Minggu, 23 Desember 2012
Rabu, 19 Desember 2012
Selasa, 18 Desember 2012
Kamis, 13 Desember 2012
Rabu, 12 Desember 2012
Minggu, 02 Desember 2012
At a Time part 6 by @LIGHTIITUP
previous episode 5 :
“Oppa! Ini aku, Park RaeIn!” katanya ceria.
Hongki menatap RaeIn nanar. Iya, dia Park RaeIn, Hongki tahu itu. Dia mengenalnya.. bahkan dia lebih mengenalnya hingga ia tak bisa merasa bahagia saat melihat wajah dan mendengar suaranya, karena dengan cepat, potongan-potongan memori itu mulai muncul di ingatannya. Tentang bagaimana ia menjadi buta karenanya.
--------------------------------------------------------------------
“HYAAAHHHH!!!” Hongki berteriak kesetanan sambil melempar benda apapun yang bisa ia raih, melemparnya kearah Raein dengan membabi buta. Ia berteriak-teriak padanya, mengeluarkan sumpah serapah yang tidak terpikir oleh Raein ia akan mendapatkannya setelah semua yang ia lakukan untuk Hongki selama ini.
“Hongki oppa..” hanya itu yang bisa dikatakannya sambil berusaha terus melindungi dirinya sendiri dari lemparan barang-barang itu. Sementara Hongki terus menghujaninya dengan berbagai benda.
Dengan cepat dokter dan perawat yang ada disana segera mengendalikan kebrutalan Hongki yang muncul secara tiba-tiba setelah beberapa saat ia memandang wajah Raein, dan segera bisa mengenal pemilik wajah itu dengan sangat baik tanpa memerlukan proses pemulihan sedikitpun. Dokter yang menangani Hongki segera mencegah pasiennya untuk melempar lagi, dibantu oleh seorang perawat pria yang memegangi tangan Hongki, kencang. Sementara seorang perawat wanita menuntun Raein untuk keluar dari ruangan dimana Hongki dirawat.
“Lebih baik nona menunggu diluar dahulu sampai keadaan pasien lebih baik!” ujar perawat itu lembut setelah mereka berada diluar.
“Apa terjadi sebenarnya?” Raein bertanya. Dirinya benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini. Kenapa Hongki jadi seperti itu, padahal sebelumnya ia masih tertawa-tawa dengan Raein.
“Saya juga belum tahu! Sebaiknya nanti nona tanyakan kepada dokter. Kami belum pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya. Jadi saya belum bisa memastikannya!” jawab perawat itu ramah. “Silakan tunggu disini!” ujarnya lagi, kemudian bergegas masuk kembali kedalam kamar Hongki yang sudah tidak se ramai tadi. Meski masih bisa terdengar suara nafas Hongki yang memburu akibat apa yang baru saja ia lakukan, tapi ia sudah tidak berteriak-teriak lagi. Ia juga tidak melemparkan barang-barang lagi meskipun dokter sudah melepaskan kedua tangannya.
Raein terduduk di kursi tunggu didepan ruangan tempat Hongki dirawat. Ia lemas. Pandangan matanya tidak fokus kearah benda yang dilihatnya. Ia lebih terlihat seperti menerawang. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya membuat Hongki melakukan itu padanya. Ia berpikir sejenak. Apakah karena Hongki sudah mengingatnya? Hongki sudah bisa mengembalikan ingatannya yang selama ini tidak bisa diingatnya? Tapi kenapa Hongki seperti itu padanya? Raein merasa tidak pernah melakukan kesalahan pada Hongki yang bisa membuatnya seperti itu.
Ia melirik kearah pintu kamar Hongki. Menghela nafas sejenak, namun tidak melakukan apapun setelahnya.
*
“Sepertinya ia sudah bisa mengingat semuanya, Park Raein-ssi! Kami sudah melakukan check dan memang sepertinya semua ingatannya sudah kembali dengan sempurna!” ujar dokter pada Raein setelah dokter memeriksa keadaan Hongki secara lebih lanjut. “Tapi kami masih belum tahu kenapa pasien menjadi histeris seperti itu!” Dokter tampak berpikir sejenak. “Apakah mungkin ada pengalaman tidak menyenangkan sebelum pasien mengalami amnesia?”
Gadis yang duduk di hadapan dokter yang menangani Hongki ini terdiam. Ia mencoba mengingat kejadian-kejadian sebelum Hongki mengalami amnesia. Namun ia tidak bias menemukan sama sekali kejadian tertentu yang bisa membuat Hongki menjadi seperti itu.
“Saya tidak tahu, dok!” katanya.
Dokter mengangguk-angguk mendengar jawaban Raein. “Tapi sebaiknya Park Raein-ssi jangan menemui pasien dalam waktu dekat ini! Saya rasa ia masih mengalami trauma yang melibatkan anda! Jadi, saya mohon jangan datang dulu sampai keadaan psikologis pasien sudah lebih baik!” usul dokter ramah, dan Raein tentu saja mau tidak mau harus mengiyakan himbauan dokter untuknya. Demi kebaikan Hongki.
Sementara itu Hongki masih didalam kamarnya di rumah sakit. Masih terdiam dalam posisi yang sama setelah ia lebih tenang dan dokter juga perawat sudah bias meninggalkan ruangan itu untuk kembali bekerja.
Ia dalam posisi duduk di atas ranjangnya. Menatap nanar kearah pangkuannya sendiri. Ia baru melihat Raein lagi tadi pagi. Menatap gadis yang setiap hari datang untuk menemaninya disaat ia berada di rumah rehabilitasi. Menatap gadis yang dirindukannya setiap hari jika ia tidak bisa datang menemaninya. Menatap gadis yang ia sukai, dulu, hingga sekarang. Perasaannya masih belum berubah sama sekali, namun perasaan itu yang malah menyakitinya sekarang. Membuat dadanya begitu sesak saat menatap dua mata yang di sukainya itu. Membuat kemarahannya memuncak dan emosinya meletup begitu saja. Hingga sikapnya menjadi tak terkendali.
Kini potongan-potongan puzzle itu telah bergabung menjadi sangat lengkap di ingatan Hongki. Tentang siapa dirinya, siapa Raein, dan kejadian-kejadian yang membuatnya bias menjadi seperti ini. Semuanya bisa ia ingat dengan sangat baik setelah melihat wajah gadis yang begitu ia kagumi itu.
#FLASHBACK#
Hongki baru kembali dari stage untuk membahas sesuatu dengan crew setelah ia dan band nya melakukan check sound. Namun band nya sudah kembali terlebih dulu ke ruang tunggu, meninggalkannya dengan seorang crew yang entah membicarakan apa dengan gitaris band itu. Ia hendak masuk kedalam ruangan itu ketika ia mendengar suara seseorang dari dalam ruangan itu yang membuatnya terdiam membeku.
“Aku menyukaimu..”
“Oppa~”
Hongki terdiam. Menatap kosong kearah depan. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Ia ragu pada awalnya, namun entah kenapa sedetik kemudian ia merasa keyakinannya menjadi benar. Geunsuk baru saja menyatakan perasaannya pada Raein. Ia mendengarnya dengan telinganya sendiri. Ia tidak percaya. Sesaat ia merasa di khianati.
Ia masih ingat dengan begitu jelas, semua perkataan Geunsuk di atap sekolah waktu itu. Semuanya masih terekam dengan baik di otaknya. Geunsuk pernah bilang padanya bahwa ia tidak pernah menyukai Raein layaknya perasaan seorang pria dengan wanita. Ia hanya menyayangi Raein seperti adiknya sendiri. Tapi kenapa sekarang jadi berubah? Kenapa Geunsuk melakukannya? Meski Hongki masih ragu, namun entah mangapa ada bagian dalam dirinya yang begitu mempercayai kenyataan ini.
Ia berjalan mundur beberapa langkah, sampai akhirnya ia berbalik dan berlari tanpa peduli crew showcase memanggilnya berkali-kali menyuruhnya agar tidak pergi terlalu jauh karena acara akan segera dimulai. Namun Hongki tak mengindahkannya. Ia terus belari dan meraih motornya yang terparkir tak jauh dari sana. Memakai helmnya dan tanpa menunggu lama, ia melesatkan motornya ke jalanan.
Ia memutar gas nya hingga tidak bisa menambah kecepatannya lagi. Sudah maksimal. Bisa dilihat dari bagaimana cepatnya motor itu melewati jalanan sepi di pegunungan itu. Menuruti sepanjang jalan yang tidak ada belokannya sama sekali. Jalanan yang cukup sepi dan nyaman untuk berkendara dengan kecepatan tinggi. Tapi bagi Hongki, ini sama sekali tidak membuatnya nyaman. Perasaannya. Perasaan yang berkecamuk, kesakitan dalam hatinya saat ini. Emosinya yang meluap. Satu-satunya hal yang membuatnya mempercepat laju motornya.
Dan ketika itulah dari arah yang berlawanan, sebuah mobil datang dengan kecepatan yang tinggi juga. Hongki baru mengetahuinya saat mereka sudah berada benar-benar dekat, sudah tidak mungkin lagi untuknya berhenti dengan memperkecil kecepatan motornya atau menginjak rem kaki ataupun menekan rem tangannya. Sudah terlalu dekat.
Klakson mobil menderu kencang di hadapannya, memperingatkan Hongki untuk segera menghindar. Si pengendara mobil juga tampak berusaha membuat mobilnya melaju lebih pelan, namun Hongki tidak peduli. Ia hanya peduli dengan bagaimana caranya menyelamatkan diri dari mobil di hadapannya itu. Sejenak tanpa berpikir, ia membanting stang, membelokkan motornya yang sialnya malah menuju kearah jurang.
BRAKK! SRAKK!!
“AARRRHHHHH!!!” Hongki berteriak saat ia terjatuh bebas ke bawah bersama motornya yang sebelumnya menabrak pembatas di tepi jalan. Ia terperosok. Jatuh ke satu tebing yang membuat helmnya terlepas, kemudian terjatuh dan terbanting di permukaan tanah yang keras dengan posisi kepala berada di bawah. Kemudian ia tidak tahu apa-apa lagi sampai ia terbangun di rumah sakit dalam keadaan visual yang gelap dan tidak mengingat apapun setelah mengalami koma.
#FLASHBACK END#
Hongki membenamkan kepalanya didalam kedua lengan yang ia tumpukan pada lututnya. Ia terisak. Menangis begitu keras. Rasa sakit yang selama ini sudah bisa ia lupakan secara instan, kini kembali muncul dengan cara yang sama. Dengan instan. Ia tahu sekarang kenapa saat mendengar suara itu ia merasa sangat akrab. Ia merasakan senang, bercampur dengan perasaan aneh yang kini ia sadari itu sebagai perasaan sakit yang sempat dialaminya dulu.
Dan sesaat ia mengutuk sahabat lamanya. Geunsuk. Yang ia anggap menjadi sumber permasalahan ini. Penyebab dirinya mengalami kebutaan dan amnesia. Karena kalimat yang dilontarkannya pada Raein, Hongki harus mengalami ini semua. Ia menyalahkan Geunsuk. Ia mengutuknya dengan seluruh kemarahan yang ada pada dirinya.
Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain menangis. Disaat ia seharusnya bahagia karena mendapatkan penglihatannya kembali, entah kenapa ia tidak bisa merasa bahagia. Ia merasa lebih baik tidak bisa kembali melihat. Agar ia tidak bisa kembali mengingat semua hal menyakitkan itu.
*
Raein memandangi lukisannya sendiri di salah satu sudut hall kampus. Hari ini waktunya mereka harus melepas semua atribut pameran, termasuk lukisannya yang terpajang di antara karya mahasiswa yang lain. Namun rasanya ia belum ingin melepasnya. Ia masih ingin memandanginya beberapa saat sebelum melepasnya nanti. Ia belum sempat melihatnya terpajang disana pada saat pameran berlangsung. Ia terus disibukkan dengan urusan Hongki yang membuatnya harus mengalami pengurangan nilai karena ia hampir sama sekali tidak pernah datang.
Sesaat ia mengingat Hongki. Ia mengingat bagaimana temannya itu berteriak marah padanya di kamar rumah sakit sambil melemparkan barang-barang kearahnya sesaat setelah perban matanya dilepas. Ia masih tidak mengerti meski berusaha memikirkannya beribu kali. Ia menghela nafas. Hanya memikirkannya saja membuatnya lelah.
“Lukisan ini dipesan dengan harga tinggi di hari kedua pameran, tapi si pemilik tidak hadir dalam acara sehingga si penawar tidak bisa membuat kesepakatan!” sebuah suara muncul tiba-tiba di sampingnya. “Hahh.. kau melewatkan kesempatan besar untuk menjadi kaya, Park Raein!” lanjutnya lagi sambil melirik kearah Raein yang hanya tersenyum mendengarnya.
Raein tidak menjawab. Membuat pria di sampingnya itu melunturkan senyumnya yang sebelumnya terpasang dengan tampan di wajahnya.
“Kamu tidak terlihat baik-baik saja setelah kembali dari rumah sakit kemarin!” ujarnya. “Ada sesuatu?”
“Kim Sangbeom! Apa aku baru melakukan dosa besar?” Tanya Raein tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari kanvas besar di hadapannya.
KimBeom menaikkan sebelah alisnya.
“Hongki begitu membenciku setelah ia mengenali siapa aku! Ia berteriak padaku menyuruhku agar tidak mendekatinya.. setelah semua yang kulakukan untuknya..” Raein menghela nafas, kemudian menoleh, membalikkan seluruh badannya ke samping, membalas tatapan Kimbeom tepat di matanya. “Aku tidak tahu apa itu, tapi.. kurasa aku melakukan suatu dosa besar padanya dulu..”
Raein menurunkan tatapannya. Kini ia menatap ujung celana jeans yang dikenakan Kimbeom. Dan seketika airmatanya berkumpul di kelopak matanya, mendesak untuk keluar. Sesaat kemudian, sesuatu yang hangat mengalir di kedua pipinya, menggantung di rahangnya, kemudian terjatuh ke lantai hingga meninggalkan sebuah noda percikan air disana.
Isakan terdengar begitu keras. Raein sama sekali tidak berusaha untuk melirihkannya. Ia membiarkan suara tangisannya bisa didengar oleh orang-orang yang berada didalam hall itu. Yang tengah sibuk membereskan atribut pameran. Namun orang-orang itu tampaknya tidak peduli. Mereka hanya sempat menoleh sejenak, mencari tahu apa yang terjadi, namun tidak mengindahkannya dan kembali dengan pekerjaan yang sudah menyibukkan mereka sejak awal. Tidak tertarik untuk mengurusi urusan orang lain.
Namun Kimbeom juga tidak membiarkannya berhenti menangis meski ada sedikit perasaan malu. Ia membiarkan Raein memuntahkan isi hatinya di hadapannya. Kadang menangis itu menjadi satu solusi yang tepat untuk membuang sesuatu dari dalam diri. Makanya yang Kimbeom lakukan hanya memberikannya tempat. Memeluk gadisnya itu. Meminjamkan pundak untuk bersandar dan menghabiskan air matanya disana. Membiarkan bahunya basah karena airmata yang akan segera melegakannya ketika sudah habis.
---
“Kamu sudah mencoba bicara dengannya?” tanya Kimbeom pada Raein yang kini sudah jauh lebih tenang. Sekarang keduanya duduk di sebuah bangku di wilayah kampus sambil menikmati susu botol mereka masing-masing yang dibeli Kimbeom di kantin kampus yang masih buka sampai hampir senja.
Raein menggeleng. “Aku bahkan tidak boleh mendekatinya! Bagaimana aku bisa mengobrol dengannya!”
Mereka terdiam beberapa saat. Hanya terdengar suara-suara dari sekeliling mereka. Beberapa mahasiswa dan dosen masih berada di lingkungan kampus. Beberapa ruangan kelas ataupun ruang lainnya banyak yang lampunya masih menyala.
“Apa perlu aku yang kesana untukmu?” ujar Kimbeom memecah keheningan.
“Hei, tidak perlu! Untuk apa kau datang? Lagipula kau tidak mengenalnya!” Raein melarangnya.
“Aku mengenalnya!”
Raein tersentak. Ia tidak tahu, ternyata Kimbeom mengenal Hongki. Ia menaikkan sebelah alisnya, tanda tidak terlalu yakin, tapi juga penasaran. “Dari mana..?”
“Kupikir ia sangat berbakat! Dulu aku pernah melihatnya tampil di sebuah café! Satu kali. Aku pikir ia rutin tampil disana, tapi saat aku datang ke café itu lagi, aku tidak pernah melihatnya menyanyi lagi disana! Aku tidak menyangka akan melihatnya lagi.. dalam keadaan yang berbeda.” Kimbeom memutar matanya, perasaannya tidak enak saat ia membicarakan kalimat yang terakhir dikatakannya pada Raein. “Mianhae..”
Raein menggeleng dengan senyum tipis di wajahnya. Ia tidak merasa Kimbeom bersalah dengan berkata seperti itu. Kenyataannya memang Hongki berada dalam keadaan yang ‘berbeda’.
“Aku masih terus berpikir apa yang membuat Hongki oppa sampai semarah ini padaku..” Raein mendengus. “Mungkin jika Geunsuk masih ada, aku bisa bertanya padanya..” gadis itu tersenyum miris. Sekali lagi air matanya hampir tumpah. Tapi yang kali ini, ia masih bisa menahannya.
“Aku merasa sial, Kimbeom-a! Dua kesedihan dalam satu waktu!” Raein menengadah. Berusaha menahan airmatanya agar tidak keluar. Ia menengadah agar airmatanya masuk lagi kedalam kelenjarnya. Sesaat kemudian ia kembali memandang lurus ke apa saja yang ada di hadapannya. “Aku merasa kehilangan dua orang yang sangat berarti untukku!” Raein menggigit bibirnya. Ia juga memaksakan senyumnya. Namun bukan terlihat kuat, ia malah terlihat menyedihkan dengan keadaan seperti itu.
Masih menatap bagian samping wajah Raein, Kimbeom meraih tangan gadis itu. Membuatnya menoleh, kemudian memperhatikan tangannya sendiri yang kini berada di dada Kimbeom yang tertutup sweater abu-abu gelap. “Kamu masih punya aku!” katanya.
Ia masih terpaku beberapa saat, sampai pada akhirnya ia tertawa geli sendiri, membuat Kimbeom bingung dan segera melepaskan tangannya. “Wae?”
Raein menggeleng, namun ia masih tidak bisa menghentikan tawanya. “Kamu sok cheesy banget sih?” Raein terbahak-bahak, kemudian memukul pundak Kimbeom dengan tangan yang sama dengan yang berada di dada Kimbeom tadi, sementara tangan yang satunya menutupi mulutnya yang tengah terbuka cukup lebar karena tawanya yang begitu besar.
Kimbeom tidak marah. Ia malah tersenyum lebar. Ia merasa senang, akhirnya setelah hari ini ia sama sekali tidak melihat senyum gadisnya itu, kini ia bisa melihatnya dengan sangat jelas. Tepat di hadapannya.
JEPRET!
Kilat flash kamera Kimbeom mengagetkan Raein yang langsung menghentikan tawanya begitu saja. “Yah! Apa yang kau lakukan??” Raein protes. Ia berusaha merebut kamera Kimbeom. Namun ia tak berhasil menghindar, melindungi kameranya dari terkaman Raein.
“Akhirnya aku bisa mendapatkan ekspresi yang bagus darimu untuk di abadikan!” Kimbeom terkekeh sambil melihat hasil potretan yang baru saja ia ambil. “Bagus! Sudah lama sejak aku terakhir kali memotretmu!”
“Yah!!” Raein kembali berusaha merebut kameranya, dan Kimbeom masih terus berusaha menghindar. Namun kini mereka tidak dalam ekspresi sebal atau marah seperti biasanya. Kini Raein bisa tertawa. Sejenak melupakan masalah yang baru saja ia hadapi.
*
“Hongki oppa..” hanya itu yang bisa dikatakannya sambil berusaha terus melindungi dirinya sendiri dari lemparan barang-barang itu. Sementara Hongki terus menghujaninya dengan berbagai benda.
Dengan cepat dokter dan perawat yang ada disana segera mengendalikan kebrutalan Hongki yang muncul secara tiba-tiba setelah beberapa saat ia memandang wajah Raein, dan segera bisa mengenal pemilik wajah itu dengan sangat baik tanpa memerlukan proses pemulihan sedikitpun. Dokter yang menangani Hongki segera mencegah pasiennya untuk melempar lagi, dibantu oleh seorang perawat pria yang memegangi tangan Hongki, kencang. Sementara seorang perawat wanita menuntun Raein untuk keluar dari ruangan dimana Hongki dirawat.
“Lebih baik nona menunggu diluar dahulu sampai keadaan pasien lebih baik!” ujar perawat itu lembut setelah mereka berada diluar.
“Apa terjadi sebenarnya?” Raein bertanya. Dirinya benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini. Kenapa Hongki jadi seperti itu, padahal sebelumnya ia masih tertawa-tawa dengan Raein.
“Saya juga belum tahu! Sebaiknya nanti nona tanyakan kepada dokter. Kami belum pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya. Jadi saya belum bisa memastikannya!” jawab perawat itu ramah. “Silakan tunggu disini!” ujarnya lagi, kemudian bergegas masuk kembali kedalam kamar Hongki yang sudah tidak se ramai tadi. Meski masih bisa terdengar suara nafas Hongki yang memburu akibat apa yang baru saja ia lakukan, tapi ia sudah tidak berteriak-teriak lagi. Ia juga tidak melemparkan barang-barang lagi meskipun dokter sudah melepaskan kedua tangannya.
Raein terduduk di kursi tunggu didepan ruangan tempat Hongki dirawat. Ia lemas. Pandangan matanya tidak fokus kearah benda yang dilihatnya. Ia lebih terlihat seperti menerawang. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya membuat Hongki melakukan itu padanya. Ia berpikir sejenak. Apakah karena Hongki sudah mengingatnya? Hongki sudah bisa mengembalikan ingatannya yang selama ini tidak bisa diingatnya? Tapi kenapa Hongki seperti itu padanya? Raein merasa tidak pernah melakukan kesalahan pada Hongki yang bisa membuatnya seperti itu.
Ia melirik kearah pintu kamar Hongki. Menghela nafas sejenak, namun tidak melakukan apapun setelahnya.
*
“Sepertinya ia sudah bisa mengingat semuanya, Park Raein-ssi! Kami sudah melakukan check dan memang sepertinya semua ingatannya sudah kembali dengan sempurna!” ujar dokter pada Raein setelah dokter memeriksa keadaan Hongki secara lebih lanjut. “Tapi kami masih belum tahu kenapa pasien menjadi histeris seperti itu!” Dokter tampak berpikir sejenak. “Apakah mungkin ada pengalaman tidak menyenangkan sebelum pasien mengalami amnesia?”
Gadis yang duduk di hadapan dokter yang menangani Hongki ini terdiam. Ia mencoba mengingat kejadian-kejadian sebelum Hongki mengalami amnesia. Namun ia tidak bias menemukan sama sekali kejadian tertentu yang bisa membuat Hongki menjadi seperti itu.
“Saya tidak tahu, dok!” katanya.
Dokter mengangguk-angguk mendengar jawaban Raein. “Tapi sebaiknya Park Raein-ssi jangan menemui pasien dalam waktu dekat ini! Saya rasa ia masih mengalami trauma yang melibatkan anda! Jadi, saya mohon jangan datang dulu sampai keadaan psikologis pasien sudah lebih baik!” usul dokter ramah, dan Raein tentu saja mau tidak mau harus mengiyakan himbauan dokter untuknya. Demi kebaikan Hongki.
Sementara itu Hongki masih didalam kamarnya di rumah sakit. Masih terdiam dalam posisi yang sama setelah ia lebih tenang dan dokter juga perawat sudah bias meninggalkan ruangan itu untuk kembali bekerja.
Ia dalam posisi duduk di atas ranjangnya. Menatap nanar kearah pangkuannya sendiri. Ia baru melihat Raein lagi tadi pagi. Menatap gadis yang setiap hari datang untuk menemaninya disaat ia berada di rumah rehabilitasi. Menatap gadis yang dirindukannya setiap hari jika ia tidak bisa datang menemaninya. Menatap gadis yang ia sukai, dulu, hingga sekarang. Perasaannya masih belum berubah sama sekali, namun perasaan itu yang malah menyakitinya sekarang. Membuat dadanya begitu sesak saat menatap dua mata yang di sukainya itu. Membuat kemarahannya memuncak dan emosinya meletup begitu saja. Hingga sikapnya menjadi tak terkendali.
Kini potongan-potongan puzzle itu telah bergabung menjadi sangat lengkap di ingatan Hongki. Tentang siapa dirinya, siapa Raein, dan kejadian-kejadian yang membuatnya bias menjadi seperti ini. Semuanya bisa ia ingat dengan sangat baik setelah melihat wajah gadis yang begitu ia kagumi itu.
#FLASHBACK#
Hongki baru kembali dari stage untuk membahas sesuatu dengan crew setelah ia dan band nya melakukan check sound. Namun band nya sudah kembali terlebih dulu ke ruang tunggu, meninggalkannya dengan seorang crew yang entah membicarakan apa dengan gitaris band itu. Ia hendak masuk kedalam ruangan itu ketika ia mendengar suara seseorang dari dalam ruangan itu yang membuatnya terdiam membeku.
“Aku menyukaimu..”
“Oppa~”
Hongki terdiam. Menatap kosong kearah depan. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Ia ragu pada awalnya, namun entah kenapa sedetik kemudian ia merasa keyakinannya menjadi benar. Geunsuk baru saja menyatakan perasaannya pada Raein. Ia mendengarnya dengan telinganya sendiri. Ia tidak percaya. Sesaat ia merasa di khianati.
Ia masih ingat dengan begitu jelas, semua perkataan Geunsuk di atap sekolah waktu itu. Semuanya masih terekam dengan baik di otaknya. Geunsuk pernah bilang padanya bahwa ia tidak pernah menyukai Raein layaknya perasaan seorang pria dengan wanita. Ia hanya menyayangi Raein seperti adiknya sendiri. Tapi kenapa sekarang jadi berubah? Kenapa Geunsuk melakukannya? Meski Hongki masih ragu, namun entah mangapa ada bagian dalam dirinya yang begitu mempercayai kenyataan ini.
Ia berjalan mundur beberapa langkah, sampai akhirnya ia berbalik dan berlari tanpa peduli crew showcase memanggilnya berkali-kali menyuruhnya agar tidak pergi terlalu jauh karena acara akan segera dimulai. Namun Hongki tak mengindahkannya. Ia terus belari dan meraih motornya yang terparkir tak jauh dari sana. Memakai helmnya dan tanpa menunggu lama, ia melesatkan motornya ke jalanan.
Ia memutar gas nya hingga tidak bisa menambah kecepatannya lagi. Sudah maksimal. Bisa dilihat dari bagaimana cepatnya motor itu melewati jalanan sepi di pegunungan itu. Menuruti sepanjang jalan yang tidak ada belokannya sama sekali. Jalanan yang cukup sepi dan nyaman untuk berkendara dengan kecepatan tinggi. Tapi bagi Hongki, ini sama sekali tidak membuatnya nyaman. Perasaannya. Perasaan yang berkecamuk, kesakitan dalam hatinya saat ini. Emosinya yang meluap. Satu-satunya hal yang membuatnya mempercepat laju motornya.
Dan ketika itulah dari arah yang berlawanan, sebuah mobil datang dengan kecepatan yang tinggi juga. Hongki baru mengetahuinya saat mereka sudah berada benar-benar dekat, sudah tidak mungkin lagi untuknya berhenti dengan memperkecil kecepatan motornya atau menginjak rem kaki ataupun menekan rem tangannya. Sudah terlalu dekat.
Klakson mobil menderu kencang di hadapannya, memperingatkan Hongki untuk segera menghindar. Si pengendara mobil juga tampak berusaha membuat mobilnya melaju lebih pelan, namun Hongki tidak peduli. Ia hanya peduli dengan bagaimana caranya menyelamatkan diri dari mobil di hadapannya itu. Sejenak tanpa berpikir, ia membanting stang, membelokkan motornya yang sialnya malah menuju kearah jurang.
BRAKK! SRAKK!!
“AARRRHHHHH!!!” Hongki berteriak saat ia terjatuh bebas ke bawah bersama motornya yang sebelumnya menabrak pembatas di tepi jalan. Ia terperosok. Jatuh ke satu tebing yang membuat helmnya terlepas, kemudian terjatuh dan terbanting di permukaan tanah yang keras dengan posisi kepala berada di bawah. Kemudian ia tidak tahu apa-apa lagi sampai ia terbangun di rumah sakit dalam keadaan visual yang gelap dan tidak mengingat apapun setelah mengalami koma.
#FLASHBACK END#
Hongki membenamkan kepalanya didalam kedua lengan yang ia tumpukan pada lututnya. Ia terisak. Menangis begitu keras. Rasa sakit yang selama ini sudah bisa ia lupakan secara instan, kini kembali muncul dengan cara yang sama. Dengan instan. Ia tahu sekarang kenapa saat mendengar suara itu ia merasa sangat akrab. Ia merasakan senang, bercampur dengan perasaan aneh yang kini ia sadari itu sebagai perasaan sakit yang sempat dialaminya dulu.
Dan sesaat ia mengutuk sahabat lamanya. Geunsuk. Yang ia anggap menjadi sumber permasalahan ini. Penyebab dirinya mengalami kebutaan dan amnesia. Karena kalimat yang dilontarkannya pada Raein, Hongki harus mengalami ini semua. Ia menyalahkan Geunsuk. Ia mengutuknya dengan seluruh kemarahan yang ada pada dirinya.
Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain menangis. Disaat ia seharusnya bahagia karena mendapatkan penglihatannya kembali, entah kenapa ia tidak bisa merasa bahagia. Ia merasa lebih baik tidak bisa kembali melihat. Agar ia tidak bisa kembali mengingat semua hal menyakitkan itu.
*
Raein memandangi lukisannya sendiri di salah satu sudut hall kampus. Hari ini waktunya mereka harus melepas semua atribut pameran, termasuk lukisannya yang terpajang di antara karya mahasiswa yang lain. Namun rasanya ia belum ingin melepasnya. Ia masih ingin memandanginya beberapa saat sebelum melepasnya nanti. Ia belum sempat melihatnya terpajang disana pada saat pameran berlangsung. Ia terus disibukkan dengan urusan Hongki yang membuatnya harus mengalami pengurangan nilai karena ia hampir sama sekali tidak pernah datang.
Sesaat ia mengingat Hongki. Ia mengingat bagaimana temannya itu berteriak marah padanya di kamar rumah sakit sambil melemparkan barang-barang kearahnya sesaat setelah perban matanya dilepas. Ia masih tidak mengerti meski berusaha memikirkannya beribu kali. Ia menghela nafas. Hanya memikirkannya saja membuatnya lelah.
“Lukisan ini dipesan dengan harga tinggi di hari kedua pameran, tapi si pemilik tidak hadir dalam acara sehingga si penawar tidak bisa membuat kesepakatan!” sebuah suara muncul tiba-tiba di sampingnya. “Hahh.. kau melewatkan kesempatan besar untuk menjadi kaya, Park Raein!” lanjutnya lagi sambil melirik kearah Raein yang hanya tersenyum mendengarnya.
Raein tidak menjawab. Membuat pria di sampingnya itu melunturkan senyumnya yang sebelumnya terpasang dengan tampan di wajahnya.
“Kamu tidak terlihat baik-baik saja setelah kembali dari rumah sakit kemarin!” ujarnya. “Ada sesuatu?”
“Kim Sangbeom! Apa aku baru melakukan dosa besar?” Tanya Raein tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari kanvas besar di hadapannya.
KimBeom menaikkan sebelah alisnya.
“Hongki begitu membenciku setelah ia mengenali siapa aku! Ia berteriak padaku menyuruhku agar tidak mendekatinya.. setelah semua yang kulakukan untuknya..” Raein menghela nafas, kemudian menoleh, membalikkan seluruh badannya ke samping, membalas tatapan Kimbeom tepat di matanya. “Aku tidak tahu apa itu, tapi.. kurasa aku melakukan suatu dosa besar padanya dulu..”
Raein menurunkan tatapannya. Kini ia menatap ujung celana jeans yang dikenakan Kimbeom. Dan seketika airmatanya berkumpul di kelopak matanya, mendesak untuk keluar. Sesaat kemudian, sesuatu yang hangat mengalir di kedua pipinya, menggantung di rahangnya, kemudian terjatuh ke lantai hingga meninggalkan sebuah noda percikan air disana.
Isakan terdengar begitu keras. Raein sama sekali tidak berusaha untuk melirihkannya. Ia membiarkan suara tangisannya bisa didengar oleh orang-orang yang berada didalam hall itu. Yang tengah sibuk membereskan atribut pameran. Namun orang-orang itu tampaknya tidak peduli. Mereka hanya sempat menoleh sejenak, mencari tahu apa yang terjadi, namun tidak mengindahkannya dan kembali dengan pekerjaan yang sudah menyibukkan mereka sejak awal. Tidak tertarik untuk mengurusi urusan orang lain.
Namun Kimbeom juga tidak membiarkannya berhenti menangis meski ada sedikit perasaan malu. Ia membiarkan Raein memuntahkan isi hatinya di hadapannya. Kadang menangis itu menjadi satu solusi yang tepat untuk membuang sesuatu dari dalam diri. Makanya yang Kimbeom lakukan hanya memberikannya tempat. Memeluk gadisnya itu. Meminjamkan pundak untuk bersandar dan menghabiskan air matanya disana. Membiarkan bahunya basah karena airmata yang akan segera melegakannya ketika sudah habis.
---
“Kamu sudah mencoba bicara dengannya?” tanya Kimbeom pada Raein yang kini sudah jauh lebih tenang. Sekarang keduanya duduk di sebuah bangku di wilayah kampus sambil menikmati susu botol mereka masing-masing yang dibeli Kimbeom di kantin kampus yang masih buka sampai hampir senja.
Raein menggeleng. “Aku bahkan tidak boleh mendekatinya! Bagaimana aku bisa mengobrol dengannya!”
Mereka terdiam beberapa saat. Hanya terdengar suara-suara dari sekeliling mereka. Beberapa mahasiswa dan dosen masih berada di lingkungan kampus. Beberapa ruangan kelas ataupun ruang lainnya banyak yang lampunya masih menyala.
“Apa perlu aku yang kesana untukmu?” ujar Kimbeom memecah keheningan.
“Hei, tidak perlu! Untuk apa kau datang? Lagipula kau tidak mengenalnya!” Raein melarangnya.
“Aku mengenalnya!”
Raein tersentak. Ia tidak tahu, ternyata Kimbeom mengenal Hongki. Ia menaikkan sebelah alisnya, tanda tidak terlalu yakin, tapi juga penasaran. “Dari mana..?”
“Kupikir ia sangat berbakat! Dulu aku pernah melihatnya tampil di sebuah café! Satu kali. Aku pikir ia rutin tampil disana, tapi saat aku datang ke café itu lagi, aku tidak pernah melihatnya menyanyi lagi disana! Aku tidak menyangka akan melihatnya lagi.. dalam keadaan yang berbeda.” Kimbeom memutar matanya, perasaannya tidak enak saat ia membicarakan kalimat yang terakhir dikatakannya pada Raein. “Mianhae..”
Raein menggeleng dengan senyum tipis di wajahnya. Ia tidak merasa Kimbeom bersalah dengan berkata seperti itu. Kenyataannya memang Hongki berada dalam keadaan yang ‘berbeda’.
“Aku masih terus berpikir apa yang membuat Hongki oppa sampai semarah ini padaku..” Raein mendengus. “Mungkin jika Geunsuk masih ada, aku bisa bertanya padanya..” gadis itu tersenyum miris. Sekali lagi air matanya hampir tumpah. Tapi yang kali ini, ia masih bisa menahannya.
“Aku merasa sial, Kimbeom-a! Dua kesedihan dalam satu waktu!” Raein menengadah. Berusaha menahan airmatanya agar tidak keluar. Ia menengadah agar airmatanya masuk lagi kedalam kelenjarnya. Sesaat kemudian ia kembali memandang lurus ke apa saja yang ada di hadapannya. “Aku merasa kehilangan dua orang yang sangat berarti untukku!” Raein menggigit bibirnya. Ia juga memaksakan senyumnya. Namun bukan terlihat kuat, ia malah terlihat menyedihkan dengan keadaan seperti itu.
Masih menatap bagian samping wajah Raein, Kimbeom meraih tangan gadis itu. Membuatnya menoleh, kemudian memperhatikan tangannya sendiri yang kini berada di dada Kimbeom yang tertutup sweater abu-abu gelap. “Kamu masih punya aku!” katanya.
Ia masih terpaku beberapa saat, sampai pada akhirnya ia tertawa geli sendiri, membuat Kimbeom bingung dan segera melepaskan tangannya. “Wae?”
Raein menggeleng, namun ia masih tidak bisa menghentikan tawanya. “Kamu sok cheesy banget sih?” Raein terbahak-bahak, kemudian memukul pundak Kimbeom dengan tangan yang sama dengan yang berada di dada Kimbeom tadi, sementara tangan yang satunya menutupi mulutnya yang tengah terbuka cukup lebar karena tawanya yang begitu besar.
Kimbeom tidak marah. Ia malah tersenyum lebar. Ia merasa senang, akhirnya setelah hari ini ia sama sekali tidak melihat senyum gadisnya itu, kini ia bisa melihatnya dengan sangat jelas. Tepat di hadapannya.
JEPRET!
Kilat flash kamera Kimbeom mengagetkan Raein yang langsung menghentikan tawanya begitu saja. “Yah! Apa yang kau lakukan??” Raein protes. Ia berusaha merebut kamera Kimbeom. Namun ia tak berhasil menghindar, melindungi kameranya dari terkaman Raein.
“Akhirnya aku bisa mendapatkan ekspresi yang bagus darimu untuk di abadikan!” Kimbeom terkekeh sambil melihat hasil potretan yang baru saja ia ambil. “Bagus! Sudah lama sejak aku terakhir kali memotretmu!”
“Yah!!” Raein kembali berusaha merebut kameranya, dan Kimbeom masih terus berusaha menghindar. Namun kini mereka tidak dalam ekspresi sebal atau marah seperti biasanya. Kini Raein bisa tertawa. Sejenak melupakan masalah yang baru saja ia hadapi.
*
“Kamu sudah mencoba bicara dengannya?”
Raein menghela nafas berat. Ia mengingat kalimat yang dilontarkan oleh Kimbeom padanya. Ia memang ingin melakukannya, tapi Hongki tak akan pernah mau mendengarkannya dalam keadaan seperti ini. Keadaan yang tidak ia pahami sama sekali.
Ini sudah lima hari, dan ia berulang kali pergi ke rumah sakit tempat Hongki dirawat, namun tidak ada niatan sama sekali untuk masuk kedalam kamarnya. Ia takut Hongki akan histeris dan melukainya dan dirinya sendiri. Jadi setiap Raein datang, ia hanya akan duduk di ruang tunggu, berkonsultasi dengan dokter yang menangani Hongki, kemudian pulang. Seperti hari ini, ia datang lagi untuk berkonsultasi dengan dokter Kang.
“Sudah cukup stabil.. kini ia sudah mau makan dengan teratur!” jelas Dokter Kang dengan wajah lega. Tidak seperti hari-hari yang lalu, ia terlihat stress saat membicarakan Hongki. “Ia juga sering jalan-jalan sendirian.. kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya!”
Raein terlihat lega mendengar ucapan Dokter Kang. Meskipun ia tidak bisa menemui Hongki secara langsung, tapi keterangan dari dokter ini sudah bisa memberikan gambaran kondisi Hongki sekarang.
“Mungkin.. kalau kau ingin.. kau bisa menemuinya lagi..”
“Ye?”
“Karena saat itu ia mengalami shock, makanya ia melakukan hal seperti itu padamu! Tapi sekarang ia mungkin sudah lebih tenang. Kau boleh menemuinya sebentar, tapi jangan memaksakan sesuatu padanya!” terang dokter Kang dengan senyum ramah di wajahnya.
“Ah.. Ye, gamsahamnida, Dokter Kang!”
--
Raein berdiri tegak, memunggungi tembok dan mengarahkan pandangannya lurus kedepan. Ia menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya kuat-kuat dari dalam mulutnya. Ia menggenggam tali tas pundaknya kuat-kuat dengan kedua tangannya. Sekali ia mengangguk, menguatkan diri. Kemudian segera melakukan apa yang ia niatkan sebelumnya. Bertemu dengan Hongki, meski ia tidak yakin temannya itu akan menerima kedatangannya hari ini.
Ia membuka pintu kamar Hongki pelan, melongok sedikit. Hongki sedang tidur memunggunginya. Kondisi kamarnya terlihat jauh lebih rapi dari pada saat ia terakhir melihatnya. Dimana barang-barang yang dilemparnya menjadi berantakan di lantai.
Raein menghela nafas. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Hongki, hingga pria itu tiba-tiba menolak kehadirannya. Ia takut jika ia muncul lagi, Hongki akan melakukan hal yang sama padanya. Tetapi ia ingin tahu apa yang menyebabkan Hongki melakukan hal itu padanya. Dan satu-satunya cara adalah datang padanya dan bertanya langsung tentang hal ini. Lagi pula, dokter sudah memperbolehkannya menemui Hongki.
Ia duduk di satu-satunya tempat duduk yang ada di samping tempat tidur Hongki. Sepertinya laki-laki itu masih belum terusik dengan kedatangannya. Ia tidak bangun meski Raein tidak berhati-hati, dan membuat suara decitan saat ia menggeser kursinya sedikit sebelum duduk di atasnya. Raein memandangi figure lelah Hongki, hingga akhirnya pria itu terbangun dan sadar bahwa seseorang berada di ruangan itu. Ia menoleh.
“Hai!” Raein menyapa setulus yang ia bisa.
Dengan cepat Hongki bangun dalam posisi duduk di atas ranjangnya, menatap Raein dengan pandangan sinis seperti saat ia pertama kali menatap wajahnya setelah ia sembuh.
“Apa yang kau lakukan disini?” Hongki bertanya sinis. Raein merasa kecewa mendengar nada bicara Hongki sebenarnya, namun ia menahannya. Ia tahu, pasti ada alasan kenapa Hongki melakukan ini padanya.
Gadis itu tersenyum ramah. “Aku hanya ingin menenguk oppa.” Jawabnya. “Bagaimana keadaanmu?”
Hongki mendengus, ia tidak menjawab. Pelan, ia kembali lagi masuk kedalam selimutnya. Kembali pada posisi tidurnya seperti semula.
“Kau pergi saja! Jangan pedulikan aku!” Hongki mengusirnya tanpa memperdulikan perasaan Raein.
Raein menggigit bibirnya. Rasanya ia ingin berteriak pada Hongki agar ia mengerti apa saja yang telah dilakukannya selamat ini untuknya yang buta dan hilang ingatan itu. Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan, sehingga Raein berusaha untuk menahannya sekuat mungkin.
“Oppa..”
“Wae??” Hongki berteriak. Kembali lagi pada posisi duduknya dengan cepat. “Kau akan melakukannya lagi seperti dulu?? Ingin membuatku mati karenanya??” entah kenapa tiba-tiba Hongki berteriak padanya. Sepertinya kekesalannya sudah memuncak karena berhari-hari ia menahan ingatan pahit yang muncul begitu ia melihat Raein.
“Ho-Hongki oppa..”
“Kau tidak tahu bagaimana perasaanku mendengarnya, Park Raein?? Kau pasti tidak mengerti jika seseorang mengambil orang yang mereka cintai darinya? Saat aku mendengar temanku sendiri menyatakan perasaannya pada orang yang aku cintai.. kau tahu?? AKU HANCUR, PARK RAEIN!” Hongki membentak Raein. Gadis itu mundur beberapa inci dengan wajah terkejut dan tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba Hongki membicarakan soal ini padanya. Memangnya siapa yang disukai oleh Hongki?
“Aku seharusnya memang tidak marah padamu! Tapi sepertinya Geunsuk tidak cukup jantan untuk datang menghadapiku!” Hongki mengalihkan pandangannya.
Geunsuk? Batin Raein miris. Apa yang dilakukan Geunsuk padanya?
“Tapi kutebak kau menerimanya kan?” Hongki menatap Raein sengit dengan ujung matanya.
“M-menerima..? Apa?”
Hongki mendengus, berdecak sinis. “Perasaannya! Kau menerima perasaan Geunsuk kan? Sebelum kita naik ke panggung! Dari jawabanmu, aku bisa menebaknya kau menerima perasaannya kan??”
Raein tertegun. Dan sesaat semua menjadi begitu jelas di ingatannya. Kejadian sebelum Hongki mengalami kecelakaan.
#FLASHBACK#
“Mana Hongki? Lama sekali dia!” Geunsuk bertanya sambil mengipasi dirinya sendiri dengan selembar kertas yang diambilnya asal dari salah satu meja di backstage. Sesekali ia memandang sekeliling, sampai pada Raein yang tengah memainkan sesuatu di tangannya. “Apa itu?” katanya.
Raein menggeleng. “Molla! Salah satu staff menitipkannya padaku!” Raein menunjukkan salah satu boneka tangannya pada Geunsuk. Boneka yang menyerupai pangeran. “Lucu ya?”
“Heish!” Geunsuk mengambilnya dari tangan Raein, kemudian memukulkannya pelan pada kepala gadis itu, dan keduanya tertawa.
Geunsuk memainkannya dengan kekanak-kanakan, begitu juga Raein, memainkan dengan riang boneka tangan yang nampak seperti putri, bersama dengan Geunsuk. Seakan mereka tengah memainkan opera boneka dalam suatu pertunjukan. Sampai akhirnya mereka memasuki sebuah adegan sang pangeran dan tuan putri, dimana sang pangeran akan menyatakan cintanya pada sang putri.
“Nan neol saranghae..” katanya.
Raein terdiam, menyelami perannya. “Oppa..”
Dan disaat itulah tanpa sepengetahuan mereka Hongki mendengar pembicaraan itu. Namun ia segera pergi entah kemana menggunakan motornya tanpa tahu dengan jelas apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Yah!! Mana ada tuan putri memanggil pangeran dengan oppa!” Geunsuk kembali memukul kepala Raein menggunakan kepala boneka tangannya. Gadis itu hanya tertawa pelan menanggapinya, sampai seorang staff menghampiri mereka.
“Hei! Ini atribut The Puppets tahu! Jangan dimainkan sembarangan!” staff itu memperingatkan mereka seraya merebut boneka dari tangan keduanya. “Cepat bersiap! Band kalian ada di urutan kedua! Lebih baik kalian lakukan pemanasan!”
“Yes sir!” Raein menanggapi dengan riang, kemudian berdiri dan mengambil bass nya yang sudah ia siapkan didekat tempat duduknya.
Geunsuk terlihat sedang melemaskan jari-jari tangannya, kemudian melakukan sedikit stretching dengan stick drumnya. “Hongki kemana sih? Lama sekali?” katanya sambil melongok kesana kemari. Namun tak sedikitpun terlihat tanda-tanda keberadaan Hongki. Hingga berita kecelakaan itu datang kepada mereka.
#FLASHBACK END #
*
Semuanya hanya salah paham.. dan kesalah pahaman kecil itu berubah menjadi suatu kejadian yang besar. Raein berjalan dengan tatapan kosong. Ia tidak berkonsentrasi sama sekali hingga sesekali ia menabrak pejalan kaki lainnya, kemudian meminta maaf sampai menunduk hormat berulang kali. Ia tidak mengerti, kenapa semua ini bisa terjadi padanya.
Setelah mendengar teriakan Hongki yang cukup bisa menjelaskan apa yang terjadi, Raein segera pulang karena Hongki mengusirnya dengan melempar banyak barang kepadanya, seperti apa yang ia lakukan sebelumnya. Ia kini mengerti mengapa Hongki membencinya sebesar itu. Karena dulu ia begitu mencintainya, sampai kejadian tidak masuk akal itu terjadi dan membuatnya sakit selama beberapa tahun. Rasanya Raein ingin menangis saja sampai airmatanya habis dan berganti dengan darah. Namun menangis pun tidak akan merubah keadaan menjadi lebih baik. Dan kini ia tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan untuk memperbaiki keadaan.
*
“Aku merasa aneh denganmu! Kau tidak mau mengunjunginya tapi kau mengajakku datang ke rumah sakit!” ujar Kimbeom seraya menyodorkan satu cup kopi yang di ambilnya dari mesin kopi di sudut ruang tunggu rumah sakit. Ia kemudian duduk di samping Raein dan menghirup kopinya sendiri. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Raein menunduk, memperhatikan permukaan kopinya didalam gelas kopi yang terbuat dari kertas itu. Ibu jarinya mengusap bibir gelas itu pelan.
“Park Raein?” Kimbeom memiringkan kepalanya untuk bisa menatap langsung wajah Raein yang sedikit tertutup rambut panjangnya yang ia biarkan terurai.
Gadis itu menghela nafas. “Kamu benar-benar ingin mendengarnya?” Kimbeom mengangguk. “Kamu janji tidak akan marah?”
Kimbeom menaikkan kedua alisnya. “Untuk apa?”
Raein menyandarkan punggungnya pada punggung kursi yang ia duduki. Menghela nafas sekali lagi. Yang kali ini lebih berat. “Seandainya Geunsuk masih ada disini..”
Laki-laki dengan sweater abu-abu itu menatap Raein iba. Namun ia juga masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi antara gadisnya itu dengan Hongki.
“Waeyo?”
“Hongki oppa bilang.. ia menyukaiku..” Raein seperti sedang berusaha mengatur nafasnya dengan baik. Entah kenapa ia merasa begitu sesak membicarakan soal ini. “Dan ia bilang, itulah alasan kenapa ia mengalami kecelakaan dua tahun yang lalu..”
“Mwo?”
Raein tersenyum getir. “Makanya aku tidak tahu bagaimana aku harus menghadapinya..” Ia memandang ke arah Kimbeom yang terlihat kaget dan masih memandang kearah Raein dengan kedua matanya yang terbelalak. “Kenapa?”
Laki-laki itu tersadar. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian berdehem untuk melegakan tenggorokannya. “Lalu kau bagaimana?” nada bicaranya terdengar khawatir. Membuat Raein tersenyum geli menanggapinya. Ia cemburu, pikir Raein.
“Memangnya aku harus bagaimana? Menerimanya?”
“Heish!” Kimbeom mendengus kesal. Raein tertawa.
Raein mengelus punggung Kimbeom yang duduk di sebelahnya sambil tertawa. “Tenang saja, aku akan mencari jalan keluarnya untuk ini! Jangan khawatir!” Kimbeom tersenyum, kemudian merangkul dan mendekap Raein erat seperti tidak ada hari esok. Ia tidak ingat mereka sedang berada di rumah sakit. Bukan tempat yang tepat untuk bermesra-mesraan dengan seseorang. Namun ia tidak peduli. Ia hanya ingin menunjukkan rasa sayangnya pada Raein yang juga tidak menolak pelukannya.
*
Kamar yang tidak terlalu besar itu membuat Hongki suntuk. Untuk yang ketiga kalinya di hari yang sama, ia keluar dari kamarnya. Ia tidak membawa infus karena ia sudah bisa makan sendiri sekarang. Ia berjalan dengan piyama rumah sakit dan sweater berkancing yang dipakai seadanya. Ia ingin membeli kopi. Sudah lama ia tidak meminumnya.
Saat berjalan di sepanjang lorong, ia masih memikirkan tentang Raein dan Geunsuk. Bagaimana perasaannya yang sakit namun masih mencintai mereka berdua. Berteman cukup lama dengan keduanya tidak lantas membuatnya benar-benar bisa membenci keduanya. Ia hanya butuh waktu untuk memaafkan mereka, makanya ia terus mengusir Raein dan bersyukur Geunsuk tidak datang menjenguknya. Tapi ia sedikit heran, kenapa bocah itu tidak muncul sama sekali, padahal sebelum matanya sembuh ia tahu Geunsuk datang beberapa kali dan mengobrol banyak dengannya.
Pikirannya segera beralih kepada mesin penjual kopi ketika ia melihatnya berada tidak jauh lagi dengannya. Ia tersenyum simpul, kemudian mendekatinya.
Ia tekan satu tombol setelah memasukkan satu keping koin dan secara otomatis kopi yang diinginkannya dituang kedalam cup kertas. Hongki menunggu kopinya siap sambil memandang sekeliling, dan tanpa sengaja pandangannya mengarah pada sesuatu. Bukan.. dua orang. Yang saat itu tengah mengobrol akrab, kemudian tertawa pelan dan berpelukan. Padahal ia ingin memperbaiki keadaan juga. Tapi mengapa seperti ini?
“Park Raein..” gumamnya.
Hongki menatap keduanya nanar. Ia tidak tahu gadis itu sudah punya seseorang. Ia bisa melihat jika Raein mencintai pria yang tengah dipeluknya sekarang. Dan itu sangat menyakiti hatinya. Ia tidak mau menerima hal ini untuk yang kedua kalinya. Ia sudah cukup merasakan sakit yang sebelumnya. Ia sudah kenyang dengan perasaan tidak menyenangkan itu.
Tanpa menghiraukan gelas kopinya yang sudah selesai diisi, Hongki berlari meninggalkan tempat itu. Berlari sepanjang lorong rumah sakit menuju ke suatu tempat, menjauh dari Raein yang sudah menyakiti perasaannya untuk yang kedua kalinya.
-To be Continue-
Langganan:
Postingan (Atom)