Selasa, 06 Maret 2012

Now, It's Always You by @ShiraeMizuka







Title                : Now, It’s Always You
Author            : @ShiraeMizuka
Genre              : Angst, Romance
Length            : Ficlet (1384 words)
Rating             : PG+15
Cast                  : Park Rae In (OC), Kim Sang Bum / Kim Bum (Actor and Model), Kwon Jiyong (Bigbang), Jang Geun Seuk (Singer, Actor, Model)
Disclaimer     : I own the plots but no the casts. No plagiat, No Re-Post without confirm me!!!
….
To Ravla… the true terorist… this for you… telat ya?! I know… but… what can i say… just so sorry…
….
Tak perlu bersuara jika hanya untuk mengatakan kau cinta…
Author POV
September penghujung. Angin bertiup lancang. Tidak cukup untuk membekukan, namun sejuk. Cukuplah untuk membuat seorang gadis segera merapatkan sweater kelabunya. Desahan panjangnya ricuh dikalahkan desau bayu.
Rae In─gadis itu─ menoleh pada sosok lelaki disampingnya, “Mulai dingin disini, kita pulang?” tanyanya.
Hening. Hening yang menyanyikan hembusan angin. Dan suara goresan kuas yang terdengar terlalu lamat untuk ditangkap saraf auditori. Sudah terlalu biasa bagi Rae In jika kebisuanlah yang menyahutinya. Ketidak pedulian yang menyambutnya. Bahkan, kini lelaki itu menoleh pun tidak.
“Sang Bum-ah…” desahnya. Putus asa. Ia tahu, ia tidak akan memenangkan perhatian lelaki itu jika ia tidak memelas seperti itu. Sejak beberapa jam lalu ia memang telah kalah. Kalah telak oleh daun-daun maple dengan warna membara yang kini telah berpindah ke kanvas yang ada dihadapan lelaki itu.
Bahkan, ternyata ketika ia telah memelas meminta dikasihani seperti itu sekalipun ia tidak juga memperoleh apa yang ia minta dari lelaki itu; perhatian.
“Baiklah… Lima belas menit lagi. Setelah itu kita pulang.” Gadis itu memutuskan. Namun perhatian lelaki itu tidak juga ia dapatkan.
………..
Rae In POV
Senyumku yang tertahan masih bertahan hingga aku mencapai pintu apartemenku. Betapa gelinya aku jika mengingat betapa buruk rupa lelaki itu ketika aku benar-benar membawa─memaksa sebenarnya─untuk pulang. Bibirnya berkomat-kamit tak suka, total menjelaskan  bahwa mood-nya sedang berada jauh dari ambang kata ‘baik’. Untung saja  komat-kamit itu dilakukannya tanpa suara, jika tidak, maka habislah aku. Aku ingat, dulu… dulu sekali, Kim Sang Bum adalah seorang lelaki yang benar-benar cerewet. Ucapannya manis penuh percaya diri kala jiwa ke-playboy-annya tengah meronta minta dibebaskan. Tapi kadang kala ucapannya juga tajam menusuk kala penyakit introvertakutnya kambuh. Menjadi sahabatnya, bersamanya nyaris sepanjang usia, membuatku memahami apa yang orang lain alpakan pada dirinya.
Dan tidak ada yang lebih baik selain seorang Kim Sang Bum dalam hal menyanyikan kidung natal. Seperti yang selalu dinyanyikannya seusai perayaan misa di gereja. Meski setengah minder dengan vokalnya, aku bahkan pernah membuat janji suatu saat kami akan berduet menyanyikan Christmas Eve, kidung favorit kami sepanjang masa. Meski aku tahu persis, aku tidak akan pernah menyanyi sebaik dia… Tidak. Kidung yang ia nyanyikan pada natal tiap tahunnya adalah kidung terbaik yang bahkan akan selalu mengiang hingga ia menyanyikan kidung lain pada natal tahun berikutnya.
Natal tahun lalu adalah tahun penuh keemasan. Namun sayang, itu adalah natal terakhir aku mendengar Kim Sang Bum melantunkan kidungnya. Dan aku tidak akan pernah berduet dengannya. Karena setelah itu ia bisu. Tepat di hari setelah ia menggelenjang kaku, lalu tumbang dan berakhir dengan opname selama berhari-hari.
Dokter ahli syaraf yang merawatnya mendadak mengucapkan kata-kata yang membuat tubuhku limbung dan kepalaku terasa berputar. Beberapa kata yang bisa kupunguti dari penjelasan dokter yang panjang lebar hanya tiga; demielinisasi, gangguan otak, dan kebisuan.
Maka aku rasa aku tidak butuh penjelasan apapun lagi karena setelahnya sahabatku itu tidak pernah lagi berbicara. Bukan karena ia tidak mau, tapi tidak bisa. Semua itu cukup membuatku mengerti, bahwa selamanya ia tidak akan pernah lagi bersuara.
Aku mendesah. Senyum yang tadi kukulum telah lenyap tak bersisa. Dan tanpa kusadari entah sudah berapa lama aku tegak berdiri disini, di depan pintu apartemenku. Tidak beranjak barang sesentipun entah sejak berapa belas menit yang lalu saat masa lalu itu datang kembali mencekam.
“Sampai kapan kau mau melamun disana?”
………..
Author POV
“Sampai kapan kau mau melamun disana?”
Suara berupa sergahan itu jelas mengagetkan Rae In. Ia mendapati seorang lelaki kurus yang tengah bersandar di dinding apartemennya dengan lengan terlipat di depan dada. Matanya menyorot tak senang kepada Rae In.
“Jiyong…” bisik gadis itu. Sesaat tampak terkejut namun ia secepat mungkin menukarnya dengan ekspresi sedatar apapun yang dia bisa.
Lelaki itu mendekat, “Bersamanya tidak akan menjanjikan apapun. Kembalilah padaku.” pintanya yakin.
Rae In bertahan dengan datar di wajahnya. Ada baiknya seperti itu, karena ia benar-benar tidak ingin kedatangan Jiyong untuk kesekian kalinya berakhir dengan perdebatan mereka seperti yang sudah-sudah.
“Kenapa kau mau bertahan dengan lelaki penyakitan itu dengan perasaanmu yang hanya sepihak?” tanya Jiyong lagi. Kali ini suaranya terdengar begitu gusar.
“Lelaki itu… Kim Sang Bum… atau siapapun namanya, tidak akan pernah membalas perasaanmu. Kalaupun suatu saat perasaanmu bersambut, ia hanya akan memendamnya bersama kebisuannya.” Persuasif. Suara lelaki kurus terdengar demikian di telinga Rae In.
“Kau hanya bermimpi berharap ia membalas perasaanmu.” Racau Jiyong setengah membentak.
Dan Rae In membisu. Tak punya alasan ia untuk membantah. Ia menemukan kebenaran pada ucapan Jiyong. Bahkan pada setiap kata-katanya.
Kim Sang Bum tidak akan pernah membalas perasaannya. Tidak akan pernah.
………
Author POV
Jiwa mereka berdua menari-nari dalam suara hujan. Mereka duduk berhadap-hadapan namun begitu enggan untuk saling menatap. Masing-masing pandangan mata terlempar jauh keluar. Menembus kaca lounge yang berembun akibat derai hujan yang terlalu deras. Pikiran mereka telah melayang jauh. Menyeberang dan melintas pada jalur masing-masing.
Rae In dengan benda mungil berbentuk lingkaran yang diam-diam digenggamnya. Benda itu diberikan Jiyong semalam tepat di depan apartemennya. Bersama benda itu Jiyong menawarkan ikatan dan janji nyata. Bukan angan, bukan harapan dan juga bukan perasaan sepihak. Bersamanya Jiyong juga menawarkan tenggat waktu bagi Rae In untuk berpikir dan menimbang-nimbang.
Maka kini Rae In berpikir. Berpikir tentang perasaannya yang kini sedang ditawar. Jiyong baru saja menawarnya dengan harga tinggi, sementara Sang Bum, si pembeli yang didamba justru terlihat tanpa animo, enggan bahkan sekedar untuk menawar.
Setidaknya itu yang kini Rae In pikirkan. Ia tak mencoba menebak apa yang ada di dalam benak lelaki di hadapannya kini. Mengapa Kim Sang Bum terus menerus memainkan cangkir dengan gelisah? Mengapa ia begitu resah?
“Aku melihat Rae In bersama mantan kekasihnya semalam.”
Hanya satu rentetan kalimat yang diucapkan Geun Seuk─sahabatnya─sesaat sebelum ia berangkat kesini, ke lounge tempat ia dulu seringkali berbagi tawa bersama sahabat perempuannya. Dan hanya dengan satu kalimat itu cukup untuk membuat Sang Bum berpikir bahwa tsunami baru saja memporak-porandakan hatinya. Ia takut apa yang menjadi ketakutannya segera menjadi nyata.
Rae In akan meninggalkannya. Rae In akan meninggalkannya bersama cinta yang selama ini telah dibungkam kebisuan dan ketakutannya sendiri. Takut Rae In tak membalas perasaannya. Takut ia tidak pantas untuk Rae In. Takut Rae In tak akan bahagia bersamanya. Takut penyakit sialan itu membuatnya tak berumur panjang dan harus meninggalkan Rae In.
Terlalu banyak ketakutan yang bertimpa-timpa bersamaan dan membuat dadanya kian sesak.
Namun diantara semua ketakutannya, yang paling ia takutkan adalah Rae In tidak pernah mengetahui perasaannya. Hanya karena ia bisu.
“Kau akan menyesal jika tak mengutarakan perasaanmu padanya, Sang Bum.”
Benar kata Geun Seuk. Sang Bum akan menyesal. Menyesal di setiap detik yang akan dijalaninya setelah ini jika ia tidak melakukan apapun untuk membuat gadis ini tetap bersamanya.
Selalu ada alasan untuk apapun yang akan terjadi. Selalu ada konsekuensi untuk setiap tindakan. Namun jika ia diberi pilihan antara mengatakannya atau tidak, antara bertindak atau tidak, diam jelas bukanlah pilihan. Terlalu lama sudah ia bungkam. Apapun yang akan terjadi, apapun konsekuensinya. Ia akan mengatakannya.
Pelan, Sang Bum menyentuh jemari Rae In yang terulur di permukaan meja. Ia tersenyum sekilas meminta Rae In untuk memperhatikan apa yang akan dilakukannya.
Jari telunjuknya bergerak-gerak perlahan menyusuri dinding kaca lounge yang berembun untuk menuliskan hanya satu suku kata yang selama ini tertahan dalam hati dan benaknya.
-Saranghae-
Dan kini Sang Bum tercekat. Melihat senyuman lebar Park Rae In kini justru datang penyesalan lain yang menggerogoti hatinya.
Seharusnya ini ia lakukan dari awal. Seharusnya kebisuan tak menahan perasaannya hingga begini lama. Seharusnya ia tahu kebisuan tak akan pernah membuat cinta berhenti bersuara.
Jemari mereka saling menggenggam. Kini sepasang insan itu tak lagi enggan saling menatap. Tatapan mata adalah jalan mereka untuk menyelami hati masing-masing yang kini membuncah.
Na ddo. Na ddo saranghae” Bisik Rae In pelan.
…FIN…
………………………………………………….
Epilog
Hujan baru saja reda. Rae In dan Sang Bum memutuskan untuk segera meninggalkan lounge masih dengan jemari-jemari saling menggenggam.
Di meja tadi mereka tempati masih terdapat sepasang cangkir milik mereka. Salah satu cangkirnya tadi berisikan vanilla latte yang telah kosong milik Sang Bum yang isinya telah habis ia sesap untuk menenangkan debar jantungnya kala Rae In tak henti melempar senyum padanya. Satunya lagi berisilemon ice yang masih berisi setengahnya. Jauh di dasar cangkir itu, jika ada yang benar-benar memperhatikan, ada sebentuk benda berbentuk lingkaran pipih tengah berkilau temaram.
Rae In telah memutuskan siapa ‘pembeli’ yang benar-benar pantas mendapatkannya. Bukan karena tawaran yang tinggi. Tapi hanya karena hatinya telah memilih. Selama ini ia telah salah menilai dan membiarkan cintanya ditawar. Sekarang tak akan ia membiarkan siapapun lagi menawar-nawar perasaannya. Kini, hanya Kim Sang Bum seorang.
……………………………………………………………………………………………………………………………………….
NOTE :
Demielinisasi merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh gangguan nerologis, khususnya pada otak dengan gejala yang bermacam-macam, salah satunya destruksi pita suara. Penyebabnya bervariasi bisa akibat infeksi dan ada beberapa jenis yang bersifat herediter.
Ah, ini deskripisinya melenceng nggak yah? Aku juga kurang begitu tahu soal penyakit ini. Lebih aman tanya si mbah wiki ato buyut gugel.   Atau buka kamus kedokteran, patologis, atau kamus biologi. Aku udah coba buka koleksi kamus-kamus ku (yang biasanya malesssss banget aku sentuh) sih, well, ternyata tetep masih nggak banyak ngasih info tapi aku tetep keukeuh mau masukin penyakit ini ke fanfict ini… *dies* Haha.. LOL xD