Jumat, 13 Mei 2011

A for Angel -part 1-


Dia sedang duduk dibawah pohon sambil mendengarkan musik. Jadwal kuliah hari ini semua dicancel oleh dosen, dan ia merasa sangat bosan.
“Huh, tau gini nggak pergi kuliah!”
Ucapnya sambil menyenderkan kepala dipohon rindang tersebut.
Nama cowok ini Haru Koyama. Biasa dipanggil Oya. Yap, kakek buyutnya masih ada keturunan bangsawan dari Jepang.
Oya melihat orang yang bersliweran di sana. Terlihatnya sangat beragam, ada yang terburu-buru, santai, bahkan ada yang seperti dirinya. Duduk-duduk dibawah pohon sambil mengobrol dengan teman-teman. Tidak dengan Oya, disini dia sangat sulit mendapatkan teman. Mungkin itu karena Oya orangnya terlalu misterius, padahal tidak. Oya tipikal orang humoris dan fleksibel. Tapi sampai sekarang dia sangat susah mendapatkan banyak teman. Hanya ada 1 orang yang cukup dekat dengan dia, namanya Rio.
“Nunggu Rio kuliah lama juga…bisa-bisa jamuran gue disini. Apa pulang aja ya? Bisa tidur dirumah?”
Oya memutuskan untuk pulang dan meninggalkan Rio tanpa memberi kabar apapun. Terlalu bosan Oya luntang lantung di kampus yang besar ini sendirian tanpa kawan yang banyak.

Oya menyempatkan minum teh hangat di sebuah mini café yang kebetulan ia temui dijalan pulang. Mini café ini baru saja dibuka kemarin, jadi lumayan banyak pengunjungnya. Oya duduk dan melihat daftar menu. Dia menggunakan telunjuknya untuk melihat menu itu dari atas ke bawah. Hm, ada satu menu selain teh hangat yang akan ia pesan, yaitu pudding vanilla yang pasti lezat.
Oya bingung mencari pelayan yang ada disana, semuanya terlihat sibuk. Kemudian seseorang akhirnya datang juga.
“Maaf menunggu lama, mau pesan apa?”
“Teh hangat dan pudding vanilla.”
“Mau mencoba ice cream chocolate kami yang baru?”
“Gratis?”
“Karena masih promosi, gratis.”
“O..oo boleh.”
Lagi-lagi Oya dibuat menunggu oleh pelayan tadi. Huh, kesal!
“Maaf lama ya?”
“Iya sih…pelayan disini kurang ya?”
“Iya, kami hanya bertiga, sedangkan tamu yang datang hari ini banyak.”
“Kalau saya bertemu dengan seseorang yang butuh pekerjaan, saya akan datang ke sini lagi.”
“Oh, terima kasih!” ucap pelayan itu lalu pindah ke meja lain.
Oya mencoba makanan mini café itu. Hm, ternyata memang sangat lezat dan gurih. Tidak percuma ia membayar agak sedikit mahal di mini café yang bernama A Café.
“Akhirnya pulang juga…tidak terasa sudah tengah hari begini..wah lapar nih…dari tadi pagi belum makan nasi….masa’ keluar lagi? Malas ah….buat mie instan aja…”
Oya menyalakan kompor tapi sayang, gas habis dan tidak bisa memasak. Lagi-lagi Oya harus tidur sambil menahan rasa lapar.
¤¤¤
            Oya tidur kelamaan. Jam 9 malam dia baru bangun dan langsung mendengar cacing-cacing yang sedang sengsara didalam perut krempengnya.
“Aduh…lagi-lagi gue tidur kaya’ kebo…..habis molor pasti cari makanan. Payah!”
Oya langsung meraih ponselnya dan menemukan : 7 missed call dan 3 new message.
“Astaga, siapa sih yang kebanyakan pulsa hari ini?”
Dan semua itu dari R.I.O.
“Ih, dia ngajakin makan malem? Jangan-jangan udah dari tadi lagi?”
Ada seseorang yang memencet bel.
Oya langsung membuka pintu, ternyata Rio.
“Ancrit lu, pasti jadi kebo lagi ya?”
“Haha, iya nih. Habis tadi siang gue mau bikin mie instant, tapi gas kompor gue habis.”
“Mau makan nggak lo?”
“Maulah! Kapan? Sekarang?”
“Nggak, minggu depan!”
“Ok, ok..gue ambil jaket dulu.”

Beruntungnya Oya yang mepunyai teman ‘ber-uang’ seperti Rio ini. Padahal Rio Cuma cowok biasa;standar. Sedangkan Oya cowok bangsawan. Aneh, jaman udah kebalik!
“Gimana? Enak kan?”
“Oh, tadi siang sih gue udah ke sini. Malahan udah ngobrol banyak sama pelayannya.”
“Rese’ lo! Kenapa nggak bilang-bilang mau ke sini?”
“Lo  masih ada kuliah tadi. Gue bosen nunggu elo, gue pulang. Trus nggak sengaja nemuin mini café ini. Ya udah gue mampir buat beli camilan doang.”
“Kenapa nggak makan aja sekalian?”
“Uang gue nggak cukup Rio….ini juga tinggal beberapa napas doang!”
“Duh, malang amat nasib lo? Katanya keturunan bangsawan, kok kere?”
“Hahaha, bangsawan ato enggak..tetep aja harus kerja kan?”
“Trus gimana lo bayar uang kuliah?”
“Nah itu dia yang gue heranin!”
“Heran kenapa?”
“Setiap kali gue mau bayar uang kuliah yang tiap bulan itu, pasti orang TU bilang gini, ‘Hebat, kamu memang mahasiswa yang amat rajin’. Nggak ngerti deh kenapa?”
“Mungkin sodara lo disana ada yang bayarin?”
“Sodara mana? Nyokap ma bokap gue udah nggak ada, pa lagi kakek nenek gue? Pada koid semua.”
“Hus, kok nggak sopan gitu ngomongnya?”
“Gue kan enggak kenal mereka, gue kan datang dari panti asuhan! Mana gue inget orang tua gue?”
“Lo nggak berusaha cari tau?”
“Ngapain? Mereka udah nggak pengen gue ada sama mereka. Buktinya gue ditinggal dipanti asuhan? Buang-buang waktu aja nyari orang yang nggak pengen ketemu kita lagi.”
“Kalo suatu saat ada yang ngaku-ngaku sodara lo?”
“Ah, ngapain jadi ngomongin gue sih? Omongin aja acara-acara kampus?”
“Nggak ada acara apa-apa di kampus. Biasa aja.”
“O iya gimana kaabr pacar lo?”
“Udah putus kali…”
“Kapan?”
“Ya udalah nggak usah dibahas. Elo sendiri gimana? Udah punya cewek blom?”
“Cewek mana yang mau sama gue Rio???”
“Kali aja ada malaikat yang turun dari langit trus jadi cewek lo?”
“Ngawur aja lo! Gue nggak percaya ama yang begituan! Apaan tuh? Dongeng anak balita?”
“Pantesan aja lo susah dapet temen! Nggak percayaan amat!”
“Lihat-lihat apa yang mau dipercayain. Jelas-jelas itu nggak masuk akal!”
“Ya ya…udah kenyang jangan marah-marah dong…..”

Mereka berpisah di depan rumah Oya.
Seperti biasa Oya langsung masuk kedalam rumahnya dan tidak mengunci pintu. Karena merasa tidak bisa menahan pipisnya, Oya segera lari kebirit ke kamar mandi. Setelah lega, pintu terbuka dan banyak bulu berwarna abu-abu tercecer dimana-mana. Oya bingung dengan apa yang terjadi di rumahnya itu.
“Ah, pasti ini kerjaan Rio. Rio!!!” Oya kembali memanggil Rio yang belum jauh dari rumahnya itu.
Rio tidak mendengarnya, dan terus berjalan. Akhirnya Oya menyapu bulu-bulu itu seorang diri. Ketika Oya siap membuang bulu-bulu itu ke dalam bak sampah yang tidak jauh dari rumahnya, tiba-tiba terdengar suara ‘BLEK’ lalu keadaan hening sejenak. Oya tidak jadi membuang bulu-bulu itu ke dalam bak sampah. Kenapa? Karena Oya melihat bulu-bulu semacam itu berterbangan seperti dedaunan yang jatuh tersapu angin.
Oya langsung meletakkan kantong sampah itu dan berbalik ke belakang.
“Oh My God..”
Hanya kata itu yang terucap dari mulut Oya pertama kali melihat sesosok manusia yang mungkin dinamakan malaikat itu. Mulut Oya masih ternganga lebar melihat apa yang ada di hadapannya itu.  Wajah wanita itu belum terlihat, tetapi jari jemarinya begitu rapuh tampaknya, kukunya manis berwarna putih berkilau dan di tangannya melingkar sebuah gelang perak bermotif bulat.
Oya mendekat dan mencoba menyentuh wanita yang rupanya pingsan itu. Masih tiada reaksi, tetapi ketika Oya menengadahkan kepalanya ke atas, bulu-bulu itu masih banyak berterbangan.
“Halooooo....elo pingsan ya?” tanya Oya sambil mencolek wanita itu dengan jari telunjuknya.
Tidak ada luka berarti di tubuh wanita itu. Hanya saja lututnya tergores dan terdapat beberapa luka gores di bagian sikut lengannya.
“Trus,…masa’ mau ditinggalin di sini?”
“Sakiit..” ucap wanita itu membuat Oya melompat mundur.
“Elo bisa ngomong?”
Wanita itu terdiam kembali.
Oya membawa wanita itu ke rumahnya, dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Setelah Oya membawa wanita itu ke dalam kamarnya, lalu kebingungan lain muncul. “Dia itu manusia kan?”
Lalu hal itu menimbulkan kepanikan, “Bagaimana cara gue menjelaskan semua ini kepada Rio esok hari?”
Ho ho ho …. Tampaknya malam ini Oya tak bisa tidur dengan nyenyak.
¤¤¤
Lagi, lagi, dan lagi. Oya hobi sekali bangun siang. Padahal hari ini dia ada jadwal kuliah pukul 1 siang, Oya malah bangun pukul 11 siang.
“Astaga, kenapa gue bisa ketiduran di sini sih?”
Lalu Oya memutar kembali ingatannya semalam.
“Oh iya, wanita itu!” Oya langsung saja menuju kamarnya dan tidak menemukan wanita itu terbaring disana. Oya mencari wanita itu ke segala penjuru rumahnya, mulai dari dapur, kamar mandi, teras belakang, teras depan sampai akhirnya Oya mencari langsung ke jalanan, terutama dekat bak sampah semalam.
Nihil. Yang Oya temui hanya angin dan dedaunan yang berserakan di jalan.
“Apa semalam gue mimpi ya?” Oya langsung melihat ke dalam bak sampah itu, yang ada hanya sekumpulan bulu ayam yang dibungkus tas kresek. Tidak puas dengan kepenasarannya, Oya pun kembali ke rumah dan mencari sisa-sisa bulu yang semalam sempat menghampiri rumahnya.
“Pasti mimpi.” Oya meyakinkan dirinya sendiri.
Sudah tengah hari, tetapi Oya belum juga berangkat ke kampus. Seusai mandi dia sempat rebahan di kamarnya. Dan Oya mencium aroma wangi yang melekat pada seprai tempat tidurnya. Lalu dia mengingat kapan terakhir kali membawa seprai itu ke laundry. Tetapi itu sudah sangat lama, mungkin itu bekas yang ditinggalkan wanita semalam yang meniduri tempat tidur milik Oya.
Oya tidak banyak memikirkan hal itu, dia langsung berangkat ke kampus dengan menggunakan angkot yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Sesampainya di kampus, dia bertemu dengan Rio. Tapi kali ini wajah Rio tidak seperti biasanya.
“Sob, napa lo?” tanya Oya sambil menyulut rokoknya.
“Gak pa-pa.” jawabnya gusar.
“Ga pa-pa tapi muka lo kusut.”
Lalu Rio langsung menarik Oya ke tempat yang agak sepi.
Oya bingung dengan sikap sahabatnya ini.
“Kenapa lo? Habis liat setan semalem?”
Rio kali ini mengguncang tubuh Oya.
“Kenapa sih?”
Rio tidak membuka mulutnya malah berlari menjauhi Oya.
“Hei, Rio!” tapi Rio tetap menjauh.
Saat Oya hendak mengejar Rio, salah seorang teman mengajaknya masuk kelas.
Masih dengan Rio, dia berlari menjauhi Oya menuju sebuah gudang kosong yang ada di sekitar kampus. Di situ dia berhenti dan lalu tersenyum, kemudian berlalu seperti tidak ada apa-apa.

“Oya, kelas sudah selesai!” tegur salah seorang temannya.
Oya hanya melamun, dia tidak mendengarkan apa yang dikatakan dosen pada kelas ini. Sudah 3 jam yang ia lalui di dalam ruangan ber-AC ini, tetapi belum mengetahui motif Rio yang tampak aneh siang ini.  Kemudian ia menuju toilet dan membasuh muka agar terlihat lebih segar. Ketika Oya hendak mengambil rokoknya, dia melihat sehelai bulu yang sama dengan apa yang ia temui semalam. Oya kembali membasuh wajahnya dan bulu itu masih ada di sampingnya. Buru-buru ia masukkan sehelai bulu itu ke dalam tasnya.
Oya bertemu dengan Rio saat keluar dari toilet.
“Eh ni anak gue cari-cari juga ternyata lagi di sini..”
Oya bingung, mengapa Rio begitu tampak seperti biasanya;dandan dengan gaya glamournya dan bling-bling masih menghiasinya.
“Tadi lo kenapa?”
“Tadi? Maksud lo?”
“Yah pake nanya lagi…tadi elo itu mau ngomong apa?”
“Elo ini ngomong apa sih? Gue jadi nggak ngerti?”
“Aaah, lupain aja! Gue laper neh, traktir gue!”
“Dari tadi gue nyariin elo ya emang mau ngajakin makan. Kenapa nggak bilang ada kelas?”
“Tadi siang kan kita udah ketemu, bukannya elo udah tau gue ada kelas hari ini?’
“Ah, siang kapan? Ngaco lo, tadi siang jam berapa?”
“Jam 12.45, pikun lo.”
“Ih, jam segitu gue masih on the way…gue nyamperin ke rumah lo, tapi elo udah ga ada, y ague susulin ke kampus, siapa tau ada. Trus temen lo bilang lo ada kelas hari ini.”
“Hah? Temen gue yang mana?”
Mereka klarifikasi sambil berjalan menuju parkiran.
“Bukannya lo bawa cewek ke rumah?”
“Hah?” kali ini Oya lebih terkejut lagi. “Cewek yang mana?”
“Aduh, jangan pura-pura bego deh sama gue. Gue ini juga…masa’ mau ngembat punya elo..”
“Idih, gue serius…tadi sebelum gue ke kampus, rumah itu gue kunci…” Oya merogoh tasnya, ternyata kunci rumahnya tidak ada.
“Nah, tuh kan nggak ada! Ya mana bisalah kalo rumah lo kunci, trus tu cewek masuk lewat mana? Cerobong asap?”
“Serius, tadi gue naek angkot ke sini, trus pas di dalam angkot itu kunci gue masukin ke sini!” Oya menunjuk saku tasnya.
“Sekarang mana buktinya, nggak ada kan?”
Oya dan  Rio menuju A café.

“2 vanilla shake dan 1 porsi pizza ukuran medium.” Ucap Rio.
“Tapi gue yakin kalo gue itu tadi udah ngunci pintu rumah!”
“Stop, mungkin kamu semalam begadang, jadi lupa. Sekarang makan dan minum dulu ya.”
Oya perlahan melahap satu potongan pizza dan dia merasa ada yang janggal di café ini.
“Mbak, ..” panggil Oya.
“Iya, ada yang bisa dibantu?” tanya pelayan itu.
“Biasanya bertiga, sekarang kok berdua?”
“Oh, iya…yang lagi satu sedang sakit.”
“Sejak kapan? Bukannya kemarin masih sehat?”
“Iya, katanya semalam mendapat kecelakaan.”
“Eh Ya, ngapain lo tanya-tanya pegawai disini segala?”
“Ya gak pa-pa dong nanya. Soalnya biasanya mereka bertiga, sekarang Cuma berdua.”
Makanan telah mereka habiskan, dan waktunya untuk pulang.

“Oya, gue Cuma bisa nganter elo sampai halte aja ya..”
“Hm? Kenapa?”
“Ya udah besok gue ceritain.”
Oya turun di halte dekat rumahnya. Dia berjalan menuju rumah, dan memang benar apa yang dikatakan Rio, pintu rumahnya sudah terbuka. Langsung saja Oya berlari, takut jika ada maling yang masuk. Tapi, yang ia temukan adalah sebuah sweet pancake. Baunya sangat lezat dan menusuk hidung juga menggugah rasa lapar. Tapi sayangnya Oya baru saja makan pizza.
“Apa-apaan neh?” Oya melempar tasnya di sofa dan langsung mendekat ke meja makan.
Rumahnya menjadi rapi dan bersih, seperti sedia kala, semua prabotnya seperti baru.
“Ada apa sih?” Oya mengelilingi seisi rumah
Lalu dari arah kamar mandi terdengar centong yang terjatuh.
Oya mendapati seorang wanita pingsan di dalamnya.
“Hei!” Oya langsung membawanya ke sofa. Oya menutup pintu agar tidak ada orang yang curiga.
Setelah ± 10 menit wanita itu sadar juga.
“Lo tadi kenapa?” pertanyaan Oya membuat bingung wanita itu.
“Why are you?” Oya mencoba menggunakan bahasa Inggris, tetapi wanita itu semakin menunjukkan ekspressi yang aneh.
“Kamu tadi terjatuh di kamar mandi. Jadi, kamu kenapa?” tanya Oya sambil memperagakannya.
Wanita itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Ih, kok malah ketawa sih?”
“Lo kira gue bisu tuli apa? Wakakakakakakakakakaka…”
“Eh! Ngomong kek dari tadi! Bikin gue kesel aja?”
“Sorry, sorry…” ucap wanita itu dengan gelang perak yang menarik perhatian.
“Lo ini siapa?”
“Idih, masih nanya juga. Kirain tau…”
“Mck, jangan main-main deh. Lo itu udah ketemu ya sama sohib gue?”
“Iya, kenapa?”
“Tunggu, gue ini cowok dan kamu cewek.”
“Trusss?”
“Ya gak seharusnya dong 1 rumah!”
“Yang nolongin gue semalem siapa?”
“Gue.”
“Lho? Yang bawa gue ke sini siapa?”
“Gue.”
“Yang bawa gue ke kamar lo siapa?”
“Gue juga.”
“Ya udah, berarti kan elo yang buat gue ada di sini. Jadi jangan salahin gue dong!”
“Ya tapi kan..”
“Mck..mck..mck..jadi sekarang gini aja..” wanita itu membeNadan dua pilihan.
“Apa?”
“Elo mau nampung gue disini atau gue sebarin ke seluruh penjuru kampus kalo elo udah menghamili seorang wanita yang…”
“Eh..eh…apaan to? Nggak bisa gitu dong…emang lo pikir gue cowok paan?!”
“Ya..habis..masa’ lo tega ngusir gue?”
“Oke, lo stay disini. Biar gue aja yang keluar dari rumah ini!” Oya segera mengambil tasnya dan berlalu, tetapi wanita itu mencegahnya.
“Eh, lo kok gitu sih? Ini kan rumah lo?”
“Mau lo apa lagi? Lagian siapa sih lo? Malaikat? Kalo lo malaikat, pacarin gue sekalian!”
Oya emosi, dia pergi menuju rumah Rio.
Wanita itu kembali ke dalam rumah Oya.

“Oya, ngapain lo di rumah gue?”
“Gue nginep sini ya? Paling Cuma beberapa hari.”
“Ya kalo masalah lo nginep sih guu ga masalah..Cuma apa yang bikin elo pergi dari rumah lo sendiri?”
“Aduh, jangan sekarang deh diceritain. Males gue bilangnya, terlalu rumit.”
“Eits, kalo lo gak ngomong..lo jangan tidur di sini malam ini.”
“Ini juga..maksa-maksa orang buat cerita.”
“Ayolah…”
“Cewek yang ada di rumah gue itu nggak mau pergi dari rumah gue. Ya udah, gue yang pergi.”
“Bukannya dia cewek lo?”
“Dari Hongkong? Kenal aja enggak.”
“Trus, kok dia bisa kenal sama lo?”
“Semalem waktu lo nganterin gue pulang, tiba-tiba di dalam rumah gue banyak bulu-bulu gitu. Kirain  kerjaan lo, gue panggil-panggil elo, ga noleh-noleh. Trus gue sapuin dah to sendirian! Waktu mau gue buang ke bak sampah di seberang rumah, tiba-tiba gue denger suara ‘BLEK’! Pas gue noleh ternyata ada cewek tu, jatuh telungkup! Lututnya luka, sikutnya juga luka..ya udah gue tolongin dah to, gue bawa ke rumah. Eh pas tadi siang gue bangun, tu cewek ga ada! Gue bingung dong?! Semalem gue taro di kamar gue, siangnya udah raib! Gue tinggal kuliah. Gue kunci dah tu rumah gue. Trus lo bilang bla..bla..bla..gue jadi semakin yakin kalo tu cewek masih di sekitar rumah gue!”
“Ah, panjang ternyata ya?”
“So?”
“Mungkin dia emang bener seorang Angel?”
“Ngaco lo, hari gini mana ada malaikat yang jatuh dari langit?”
“Eh, siapa tau aja emang bener. Kalo bener gimana?”
“Tadi gue sempet bilang gini, kalo emang bener dia malaikat, sekalian aja gue suruh dia pacarin gue.”
“Hah? Wah parah lo..malaikat juga mau lo embat..yang di bumi aja nggak dapet, pa lagi malaikat?”
“Um, gue ngantuk neh..numpang mandi?”
“Iya, sono masuk..anggap aja rumah sendiri.”
¤¤¤
Malam yang dingin ini Rio mengajak Oya makan di A café lagi.
“Suka banget lo kesini? Sekali-sekali ke restoran kota kek gitu?”
“Eh, waitressnya itu lho cantik-cantik.”
“Bilang aja lo mau TP TP ria disini.”
“Sambil menyelam minum air..”
“Kelelep dong?”
“Malam, mau pesan apa?”
Oya merasa familiar dengan suara ini.
“Ngapain kamu disini?”
Wanita itu tidak bisa menjawab.
“Oh, jadi loe kerja disini?! Trus ngapain lo masih tinggal dirumah gue?”
Untung saja A café sepi malam itu.
“Bukan gitu maksud gue!”
Waitress yang lain menatap wanita itu dengan tatapan yang amat curiga.
Wanita itu menahan langkah Oya.
“Dengerin dulu penjelasan gue!”
Oya tetap meninggalkan A café.
“Ini Cuma ucapan terima kasihku karna loe udah nolongin gue!”
Oya berhenti melangkah.
“So?”
Wanita itu tidak bisa menjawab. Dia terdiam sampai akhirnya Oya berhadapan langsung dengan wanita itu.
“Sekarang, mau loe apa?” Oya membentak keras wanita itu.
2 waitress yang lainnya keluar dari dalam A café.
“Jangan bentak gue! Salah gue apa?  Lo cowok yang ga bisa hargai cewek!”
“Lo jangan ngomong sembarangan!”
“Sweet pancake yang gue buat khusus buat elo! Itu tanda terima kasih gue sama elo! Tapi apa? Lo malah menganggap itu aneh!”
“Oh, jadi itu aja? Semua orang jika mengalami hal yang gue alami juga pasti bilang aneh. Mana ada orang jatuh dari langit? Gak masuk akal!” ucap Oya sambil menunjuk kepalanya dengan telunjuk kanannya.
“Oh, jadi elo nggak percaya kalau gue malaikat!?”
“Jangan berkhayal, ini tahun 2009. Ga ada yang kayak gitu-gituan. Lagian gue anak kuliahan, gak boleh percaya sama yang begituan. Lo itu udah buang waktu gue. Rio, cabut. Mendingan kita ke kota aja, makan di restoran.”
“Tapi Oya,”
“Apa? Loe kemakan sama omongan mereka?”
“Bukannya gitu, tapi ga ada salahnya kan lo percaya sedikit aja sama cewek itu?”
“Hh, apa lagi yang mau dipercaya dari cewek macam dia? Yang ada gue bisa gila dengerin celotehan-celotehan dia!”
Wanita itu sudah tidak bisa berucap apa-apa lagi ketika melihat kekukuhan hati Oya.
“Atau mungkin kalian itu ga lebih dari sekedar penipu wanita?”
Merasa tersinggung, wanita itu itu menampar keras pipi Oya.
“Ow…” itu yang diucapkan Rio.
“Lo itu udah mulai keterlaluan ya?”
“Apa?! Kalo lo mau tampar balik, ayo tampar gue! Gue gak pengecut seperti elo!”
“Lo itu keras kepala banget ya?” Oya melunak.
“Kenapa? Bentak aja lagi!”
“Ga ada gunanya gue ngomong sama lo lagi.”
“Gue gak mau lo pergi dari sini sebelum lo balikin sehelai bulu sayap gue yang ada di dalam tas lo.”
“Oh, jadi ini? Memangnya kalo ga gue balikin gimana?”
“Lo mesti balikin!”
“Jawab dulu, emang kenapa kalo ga gue balikin?”
“Gue gak bisa balik lagi ke surga. Jadi, please balikin…” wanita itu sampai bersujud dihadapan Oya.
Lalu Rio angkat bicara, “Oya, kembalikan. Apa loe nggak punya rasa iba liat dia?”
“Loe belain dia?” tanya Oya yang urung meraih sehelai bulu itu.
“Ya bukannya gitu Ya…tapi apa loe gak kasian sama dia?”
“Ini semua ga ada urusannya sama loe. Shut up!” Oya meraih sehelai bulu itu.
Lalu wanita itu hendak merebut bulu itu, tetapi sialnya Oya lebih tinggi dari wanita itu.
“Balikin!”
Lalu Oya menjauh, seperti terkena sihir bling-bling dari wanita itu.
“Kenapa?” tanya salah satu waitress disana.
Wanita itu tersenyum, dan ternyata sudah mendapatkan sehelai bulu itu dari tangan Oya.
Rio langsung mengejar Oya dan meninggalkan A café di malam yang sunyi itu.
“Akting kamu bagus banget ya?” ucap salah satu waitress yang bernama Gaia.
“Kamu bisa buat cowok itu kalang kabut setelah habis-habisan buat kamu nangis.” Ucap waitress yang lagi satu, Nada.
“Sebenernya aku Cuma ngetest dia malam itu. Mau denger ceritanya gak?”
“Mau…mau!” jawab mereka bersemangat.
Lalu A café mereka tutup dan mereka duduk di dalam A café.
“Kemaren malem saat kalian sudah tidur, aku jalan-jalan mengelilingi kota pinggiran ini. Aku ingin tau apakah masih ada orang disini. Ternyata aku menemui Oya sedang berbincang dengan Rio, ya sudah, aku kerjai saja Oya dengan menyebar bulu-bulu angsa abu-abu di rumahnya.”
Lalu Nada bertanya, “Bagaimana cara kau melakukannya?”
“Mudah saja, saat Oya lengah, aku masuk ke dalam rumahnya lalu memulai aksiku. Kemudian aku bersembunyi di dalam rumahnya. Ketika Oya sedang menyapu bulu-bulu itu, aku keluar lewat pintu belakang. Lalu aku masih mempunyai sisa bulu-bulu angsa itu di dalam saku ku. Aku melihat Oya keluar dari rumah menuju bak sampah besar di sebrang rumahnya. Buru-buru aku menyebar sisa bulu-bulu angsa itu di udara. Aku naik ke lantai atas rumah Oya lalu langsung berlari menuju ke tengah jalan lalu pingsan. Tapi sebelum aku pingsan aku tidak sengaja menjatuhkan sebuah kardus bekas yang didalamnya berisi kapuk, dan langsung saja aku berlagak pingsan. Aku tidak pernah menyangka jika dia memang terkejut mendengar itu. Karena terburu-buru, sikut lenganku dan lututku luka tergores oleh aspal jalan yang tidak rata itu. Lalu Oya sempat berbicara, aku jawab saja dengan ‘sakit’.” Ujar wanita itu dengan tersenyum.
“Trus ada lanjutannya gak?” tanya Gaia.
“Masih. Paginya jam 6 pagi aku terbangun. Aku langsung melaNadan diri dari rumah Oya. Jadi waktu dia bangun, pasti bingung banget.”
“Lalu?”
“Siangnya sekitar jam 1 aku balik lagi ke rumah Oya. Aku pengen ngucapin terima kasih karna semalam udah beNadan tempat berteduh yang nyaman. Meskipun aku pulang, pasti kalian sudah terlelap. Ya kan? Tidak sengaja aku menemukan sebuah kunci yang terjatuh di depan rumah Oya. Klik, terbukalah rumah Oya. Ternyata dia menjatuhkan kunci rumahnya. Lalu aku buka lebar saja. Tidak lama Rio datang, dia sudah menangkap basah sosokku. Dia bertanya, “Oya mana?” aku jawab saja, “Oh, baru saja dia berangkat kuliah.” kemudian Rio berlalu tanpa menanyakan siapa aku. Aku keluar sebentar untuk membeli sweet pancake buat ucapan terima kasih. Karena aku melihat rumahnya yang berantakan, maka aku membereskannya. Iseng-iseng aku menyemprotkan parfum yang kubawa didalam tasku. Tidak tanggung-tanggung aku menyemprotkannya di tempat tidur Oya. Saat Oya pulang, aku sedang berada di kamar mandi, aku mendengar ada seseorang yang berbicara, lantas aku bilang deh dari situ, bla…bla…bla…sampai tadi itu akhirnya. Ya semuanya itu hanya acting belaka. Ternyata Oya dan Rio percaya jika aku ini malaikat.”
“Kamu hebat juga ya bisa nipu cowok-cowok itu, jangan-jangan salah satu dari mereka ada yang nyantol dihati kamu lagi?” goda Gaia.
“Hah? Nyantol gimana maksudnya?”
“Jangan-jangan kamu suka ya sama Oya? Atau sama Rio?” tanya Nada dengan rasa penasarannya.
“Em, jujur nggak ya?”
“Ayolah….” Pinta keduanya.
“Oya sih cakep…tapi Rio juga manis.”
“Jadi yang kamu pilih yang mana?” tanya Gaia.
“Oya dong…kan udah target.”
“Sejak kapan?” mereka berdua sama terkejutnya.
“Sejak Oya datang pertama kali ke café kita. Ingat gak Nada?”
“Oh, ya ya ya…jadi kamu liat dia ya?”
“Iya, dia setia sama iPodnya.”
¤¤¤
1 minggu berlalu, selama itu pula Oya tidak pernah balik lagi ke rumahnya. Dan baik Oya maupun Rio tidak pernah lagi mampir ke A café dan tidak pernah melihat wanita itu di sekitar mereka. Tapi suatu saat mereka balik lagi ke A café, tetapi tempat itu sudah beralih fungsi menjadi kios bunga bernama A flower.
“Loe yakin ini A café?” tanya Oya kepada Rio.
“Yakin, kan biasanya kita ke sini. Masa’ iya nyasar?”
“Tapi ini kios bunga!”
“Udah pindah kali?”
“Masa’ iya pindah? Trus kalo pindah, kemana?”
“Coba kita tanya yang punya kios, kali aja tau.”
Pemilik kios bunga itu tampak sedang sibuk.
“Pagi..”
“Iya? Mau beli bunga?”
“Iya..tapi sebelumnya saya mau nanya..”
“Iya, apa?” sahut wanita setengah baya itu.
“Ibu sejak kapan berjualan disini?”
“Oh, sekitar 5 hari yang lalu. Kenapa ya?”
“Gini Bu, teman saya yang disana itu sedang mencari temannya yang bekerja di A café.”
“Oh A café..ya ya. Saya tau itu.”
“Trus Ibu tau gak mereka pindah kemana?”
“Tau tau. Tapi jauh dari sini.”
“Iya jauh itu dimana Bu?”
“Disana. Di ujung jalan ini. Jangan kalian kira ujung jalan ini dekat. Sangat jauh. Jika kalian berangkat pagi ini, baru petang nanti kalian akan sampai.”
“Lho? Kok jadi jauh banget?”
“Nada sempat bilang jika café mereka tidak laku disini. Makanya mereka pindah ke ujung jalan sana.”
“Nada? Nada siapa Bu?”
“Salah satu waitress. Yang bodynya paling pendek.”
“Oh yang itu…” Rio tampak senyum-senyum sendiri.
“Jadi mau beli bunga yang mana?”

“Wah, gue gak percaya! Masa’ iya A café pindah ke sana?”
“Emang kenapa Ya?”
“Boong kali tu Ibu! Ga, pokoknya gue gak bakal kesana. Kalo lo mau cari Nada, cari sendiri.”
“Idih, loe kok gitu sih ke gue? Nada nih…gue tau lo pasti juga nyari cewek itu kan? Namanya aja loe belum tau…kalah deh loe. Gue aja udah tau namanya Nada.”
“Iya soalnya Ibu yang tadi juga gak sengaja ngomongnya jadi lo tau.”
“Yeee…kenapa loe nggak tanya Ibunya aja? No .. no ..no tanya!” jawabnya sambil memonyongkan bibir kearah Ibu itu.
“Gak. Penting ya nanya siapa nama cewek kurang ajar kayak gitu?”
“Eh jangan lo kira gue nggak tau apa yang terjadi malam itu ya…”
Wajah Oya memerah, dia tampak malu.
“Ngomong apaan sih loe?”
“Alllah, duh yang dapet first kiss..”
Kini perlu diketahui, malam itu Oya menaikkan sehelai bulu itu. Menjunjung tinggi sehelai bulu. Pada saat itu wanita itu berusaha meraihnya, ternyata bukan hanya untuk meraihnya, tetapi dengan cepat wanita itu mencium bibir Oya. Saat Oya lengah, dia langsung meraih sehelai bulu itu. Maka setelah itu Oya langsung melarikan diri. Dan tanpa sengaja hal itu tertangkap oleh mata Rio seorang.
“Mck, anterin gue pulang, cong?”
“Yea….”

Keadaan 3 wanita …
“Kamu yakin ingin buka A café disini? Disini kan sudah  banyak rumah makan?”
“Tak apa, aku yakin pasti laku keras disini. Apa lagi dekat kampus.”
“Nada, kamu yakin aja deh. Gaia disini pun sudah sangat mantap. Apa kamu tidak lihat lokasinya? Strategis banget.”
“Gaia benar, kamu nggak perlu ragu. Ayo optimis! Jangan pesimis gitu dong! Sekarang kita bereskan tempat kerja yang baru!” dengan semangat yang berapi-api wanita itu langsung membenahi A café yang baru.

Rio dan Oya sedang larut dalam lamunannya masing-masing. Debu. Kesan itu yang pertama kali ditangkap oleh Rio dan Oya saat masuk ke dalam rumah Oya yang sudah seminggu tak ditempati.
“Lagi ngebayangin Nada lo?”
“Iya nih…ngebayangin cipokan.”
Oya melempar bantal yang ia pegang ke muka Rio yang mesum itu.
“Jijik lo!”
“Yee, bilang aja lo lagi ngebayangin cewek itu, iya kan? Nggak udah bohong, gue ini tau ..”
“Nggak, siapa bilang?” jawab Oya sambil membuat mie instan.
“Yea terserah lo mau bilang apa…ita buktiin aja nanti-nanti.”
“Lagak lo, kayak udah pasti diterima Nada?”
“Eh, siapa yang nolak Rio?”
“Dia pasti nolak kalo gue bilang ke dia elo itu player.”
“Eits, aku juga bakal bilang sama cewek itu kalo lo trus mikirin dia saat dia menghilang.”
“Bilang aja, gak ngaruh!”
“Eitss, ok gue bilang dia yaaaa…jangan marah kalo dia mau sama gue ya?”
“Eh, maruk amat loe!? Ga Nada, ga cewek itu loe embat juga!”
Rio senyum-senyum sambil menunjuk-nunjuk Oya yang sudah sewot itu.
Lalu Rio mengambil dompetnya, dan  membuka pintu.
“Mau kemana loe?”
“Pasar super alias supermarket. Mau titip?”
“Candy stick.”
“Yeah, kayak anak kecil loe?”
“Hus, sana sana!”
Rio meninggalkan rumah Oya dengan berjalan kaki menuju pasar super yang terletak di ujung kompleks. Pasar super itu buka 24 jam. Rio masuk ke dalam supermarket itu kemudian mengambil keranjang. Dia mengambil 4 minuman soda, 3 candy stick, 4 bungkus snack, dan 3 mie instan. Saat hendak membayar, tidak sengaja Rio melihat sosok wanita yang dicari-cari oleh Oya itu.
Rio mendekatinya, dan menyapanya.
“Hei, loe yang waktu itu kan?”
“Rio? Ya ampun, gak nyangka ya kita ketemu disini? Sama siapa?” tanya wanita itu bersemangat.
“Gue ke sini sendiri sih…tapi Oya lagi ada di rumah tuh. Loe lagi nyari-nyari dia kan?”
“Iya, ada sesuatu yang penting yang aku omongin sama dia.”
“Oh, habis ini ke rumah Oya gimana?”
“Aduh, jangan sekarang…aku lagi ditunggu Nada sama Gaia..”
“O ya? Sekarang A café ke mana sih?”
“Ih, di deket kampus kamu! Masa’ kamu nggak tau sih?”
“O ya? Wah Oya pasti seneng banget kalo A café pindah deket kampus..”
“Emang kenapa ya?”
“Oh, ga pa pa..emangnya elo habis ini mau ngapain sih?”
“Biasa, aku harus beres-beres di toko yang baru. Jangan lupa mampir ya kalo café ku sudah buka. Nanti aku buat selebaran kok, kampusmu pasti kebagian.”
“Oke deh.. btw kita belum kenalan, nama kamu siapa?”
Ketika hendak menyambut tangan Rio, tiba-tiba wanita itu menerima telpon dari Gaia.
Rio menunggunya selesai berbicara.
“Aduh, sori banget ya…aku buru-buru! Kapan-kapan kita sambung.” Ucap wanita itu langsung membayar belanjaan yang ia beli dan kabur begitu saja.
“Huuu, baru mau nanya namanya….jadi semakin penasaran gue..”

Oya malah tertidur saking lamanya menunggu Rio.
“Woi kebo! Bangun!”
“Lama amat loe? Sampe ngantuk gue…mana titipan gue?”
“Ngapain elo beli candy stick gene? Kayak anak kecil aja?”
“Banyak cingcong elo..” kemudian Oya memasukkan candy stick itu ke dalam tasnya.
“Eh gue punya kabar baik sama kabar buruk ne. Mau denger ga?”
“Apa?”
“Yang mana dulu ne? baik ato buruk?”
“Baik.”
“Tadi pas di supermarket di ujung sana, ..aku bertemu dengan orang yang selama ini elo cari.”
“Siapa?”
“Ya cewek yang lo cari itu!”
Terlihat ekspresi Oya berubah, dia jadi antusias mendengarnya.
“Trus?”
“Ya gue ngobrol ma dia, ternyata emang bener feeling lo tadi pagi. A café itu pindah di deket kampus kita! Katanya sih baru pindahan, ini juga masih persiapan buat launching.”
“Trus berita buruknya apa?”
“Tadi pas gue mau ngajak kenalan, tiba-tiba hapenya dia bunyi…yah…gue belum tau namanya deh..”
“Kenapa nggak lo kejar?”
“GImana mau ngejar!? Orang dia keburu-buru gitu, naik taksi lagi…masa’ gue harus lari ngejar taksinya hanya untuk mendapatkan namanya?”
“Ah, sial!”
“Kenapa sih? Lo ngebet banget mau tau siapa namanya?”
“Ya pentinglah!”
“Penting buat??”
“Kalo gue cerita juga loe pasti gak bakal ngerti.”
“Emang apa masalahnya?”
“Masalahnya nggak Cuma malam itu aja.”
“Lantas?”
“Wajahnya mirip sekali sama temen gue yang ilang dulu.”
“Ilang gimana? Diculik?”
“Bukan, jadi waktu umur gue 5 tahun..gue punya teman namanya Laika. Waktu itu gue masih tinggal dipanti..suatu hari gue main sama dia di belakang panti. Waktu itu nggak ada yang tau kalo gue kabur dari panti bersama Laika. Dan waktu itu hari sudah mulai gelap. Gue mencoba membawa Laika dengan hati-hati karena Laika mempunyai rabun malam. Dia tidak bisa melihat dengan jelas jika hari sudah malam. Tapi sayangnya, gue terpisah dengan Laika. Keesokan paginya gue ditemukan oleh penduduk sekitar. Tapi Laika tidak, jasadnya pun tidak ada. Dia hilang bagai di telan bumi. Dan gue masih sangat ingat Laika mempunyai bekas luka di tengkuk lehernya. Gue khawatir jika cewek itu Laika.”
“Atas dasar apa lo bisa tau jika cewek itu Laika?”
“Dari cara dia menangis, memohon, dan sinar matanya.”
“Itu kan tidak bisa begitu saja Oya, lagian kan udah bertahun-tahun lo nggak pernah bertemu dengan Laika.”
“Ya gimana mau ketemu, orang dia hilang!”
“Gak, maksud gue…lo nggak punya fotonya kan atau apanya gitu. Mungkin hanya perasaan lo saja yang seperti itu. Mungkin juga lo lagi kangen sama Laika..”
“Mungkin aja..gimana kalo nanti malam kita kesana?”
“Jangan deh, kasian tu 3 cewek…kan perlu istirahat juga. Pasti sekarang mereka lagi bebenah. Secara A café yang sekarang bukan A café yang dulu. Pasti lebih mewah.”
“Sok tau!”
“Ih, pasti dah gue jamin!”
¤¤¤
“Saya tidak mau tahu, pokoknya minggu depan kalian semua ujian dan harus semuanya lulus.” Ucap si dosen membuat semua mahasiswa berkeluh kesah.
Kemudian saat kelas sudah bubar, Rio menghampiri Oya yang malah tidur di kursinya itu.
“Kebo!  Gue udah dapet neh brosurnya! A café!”
“Lho? Emang udah buka?”
“Sudah! Nanti jam 11 dibuka! Kesana yuk?”
“Aduh..gimana ya?” Oya tampak malas datang ke peresmian A café.
“Lho? Katanya mau ketemu sama cewek itu? Lo ini gimana sih?”
“Aduh, malu gue! Lo aja deh yang ke sana ya?”
“Ada ada aja ni anak..ya udalah, ga papa…….kan bisa langsung ditanyain?”
“Tapi…”
Rio langsung menyeret Oya dan membawanya ke A café.
A café rupanya memang berubah. Kali ini tempatnya jauh lebih besar dan pengunjungnya benar-benar padat. Oya dan Rio hanya bisa melihatnya dari luar jendela. Tetapi Oya menangkap sosok wanita itu yang sedang menggunakan gaun berwarna putih. Oya langsung mencari jalan agar bisa masuk ke dalam café, tetapi apa mau dikata. Tidak bisa, terlalu banyak manusia disini. Bahkan wanita itu tidak bisa melihat jika Oya sedang melihatnya. Tapi tampak wajah yang sedang kebingungan mencari sosok Oya, yaitu wanita itu. Setelah wanita itu menggunting sebagai tanda peresmian, ia langsung menerobos pelanggan yang berlawanan arah dengan wanita itu. Nada dan Gaia langsung menjamu tamu-tamu yang sudah datang.
Ketika wanita itu sampai diluar, dia tidak mendapati sosok Oya, orang yang ditunggunya selama ini. Maka wanita itu pun menangis, lalu tidak lama kemudian hujan turun, Nada dan Gaia menggiring wanita itu ke dalam A café.
“Elo ini bego apa gimana sih? Elo nggak liat tadi dia nyariin elo? Wah bener-bener tega lu!”
“Gue belum siap buat ketemu dia.”
“Tinggal hai, sebutkan nama, dan tanyakan tentang Laika atau tentang kejadian malam itu. Beres kan?”
“Lo fikir segampang itu berbicara?” Oya dan Rio berada di kantin kampus mereka.
“Ya udah, kalo susah  latihan dulu. Anggap aja gue cewek itu.”
“Mana bisa, lo cowok, dia cewek!”
“Ya habis mau gimana lagi!? Ruwet banget sih mau nanya Laika aja…ya udah, lo sendiri aja ke sana. Pokoknya gue nggak nungguin elo, gue mau ke sana sekarang.”
“Tapi Rio..!”
“Terserah, itu masalah loe. Gue juga punya kepentingan sendiri. Lo kira masalah lo aja yang penting?”
“Bukan gitu maksud gue….”
“Tunjukin kalo lo emang gentle.” Rio berlalu dan nekat menemui Nada di A café sore itu juga.
Oya masih bingung bagaimana cara dia bertemu dengan wanita yang ternyata di sukainya itu. Mungkin  karena first kiss yang ia dapatkan malam itu, Oya menjadi agak sedikit gugup.
Oya luntang-lantung di kampus, pikirannya tidak karuan mengenai apa yang dibicarakan Rio di A café sana. Inginnya menyusul, tapi Oya belum punya keyakinan yang kuat. Tapi jika tidak disusul maka Rio akan membeberkan semuanya kepada wanita itu. Akhirnya keraguan itu terjawab, bukan Oya yang pergi menemui wanita itu, tetapi wanita itu mendatangi Oya kekampus.
“Bukan, aku bukan Laika. Aku Angel. Namaku Angel. Kamu siapanya Laika?”
“Haru Koyama, aku teman Laika waktu kecil.”
“Laika kakakku. Dia hilang dihutan.”
“Laika kakakmu? Kalian kembar?”
“Tidak, umurku 5 tahun lebih muda dari dia. Kenapa kamu mencari Laika?”
“Aku merasa bersalah mengajak dia ke hutan malam itu.”
“Jangan cari Laika lagi. Dia sudah tidak ingin bertemu denganmu lagi.”
“Laika masih hidup?”
Wanita bernama Angel itu tidak menjawab.
“Jawab aku, apakah Laika masih hidup? Beritahu aku dimana dia, aku ingin mengucapkan maaf padanya.”
“Laika menitipkan pesan padaku untuk tidak memberitahukan dimana dia sekarang. Jika kamu tau dimana dia sekarang, aku yakin kamu akan membenci dia.”
“Please, aku harus bicara penting dengan Laika.”
“Bicara disini saja, nanti aku sampaikan padanya.”
“Tidak Angel, aku harus bertemu dengan Laika.”
“Aku bilang tidak bisa. Aku tadi kan sudah bilang, Laika tidak ingin bertemu denganmu. Jika kamu ingin mengatakan sesuatu, katakan saja padaku.”
“Mana bisa? Kamu Angel bukan Laika.”
“Iya aku tau. Tapi aku adik kandungnya.”
“Please, katakan dimana Laika.”
“Bicara saja padaku. Aku tidak bisa memberitahu dimana Laika. Nanti itu ada saatnya. Yang jelas Laika punya 1 pesan untukmu.”
“Apa?” tanya Oya dengan binar mata anak anjing.
“Laika menitipkan aku padamu.”
“Buat apa?”
“Katanya Cuma kamu yang bisa menjagaku selagi Laika sibuk disana.”
“Disana mana?”
“Ditempat yang sangat jauh.”
“Baiklah jika itu memang kemauan Laika. Lalu aku harus bagaimana sekarang?”
“Tidak ada yang harus kamu lakukan sekarang. Laika hanya minta kamu menjagaku. Tapi terserah kamu, semua keputusan ada ditanganmu.”
“Baik, jika hal itu memang yang terbaik buat Laika. Tapi kenapa malam itu kamu menciumku?”
Angel tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
“Kapan?”
“Malam itu! Sebenarnya aku juga malas membahasnya.”
“Sori aku udah lupa tuh!”
“Alah, jangan bohong! Aku yakin kamu pasti ingat.”
“Gini ya, itu Cuma selingan doang.”
“Tunggu, selingan gimana maksud kamu?”
“Just for fun. Kenapa? Ada masalah?”
“Oh jadi kamu manfaatin aku?”
“Iya.” Jawab Angel ringan. Lalu Angel pergi kembali menuju A café.
“Kamu bohong! Nggak mungkin kamu Cuma mau manfaatin aku aja kan? Aku yakin kamu punya perasaan ke aku!”
“Oya? Aku ga merasa tuh.”
“Please, jangan buat aku nyari kamu lagi.”
“Aku gak percaya kamu nyariin aku.”
“Kalau kamu nggak percaya, tanya Rio.”
“Rio? Aku nggak percaya sama kalian berdua.”
“Angel!!” panggil Oya.
Angel berbalik lalu mendekat ke Oya lagi.
“Aku bête tau!” Oya hanya mengucapkan hal itu kemudian pergi entah kemana.
“Oh bête ya? Bete itu sejenis makanan apa ya?”
Oya tersenyum dan berbalik lagi. “Kamu mau tau bête itu seperti apa?”
“Mau.” Jawab Angel.
Sebuah kecupan mendarat di bibirnya.
“Itu yang dinamakan bête!!” ucap Oya yang kesal itu.
Angel menampar Oya dengan sangat keras. Lalu Angel berlari menjauhi Oya.
“Sekarang tau kan gimana rasanya dimanfaatin!?” teriak Oya kepada Angel yang berlari menjauh itu.

Rio benar-benar membuat Oya terpojok dengan pertanyaan-pertanyaannya yang sama sekali gak penting itu.
“Benar elo tanya tentang Laika?”
“Hm.”
“Benar elo maksa Angel buat bilang dimana Laika berada?”
“Hm.”
“Benar elo bilang bête sama dia?”
“Hmm.”
“Bener elo ngekiss dia di depan umum?”
“Tapi kan sepi gak ada orang disana?!”
Angel menangis dipelukan Nada dan Gaia. Mereka sedang berada di A café.
“Tapi ngapain elo ngekiss dia?? Nafsu loe?”
“Kalo gue jawab iya, kenapa? Mau protes?” Oya berdiri dan menggebrak meja.
“Santai bro, tapi nggak gitu juga cara lo ngungkapin suka ke Angel.”
“Huu, dasar cowok gak bermoral.” Ucap Gaia sambil melempar tisu ke wajah Oya.
“Berisik loe!” Oya melempar balik tisu itu lagi.
“Mck, Gaia neh kayak anak kecil aja sih lemparan-lemparan tisu aja! Sekarang ini yang penting buat Oya ngaku kalo dia emang suka sama Angel.”
“Heh bego! Kamu nggak perlu maksa dia ngomong! Ciuman itu kan sudah jadi bukti!” ucap Gaia lagi.
“Enak aja manggil bego-bego!”
“Puas lo sekarang?!” Oya pulang.
“Maafin temen gue … dia emang gitu orangnya. Angel, sorry ya masalah Oya. Dia emang gitu kalo suka sama cewek, suka aneh! Suka tapi malah gitu cara ngungkapinnya..masalah ciuman itu juga maaf ya!?”
“Mendingan kamu pulang deh. Sudah malam.” Kata Nada.
“Iya, nanti gue kasi ceramah tu anak biar bisa menghargai cewek. Malam.”
Nada mengantarkan Rio sampai ke depan A café.
“Kamu nggak apa-apa kan?”
“Aku Cuma shock..”
“Habis kamu yang mulai duluan sih…makanya gak salah juga tadi dia begitu sama kamu. Mungkin dia emosi waktu kamu bilang kamu manfaatin dia. Siapa sih yang suka dimanfaatin? Kamu juga nggak mau kan digituin sama orang lain?”
“Tapi kan aku Cuma bercanda…tentang Laika juga. Aku Cuma ingin liat reaksinya aja.”
“Ya tapi cara kamu itu salah!” tegur Nada dengan keras. “Kamu itu masih kecil, kamu itu belum ngerti apa-apa! Seandainya Laika ada disini sekarang, pasti dia juga bakal marah kayak aku! Kamu tau sendiri Oya itu sahabat terbaiknya Laika!? Jika kamu membuat Oya seperti itu, Laika pasti sangat marah kepadamu!”
“Maaf, bukan maksud Angel begitu Nada…aku hanya ingin membuat dia lebih penasaran kepadaku.”
“Kamu bilang penasaran?! Dia itu belum tau jika kamu itu seorang pembohong besar! You’re liar girl!”
“Nada! Jangan kasar gitu dong! Angel kan masih kecil!”
“Justru itu! Justru dia masih kecil nggak boleh dijadikan seorang pembohong! Nanti gede kamu mau jadi apa Nak??”
“Nada, dibawa hepi aja dong! Santai…anak orang mau kamu bentak-bentak.”
“Trus aku harus gimana Gaia?”
“Kamu masih bisa menyelesaikan semua ini? Dengarkan aku, akui kebohonganmu padanya. Semuanya! Termasuk tentang bulu-bulu itu. Dan ungkapkan segala perasaanmu padanya. Bagaimana pun kamu harus jujur tentang keadaan Laika yang sebenarnya.”
“Tapi Nada, Laika tidak ingin jika Oya mengetahui keadaan yang sebenarnya! Aku harus menghormati Laika!”
“Mau sampai kapan kamu bohongin Oya? Meskipun kamu bohong, lambat laun dia pasti akan tau!”
“Iya! Jika kalian tidak buka mulut, Oya tidak akan tau!”
“Jelas aku akan buka mulut! Terserah kamu mau bilang apa, ini demi kebaikan Laika juga. Laika itu temanku, aku akan berbuat suatu hal yang terbaik baginya.”
“Tapi aku adiknya!”
“Adiknya belum tentu lebih baik dari sahabatnya, Angel. Kamu itu masih kecil, masih banyak hal yang belum kamu pahami. Umur kamu masih 17, jangan bilang kamu udah gede. Bagi Laika kamu itu masih blum ada apa-apanya. Laika itu lebih matang dari pada kamu, bagaimanapun usianya sudah 22 tahun, dia tau apa yang terbaik bagimu. Termasuk menitipkan kamu pada Oya.”
“Kalian ini semua tau apa?! Aku yang paling dekat dengan Laika!” Angel merasa tersaingi, maka dia pergi, mungkin menyendiri.

“C’mon, elo ini sedang kenapa sih?” tanya Rio sambil membujuk Oya agar dia mengakuinya.
“Berisik lo! Urus aja Nada loe itu.”
“Ini nggak ada hubungannya sama Nada. Loe itu nggak bisa nembak cewek ya?”
“Gak!”
“Mau gue ajarin?”
“No thanks.”
“Trus, masa Angel udah didepan mata gitu mau dilepas gitu aja? Kemaren di cari-cari, sekarang pas udah ketemu dianggurin gitu aja. Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo?”
“Memang lo tau apa tentang gue?”
“Lo itu pelor, kebo, ya banyaklah!”
“Itu aja kan? Loe nggak tau gimana perasaan gue.”
“Ow, angkat tangan deh gue.”
“Haru Koyama!” panggil Angel yang ternyata menyusul Oya.
“Ngapain lagi sih tu cewek  ke sini?” umpat Oya.
“Gue tunggu di sana.” Rio menunjuk sebuah supermarket 24 jam.
“Hm,” jawab Oya.
Rio menuju supermarket itu dan membeli sebuah ice cream vanilla.
Rio memperhatikan Angel dan Oya yang sedang berdebat itu. Dengan menikmati ice creamnya, Rio merasa cintanya kepada Nada sungguh besar, tapi Rio harus tetap menjangkau Oya dan Angel yang sedang berseteru tegang itu agar tidak terjadi sesuatu yang parah. Sampai ice creamnya habis, Angel dan Oya belum juga selesai dengan masalah mereka. Rio terus memperhatikan mereka berdua dari dalam supermarket itu, sampai akhirnya kasir bertanya kepada Rio, “Ngapain jongkok disitu, Mas?”
“Ngeliatin temen saya yang sedang nyelesein masalah.”
“Oh, lagi bertengkar ya?”
“Yang situ liat apa? Lagi mesra-mesraan? Udah tau lagi ribut, pake nanya lage?”
“Sinis amat situ?”
“Ya situ udah tau lagi begituan, masih pake nanya.”
“Siapa tau lagi acting geto?”
“Ya terserah situ deh mau bilang apa. Situ gak takut sendirian jaga malam?”
“Udah biasa kali. Saya bisa lihat yang begituan.”
“Yang begituan yang gimana?”
“Ya .. yang begituan. Yang putih-putih ato yang serem-serem gitu.”
“Oh, gak heran saya.”
“Situ bisa juga?’
“Enggak.”
“Trus kok nggak heran?”
“Situ serem juga, nggak heran saya kalau teman-teman situ ya begitu juga.”
“Ya terserah situ aja. Disamping kanan situ juga ada.”
Rio langsung melonjak, menjauh.
“Situ jangan nakut-nakutin deh.”
“Ada pintu maksud saya. Hehehe….”
“Sialan!”

“Aku nggak mau tau, kamu harus bawa Laika dulu ke hadapanku  baru nyatakan cintamu padaku didepan Laika! Agar Laika yakin jika kamu memang benar-benar bertemu dengan aku.”
“Oke, besok siang aku akan bawa Laika kehadapanmu. Tapi aku harap kamu tidak kecewa!”
Rio menghampiri Oya yang masih dalam keadaan labil itu.
“Dia bilang apa barusan?”
“Besok dia akan bawa Laika kehadapanku.”
“Serius lo? Apa nggak gertakan dia aja?”
“Gue tau kali ini dia tidak main-main. Udah yok pulang! Ngantuk gue!”
“Pulang ke rumah gue aja…nginep disana.”
¤¤¤
Pukul 9 pagi, Oya resah menunggu Angel di A café. Nada dan Gaia hari ini harus jaga café tanpa Angel, karena hari ini merupakan hari pembuktian Angel kepada Oya. Oya pun tidak memperbolehkan Rio ikut bersamanya. Tetapi dengan baik hati Rio meminjakan mobilnya kepada Oya.
“Jangan sampe kenapa-napa ne mobil…muahal tau.” Bisik Rio.
“Iya, berisik loe!”
Tidak lama Angel sudah datang dan mengajak Oya ke suatu tempat yang lumayan jauh.
“Kita mau kemana?” tanya Oya dengan santainya mengemudi.
“Kemarin kan aku sudah bilang, bertemu dengan Laika.”
“Ya aku tau kita akan bertemu dengan Laika, Cuma kita ini mau kedaerah mana?”
“Jauh, bahkan aku tidak tau nama tempatnya.”
“Jika kamu tidak tau nama tempatnya, bagaimana caranya kita ke sana?”
“Tapi aku masih ingat jalannya. Kamu percaya sama aku.”
“Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Malam itu saja kamu suda`h membohongi aku dengan berpura-pura sebagai malaikat.”
“Maaf, aku kan sudah minta maaf dari kemaren. Kamu saja yang tidak mau memaafkan aku.”
“Kapan aku bilang tidak memaafkanmu?”
“Jadi kamu memaafkanku?”
“Tidak, kapan aku bilang begitu?”
“Ya sudah, terserah kamu. Yang penting setelah kamu bertemu dengan Laika, urusanku denganmu sudah selesai.”
Kali ini Oya tidak menjawab.

Sementara itu keadaan Rio…
“Maaf ya Rio…kamu jadi menggantikan posisi Angel di sini…” Nada membuatkan secangkir kopi untuk Rio yang sudah menggantikan posisi Angel hari ini di A café.
“Oh, nggak pa-pa kok. Gue seneng juga udah bisa bantu Nada..”
Lalu Gaia berdeham dengan keras, “Ehem….!”
“Eh maksud gue senang bisa bantu kalian hari ini. Yah walaupun tidak seramai kemarin.”
“Iya, aku juga heran..jika Angel nongkrong di depan pintu aja…udah rame A café. Kira-kira mereka sedang apa ya?”
“Pasti sedang perang dingin. Oya itu tidak bisa lama-lama jalan bareng cewek. Pasti dia grogi.”
“Ah, yang bener? Kemarin aku tidak melihat dia grogi dekat Angel, malah cenderung galak?” tanya Gaia.
“Yee, saltingnya Oya emang kayak gitu! Dia jadi temperamental kalo deket sama cewek yang disukainya.”
“Oh…aneh ya temanmu itu? By the way, kamu masih punya temen cowok lagi ga?” tanya Gaia.

Angel dan Oya diam tanpa kata. Tidak ada satu pun dari mereka yang membuka mulut untuk sekedar basa-basi atau bertanya tentang sesuatu. Pandangan Angel hanya keluar melihat lingkungan sekitar, sedangkan Oya tampak serius menyetir. Tapi lama kelamaan hal ini membuat jenuh keduanya.
“Sekarang kamu diadopsi siapa?” tanya Angel kepada Oya.
“Ga ada.” Jawab Oya simple.
Angel sempat manyun, tapi dia masih rajin bertanya, “Sejak kapan kamu kenal Rio?”
“Udah lama. Ngapain sih nanya-nanya? Cerewet.”
“Ya bilang aja kalo aku nggak boleh nanya! Jangan pake bilang kalo aku cerewet segala dong!”
“Sori…sori bukan maksud aku gitu…”
Angel ngambek.
“Duh duh…ngambek ya??”
“Gak, siapa yang ngambek?”
“Marah ya?”
“Siapa yang marah?”
“Oh..ya udah…kapan nih nyampeknya?”
Angel melihat rumah yang bercat hijau, lalu dia mendadak bilang, “Stop! Kita kelewatan!”
“Yang mana rumahnya?”
“Itu yang hijau! Mundur-mundur!”
Oya mengganti persneling ke R. Lalu perlahan memundurkan mobil.
“Laika didalam sana?” tanya Oya dengan agak sedikit gugup.
“Iya. Tapi aku takut menemui dia.”
“Kenapa?”
“Pasti dia akan marah sekali jika aku membawa kamu menemui dia.”
“Memangnya Laika kenapa sih? Dari kemaren kamu nggak mau jujur tentang Laika.”
“Bukannya aku gak  mau jujur, tapi aku takut jika kejujuranku membuat kamu balik lagi ke kota sekarang.”
“Memangnya Laika kenapa? Dia  baik-baik saja kan?”
Angel masih tidak ingin buka mulut.
“Angel, please kasi tau aku ada apa dengan Laika! Aku yang jamin kalau dia tidak akan memarahimu.”
“Masalahnya bukan itu aja…Laika…” Angel kembali menatap rumah hijau itu.
“Laika kenapa?” Sedangkan Oya sudah tidak sabar ingin mengetahui kondisi Laika yang sebenarnya.
“Laika…”
“Angel, please…tell me.”
“Sebaiknya kamu langsung lihat sendiri aja.” Angel keluar dari mobil kemudian menarik Oya untuk masuk ke dalam rumah hijau itu.
Angel mengetuk pintunya, kemudian seseorang membukanya.
“Non Angel? Ngapain ke sini?” tanya seseorang itu. “Itu siapa?”
Oya agak sedikit curiga dengan gerak-geriknya, dengan pintu yang hanya sedikit dibuka seseorang itu memandang Oya dengan tatapan yang tajam.
“Ada yang ingin bertemu dengan Laika.”
“Buat apa? Non Laika pasti akan sangat marah!”
Lalu Angel berbisik kepada seseorang itu. Kemudian seseorang itu membukakan pintu untuk Angel dan Oya.
Pintu itu berbunyi, seperti pintu yang sudah sangat lama tidak tersentuh oleh tangan manusia. Usang dan berkarat. Oya dan Angel memasuki sebuah halaman rumah yang luas tapi gersang. Semak belukar berduri menghiasinya, hanya ada 1 bunga mawar hitam yang terdapat di tengahnya. Bunga mawar itu berlilitan di sebuah tugu air  mancur. Ada patung malaikat di sisi kanan dan kiri, Angel sendiri sepertinya heran melihat keadaan itu.
Oya berbisik kepada Angel, “Benar Laika tinggal di tempat seperti ini?”
“Iya. Tapi terakhir kali aku ke sini tidak seperti ini keadaannya.”
Seseorang itu mengajak Oya dan Angel menyusuri koridor gelap dan dingin, rumah ini seperti sesuatu yang bukan ada disini. Semuanya serba mistik dan angker. Seseorang itu kemudian naik tangga spiral, terus berjalan tanpa menoleh ke belakang dan berhenti disebuah pintu. Lalu ia berkata, “Kalian tunggu diruangan ini 15 menit.” Maka tanpa di suruh pun Oya dan Angel masuk ke dalam ruangan itu. Blek, pintunya di kunci dari luar.
“Hei, jangan kunci pintunya!”
“Dia mengunci pintunya?”
“Iya!”
Oya mencoba mendobraknya dari dalam, tapi pintu itu terlalu kuat untuk Oya.
“Trus gimana nih?” tanya Angel. Angel berlari menuju salah satu jendela, ternyata lantai ini sangat tinggi dan terletak di halaman belakang.
“Ancrit, kamu bohongin aku ya?”
“Sumpah! Laika ada disini! Baru 4 minggu yang lalu aku kesini!”
Oya tau, Angel tidak berbohong kali ini.
“Tadi itu siapa?”
“Itu yang menemukan Laika.”
“Menemukan gimana maksud kamu?”
“Laika cerita padaku, jika dulu ia tersesat dihutan bersamamu. Ketika ia tidak dapat menemukanmu, Laika ditemukan oleh orang tadi. Sebenernya aku juga ga tau dia itu laki-laki atau perempuan. Penampilannya memang begitu, tidak pernah berubah dari dulu. Aku juga tidak mengerti mengapa Laika mau saja ikut dengan orang seperti itu.”
“Sekarang katakan tentang keadaan Laika yang sebenarnya.”
“Laika tidak kenapa-kenapa, dia baik-baik saja…hanya dia mendapatkan ilmu dari orang itu.”
“Ilmu apa?”
“Laika bisa merubah wujudnya menjadi seseorang terdekat kita.”
“Kamu jangan bercanda, jaman sekarang nggak ada yang begituan.”
“Kamu tidak ingat Rio yang mendadak jadi aneh itu?”
“Kamu tau dari mana?”
“Gaia satu kampus denganmu, tapi kalian beda jurusan.”
“Gaia sempat melihatnya?”
“Iya, dan dia mengikuti Rio yang itu, ternyata dia bertemu dengan Rio yang asli saat sedang mengejar Rio yang palsu.”
“Untuk apa Laika lakukan hal itu? Dari mana kamu tau kalo dia itu Laika?”
“Gaia tau dari gelang yang digunakan Laika. Dan jika tidak ada gelang itu maka dia tidak akan bisa merubah wujudnya. Dan sempat aku ingin membuang gelang itu dari tangan Laika, tapi Gaia tidak mau ikut bersamaku ke sini.”
“Kamu ini ngaco yea?”
“Kamu bisa katakan aku ngaco pada saat-saat seperti ini?”
Di saat saat Angel sedang seriusnya berkata, tiba-tiba Oya mendengar suara bel yang sangat nyaring, dia mencarinya ke seluruh sudut, tetapi tidak menemukan sumber bunyi. Sampai ia melihat…………………
×××

Tidak ada komentar:

Posting Komentar