Kimbeom berjalan dengan gontai tak tentu arah. Pulang dari rumah sakit dengan wajah pucat dan badan yang sedikit bergetar. Ia baru saja melihat seseorang mati di hadapannya, memang tidak dengan cara yang tragis, namun sesuatu yang dikatakannya membuatnya tak bisa berhenti memikirkannya hingga sekarang.
“Tolong berikan mataku.. pada Hongki.. setelah aku mati..”
Kalimat itu tak bisa berhenti berdengung di telingannya, dan senyum terakhir yang diberikan orang itu padanya, sebelum akhirnya ia terpejam dan menghembuskan nafas terakhirnya. Wajah itu masih diingat Kimbeom. Tapi bahkan ia tak tahu siapa pria itu dan siapa keluarganya. Maka ia tak bisa melakukan prosedur apa-apa untuk mengurus amanah yang diberikannya. Mendonorkan matanya untuk Hongki.
“Tolong berikan mataku.. pada Hongki.. setelah aku mati..”
Kalimat itu tak bisa berhenti berdengung di telingannya, dan senyum terakhir yang diberikan orang itu padanya, sebelum akhirnya ia terpejam dan menghembuskan nafas terakhirnya. Wajah itu masih diingat Kimbeom. Tapi bahkan ia tak tahu siapa pria itu dan siapa keluarganya. Maka ia tak bisa melakukan prosedur apa-apa untuk mengurus amanah yang diberikannya. Mendonorkan matanya untuk Hongki.
Entah bagaimana caranya, kakinya melangkah menuju ke tempat rehabilitasi dimana Hongki dirawat. Namun ia tidak masuk, ia berhenti di luar pagar. Matanya menatap kosong ke tanah. Hingga seseorang yang baru muncul memanggilnya.
“K..Kim Sangbeom?”
Kimbeom mendongak. Seorang gadis berada di hadapannya dengan wajah takjub, setengah malu, namun memberanikan diri untuk menyapanya. Park RaeIn. Entah apa yang dilakukannya jam segini, yang jelas ia tahu tempat itu tidak akan buka pada jam selarut ini, jadi bisa dipastikan RaeIn tidak muncul dari dalam sana. Tapi Kimbeom tak peduli.
Entah sadar atau tidak, sesaat kemudian ia sudah memeluk gadis itu erat, hingga Raein hendak terhuyung kebelakang, namun karena Kimbeom, ia tidak terjatuh. Gadis itu tak mengerti apa yang dipikirkan bocah lelaki itu. Apa yang sedang terjadi, hingga membuatnya melakukan ini. Yang jelas yang di rasakan RaeIn adalah kebingungan dan perasaan bahagia tiada tara. Makin menjelaskan bagaimana perasaannya pada Kimbeom.
---
“Mau jus?” Tanya Kimbeom, mereka duduk di sebuah halte kecil tak jauh dari sana, disampingnya ada vending machine yang menjual minuman jus dan soda. Kimbeom berada di hadapannya, memilih-milih minuman apa yang ingin ia beli.
RaeIn menggeleng, menolak tawarannya. “Aku sudah bawa minum!” ia menunjukkan air mineral di tangannya dengan senyum kecil. Kimbeom mengangguk-angguk, kemudian menekan satu tombol setelah sebelumnya memasukan 3 keping uang logam, dan sesaat jus peach keluar dari sana.
Kimbeom membuka kaleng jusnya, kemudian menenggaknya sedikit seraya duduk di samping Raein. “Kamu ngapain keluar jam segini?” Tanya Kimbeom basa-basi.
Raein tak bisa berhenti tersenyum meski ia menahannya. Namun ia berusaha mati-matian untuk terlihat biasa saja di hadapan Kimbeom. “Baru selesai beres-beres untuk pameran besok..” jawabnya. “Neo?”
Kimbeom tak bisa segera menjawab. Ia menatap kaleng jusnya beberapa saat sebelum ia menghela nafas cukup panjang. “Aku.. tidak tahu apakah ini berkaitan denganmu, tapi..” Kimbeom mengarahkan pandangannya pada Raein yang juga tengah menatap ke arahnya. “Ini berkaitan dengan Lee Hongki-ssi..”
Sesaat pikiran serba bahagia di kepala Raein sedikit memudar. Entah bagaimana ia merasa akan mendapatkan kabar buruk dari nada bicara yang dipakai Kimbeom. Namun ia tak menyelanya, ia membiarkan bocah lelaki itu meneruskan apa yang ingin di katakannya.
“Aku baru menemukan seseorang, ia tenggelam di sungai beberapa jam yang lalu setelah tertabrak mobil di jembatan.. dan aku melihatnya sendiri..” Kimbeom menghela nafas lagi. Ia merasa begitu sulit menceritakannya. “Aku menelpon rumah sakit dan mereka membawanya dengan ambulan bersamaku yang menemukannya..”
Kimbeom menatap kembali ke arah kaleng jus yang ia pegang di kedua tangannya. “Tapi ia meninggal setelah meminta sesuatu padaku..” lanjutnya.
“Mwo?” Tanya Raein penasaran.
“Ia memintaku menyumbangkan matanya untuk Hongki-ssi..” Kimbeom membasahi bibirnya yang tiba-tiba mengering, dan melanjutkannya lagi. “Tapi aku tak tahu keluarganya, makanya aku tak bisa menguruskan untuknya..”
“Tapi kau tahu namanya kan?” Tanya Raein antusias.
Kimbeom mengangguk. “Dari tanda pengenalnya, aku membawa kopiannya yang diberikan pihak rumah sakit untukku! Tapi terlalu sulit karena tak ada nomor yang terdaftar untuk di hubungi sama sekali! Bahkan ia tak memiliki ponsel!” ujar Kimbeom, mengeluarkan selembar kertas dari saku jaketnya dan memberikannya pada Raein. “Dan ini fotonya, apa dia kenalannya Lee Hongki-ssi? Aku sepertinya pernah melihatnya di suatu tempat.. Rae In-a? Gwaenchanayo?” menyadari perubahan air muka RaeIn, Kimbeom berpikir, pasti ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.
Tak satu katapun keluar dari bibir Raein begitu ia melihat foto yang diberikan Kimbeom padanya. Pas foto 3x4 yang dicurinya dari dompet Geunsuk untuk mencari kenalan bocah itu, karena bahkan nomor telepon dan ponsel pun tak tertera di tanda pengenal Geunsuk. Dan setitik air mata jatuh ke pipi Raein. “Geunsuk-i?” gumamnya lirih.
Kimbeom tersentak. “Geunsuk-i?” Kimbeom memandang bergantian ke arah foto, kemudian RaeIn. “Kau mengenalnya?” Tanya Kimbeom tak percaya. Memandang RaeIn ternganga, karena mungkin salah ia menanyakan soal ini pada RaeIn, melihat reaksi gadis itu setelah mengetahuinya.
Raein tak mengatakan apapun, bahkan menjawab dengan gelengan atau anggukkan pun tidak. Namun dari tangisnya, Kimbeom tahu gadis ini mengenal Geunsuk. Atau mungkin sangat mengenalnya. Yang ia lakukan hanya terus menangis. Diremasnya kertas di tangannya tanpa sengaja, ia letakkan kedua tangannya di pangkuannya, menundukkan kepalanya dan menangis sejadi-sejadinya. “Wae..” bisiknya entah kepada siapa.
“Raein-a?” Kimbeom bingung harus melakukan apa. Dengan gugup ia menepuk-nepuk punggung Raein tanpa mengatakan apa-apa lagi. Sementara Raein tak berhenti menangisi Geunsuk.
*
“Aku akan bisa melihat sebentar lagi? Jinjja?? Dokter, kau tidak bohong?” Hongki tampak senang mendengar apa yang baru saja diinformasikan oleh dokter kepadanya, sementara RaeIn duduk di sampingnya dengan senyum gamang. Ia bahagia untuk Hongki, namun tak bisa terlalu merasakannya karena Geunsuk. Semua ini membuatnya sebal.
“Kau senang?” Tanya dokter kemudian.
“Umh! Karena sebentar lagi aku bisa melihatnya..” kalimatnya ditujukan pada RaeIn. Sang dokter hanya tersenyum, sementara RaeIn tersipu.
Selesai dengan persiapannya, dokter mengijinkan Hongki meninggalkan tempat ini untuk pindah ke rumah sakit tempat dimana ia akan di operasi nanti. RaeIn mendorong kursi roda Hongki keluar menuju mobil yang akan membawa mereka kesana, sementara seorang perawat membantunya membawakan tas besar berisi perlengkapan Hongki.
Karena itulah Raein tak datang ke pameran kampusnya pagi ini, meski ada hal penting yang harus di laksanakannya, tapi ia merasa hal ini lebih penting. Ia lebih memilih untuk mengurus apa yang diamanahkan Geunsuk pada Kimbeom. Setelah sebelumnya mendapatkan persetujuan dari keluarga Geunsuk yang perwakilannya datang ke rumah sakit dengan pakaian serba hitam itu, mereka akan melaksanakan operasinya malam ini.
Hongki senang karena ia akan mendapatkan penglihatannya kembali, dan ia akan bertemu dan bisa melihat bagaimana wajah malaikatnya itu. Mungkin dengan itu, ia akan bisa mengingat semuanya nanti. Tentang siapa dirinya, dan siapa Raein, juga mungkin mimpinya yang tiba-tiba datang setelah Geunsuk sering main dengannya akhir-akhir ini.
“Aku tak sabar bisa melihatmu nanti, RaeIn-a!” Hongki berkata gembira didalam mobil menuju ke rumah sakit tempat dimana ia akan mendapatkan operasinya malam ini. Raein mengangguk, mencoba tersenyum meski ia tahu bagaimanapun ekspresinya Hongki tak akan bisa melihatnya. “Aku tak sabar, aku juga akan bisa melihat bocah yang sering menggantikanmu datang itu!” lanjutnya.
Sesaat hatinya seperti di tusuk duri, sakit. Mengingat bagaimana kenyataan yang ada sekarang. Hongki tak akan bisa melihat Geunsuk lagi. Sahabat baiknya sejak lama. Padahal ia ingin ketiganya seperti dulu lagi. Namun sudah tak mungkin lagi sekarang, Geunsuk sudah meninggalkan mereka selamanya.
---
“Kau baik-baik saja?” Tanya Kimbeom dari sebrang, melalui ponselnya. Raein hanya mengangguk dan berdeham menjawabnya. Ia duduk di kursi tunggu rumah sakit, sementara Hongki melakukan cek kesehatan sebelum operasi sebagai prosedurnya agar tak terjadi kesalahan yang fatal saat operasi nanti.
“Gomawoyo.. pamerannya..”
“Gwaenchana!” Kimbeom menyela. “Aku akan menyusulmu kesana nanti kalau pamerannya sudah selesai!”
Raein memandangi jari-jarinya yang menarik-narik ujung bawah jaketnya sendiri. “Oh!” katanya mengiyakan.
“Lalu kapan operasinya?” Tanya Kimbeom kemudian.
“Malam ini, jam 7!” jawab RaeIn singkat. Sesaat terasa kesunyian di antara mereka, dan RaeIn angkat bicara lagi. “Setelah operasi, jenazahnya akan langsung dibawa keluarga untuk di kremasi..” suara RaeIn bergetar, namun ia berusaha untuk terdengar baik-baik saja.
Keduanya terdiam, keheningan menyelimuti mereka. Tak satupun dari mereka berniat bicara, namun entah kenapa keduanya juga enggan untuk memutuskan sambungan telepon mereka. Kimbeom menghela nafas pendek. “Mianhae..”
“Untuk apa? Kau tak pernah bersalah..”
Kimbeom mendengus. “Entahlah.. aku hanya merasa harus meminta maaf padamu..” jawabnya pelan. Mereka terdiam lagi. “Lukisanmu bagus..” tiba-tiba saja Kimbeom bicara nggak nyambung. RaeIn hanya tersenyum tipis. Menyadari perkataannya sedikit bodoh, Kimbeom juga tersenyum kecil. “Aku menyukainya..” Kimbeom melebarkan senyumnya. “Dan menyukaimu..”
Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya, namun entah mengapa perkataan itu terlontar begitu saja dari bibirnya. Kimbeom pikir ia akan mendapatkan reaksi yang sama dari RaeIn. Amarahnya akan meletup-letup karena sebal pada Kimbeom. Namun reaksi yang didapatnya dari RaeIn diluar dugaan. Tak ada teriakan marah-marah, tak ada perlawanan dari RaeIn sedikitpun. Dan entah mengapa RaeIn sedikit melupakan apa yang sedang terjadi pada sahabatnya. Ia merasa berdosa, namun ia tak bisa menahan ini. Ia merasa sangat bahagia. Dan ia merasa sangat mengerti bagaimana perasaannya kini.
“Kau memerlukan jawaban?” RaeIn bertanya ragu.
“Tidak terlalu.. aku sedah senang kau tidak berte..”
“Nado!” hening sesaat.
“Mwo???” kini malah Kimbeom yang berteriak padanya.
“Nado.. Jhoayo!” dan tak ada pembicaraan lagi setelah ini. RaeIn memutuskan sambungan teleponnya segera dan mematikan ponselnya.
*
RaeIn baru kembali dari melawat. Pagi tadi Geunsuk di kremasi, dan makin banyak kerabat yang melawat ke rumahnya setelah upacara pemakaman usai. Walau ingin, RaeIn tak bisa berlama-lama disana. Ia terlalu sedih kehilangan sosok sahabat yang sudah di anggapnya sebagai saudara. Seseorang yang melindunginya sejak ia masih kecil, seorang pria dengan mimpi besar yang sudah tak mungkin diraihnya lagi.
RaeIn memandangi benda di tangannya. Kacamata renang Geunsuk yang di ambilnya dari rumah sewanya saat ia membereskannya kemarin. Semua barang-barangnya dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan ia hanya mengambil kacamata renang Geunsuk. Hadiah ulang tahun darinya, sekaligus hadiah saat ia menang turnamen antar sekolah di provinsinya. Begitu banyak kenangan yang terlintas dipikirannya, membuatnya semakin sakit untuk mengingatnya.
“Ayo pulang, pameran hari kedua kau harus datang, atau dosenmu akan mengurangi nilaimu nanti!” Kimbeom yang datang bersamanya memperingatkannya. Ia duduk di kap depan mobil, tepatnya hanya menyandarkan pantatnya disana. Disebelahnya, RaeIn dengan pakaian serba hitam mengusap-usap kacamata renang Geunsuk.
“Kita ke rumah sakit saja.. aku sedang tidak mood ke pameran!” jawab RaeIn tanpa mengalihkan pandangannya.
“Keurae, asal kita jangan disini terus! Tempat sepi, nanti muncul fitnah!” ujar Kimbeom sedikit bergurau. RaeIn tersenyum kecil, kemudian beranjak dan masuk kedalam mobil. Di sampingnya, di bangku supir, Kimbeom memasang sabuk pengamannya, kemudian menyalakan mesin mobilnya, dan mobil itu melaju beberapa saat kemudian.
Keduanya diam, tak terlontar sepatah katapun. Kimbeom berkonsentrasi dengan kemudinya, sedangkan RaeIn lebih tertarik membuang pandangannya keluar jendela mobil melihat apa saja yang dilewatinya. Meski pikirannya kosong. Bahkan ia sedang tidak mood memikirkan apapun.
“Operasinya berhasil?” Tanya Kimbeom memecah keheningan. Pandangannya tak beralih dari jalanan di hadapannya, namun ia tak suka keadaan yang terlalu sepi. Ia ingin mendengar suara RaeIn. Namun RaeIn hanya mengangguk menjawab pertanyaannya. Itu bukan jawaban yang diinginkan Kimbeom. “Kapan balutannya akan di buka?”
“Seminggu lagi! Aku harap ia benar-benar bisa melihat lagi..” ujar RaeIn.
“Sepertinya dia menyukaimu? Lee Hongki-ssi?” entah kenapa ia menanyakan hal itu. Ia sendiri baru menyadarinya setelah mengatakannya. Namun ia tak mungkin menariknya kembali setelah RaeIn sudah mendengarnya dengan jelas.
“Wae? Kau cemburu?” RaeIn menggodanya, meski pandangannya masih keluar jendela. Kimbeom tak menjawab, berpura-pura tak mendengar. RaeIn menoleh, tersenyum tipis. “Tenang saja, perasaanku tidak bisa berubah dengan cepat!”
Dan sesaat saja mobil mereka sedikit oleng dan hampir menabrak pohon di tepi jalan. Kimbeom menghentikan kemudian. Tatapannya kosong ke arah benda bundar di hadapannya. Sementara RaeIn meneriakinya karena mungkin ia hampir mati gara-gara Kimbeom.
“YAH!! Nyetir yang bener heh!!”
Kimbeom sedikit bergetar. Mereka tak pernah menyatakan ini, tapi entah, sejak semalam ia sudah merasa seperti memiliki RaeIn. Namun ia masih tak menyangka akan mendengar ucapan RaeIn barusan. Ia segera menghilangkan pikirannya, dengan tangan masih sedikit bergetar, ia mencoba melanjutkan perjalanan mereka. RaeIn yang menyadari itu tersenyum tipis, dan kembali mengedarkan pandangannya keluar jendela mobil.
*
“Oppa mau makan sesuatu?” Tanya RaeIn pada Hongki yang tengah duduk di kursi roda di depan jendela balkon kamar rumah sakitnya. Matanya dibalut perban putih yang menjaganya dari bahaya setelah operasi. Meski belum bisa dibuka dan ia belum merasakan efek positif dari operasinya, Hongki sudah terlihat sangat senang.
“Aku baru saja makan bubur! Perawat dari tempat rehabilitasi berkunjung sebelum kau datang!” jawabnya dengan senyum sama sekali tak tanggal dari wajahnya.
“Kalau begitu, mau ku kupaskan apel?” Tanya RaeIn.
“Boleh!” jawabnya.
Segera mungkin RaeIn mengupas apel yang ada di meja di samping tempat tidur Hongki. Kemudian membelah daging buahnya menjadi berukuran lebih kecil dan mudah dimakan. Ia menusukkan tusuk gigi ke salah satu potongan apel itu dan menyuapkannya pada Hongki. “Umh~ Jhoa!” gumamnya. RaeIn tersenyum, kemudian menyuapkan sediri salah satu potongan apel ke mulutnya.
“Ngomong-ngomong RaeIn-a.. kenapa bocah itu nggak datang?” Tanya Hongki dengan mulut setengah penuh kunyahan apelnya.
“Nugu?”
“Itu, yang sering datang menggantikanmu! Rasanya aneh dia tak muncul sama sekali akhir-akhir ini! Biasanya dalam sehari ia bisa datang sampai 3 kali!” terang Hongki. RaeIn terdiam. Ia tidak tahu ternyata Geunsuk datang sesering itu.
RaeIn tak tahu bagaimana harus menceritakannya, ia masih berpikir bagaimana cara menjelaskannya pada Hongki saat beberapa orang masuk kedalam kamar itu. Seorang dokter dan perawat yang harus memeriksa kondisi Hongki. Mungkin sedikit lega baginya, mereka menginterupsi di saat yang tepat, dan RaeIn memilih keluar dan segera pulang dari rumah sakit.
*
RaeIn mengangkat ponselnya yang bergetar di saku jaketnya setelah mendapati siapa yang menghubunginya. Teman kampusnya. Hari ini hari terakhir pameran namun ia tak bisa datang, jadi teman kampusnya meneleponnya karena RaeIn tidak pamit sama sekali pada mereka. “Tolong katakan pada professor aku mohon ijin untuk hari ini! Aku harus menemani Hongki oppa di rumah sakit!” ujarnya, sementara temannya di seberang telepon memintanya untuk datang atau ia akan mendapat 0 nantinya karena ia hampir tak pernah datang ke pameran mereka.
“Tolong ya! Aku bergantung padamu! Gomapda! Saranghaeyo!!” katanya, kemudian menutup ponselnya dan mematikannya.
Balutan perban di mata Hongki akan di buka hari ini. RaeIn tak ingin melewatkan saat-saat dimana Hongki akan bisa melihatnya lagi. Ia tak peduli dengan nilainya, ia lebih peduli dengan temannya itu. Dan kini ia sudah berada didalam kamar Hongki bersama seorang dokter dan beberapa perawat rumah sakit tersebut.
Sang dokter memotong salah satu bagian perban, kemudian memutarnya untuk membukanya hingga seluruh perban terlepas. Tinggal dua buah kapas yang di plester menutupi kedua matanya. Pelan, dokter mulai melepas salah satu kapas, kemudian membuka yang satunya lagi. Keadaan mata Hongki masih menutup hingga sekarang, dan sang dokter mulai memberikan aba-aba. “Lee Hongki-ssi, silakan buka matamu pelan-pelan!” ujarnya.
Pelan, Hongki membuka matanya. Tampak bayangan samar-samar di hadapannya. Bentuk-bentuk yang belum jelas, namun ia bisa melihat warna dengan baik. Dan semakin lama semakin jelas. Ia bisa melihat dokternya, dan perawat yang ada di hadapannya. Kemudian senyum mulai terkembang begitu lebar di wajahnya. “Aku bisa melihat!” katanya.
Operasi itu berhasil, dan sesaat kebahagiaan begitu terpancar didalam ruangan itu. Hongki tampak senang, sudah begitu lama ia tidak bisa menikmati keindahan bentuk dunianya, dan kini ia bisa melihatnya lagi. Hongki mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, hingga ia menemukan RaeIn, berdiri menahan tangis haru di salah satu sudut di hadapannya. Dan entah kenapa senyumnya memudar.
“Oppa! Ini aku, Park RaeIn!” katanya ceria.
Hongki menatap RaeIn nanar. Iya, dia Park RaeIn, Hongki tahu itu. Dia mengenalnya.. bahkan dia lebih mengenalnya hingga ia tak bisa merasa bahagia saat melihat wajah dan mendengar suaranya, karena dengan cepat, potongan-potongan memori itu mulai muncul di ingatannya. Tentang bagaimana ia menjadi buta karenanya.
*To Be Continue*
POSTINGAN ASLI