Jumat, 13 Mei 2011

Sebuah Cermin



“Sesuatu itu nampak lebih indah jika sesuatu itu berjalan secara alamiah.”
Kalimat itu yang selalu terngiang di telinga dan benak Ungu. Genap sudah seminggu kematian Ruzzy, orang yang selalu menemani Ungu disaat ia sedih dan galau, disaat ia senang dan gembira. Tetapi kini sudah tidak ada lagi suara gitar dan suara lembutnya yang menghibur Ungu.
Ungu adalah seorang cewek yang selalu dikucilkan hanya karena ia dianggap tidak bisa membuat orang lain bahagia. Anggapan orang hanya bisa menyakitkan hati Ungu. Dimana ada Ungu, maka kesialan ada disana, anggapan itulah yang membuat Ungu memilih merasa minder daripada harus dicemooh oleh orang lain. Hidupnya seketika berubah ketika bertemu dengan seorang Ruzzy yang popular dikalangan murid sekolahnya. Ruzzy adalah seorang yang mengerti dan bisa merasakan penderitaan orang lain yang ada didekatnya, termasuk Ungu salah satunya. Semuanya bermula ketika Ungu yang ketika itu berdiri sendirian di halte depan sekolah. Semua orang yang ada di halte itu menyudut membentuk satu kelompok “AntiUngu”. Betapa Ungu tampak bodoh saat itu. Ruzzy yang seolah-olah ikut merasakan kepedihan Ungu, mendekatinya dan membuka percakapan dengan ramah.
“Hei, kamu kok nggak gabung sama mereka?” pertanyaan Ruzzy membuat Ungu ingin menitihkan airmata.
“Aku…….aku jauh lebih baik jika tidak berada di halte ini.” Jawaban Ungu membuat Ruzzy terenyuh.
“Kamu Ungu yang lagi ngetrend jadi bahan pembicaraan ya?”
Ungu hanya mengangguk pelan dengan kesan yang pedih.
“Hm…”
“Apa kamu nggak takut deket sama aku?” tanyanya dengan kalimat yang cukup menusuk.
“Takut? Yang perlu kita takuti itu hanya Tuhan.”
Orang-orang yang ada disekitar halte itu berpikir setelah mendengar ucapan Ruzzy.
Ungu hanya tertunduk lesu sambil membawa banyak buku pelajaran di tangannya. Buku itu di rengkuhnya sambil menahan hawa dingin yang berhembus di bawah langit hujan itu. Ruzzy terus mengamatinya, seolah Ruzzy menemukan sesuatu yang beda di dalam dirinya, sesuatu yang beda di dalam diri seorang “Ungu”. Ruzzy tidak menemukan titik kebahagian milik Ungu. Maka semenjak itu, Ruzzy bertekad untuk mengembalikan kebahagiaan yang hilang itu.
“Kamu nggak takut ketularan sial kalo deket-deket sama aku?”
“Sial? Untung atau tidaknya seseorang hanya ditentukan oleh Tuhan. Banyak lagi orang diluar sana yang mati, dan itu bukan karena kamu kan? Jika semua orang yang deket sama kamu langsung mati, itu baru kamu bawa sial. Tapi sialnya orang itukan yang buat mereka sendiri, bukan kamu!” penjelasan Ruzzy membuat semua orang di halte itu menjadi berpikir 5 kali.
“Kamu itu mau apa?” Tanya Ungu yang masih menunduk tanpa melihat Ruzzy yang panjang lebar memberikan penjelasan itu.
“Mau aku?” Ruzzy menarik napas panjang, “Mau aku kamu nggak dijauhi lagi sama manusia lain. Karena kamu diciptakan bukan untuk dijauhi ataupun dikucilkan. Tuhan tidak mungkin menciptakan manusia tanpa tujuan. Jelas?”
Ungu lagi-lagi hanya mengangguk tanpa arti. Orang-orang di halte itu malah menjauh dari mereka berdua.
“Sekarang kamu juga jadi pembawa sial.”
“Oh…mereka kabur bukan karena aku ataupun kamu, tapi atap halte ini udah bolong.”
Keajaiban terjadi, Ungu tersenyum dan sedikit tertawa. Ruzzy pun ikut tertawa.
“Nah…gitu dong, paling enggak kamu udah senyum, dan pasti malaikat udah mencatat senyum itu.” Ruzzy lagi menghibur Ungu dan senyum Ungu tampak semakin mengembang.
“Nama kamu siapa?” Ungu memandang Ruzzy.
“Ruzzy.” Seraya menyodorkan tangan yang disambut hangat oleh Ungu.
“Sesuatu yang alamiah itu jauh lebih baik dari pada sesuatu yang dibuat-dibuat. Ngomong-ngomong kamu nunggu bemo ya?”
“Iya, tapi kayaknya aku bakal lama nunggu di sini. Kamu nggak pulang?”
“Aku biasa pulang sore hari. Orang tuaku baru ada dirumah jam segitu. Gimana kalo aku antar kamu pulang?”
“Ngerepotin. Ntar mobilnya nggak kuat jalan atau mungkin mendadak mogok ditengah jalan?”
“Nggak, bensinnya penuh kok! Gimana? Ini sebagai awal dari….pertemanan kita?”
“Tapi…….” Ungu melihat sekeliling.
“Oh…masalah itu…nggak perlu khawatir, mereka itu manusia, bukan Tuhan.”
Untuk yang sekian kalinya, Ungu tersenyum.
h¯g
“Zy, silakan masuk. Tapi rumah aku jelek.”
“Nggak kok, lumayan. Kalo aku udah bersyukur punya tempat tinggal. Asal kita nggak kehujanan dan enggak kepanasan, udah bagus kan?”
“Iya, dan sesuatu yang alamiah itu lebih baik dari sesuatu yang dibuat-buat! Kamu mau minum apa?”
“Air mineral. Kalo aku minta air putih, ntar yang kamu sugukan malah susu?”
“Ha…ha…ha iya, kamu bener!”
Sementara Ungu menyiapkan camilan kecil buat Ruzzy, Ruzzy melihat foto-foto yang terpajang di dinding rumah Ungu. Dari foto-foto itu Ruzzy mengetahui bahwa Ungu bukanlah seorang yang patut dibenci atau dijauhi oleh manusia lainnya. Dengan piala-piala yang berderet di lemari kaca itu, Ruzzy tau bahwa Ungu adalah seorang yang berprestasi dan cerdas di bidang akademik.
“Maaf nunggu lama. Aku Cuma punya ini.” Ungu masih nampak malu-malu menyugukan camilan itu.
“Lebih baik, aku belum pernah makan makanan ini. Apa sih namanya?”
“Orang jawa bilang itu lemper.”
“Lemper?”
“Itu ketan putih yang didalamnya berisi daging ayam, dan membuatnya menggunakan cetakan khusus agar dia mau membentuk persegi panjang. Kamu kok kelihatannya bingung gitu?”
“Aku belum pernah makan yang beginian. Halal kan?”
“Kalo nggak halal, ngapain dirumahku ada jajan itu?”
“Aku coba ya?”
“Silakan.”
Ruzzy mencoba jajanan itu dan dia terlihat sangat lahap memakan jajanan itu. Saat Ruzzy tersenyum saat makan, matanya tampak sipit dan nyaris tidak terlihat. Ungu menjadi jauh lebih baik dari beberapa menit yang lalu.
“Ngu, udah sore nih…aku pulang ya?”
“Iya…. Zy!” panggil Ungu.
“Apa?” tampak wajah polos Ruzzy yang tampan itu.
“Em…makasi kamu udah membangkitkan rasa percaya diriku yang selama ini hilang.”
“Ungu…kamu itu harusnya jangan berterimakasih padaku tapi kamu harus berterimakasih kepada…”
“Tuhan.” Ungu menjawabnya dengan spontan.
“Nah…pinter…gimana kalo besok pagi aku jemput kamu?”
“Tapi…apa…”
“Jangan telat bangun, jam setengah tujuh aku udah di depan rumah kamu. Bye!”
Ungu hanya melihat sosok Ruzzy yang menghilang bersama mobil mewahnya. Dan mulai dari beberapa menit yang lalu, hidup Ungu berubah seketika tanpa basa-basi apapun.
h¯g
Keesokan paginya Ungu bangun seperti biasa. Di pagi buta itu, tepatnya jam 5 pagi, Ungu melakukan aktifitas seperti hari-hari biasa. Mulai dari mencuci, membuat sarapan sampai menyetrika dia lakukan seorang diri. Sepuluh tahun silam kedua orangtua Ungu meninggal karena disantet oleh orang yang merasa iri dengan kekayaan orangtua Ungu. Uang atau harta peninggalan kedua orangtua Ungu habis dipakai untuk biay sekolah Ungu yang melejit sampai titik batas kemampuan. Selama 6 tahun Ungu tinggal bersama neneknya yang sedikit sombong. Akhirnya, nenek Ungu mendapat azab dari Tuhan karena sudah mendzalimi banyak orang yang tidak pernah bersalah terhadapnya. Selama 3 tahun belakangan, akhirnya Ungu tidak seorang diri di rumah tua itu. Orang-orang sekitar sangat menjauhi dan menghindari rumah itu karena penghuni rumah itu dianggap greek atau orang aneh. Padahal tidak demikian kenyataannya. Ungu tidak pernah mengganggu tetangga sekitar yang telah mengucilkan dirinya.
Matahari telah terbit di ufuk timur, dan suasana ini selalu mengingatkan Ungu kepada keluarga yang pernah ia miliki dahulu. Tetapi lamunan itu telah dibuyarkan oleh seorang cowok yang membawa motor butut dengan bunyi knalpot yang berisik.
“Pagi Ungu!!” sapa Ruzzy yang sangat pede membawa motor ketinggalan jaman itu.
“Ruzzy? Katanya jam setengah tujuh mau ke sini?”
“Aku tau, seorang Ungu nggak mungkin bangun jam enam.”
“Trus, kita mau langsung ke sekolah? Kan pintu gerbangnya belum dibuka?”
“Ya enggaklah, kita enggak sarapan?”
“Aku baru nyiapin sarapan satu piring. Bahan makanan dirumahku habis Zy.”
“Emangnya kamu biasa sarapan apa?”
“Telur mata sapi sama roti 2 lembar. Tapi nggak keberatan kan kalo dibagi berdua?”
“Gitu kan lebih romantis!”
Ungu memukul lengan Ruzzy.
“Yee, kamu kenapa sih? Sejak ketemu aku kok jadi beda gitu? Jadilah diri kamu sendiri, itu lebih bagus ketimbang….”
“Iya..iya….aku janji nggak akan jadi orang lain.” Mereka mengaitkan jari kelingking, sebagai tanda perjanjian kecil ini.
Maka, pagi itu pun mereka sarapan dengan setengah telur dan satu roti. Suasana ini yang ditunggu-tunggu Ruzzy dalam hidupnya, tetapi mendiang orangtuanya selalu menyediakan makanan khas Belanda yang sama sekali tidak cocok dengan lidah Ruzzy.

“Eh, elo tadi liat nggak, si pembawa sial itu datang berboncengan dengan Ruzzy! Anak tajir dan keren itu!”
“Iya, kenapa Ruzzy mau deket sama cewek kayak Ungu gitu ya? Nama boleh keren sih, tapi dia itu kan gudangnya kesialan!”
“Ssshht! Kok malah ngegossip sih? Apa kalian semua nggak takut nggak bisa jawab soal matematika nanti?”
“Ya udah deh…”
Terdengar beberapa kasak - kusuk yang hangat sedang membicarakan kedekatan Ruzzy dan Ungu yang mendadak membuat Ungu tidak seperti biasanya—menunduk malu, minder dan pendiam. Kini Ungu jauh lebih ceria dan senyum terkembang di wajah ayunya. Semua orang menjadi terpana dan mendekat melihat Ungu yang tertawa lepas karena mendengar lelucon yang diberikan oleh Ruzzy. Ruzzy membuat Ungu dilihat oleh semua orang dan Ruzzy ingin menunjukkan, ‘Inilah Ungu yang kalian kenal.’
“Ngu, aku ke kelas dulu ya. Aku baru aja ingat, aku belum buat tugas Fisika.”
“Kenapa nggak dibuat semalem?”
“Nggak ngerti.”
“Karena kamu udah jemput aku pagi ini, dengan senang hati deh aku buatin tugas Fisika kamu. Kamu lupa ya? Aku kan anak IPA juga.”
“Eh iya…kenapa nggak kepikiran?”
“Kalo kepikiran, kamu jadi malas ngerjain semua tugas yang kamu nggak bisa dong!”
“Iya..iya…oh iya, hampir kelupaan!” Ruzzy mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
“Apaan sih?” Tanya Ungu yang sudah tidak sabar ingin mengetahuinya.
“Parfum. Aku punya dua nih, kamu pilih yang mana?”
“Harus milih ya?”
“Iya, pilih aja salah satu.”
Ungu memilih parfum yang ada ditangan kiri Ruzzy.
“Coba deh dipake, aku pengen kamu harum di antara yang paling harum.”
Ungu menyemprotkan wewangian itu di sisi - sisi lehernya. Dan bau wangi pun semerbak di ruangan kelas 11 IPA-3.
“Baunya harum banget. Varian apa sih?” Tanya Ungu yang menyimpan parfum itu didalam tasnya.
“Itu varian Blue Ice. Seger kan? Aku Cuma beli dua, orangnya nggak bilang varian apa, tapi aku yakin kalo itu varian Blue Ice.”
“Yah…mana buku PRmu? Sebentar lagi bel masuk nih.”
“Tolong dikerjain ya, nanti istirahat pertama aku ke sini lagi.”
“Beres Zy!”

Ungu mengerjakan tugas Fisikai milik Ruzzy. Ungu yang duduk dipojok belakang itu masih dijauhi oleh yang lain, tetapi kali ini Ungu mencuekkan semua orang yang menjauhinya. Semua orang kali ini menganggap Ungu aneh, bukan lagi dipandang sebagai pembawa sial.
“Ungu! Gimana? Tugasnya udah selesai?”
“Baru aja. Kamu bener-bener nggak ngerti ya?”
“Waktu itu aku nggak masuk, males….makanya bagian yang ini aku nggak ngerti.”
“Hah…ha….eh kita hari ini pulang lebih cepat.”
“Tau dari mana? Emang ada apa?”
“Guru-guru mau melayat. Jam pelajaran ke 5 kita pulang.”
“Wah asyik dong kalo gitu!”
“Lho kok asyik sih?”
“Iya, jadi kita bisa jalan-jalan. Aku mau membeli sesuatu. Kamu mau kan temenin aku? Tapi kita pergi pake mobil, biar nggak kepanasan. Okey?”
“Oke deh…”
Ruzzy menekan keras dadanya dan raut wajahnya berubah serius.
“Zy, kamu kenapa?” Ungu mulai merasa khawatir.
“Em….nggak apa-apa, Cuma melupakan sesuatu.” Raut wajah Ruzzy kembali ceria.
“Ya udah deh, nanti tungguin aku ya.”
“Ungu, kamu jadi kan pergi sama aku?”
“Iya, kapan aku bilang nggak jadi?”
“Nanti aku tunggu kamu. Aku balik, and makasi banget kamu udah ngerjain tugas Akuntansi aku.”
“Kembali.”
Ungu melihat Ruzzy pergi dengan raut wajah yang kembali serius. Ungu merasa ada yang disembunyikan dari Ruzzy terhadapnya. Tetapi Ungu tidak  terlalu memikirkan masalah yang mungkin serius itu.
h¯g
“Jadi kamu suka Creed?”
“Iya….mereka adalah inspirasiku. Dan … pokoknya gue banget deh!”
“Oh…gitu ya? Kapan kamu ulang tahun Zy? Aku mau kasi kado buat kamu.”
“Kamu kapan?”
“Ih, kok malah nanya balik sih?”
“Kamu dulu. Kalo feelingku sih…..ulang tahun kamu belum lewat.”
“Ih, kamu pasti udah liat kartu pelajarku ya?”
“Kapan? Kita baru ketemu kemarin, warna dompet kamu aja aku nggak tau!”
Ruzzy mengambil beberapa CD musik yang hendak dibelinya. Dan mengambil satu kaset milik Ayumi Hamasaki.
“Kamu suka Ayumi Hamasaki juga? Aku rasa kamu Western banget.”
“Yah…sekali-sekali coba yang soft, boleh juga kan?”
“Oh, aku belum jawab pertanyaan kamu. Aku ulang tahun tanggal 9 bulan 9 tahun 1990.”
“Wah angka bagus tuh!”
“Kalo kamu?”
“Aku……udah lewat sih….4 Agustus 1990.”
“Oh…..”
Ruzzy kembali menekan dadanya. Tetapi dia tetap tenang didepan Ungu.
“Kamu kenapa sih? Kok sejak disekolah kamu rada nggak enak gitu?”
“Iya, kayaknya masuk angin.”
“Mendingan sekarang kita pulang, kamu rada pucat.”
“Kamu tunggu dimobil ya, aku masih mau beli sesuatu.”
“Apa nggak sebaiknya aku temani kamu?”
Ruzzy memberikan kunci mobilnya kepada Ungu. Tanpa bicara lagi, Ungu langsung pergi meninggalkan Ruzzy.
h¯g
“Zy, makasi ya kamu udah ajak aku jalan-jalan. Udah sekian tahun aku nggak pergi ke mall.”
“Itulah kamu. Aku suka kamu yang seperti ini. Friend, besok gue jemput jam tujuh. Nggak keberatan kan?”
“Enggak. Tapi kalo kamu sakit, jangan maksa buat masuk sekolah ya, nanti aku juga yang repot.”
“Iya, nanti kalo ada perubahan jadwal, Pak Topir juga ke sini ngasi tau kamu. Dan mungkin dia yang nganterin kamu ke sekolah besok.”
“Hati-hati Zy.”
Ungu melihat sejauh mata memandang ketika Ungu mulai merasakan ada hal yang disembunyikan oleh Ruzzy darinya.
h¯g
Keesokan harinya Ungu diantar oleh Pak Topir. Pak Tpoir tidak diperkenankan membicarakan tentang penyakit Ruzzy kepada Ungu. Ungu hanya menebak-nebak didalam hatinya, Ruzzy menderita penyakit apa sehingga benar-benar disembunyikan rapat-rapat.
“Makasi pak. Nanti saya bisa pulang sendiri.”
“Tapi Den Ruzzy minta saya agar terus mengantar jemput non Ungu. Jika saya tidak mengantar non Ungu, saya akan dipecat non.”
Ruzzy…siapa sebenarnya dia? Mengapa dia bisa mengubah hidupku dengan cepat? Mengapa aku begitu mempercayai dia? Aku harus mencari tau siapa Ruzzy sebenarnya.
“Kalo gitu bapak turuti saja perintah Ruzzy. Tapi saya sangat berterimakasih karena bapak sudah mau mengantarkan saya pulang pergi ke sekolah.”
“Sama-sama Non.”

Seharian ini Ungu hanya termenung tidak memperhatikan pelajaran yang berlangsung di dalam kelasnya. Yang ada dipikirannya hanya Ruzzy, dia masih berpikir, Ruzzy itu siapa dan darimana asal usulnya, mengapa Ruzzy bisa mengubahnya dari nobody to somebody. Dan Ungu berniat, hari ini akan menyelidiki siapa Ruzzy.
h¯g
“Dokter, saya ini sebenarnya sakit apa?”
“Penyakit adik sudah masuk stadium 4.”
“Saya menanyakan, saya ini sakit apa Dok?”
“Adik terkena penyakit kanker paru-paru.”
Ruzzy diam mendengar ucapan dokter itu. Semua pikirannya hanya terpusat kepada kebahagiaan dan kelangsungan hidup Ungu. Ruzzy tidak lagi memikirkan berapa usia hidupnya yang masih tersisa. Tatapan Ruzzy kosong, lamunan pun enggan singgah di manusia yang umurnya tinggal menghitung hitungan jam saja.
“Makasi Dok.” Ruzzy meninggalkan rumah sakit dengan tujuan satu ; Ungu.
h¯g
“Pak, tolong katakan pada saya, sakit apa sebenarnya Ruzzy?”
“Saya nggak tau Non.”
“Pak, saya mohon……tolong beri tahu saya, Ruzzy menderita penyakit apa!”
“Meskipun Non tanya berkali-kali, saya tetap nggak tau Non.”
“Maaf Pak, saya sedikit emosi.”
“Yang saya tau Cuma….”
“Cuma apa?”
“Setau saya di kamar pribadi Den Ruzzy banyak lirik – lirik lagu ciptaannya yang menggunakan kata Purple.”
“Purple? Orang tua Ruzzy?”
“Oh….Den Ruzzy nggak pernah cerita ya?”
“Emang kenapa Pak? Orangtuanya nggak sayang ya sama Ruzzy?”
“Udah meninggal 10 tahun yang lalu.”
“Beneran Pak? Bapak udah berapa lama kerja di rumahnya Ruzzy?”
“Sejak Ruzzy lahir Non. Kalo tidak salah…sepuluh tahun yang lalu pemakamannya berbarengan dengan orang yang mati gara-gara diguna-guna. Saya masih ingat tuh Non.”
“Itu orang tua saya Pak.”
“Oh…kalo gitu Non Ungu udah pernah ketemu sama Den Ruzzy?”
“Mungkin pernah, tapi saya nggak ingat. Yang saya ingat Cuma sewaktu orangtua saya dikubur.”
h¯g
Ruzzy berjalan menyusuri jalan kecil yang terletak di dekat rumah Ungu. Ruzzy dengan tenangnya jalan menggunakan sweater dan jaket wol. Kedua tangannya disembunyikannya di dalam kantong jaket dan kakinya berjalan sambil menendang-nendang kerikil-kerikil yang ada sepanjang jalan kecil itu. Tampak dari kejauhan, Ungu sedang menatap langit sore yang indah. Ruzzy melihat Ungu yang pasrah itu. Sebenarnya Ruzzy tau kisah hidup Ungu dari salah seorang teman dekatnya, Violet.  Ruzzy merasa senasib dengan Ungu, tetapi tentu saja Ungu mempunyai umur yang lebih lama dibandingkan dengannya yang bisa kapan saja roh yang dipunya dicabut oleh Tuhan.
“Ruzzy?” Ungu melihat Ruzzy yang memandang langit sore.
“Hai Ngu! Pha kabar nih? Udah berapa hari kita nggak ketemu?”
“Ruzzy, kamu nggak perlu menghindar dengan cara seperti ini! Aku nggak suka kamu kayak gini.”
“Kamu ngomong apa sih? Aku nggak ngerti? Justru, harusnya aku yang ngomong gitu ke kamu kalo kamu udah nggak pake prinsip alamiah.”
“Kamu itu yang enggak alamiah! Aku tau, kamu lagi sakit kan? Kenapa kamu nggak mau jujur sama aku? Apa gara-gara aku orang yang kamu temui di halte, apa gara-gara aku seorang pembawa sial sehingga kamu tidak mau jujur sama aku?”
Ruzzy melenyapkan wajah cerianya. Mereka sempat terdiam sebentardi bawah langit sore yang cerah itu. Tetapi langit sore yang cerah itu tidak secerah hati mereka berdua.
“Zy, aku tau kamu. Dan kamu tau aku. Aku nggak mau kamu sedih gara-gara aku, dan aku nggak mau sedih gara-gara kamu pergi ninggalin aku gitu aja. Kita sudah janji akan menghibur satu sama lain, kita sudah berjanji kelingking saat kita belum 24 jam kenal. Tetapi kenapa kamu pergi gitu aja? Kamu tau kan aku khawatir? Kamu nggak mau kan aku khawatir dan kembali kehilangan kebahagiaan? Tapi kamu sendiri yang mengambil kembali kebahagiaanku!”
“Ungu, aku nggak mau kamu tau. Aku Cuma mau kamu bahagia. Kamu sahabatku. Kamu tau, kamulah sahabatku yang pertama selama aku hidup 17 tahun. Dan kamu yang membuat hidupku jadi lebih bermakna. Memang tidak ada cinta diantara kita, yang ada hanya kasih sayang antara sahabat.”
“Kamu membelokkan pembicaraan.”
Ungu masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Ruzzy sendiri di halaman depan.
“Ungu, kamu nggak ngerti masalahnya! Aku nggak mau kamu memperlakukan aku seperti orang sakit!”
“Jadi bener kamu sakit? Kamu sakit apa Zy?” Tanya Ungu sambil menarik-narik jaket Ruzzy.
“Nggak, kamu bisa lihat kan aku baik-baik aja.”
TIdak sengaja Ungu menemukan sebuah kotak rokok didalam jaketnya. Ungu hanya bisa memegang kotak rokok itu dengan tangan yang gemetar dan Ruzzy hanya bisa diam tanpa bicara.
“Nasi sudah lama menjadi bubur.”
“Kamu ngerokok? Sejak kapan kamu ngerokok? Apa sejak ditinggal mati oleh keduaorang tuamu?”
“Pak Topir yang ngomong? Iya kan? Dasar supir nggak berguna!”
“Apa? Kamu mau pecat dia? Kenapa kamu gampang sekali memecat orang? Apa hanya kamu punya materi banyak sehingga kamu pikir gampan memutus rejeki orang lain?”
“Rejeki itu datangnya…….”
“Jangan bawa-bawa nama Tuhan, Zy!”
“Okey, gue nggak perlu ngomong panjang lebar. Aku yakin kamu tau jawabannya.”
Ungu menangis dihadapan Ruzzy yang telah berkhianat kepadanya. Mereka saling berpandang mata. Beradu diantara ketidakpastian dan keraguan. Ungu hanya ingin Ruzzy selalu menemaninya di saat senang maupun duka. Ruzzy juga seperti itu. Di dalam hatinya Ungu adalah sahabat yang terbaik yang pernah ia miliki. Ruzzy yang selalu menasehati manusia lain, kini tidak bisa lagi menemui manusia-manusia lain yang membutuhkan nasehatnya.
Ruzzy mengambil gitar yang tergeletak di sudut rumah Ungu. Ruzzy menyetel gitar itu dengan feelingnya dan memainkan sebuah lagu sendu yang ia ciptakan semenjak bertemu dengan Ungu di halte, dibawah hari hujan.

Me and You in Purple

Di bawah hari hujan siang itu
Kutemukan sebuah kupu
Yang tersangkut diantara duri-duri kaktus
Dan kuselamatkan dia dari pemangsa liar
Oh….sahabatku
Aku dan kamu selalu bersama selamanya
Tidak ada yang bisa pisahkan kita
Sampai ajal yang pisahkan kita
Sampai ajal pisahkan kita

Tangis Ungu semakin berlinang dan lagu itu berhenti disaat tetes airmata terakhir dari Ungu. Dan kini Ungu tau, umur Ruzzy tidak banyak lagi. Ungu memeluk Ruzzy dengan airmata yang kering dan mentari sore itu menghangatkan persahabatan yang sudah terjalin baik.
h¯g
“Ngu…..gue punya tebakan nih!” Ruzzy kembali ke sekolah dengan mengabaikan umurnya yang mungkin tinggal menghitung menit.
“Apaan sih? Kok kamu nggak pernah kehabisan teka-teki sih?” Tanya Ungu sambil terus menggandeng tangan Ruzzy agar sahabatnya itu tidak pernah jauh darinya.
“Kan ada kaleng nih ditengah jalan, trus ada truk lewat, kalengnya itu nggak rusak. Trus siapa dong yang salah?”
“Truknya dong……..”
“Salah sayang….bukan itu…….bego banget sih?”
“Ih, kok aku dikatain bego?”
“Yee, kan jawaban kamu salah…..”
Bel masuk kelas berbunyi dan semua orang menghentikan pandangan kearah mereka berdua.
“Kalian kenapa sih? Kok kayak ngeliat setan? Ini bulan puasa, nggak ada setan!” Ruzzy tetap mengantar Ungu menuju kelasnya.
“Kalian jadian?” Tanya seorang murid yang selama ini selalu sentimen kepada Ungu.
“Nggak, siapa yang bilang kami jadian, kami Cuma soulmate.”
“Udah bel masuk, kenapa kalian  masih berada di luar kelas?” tegur seorang guru yang kebetulan lewat disana.
“Iya Pak……”
h¯g
Sudah 3 bulan Ungu dan Ruzzy menjalani hari-hari indah yang sudah dilewati dan diukir di berbagai daerah. Kesehatan Ruzzy yang semakin menurun membuat Ungu semakin memprotect Ruzzy. Ungu ingin yang terbaik disaat Ruzzy menuju titik puncaknya suatu saat nanti.
“Kita udah kemana aja ya? Kayaknya kita udah menjelajah sebagian dari dunia.”
“Jangan berkhayal deh Ngu! Ngak mungkin kita keliling dunia, gimana ama sekolah kita? Belum kita kelas 12, kok udah buru-buru keliling dunia?”
“Ruzzy, Ruzzy, udah sore……Pak Topir juga udah nungguin tuh di depan…….kasian kan, masa orang tua disuruh nunggu-nunggu.”
“Iya, kita harus menghargai waktu sebaik mungkin. Bye Ngu…..jangan lupa, besok gue jemput seperti biasa.”
“Iya….kamu banyak istirahat ya….goodbye my friend!”
“Goodbye my soulmate!”
Ungu yang merasakan bahwa waktu tidak akan lama lagi, segera merenung tiap malam, berdoa untuk Ruzzy yang telah menyelamatkan hidupnya dari pengucilan orang-orang sekitar maupun pihak sekolah. Kini hidup Ungu telah biasa dan Ungu tetap menjadi Ungu.
“Sesuatu itu nampak lebih indah jika sesuatu itu berjalan secara alamiah.”
Kalimat itu adalah motto mereka berdua. Motto yang tercipta dari Ungu dan Ruzzy yang selalu menjadi diri sendiri tanpa meniru satu sama lain. Karena perbedaanlah yang telah mempertemukan mereka.  Mereka bedua benar-benar sadar akan diri mereka yang sangatlah kurang untuk menjadi manusia yang menginginkan surga akhirat. Maka mereka menjalani hidup tanpa memikirkan kematian yang sudah ada di depan mata mereka. Kematian itu menghadang tanpa belas kasihan dari Tuhan.
h¯g
Tibalah hari ulang tahun Ungu. Mereka berdua hanya banyak menyalakan lilin yang kemudian diletakkan di atas kolam renang di rumah Ruzzy yang mewah itu. Mereka berdoa untuk masing-masing maupun untuk orang lain.  Di malam itu, terasa sesak bagi Ruzzy.
“Ungu, semoga kamu dikasi umur panjang sama Tuhan.”
“Amin. Kamu juga.”
“Iya, kalau Tuhan berkenan. Tapi gue punya kado istimewa buat kamu. Aku sudah mempersiapkannya sejak jauh-jauh hari.”
“Apaan sih? Aduh….gue kapan ya ngasi kado sama kamu? Ulang tahun kamu kan tahun depan!”
“Kamu tunggu disini ya.” Ruzzy masuk dan mengambil kado ulang tahun itu.
Ungu menunggunya dengan setia. Tampak Pak Topir sedang membersihkan mobil itu dengan cairan pembersih mobil. Hari ini tampak berbeda. Pak Topir biasanya tidak pernah menggunakan cairan pembersih mobil saat sedang mencuci mobil. Dan semua motif sofa, gorden, maupun corak yang ada didalam rumah itu semuanya diganti menggunakan warna putih polos. Dan malam ini secara kebetulan, Ungu memakai gaun putih yang ia punya.
Mengapa hari ini semuanya serba putih? Ada apa ya? Bukannya Ruzzy benci banget sama warna putih? Apa dia udah suka banget sama warna putih? Kayak bukan Ruzzy aja. Kesannya bukan Ruzzy banget!
Ungu lama menunggu Ruzzy yang berjanji akan mengambilkan kado untuknya. Saking penasarannya, Ungu mencoba menyusul Ruzzy ke kamarnya. Tampak sebuah kado berwarna putih yang tergeletak diatas meja dan tampak Ruzzy yang tertidur pulas di atas tempat tidur.
“Yah, Ruzzy……..kok malah tidur sih? Acaranyakan belum kelar! Ruzzy, bangun dong……..nggak seru nih….masa aku mesti ngajakin Pak Topir sih?”
Lama Ruzzy tidak memberikan respon. Ungu mencoba membuka kado yang ada diatas meja itu. Ungu terkesima, ia menemukan sebuah cermin yang berframe ungu serta dihiasi dengan bunga dan kupu. Di dalam kotak tersebut ada sebuah memo kecil.
Selamat ulang tahun buat soulmateku. Aku nggak tau kamu suka apa. Tapi aku yakin dengan cermin ini kamu tidak akan pernah menjadi Ungu yang lain. Tetapi, saat kau membaca surat ini, aku sudah pergi jauh meninggalkanmu.
Memo singkat itu adalah jawaban dari semuanya. Ruzzy yang tertidur pulas ditempat tidur itu ternyata sudah tiada dan Ungu harus merelakannya agar dia tenang menuju alam nirwana.  Tangis pun pecah diantara kebisuan dan kepergian sang sahabat yang sangatlah berarti bagi Ungu dan semua manusia yang mengenal Ruzzy. Ungu hanya bisa memandang Ruzzy yang sudah tidak bernyawa itu.
“Disaat kebahagiaan itu datang, maka bersamaan dengan itu pulalah kedukaan tersirat.”
h¯g
Jasad Ruzzy telah dikremasikan dan sudah dikuburkan. Para pendeta telah membacakan doa dan semua pelayat telah pergi. Hanya Ungu seorang yang masih terdiam tercengang termenung di makam seorang Ruzzy Thivalany.
“Non, saya hanya menyampaikan amanat terakhir dari almarhum Den Ruzzy.” Ujar Pak Topir.
“Amanat apa Pak?”
“Rumah yang ditempati oleh almarhum Den Ruzzy akan diserahkan secara mutlak buat Non Ungu. Jadi Non Ungu sangat dimohon untuk menerima permintaan yang terakhir ini.”
“Rumah itu diberikan kepada saya?”
“Iya. Beserta segala isinya, termasuk saya. Nanti Non yang menggaji saya.”
“Baiklah…saya terima dengan senang hati.”

“Ruzzy, thanks banget karena elo sudah memberikan yang terbaik buat aku dan manusia yang lainnya. Semoga kamu tenang di sisi Tuhan. Amin.”
Ungu kembali melanjutkan hari-harinya tanpa Ruzzy lagi. Dan mungkin akan selamanya seperti ini.
Dan cermin itu terpasang dengan baik di suatu tempat yang jauh dari keramaian dan cermin itu telah menyimpan banyak kenangan antara Ungu dan Ruzzy.



T A M A T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar