.”
“Tapi, apa benar kamu tidak bisa melupakan almarhum Ruzzy?”
“Aku juga sudah berusaha, tapi ternyata nggak bisa, Ze.”
Ruzze merasakan sangat dekat dengan Ungu saat ini, meskipun mereka belum pernah bertemu. Perbincangan siang itu pun menjadi semakin mendalam hingga akhirnya Ungu bisa menerima kepergiaan Ruzzy dan menerima kedatangan Ruzze.

“Saat seperti ini aku pertama kalinya bertemua dengan dia.” Ujar Ungu yang sedang berdiri di halte bus bersama Ruzze.
“Hm...apa aku segitunya mirip dengan Ruzzy?”
“Sangat mirip, semuanya. Kecuali kemampuan melukismu itu.”
“Dia tidak bisa melukis ya?”
“Dia bermain gitar dan bernyanyi. Dia mengekpresikannya dengan seperti itu.”
“Wah.....ternyata....dia hebat juga ya?”
“Sangat hebat.”
“Lalu sampai kapan kau mengenangnya?”
“Seumur hidup. Sampai aku menyusul dia surga.”
Ungu berdramatisir.
“Ngu, kamu nggak pulang?” tanya Ruzze.
“Pulang kok. Jalan kaki.”
“Gimana sebagai perkenalan, siang ini gue ajak lo lunch?”
“Lunch?” Lunch?
“Iya, gue tau, lo pasti lapar kan hujan-hujan begini?”
Tiba-tiba Pak Topir datang menjemput Ungu.
“Lho Non, kenapa nggak tunggu di dalam sekolah saja?”
“Pak Topir ngapain disini?”
“Sudah kewajiban saya jemput Non.”
Tidak sengaja Pak Topir melihat Ruzze.
Anak ini mirip sekali dengan almarhum Den Ruzzy...
“Pak, tunggu sebentar ya dimobil!” pinta Ungu.
“Iya Non.”
“Itu tadi sopir kamu?”
“Bukan, bekas sopirnya Ruzzy. Makanya tadi dia ngeliatin kamu kayak gitu.”
“Oh....jadi, kamu mau pulang atau lunch bareng aku?”
“Ze, sorry banget ya, mungkin lain kali.”
“Kapan??”
Ungu menatap Ruzze.
“Terserah kamu aja, mungkin besok.”
“Okey, kalo gitu besok sepulang sekolah aku tunggu di halte ini.”
Ungu hanya tersenyum sambil menuju mobilnya.
```
Ungu berdiam di rumah besar itu sambil istirahat siang. Tidurnya sangat nyenyak sehingga tidak mendengar Pak Topir sedang berbincang dengan Ruzze di bawah.
“Oh jadi begitu...ya, saya sebagai orang yang dekat dengan almarhum juga masih sangat kehilangan sosoknya yang penuh dengan philosofi itu. Dan saya harap Den Ruzze bisa menjaga Non Ungu seperti almarhum menjaganya dulu.”
“Akan saya usahakan Pak. Baiklah saya pamit dulu.”
“Lho, nggak jadi bertemu dengan Non Ungu?”
“Kayaknya sih dia lagi tidur tuh Pak. Saya tau, pasti dia kelelahan sehabis menangis di sekolah tadi.”
“Baiklah kalau seperti itu, nanti saya sampaikan kalo Aden sudah datang kemari.”

Jam menunjukkan pukul lima sore. Ungu masih nyenyak dalam tidurnya. Pak Topir sedang asyik meminum kopi di teras depan. Dan Bi Upit sedang membuat makan malam. Ungu tahun ini telah memiliki orang tua angkat yang bekerja sebagai Pedagang Makanan, mungkin sekitar jam 6 orang tua Ungu akan pulang.

“Eh, Nyonya...” sapa Pak Topir.
“Pak, Ungu mana?”
“Lagi tidur Nya...dari tadi siang nggak bangun-bangun.”
“Lho? Enak bener tidurnya berjam-jam gitu? Dia udah makan belum Pak?”
“Kayaknya sih belum Nya, habis dari pulang sekolah langsung masuk kamar.”
Ibu angkat Ungu langsung mengecek makanan yang dibuat oleh Bi Upit.

Ungu mulai bangun dari tidurnya, melihat jam dindingnya.
Astaga, jam enam lebih lima menit? Kalo gitu aku lama banget yah tidurnya...
Ungu mengucek mata langsung merapikan diri untuk menemui orang-orang yang ada dibawah.
“Mama? Baru pulang?” tanya Ungu sambil mengembalikan stamina.
“Ungu? Katanya Pak Topir kamu dari sepulang sekolah tidur ya?”
“Hm...habis tumben ngantuk banget. Gimana hari ini Ma?”
“Yah...lumayan Ngu, yuk makan dulu?” ajak Ibunya.
“Ntar Ungu nyusul, toh Bi Upit belum selese masak.” Ungu berjalan menuju kolam renang di belakang.
Di sinilah terakhir kali berbicara dengan Ruzzy.
Ungu duduk di bibir kolam sambil bermain air, mencuci mukanya yang kusut itu. Tiba-tiba ia teringat mimpinya barusan. Dia bermimpi melihat 2 buah cermin. Yang satu pemberian Ruzzy, satunya lagi entah milik siapa. Seingat Ungu warna frame cermin itu putih, tetapi dengan bentuk yang sama.
“Ungu, makan dulu!” teriak Ibunya menghilangkan lamunan Ungu tentang 2 cermin yang ia mimpikan itu.
“Iya Ma!”
“Ngu, kamu mau nggak temani Mama malam ini?”
“Maksudnya?”
“Iya, Papa kamu itu masih di kedai, pulangnya malam, kamu lupa ya, kan ada pegawai baru yang perlu diawasi.”
“Oh...kirain apaan...iya deh...tapi nonton teve di ruang sini aja ya Ma..kalo di kamar Mama, bisa-bisa aku ketiduran Ma.”
Ungu selalu satu meja bila makan dengan Bi Upit dan Pak Topir.
“Eh iya Non...saya hampir aja lupa!”
“Kenapa Pak?”
“Tadi sore sekitar jam 5 ada yang nyari Non.”
“O ya? Siapa?”
“Kalo nggak salah namanya Ruzze.”
Ibu Ungu merasa tersentak mendengar nama itu, begitu juga Ungu, walaupun ia sudah mengetahuinya, tetapi saja rasa itu ada.
“Oh..iya makasi Pak.”
```
“Ungu, Mama mau nanya.” Tanya Ibunya pada saat menunggu Ayah Ungu pulang.
“Kenapa Ma?” jawabnya cuek sambil menonton teve.
“Ruzze itu siapa?”
Ada sesuatu di jantung Ungu, “Teman baru Ma.” Tertunduklah ia.
“Benar, teman baru?”
“Masa’ Ungu bohong sama Mama, baru juga tadi aku kenalan sama dia di sekolah.”
“Hm...bisa kenalin gak ke Mama?”
“Mama! Apaan sih?”
“Ya...Mama kan juga pengen tau dan pengen kenalan sama mereka.”
“Oh...kirain Mama mau cari calon mantu!”
“Kalo ada yang mau, Mama tidak menutup kemungkinan kok.”
“Ah Mama gitu, nggak jadi deh Ungu bawa temen pulang ke rumah!”
“Ungu, Mama Cuma bercanda. Gimana kalo besok undang teman-temanmu kemari. Kebetulan Mama sama Papa besok ada di rumah sampai malam, bagaimana?”
“Lihat sikon ya Ma, aku nggak janji. Soalnya kan teman-teman Ungu pada sibuk-sibuk gitu.”
```
Keesokan harinya Ungu tidak banyak bicara, ia masih terus memandang ke arah Ruzze, dimana pun Ruzze ada, pasti Ungu juga ada disitu. Kiki telah memaafkan perkataan Ungu kemarin, dia sangat tahu Ungu seperti itu jika ia merasa tertekan dan sedih.
Ruzze mencoba speak up ke Ungu.
“Ehm, kamu suka ya ke perpus?”
“Ruzzy? Sorry, maksudku...Ruzze...” Ungu cepat sekali murung.
“Nggak apa-apa, aku tahu kamu berat menerima kenyataan itu. Eh, aku pengen ngajakin kamu hang out nih bulan depan!”
“Hang out?”
“Iya, bulan depan kan September ceria....kita jalan-jalan yuk? Mau nggak?”
“Kamu mau pergi bulan depan, kok ngajakin perginya sekarang?”
“Aku takut nanti besok-besok nggak ketemu kamu lagi...”
Kalimat itu pernah diucapkan oleh Ruzzy dulu, hal itu membuat Ungu takut.
“Kamu nggak pergi lagi kan?” tiba-tiba Ungu memegang tangan Ruzze, seakan Ruzze itu Ruzzy.
“Kamu ngomong apaan sih? Aku kan takut aja kalo besok-besok nggak bisa ngobrol lagi sama kamu, hanya karena aku ini duplikat Ruzzy.”
“Sorry....bukan maksudku....aku....”
“Kamu tenang dulu, .... aku masih disini kok.”
“Kalimat yang kamu ucapkan tadi sama seperti kalimat yang Ruzzy ucapkan dulu, sebelum ia pergi.” Mata Ungu mulai berkaca-kaca.
“Kalo gitu aku yang minta maaf Ngu.”
“Emangnya kamu mau ngajakin aku kemana?”
“Ada seh ke suatu tempat yang indah. Mau kan? Tenang, kita Cuma pergi berdua kok.”
“Cuma berdua? Kenapa berdua?”
“Karena....aku maunya Cuma pergi berdua. Mau kan?”
“Iya, akan aku luangkan waktu khusus untukmu. Hm...ntar kamu bisa antar aku pulang kan?”
“Bisa banget! Kenapa sih emangnya?”
“Mama aku pengen ketemu sama kamu.”
“Ah, yang bener? Mama kamu udah cari calon mantu ya?”
Ungu menggelitik perut Ruzze. “Siapa juga yang mau menikah?”
“Bentar deh....aku lebih suka lihat kamu senyum dan tertawa seperti ini. Pasti malaikat sudah mencatat senyum itu.” Lagi-lagi kalimat seperti sudah pernah diucapkan oleh Ruzzy pada saat Ungu pertama kali bertemu dengannya.
“Ruzze, jangan pernah ucapkan kalimat itu lagi.” Ungu balik ke kelas dengan perasaan yang masih kacau balau.
“Ungu, Ungu tunggu! Maaf kan aku!”
Ungu menghentikan langkahnya. “Benar?”
“Iya...aku kan nggak tahu...”
“Baiklah.....”
Ungu dan Ruzze melihat anak kelas 10 yang sedang dipermainkan oleh kakak kelas 11.
“Hei, kalian apakan dia?” tanya Ruzze.
“Nggak Kak..kami Cuma bercanda!” ucap salah seorang dari mereka dan semuanya langsung bubar.
“Kamu nggak apa-apa?” Tanya Ungu.
“Makasih Kak.” Anak perempuan itu memeluk Ungu.
“Adik, kakak pesan ya, kamu nggak perlu takut dan merasa hina didepan mereka, karena....kamu hanya ada satu yang patut ditakuti, yaitu Tuhan. Kenapa kamu harus takut sama manusia? Toh mereka juga sama denganmu, ciptaan Tuhan. Kalau begitu kakak pergi dulu ya.”
Ungu langsung menarik Ruzze menjauh dari keramaian. Ungu membawanya ke dalam ruangan kosong yang terpencil.
“Kenapa kamu mengatakan hal itu kepada dia?” tangis Ungu.
“Ungu, kamu kenapa lagi sih? Aku nggak ngerti sama kamu!”
“Kamu tahu, kamu tidak boleh mengambil kata-kata Ruzzy untukku! Karena dia hanya mengucapkan kalimat-kalimat itu untuk ku! Hanya untukku, bukan untuk orang lain!!!” Ungu terisak sambil terus berbicara. “Dan lelucon-lelucon dia hanya untukku!”
Ruzze cukup lama mencerna apa yang dikatakan oleh Ungu barusan. Ia langsung mengerti dengan tatapan Ungu yang seolah berbicara bahwa dirinya itu adalah Ruzzy. Ungu masih terisak sambil terus menatap Ruzze yang wajahnya 98% mirip dengan Ruzzy. Ruzze tidak bisa berkata-kata, langsung memeluk Ungu, karena ia tidak bisa melihat wanita yang disukainya itu menangis sendiri.
“Maafkan aku, Ungu. Jika aku pergi membuatmu lebih baik, aku akan pergi.”
“Jangan....” rintihnya sambil menangis. “Aku tidak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya.” Ungu masih saja terisak. Untungnya hari itu semua orang sudah pulang, jadi sekolah agaknya sepi.
“Maaf..”
Ungu memeluk erat Ruzze, ia benar-benar lara saat memeluk Ruzze, karena aroma parfum yang digunakan oleh Ruzze itu sama dengan apa yang Ruzzy pakai. Ruzze juga merasakan hal yang sama, ia tahu bahwa Ungu memakai parfum varian Blue Ice. Ruzze menenangkan Ungu kemudian mengantar Ungu pulang.
```
“Kamu udah baikan? Aku nggak mau lihat matamu memerah di depan kedua orang tuamu. Nanti disangkanya aku ngapa-ngapain kamu lagi.”
“Udah, aku nggak apa-apa. Yuk, Mama aku pasti udah nungguin kita.”
Ungu menganggap seolah tidak terjadi apa-apa dan memasang senyum palsunya.
“Ungu!” seru Ruzze.
“Kenapa?”
“Aku nggak mau kamu memasang senyum palsu itu, karena aku tidak suka melihat sesuatu yang mengada-ada, dan ingat, ..... sesuatu itu nampak lebih indah jika sesuatu itu berjalan secara alamiah!”
Tuhan!!! Mengapa Kau kirimkan aku malaikat seperti ini? Dera Ungu dalam hati.
“Dan aku juga ingin mengingatkan kamu, kalimat itu milikku dengan Ruzzy seorang. Tidak boleh seorang pun yang mengucapkannya!” Ungu masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Ruzze.
Salah terus!! Lalu aku harus mengucapkan apa lagi? Jika seandainya Ruzzy masih hidup, pasti aku tidak akan bertemu cewek aneh itu!

“Mama, itu temanku datang.”
“Oh...Ruzze ya?”
“Kok Mama tahu? Padahal kan aku belum memberi tahu Mama?”
“Feeling aja kok sayang.”
“Siang Tante....” ucap Ruzze.
Astaga, anak ini mirip sekali dengan Ruzzy? Puji Tuhan, Engkau telah beri putri angkatku kesempatan sekali lagi.
“Siang...oh jadi ini yang namanya Ruzze? Wah....cakap sekali....”
“Tante bisa aja...”
“Lho, memang benar...ayo duduk, mari kita saling mengenal.”
Ungu tidak ingin bergabung dengan Ruzze maupun Ibunya, dia hanya memilih merenung di dalam kamarnya.
Kamar Ungu berhadapan dengan kamar Alm. Ruzzy.  Sehingga ia mencoba masuk ke dalam kamar itu dan melihat barang-barang apa saja yang ditinggalkan oleh Ruzzy.
```
“Ow, jadi kamu sudah tau? Tante kira kamu belum tau, makanya Tante mengundang kamu ke sini ingin memperbincangkan itu.”
“Tapi saya juga jadinya serba salah Tan.”
```
Ungu menatap dirinya lewat cermin yang di berikan oleh Ruzzy saat kepergiannya tiba di kamar itu. Cermin itu masih tersimpan bagus dan rapi di dalam sebuah lemari milik Ruzzy yang kini digunakan Ungu sebagai tempat menyendirinya. Jika Ungu sedang rindu Ruzzy, maka ia masuk ke dalam lemari itu dan berbicara seolah Ruzzy sedang disana bersamanya. Tidak ada yang mengetahui hal ini.
```
“Oh, jadi kamu suka sama anak Tante?”
“Iya Tante....pertama kali melihatnya, saya sudah yakin sekali. Tapi saya tahu, tidak mudah bagi saya untuk menangkan hatinya, karena begitu dia menatap mata saya, pasti dia berpikir saya ini Ruzzy, bukan Ruzze.”
“Yah,...kalo Tante sama Om sih setuju-setuju aja kamu jadi pacarnya Ungu, yah tapi itu....kamu harus bisa menghilangkan image Ruzzy dari pikirannya terhadap kamu.” Ucap Ayah Ungu kepada Ruzze.
```
“Zy, aku kangen sama kamu....” isak Ungu di dalam lemari itu.
“Zy, ada cowok lain yang ngambil motto kita...”
Ruzzy tersenyum di nirwana sana.
“Zy, cowok itu mirip banget sama kamu...” kali ini Ungu berbicara pada cermin itu.
“Zy, aku nggak bisa lama-lama berteman dengan cowok yang namanya hampir sama sama nama kamu...”
Ruzzy masih tersenyum di alam sana.
“Zy, kamu tau, cowok itu namanya Ruzze, Cuma beda satu huruf sama kamu...” isaknya.
Lalu, seperti biasa, Ungu berdoa sambil memejamkan matanya yang masih basah itu.
Ruzzy sudah menghilang dari nirwana.
“Zy, aku yakin kamu pasti denger doa aku kan?”
Ungu menyudahinya dan kembali turun menemui Ruzze yang hendak pamit pulang itu.
```
“Ruzze!”
“Kenapa Ngu? Kamu  mau kemana?”
“Aku boleh ikut kamu pergi kan?”
“Tapi kan bulan depan, bukan sekarang?”
Ungu memakai kaca mata besarnya.
“Pokoknya aku mau kamu ngajak aku keliling sekarang.”
“Ya, ... tapi kemana?”
“Terserah kamu, yang penting aku mau jalan sama kamu sekarang.”
“Iya deh..iya....”
Mereka berdua pergi jauh.

Ungu terus menatap Ruzze sepanjang jalan. Membanding-bandingkan antara Ruzzy dan Ruzze. Ruzze merasa ke-GR-an.
“Kamu kenapa sih ngeliatin aku kayak gitu? Aku jadi grogi nih!”
“Pengen aja, habis udah lama aku nggak liat kamu.” Lagi-lagi Ungu lupa bahwa yang dihadapannya itu Ruzze, bukan Ruzzy.
Ruzze benar-benar sedih melihat dambaan hatinya menjadi seperti itu.
Dan Ruzzy menangis di nirwana sana.
“Oh ya? Aku juga kangen kamu Ngu.”
Ruzze meraih tangan Ungu dan Ungu menangis, entah untuknya atau untuk Ruzzy.
Ruzzy sudah hilang dari Nirwana.
```
“Ungu, kamu jadi kan pergi sama aku?”
Kata-kata itu...pernah Ruzzy tanyakan padaku, kini Ruzze kembali menanyakannya padaku....
“Jadi.”
Ruzze diam sejenak.
“Ze, kamu kok diam aja sih?”
“Em....nggak apa-apa, Cuma melupakan sesuatu.”
Kalimat itu juga pernah Ruzzy ucapkan padaku...
“Melupakan apa?”
“Apa ya? Makanya aku lupa. Sepertinya ingin memberitahumu sesuatu.”
“Oh....”
Petang itu mereka memandang kota dari atas bukit. Lampu-lampu mulai menyala dibawah sana sambil menikmati angin malam yang mulai datang.  Angin berhembus pelan dan Ruzze memulai percakapan.
“Ngu, hm.....aku mau tanya, tapi kamu jangan nangis ya?”
“Tanya tentang Ruzzy?”
“Memangnya benar-benar mirip ya?”
“Bukan mirip lagi, tapi kalian itu sama.”
“Nggak ada manusia yang sama. Buktinya aku tidak bisa bermusik, tapi aku bisa melukis.”
“Yah, kamu benar...tapi bagiku kalian itu sama. Tidak peduli bisa bermusik atau pun melukis, buat gue itu semua tidak penting, karena Tuhan telah kirimi aku malaikat yang bisa buat ku selalu mengenang Ruzzy lewat kamu.”
Ruzze semakin memahami Ungu.
“Lalu hubungan kamu dengan Ruzzy dulu benar hanya sebatas teman?”
“Nggak, bukan sebatas teman.......tapi soulmate, belahan jiwa. Dan Ruzzy itu mungkin bisa dibilang nyawa hidupku.”
“Nyawa hidupmu? Apakah Ruzzy benar-benar membuatmu bahagia?”
“Sangat, walaupun kami hanya bertemu dengan waktu sesingkat itu, tapi kami berdua sudah saling mengenal baik luar maupun dalam. Kenapa sih kamu penasaran banget sama Ruzzy?”
“Tidak. Aku hanya ingin mengetahui sosoknya lewat kamu. Siapa tau aku memang benar-benar mirip dengannya, ternyata tidak.”
Ungu memandang bintang-bintang yang sudah mulai bermunculan di langit. Sambil menghirup udara segar petang itu, Ungu bersandar di bahu Ruzze, membayangkan bahwa itu adalah Ruzzy. Ruzze hanya diam sambil sedikit menahan rasa kecewanya karena baginya Ungu tidak pernah mengganggapnya Ruzze, melainkan Ruzzy.
```
“Ngu, besok aku jemput kamu jam setengah tujuh, gimana?”
Sebelum Ungu menjawab pertanyaan Ruzze, dia ingin mengatakan sesuatu.
“Ze, kamu itu benar-benar sama dengan Ruzzy. Nada bicaramu, ekspresi wajahmu, sinar matamu, harum tubuhmu, genggaman tanganmu....huh....”
“Iya, aku tahu itu. Tapi aku tidak suka menjadi orang lain. Ruzzy ya Ruzzy, Ruzze ya Ruzze.” Ruzze mulai bete dengan situasi seperti ini.
Barulah Ungu sadar, jika selama ini Ruzze diam karena ingin menunjukkan bahwa dia bukan Ruzzy.
“sesuatu itu nampak lebih indah jika sesuatu itu berjalan secara alamiah”
Tiba-tiba Ungu teringat dengan kalimat itu. Kalimat yang membuat hidup Ungu menjadi seperti sekarang ini. Ungu diam merenungi kata-kata Ruzze tadi. Ungu memang tidak bisa membedakan yang mana Ruzze dan Ruzzy, karena keduanya terlalu sama di mata Ungu.
“Maaf kalau begitu...”
Ruzze menarik Ungu yang hendak membuka pintu mobil itu.
“Apa kamu ingin aku menjadi Ruzzy?” tanyanya membuat Ungu bingung.
“Maksud kamu?”
“Bukankah kamu anggap aku sama dengan Ruzzy? Apakah aku harus membunuh Ruzze lalu mencari Ruzzy?”
Ungu menangis. Entah apa yang ada dibenak Ungu saat ini. Tetapi Ungu memeluk Ruzze.
“Tidak. Aku tidak  menginginkan hal itu, aku tau, Ruzzy bahagia di sana.”
“Lantas?”
Suasana menjadi semakin rumit.
“Aku tidak tahu, besok lagi kita bicarakan di sekolah.”
“Jadi?”
“Kamu besok nggak perlu jemput aku. Aku bisa berangkat sendiri.”
“Please, kamu mau kan aku jemput besok pagi? Aku ingin menghabiskan waktuku denganmu.”
“Nggak tahu, lihat besok saja ya.” Ungu meninggalkan Ruzze yang sedang kacau itu.
```
Hari ini Ungu tidak datang bersama Ruzze ke sekolah. Ungu juga merasakan hal yang sama, baru dua hari mereka bertemu semuanya menjadi kacau balau begini. Dalam hitungan jam semuanya menjadi berubah sama ketika Ungu bertemu Ruzzy di halte depan sekolah, jika saja Ungu tidak bertemu Ruzzy dan Ruzze, maka hidupnya tidak akan seperti ini.
Semenjak kematian Ruzzy, Ungu mendadak menjadi orang populer di sekolah. Sebut namanya saja semua orang mengetahui kisahnya dan semua orang juga tahu, Ungu murid berprestasi di sekolah. Tetapi ketenaran dan prestasi tidak membuatnya sombong dan lupa akan kehidupannya yang dulu. Ungu masih ingat dengan rumah kecilnya yang indah itu. Ungu juga sering mengunjunginya bersama Kiki. Sekarang rumah itu telah menjadi sebuah panti tuna wisma. Dengan begitu, Ungu bisa lega rumah antiknya itu tidak kosong begitu saja.
Kiki hari ini juga selalu setia menemani Ungu kemana saja. Ungu merasakan ada yang kurang, hari ini Ruzze tidak masuk sekolah, dengan alasan pergi ke luar kota. Ungu merasa sedikit cemas, entah mengingat Ruzze itu mirip dengan Ruzzy atau ada hal lain.

“Ki, ntar pulang sekolah kamu ada acara nggak?”
“Enggak, kenapa Ngu?”
“Aku boleh kan lunch sama kamu? Kebetulan hari ini orang tua ku tidak berada di rumah.”
“Bisa....tapi sama Pak Topir kan?”
“Iya sih....tapi aku pengennya pergi berdua sama kamu. Lagian aku sudah bilang sama Pak Topir kalo nggak usah jemput nanti siang.”
“Eh, aku baru ingat...nanti sepulang sekolah aku harus temani Ibuku ke pasar...jadi nggak bisa deh. Lagi pula sebentar lagi kayaknya hujan nih...”
“Yah udah.....nggak apa-apa kok, mungkin lain kali.”
```
Bel pulang sekolah sudah 30 menit berlalu. Tapi Ungu masih menunggu Pak Topir. Tidak biasanya Pak Topir telat menjemputnya. Lalu ponsel Ungu berdering.
Halo Non Ungu, kayaknya Bapak nggak bisa jemput Non, ban mobil pecah Non!”
“Ya udah Pak, saya bisa jalan kaki.”
Hujan lebat mengguyur siang kelabu ini.  Ungu berlari kecil menuju halte, betapa terkejutnya Ungu melihat Ruzze yang tengah duduk disana.
“Ruzze, ngapain kamu disini?”
“Ungu! Aku nungguin kamu.”
“Bukannya kamu keluar kota?”
“Enggak, aku bolos. Aku tadi bangun kesiangan.”
“Kenapa kamu bilang keluar kota?”
Ungu melihat wajah Ruzze memerah.
“Habis, kalo bilang aku sakit, pasti kamu khawatir.”
Ungu memegang tangan Ruzze.
“Kamu memang sakit kan? Trus kenapa kamu rela hujan-hujanan gini hanya buat nungguin aku?” suara Ungu hampir tak terdengar karena hujan yang sangat deras.
“Habis, aku kangen sama kamu.” Teriaknya.
“Tapi badan kamu panas gini!! Kamu tahu, aku semakin khawatir kalo kamu hujan-hujanan seperti ini! Sekarang kita pulang!! Biar aku yang bawa mobil kamu!”
“Tapi Ungu, dengerin aku dulu, .....”
“Apa lagi? Hujannya sudah semakin deras nih!”
“Aku nggak bawa mobil!”
“Apa?!”
“Aku ke sini tadi jalan kaki! Tadi aku pikir nggak mungkin hujan, tapi nggak tahunya deras seperti ini..”
Ungu duduk sambil mencari jalan keluar. Tidak ada bemo satu pun yang lewat di depan sekolah yang sudah sepi itu. Pak satpam pun sudah pulang sejam yang lalu. Sekitar juga makin sepi karena pukul menunjukkan 4 sore. Ungu makin takut karena mendengar suara petir.
“Trus, gimana kita pulang? Pak Topir nggak bisa jemput, ban mobilku pecah.”
“Ya sudah, tunggu saja sampai hujannya reda.”
“Sampai jam berapa? Ini sudah jam 4 sore !”

Mereka menunggu berjam-jam agar hujan reda. Ungu benar-benar merasakan rasa sayang terhadap Ruzze, kali ini bukan sebagai seorang teman, melainkan rasa sayang terhadap seorang kekasih.
“Ungu, jam berapa nih?” tanya Ruzze.
“Jam 7.  Kamu mau nunggu sampe tengah malam?”
“Kalo kamu mau temani aku, aku mau nunggu sampe tengah malam.
Pak Topir akhirnya datang menjemput Ungu.
“Maaf ya Non, tadi itu ban mobil pecah di tengah jalan, trus Bapak bawa ke bengkel, ternyata bukan Cuma pecah, ada beberapa bagian yang harus dibenahi. Den Ruzze ngapain disini?”
“Saya temani Ungu Pak. Kebetulan saya tidak membawa mobil, boleh ikut nebeng Pak?”
“Udah Pak, kita pulang aja!”
“Ungu! Kamu tega ninggalin aku disini?”
“Masa’ kamu mau ngerepotin Pak Topir? Rumah kamu kan jauh!”
“Aku hari ini pindahan kok.”
“Ayo Den, tidak apa-apa.”
Ruzze merasa senang sekali.
```
“Ruzze, kamu mau pulang nggak?” tanya Ungu.
“Ya iyalah, ntar gue pulang. Tapi mampir di rumah kamu, boleh kan?”
“Ngapain? Ini kan sudah malam.”
“Aku mau numpang makan malam boleh kan?”
“Kamu kere banget sih? Emangnya ibu kamu nggak buat makanan malam ini?”
“Nyokap lagi nggak ada di rumah, katanya lagi keluar kota nemuin klien barunya.”
“Kali ini aja, lain kali enggak.”

Malam ini Ungu dan Ruzze makan di penggir kolam, layaknya sebuah dinner. Tetapi Ungu belum bisa merasakan aura cinta dari Ruzze.
“Makasih ya Ngu, kamu udah baik sama aku, padahal aku ngerasa udah banyak salah sama kamu.”
“Enggak lagi Ze, aku yang selama ini selalu nyama-nyamain kamu sama Ruzzy. Padahal sesuatu yang berjalan secara alamiah itu jauh lebih baik.”
“Kalo gitu aku pulang dulu ya.”
Ungu masih duduk di bibir kolam, sedangkan Ruzze sudah menyerat langkahnya.
“Ruzze!’ panggil Ungu, lalu Ruzze mendekat lagi ke arah Ungu.
“Apa?” tampak wajah polosnya seperti wajah Ruzzy.
“Hm, ...” Ungu memegang jidat Ruzze. “Badan kamu masih panas, hari ini kamu sudah minum obat?”
“Aku tidak pernah suka dengan obat-obatan.”
“Kalo gitu kamu malam ini harus minum obat, biar besok pagi kamu  bangun, udah merasa agak baikan.”
Ungu menggandeng Ruzze ke lantai atas untuk mengambil kotak obat. Ungu benar-benar merasakan suhu tubuh Ruzze yang panas itu. Ungu mengambilkan tablet obat dan memberinya kepada Ruzze, tapi Ruzze menolaknya. Ungu terus memaksanya, hingga Ruzze meminum obat itu.
```
Bulan September pun akhirnya tiba. Dan tepat hari ini Ungu pergi berdua bersama Ruzze menuju suatu tempat yang istimewa. Dan tepat hari ini tanggal 9 September, hari ulang tahun Ungu yang ke 17. Ungu melupakan hari istimewanya ini. Dan Ruzze tahu hal ini dari Kiki. Ruzze pun sudah menyiapkan hadiah yang sangat Ungu sukai.
```
“Kamu pegang tanganku ya.” Pinta Ruzze.
“Kenapa sih pake tutup mata segala?” Ungu ditutup matanya dengan sehelai sapu tangan.
“Kan surprise.”
Mereka berjalan menaiki sebuah tangga.
Ternyata Ruzze membawa Ungu ke sebuah tempat yang dinamakan ‘Love’s Heaven’. Di percayai, siapa yang menaiki tangga itu dengan tujuan yang baik, permintaannya akan terkabul. Ungu dan Ruzze terus melangkah menaiki tangga itu. Barulah sampai diatas, penutup mata itu dibuka.
“Ruzze, dimana ini?”
“Love`s Heaven. Tempat yang paling indah bagiku.”
“Love`s Heaven?”
“Sebelumnya, aku ingin mengucapkan, happy birthday, Ungu!!!!!”
“Happy birthday?”
“Iya, kamu tidak ingat? Ini kan hari ulang tahunmu?”
Ungu menangis dan memeluk Ruzze.
“Kenapa Ngu?” tanya Ruzze.
“Sudah 1 tahun Ruzzy pergi, Ze.”
“Iya Ngu...tapi aku yakin Ruzzy disana pengen lihat kamu bahagia, bukannya sedih seperti ini.”
“Iya, aku tahu, tapi aku tidak bisa mengendalikan air mata ini.”
“Kamu mau kan janji sama aku? Kita janji jari kelingking.”
Janji jari kelingking? Bukankah itu janjiku dengan Ruzzy?
“Kamu benar-benar sama dengan Ruzzy, ngajakin aku janji jari kelingking. Tapi tak apalah, aku mau kamu jadi diri kamu sendiri.” Ucap Ungu mengulang kata-kata Ruzzy dulu.
“Oke Nona, dan aku mau kamu tidak sedih lagi, kan udah ada Ruzze disini.”
Janji jari kelingking pun saling terkait di bawah bintang-bintang.
“Iya, aku janji.”
“Oh iya, hampir lupa....nih aku punya kado untukmu.”
Ungu mulai tersenyum. “Apaan nih?”
“Buka aja, aku yakin kamu pasti suka.”
Ungu membuka kado itu, dan betapa terkejutnya ia mendapat sebuah cermin yang persis seperti apa yang Ruzzy berikan dulu, hanya saja berframe putih, sama seperti mimpinya, ia melihat 2 buah cermin yang sama, ternyata kekhawatiran Ungu selama ini terjawablah sudah.
“Cermin ini....kamu beli dimana?”
“Kamu suka ya? Aku mendapatkannya dari seorang yang amat misterius. Dia menawarkan 2 buah warna putih dan ungu. Karena aku pikir kamu pasti sudah punya cermin berframe ungu, jadinya aku mengambil yang putih. Disamping itu, aku kan suka warna putih.”
Ungu memeluk Ruzze lagi. Hatinya merasa lega karena Tuhan telah beri malaikat duplikat, Ruzze. Ungu malam ini benar- benar ikhlas melepas Ruzzy dan menerima Ruzze dihidupnya.
“Ungu, aku ingin bertanya sesuatu...”
“Apa?”
“Walaupun terlalu singkat, aku mau kamu jadi cintaku....”
“Apa?!”
“Iya...walaupun aku hanya duplikat Ruzzy, tapi hatiku tetap bukan duplikat Ruzzy. Jika Ruzzy ingin menjadi nyawa hidupmu, aku ingin menjadi nyawa hatimu.”
“Kamu........ingin aku.........jadi...........pacarmu?”
“Iya.”
Ruzze memakaikan cincin di jari manis Ungu. Cincin itu sangat indah dan berkilau, meskipun bukan emas atau berlian, tetap saja cincin itu cincin yang indah.
“Tapi....kenapa tidak dari dulu kau katakan ini?”
“Jadi....selama ini kau menungguku untuk menyatakan perasaan ini?”
“Bukan menunggu lagi, tapi berharap kau akan katakan hal ini lebih awal. Jadi kau tidak memerlukan jawaban dariku kan?”
“Aku akan merana jika kau tidak memberikan jawaban.”
“Tapi aku yakin kau tidak akan merana, karena jawabanku adalah..’iya’.”
Betapa indahnya disatu tahun kematian Ruzzy. Ruzzy pun tersenyum dan menangis bahagia di surga sana melihat sang sahabat telah temukan kebahagiaan tanpa melupakannya, karena sosoknya telah didapati Ungu di Ruzze.
```
Kini cermin pemberian Ruzzy telah disandingkan dengan cermin pemberian Ruzze. Ungu meletakkan cermin itu di bagian depan pintu kamarnya. Dan kamar Ruzzy pun telah menjadi sebuah kamar kerja milik Ungu. Karena ini sudah setahun dari hari jadian Ungu dan Ruzze, dan dua tahun kematian Ruzzy. Selama setahun hari jadian mereka, Ungu menjadi lebih baik dari pada setahun yang lalu dan hubungan meraka berjalan dengan baik-baik saja, walaupun pertengkaran kecil sering menghiasinya.

Dan cermin itu kini tak sendirian lagi, begitu juga dengan Ungu.
```
TAMAT