7 jam perjalanan memang tidaklah
sesingkat yang Kevin pikir, namun ia masih teringat benar dengan kejadian malam
itu. Begitu mencekam disaat ia tengah bersunyi, boneka Pullip Prunella itu
meronta ingin keluar dari boxnya, ekspresi wajahnya yang begitu ingin kebebasan
melekat benar di ingatan Kevin.
“Kev, ngelamun?” tanya Chia yang
baru saja kembali dari kamar kecil.
Kevin menggeleng pelan, ia
membenarkan duduknya sambil meneruskan pandangan keluar, melihat dedaunan
kering yang mulai gugur. Musim telah berganti. Ia kemudian teringat dengan
mimpi mengenai wanita berambut tosca itu. Ia sadar sama sekali belum mengetahui
nama gadis berkaki indah tersebut. “Chia,...”
“Yap?” sahut Chia sambil merapatkan
baju hangatnya, “apa Kev?”
“Di malam aku meminjam
bonekamu....kamu bilang ada mitos, mitos apa?”
“Ahh~ itu ya...hmm...” Chia tampak
menggantung kalimatnya. “Sebenarnya aku juga tidak percaya sih sebelum
mengalaminya sendiri...”
“Maksud kamu? Ceritakan Chia.
Sepertinya hal ini harus aku ketahui.”
@.@
“Tom, kamu yakin ini tempatnya?” Lyn
berdiri di sebuah halaman yang luas, namun hanya sebuah halaman berpasir dan
bangunan di depannya sudah bobrok tidak karuan. Tanaman liar menjalar di
dinding dan atapnya, seakan memeluk bangunan kayu lapuk itu.
“Aku tidak mungkin salah. Tapi aku
tidak tahu jika rumah ini sekarang menjadi seperti ini. Sera.....~” rintihnya
dengan penuh kerinduan.
“Seandainya Bibiku pernah ke sini
dan menemuinya, pasti Sera akan senang sekali. Namun aku masih bingung, kenapa
bisa di dalam tubuh pemuda itu ada jiwa yang terkurung?”
Tom melirik Lyn, “Seharusnya kamu
tahu itu, cenayang.”
“Tom! Tidak semua hal aku tahu
begitu saja! Yang aku tahu, Kevin memang benar ada hubungan dengan masa lalu
Sera. Tapi secara logis itu ngga mungkin, dia berusia jauh lebih muda dari
Sera. Usianya terpaut 10 tahun. Lagi pula saat kamu bersama Sera, tidak ada
orang lain di antara kalian kan? Itu sudah bukti nyata untuk mengatakan Kevin
sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai Sera.”
Tom merengut mendengar penjelasan
itu, dia merasa harus masuk ke dalam rumah bobrok itu. Ia meninggalkan Lyn di
halaman.
“Tom, tunggu!”
‘PLASSHHH~’
Lyn merasa tidak bisa melangkah
mengikuti Tom, pemuda yang usianya terpaut 7 tahun lebih tua darinya. Seperti ada
membran yang membatasinya dengan rumah itu. Lyn berdiam sejenak dan memejamkan
mata, ia mengontrol mata ketiganya untuk melihat ada apa sebenarnya disini.
Yang ia lihat melalui mata batinnya
adalah sebuah rumah berwarna merah mudah yang begitu damai, indah, dan tampak
seperti rumah boneka. Namun semakin ke dalam, auranya semakin jelek, abu-abu
dan berkabut. Lyn melihat sebuah lemari yang ternyata adalah sumber dari segala
masalah yang terjadi pada saat itu. Kemudian Lyn bergerak ke sebuah ruang baca
yang dipenuhi oleh kesedihan, hanya ada sedikit sisa semangat hidup di
dalamnya.
‘PRYAAAAANGGG!!’
Di tengah-tengah penglihatan Lyn,
sebuah vas berukuran besar di pojok teras pecah seperti baru saja di hantam
dengan tongkat baseball. Begitu Lyn membuka matanya ia seperti berjalan mundur
keluar dari rumah tersebut dan sebuah serpihan tajam mendarat di ujung high
heelsnya.
Lyn mundur beberapa senti dan
jantungnya berdegup kencang, sepertinya ada yang tidak suka akan kehadirannya
di rumah itu. Sepertinya Lyn sudah lancang ingin menguak masa lalu yang menjadi
sebuah rahasia antara Tom dan Sera.
“TOM!! THOMAS!”
Sebuah kepala dengan rambut hitam
agak gondrong melongok dari jendela atas. “Apa?!”
“Apa kamu masih lama? Sepertinya aku
tidak boleh berada terlalu lama disini. Jika sudah cepatlah ke sini!”
Tom mengambil sebuah buku dari ruang
baca itu, berat rasanya meninggalkan tempat bersejarah itu. Sebelum air matanya
menggenang lebih hebat, ia buru-buru turun kembali ke sisi Lyn.
‘DOK, DOK DOK!!’
*
Lyn mengusap tengkuknya semenjak
melakukan perjalanan ke masa lalu tadi. Ia merasa ada yang mengikutinya namun
ia menepisnya, ia berfikir mungkin itu hanya perasaannya saja.
“Kenapa diam saja?” tanya Tom
sembari menepuk dua kali punggung Lyn.
Lyn menggeleng, “Tidak, aku hanya
haus saja..sepertinya udara mendadak menjadi panas...” ucapnya tanpa berani
memandang lurus ke depan.
“Panas? Ini sudah mendekati musim
gugur. Apa kamu tidak enak badan?”
Lyn melihat dedaunan yang berserakan
di jalan, “Eh itu apa sih yang disana? Ada karnaval?” Lyn menunjuk ke arah jam
11, sebuah tenda warna warni menghiasi, juga ada komedi putar yang menyerupai
roda besar.
“Itu memang sudah ada dari jaman
sebelum Sera dan aku mendiami kompleks perumahan ini. Kamu mau jalan kesana?
Mau aku temani?”
Lyn mengangguk, Tom menyingkirkan
rasa kerinduannya. Bagaimana pun, dulu, ia pernah ke tempat itu bersama orang
yang ia sayangi, Sera.
@.@
Kevin tidak mempercayai mitos
tersebut. “Itu cuma plastik, tidak mungkin menggunakan yang asli. Dengar dari
mana mitos murahan seperti ini?”
“Namanya juga mitos, kan belum tentu
benar. Aku tahu sudah lama, sewaktu aku masih kecil aku datang ke sebuah
pameran boneka. Seseorang dari mereka mengatakan itu. Entahlah, aku tidak tahu
harus berkata apa lagi.”
“Pameran boneka? Aku baru
mendengarnya, ceritakan!”
Chia memindah duduknya di samping Kevin,
“Benar ingin dengar ceritaku? Apa tidak trauma dengan boneka yang hidup di
kamarmu itu?”
@.@
Lyn baru sekali ini mendatangi
sebuah tempat dimana semua orang bisa datang dan menikmati permainan yang ada
disini. Semenjak kecil Lyn hanya berpindah-pindah tempat karena banyak orang
yang menyangka keluarganya adalah sekumpulan penyihir.
“Tempat ini, tidak pernah berubah...”
Ucap Tom kemudian memejamkan mata sebentar sambil menghirup dalam-dalam aroma
manisan gula kapas. “Apa yang mau kamu lihat disini? Sepertinya kamu takjub
sekali?”
“Aku malu mengatakannya...”
Tom tersenyum dan mengajaknya naik
Carrousel. “Critakan Lyn! Kamu belum pernah bercerita tentang dirimu padaku!”
“Tidak ada yang menarik dari diriku!
Bahkan ini pertama kalinya aku ke tempat seperti ini. Entahlah aku tidak
mengerti kenapa orang tuaku tidak pernah mengajakku pergi berlibur.”
“Orang tuamu? Ceritakan semuanya
Lyn, aku ingin dengar kisahmu.”
Lyn menatap Tom ketika pemuda
berusia 29 tahun itu tersenyum manis kepadanya.
@.@
Chia mengatakan sebuah mitos, rambut
boneka-boneka itu terbuat dari rambut asli manusia. Chia sebenarnya cukup
mempercayai hal tersebut karena pernah suatu hari saat ia ke sebuah toko mainan
untuk membeli Pullip, dia merasakan bahwa boneka yang ia beli itu berambut
sangat harum, sama seperti memakai shampoo milik manusia.
Chia sudah memastikan jika itu hanya
sebuah rambut boneka, namun penjual tersebut benar-benar memperkuat mitos itu.
Chia yang sudah terlanjur membeli boneka itu akhirnya menyimpan boneka itu di
gudang rumahnya. Ia masih ragu, karena Pullip lainnya tidak ada yang seperti
itu.
Namun saat ia mendengar cerita dari
Kevin mengenai Prunellanya, ia semakin yakin dengan mitos itu.
*
“Ingatanmu bagus sekali..mungkin
jika aku yang berada disana, saat ini aku sudah lupa semuanya.”
Chia meminjam bahu Kevin untuk
beristirahat sambil terus bercerita, “Boneka itu cantik sekali, matanya besar
dan biru, dressnya seperti putri. Ia di sandingkan dengan patung laki-laki
tampan, mereka bergandengan tangan...aku jadi ingin melihat mereka lagi..ah aku
ingin ke tempat itu lagi....hhhh~”
Kevin meliriknya, “Kenapa ‘hhhh’?”
“Tapi pameran patung seperti itu
hanya ada 10 tahun sekali deh .... jika ku hitung-hitung baru akan ada tahun
depan. Umurku sekarang 19, itu 10 tahun yang lalu...benar kan? Baru akan ada
tahun depan...itu juga jika patung itu masih di pamerkan...”
“Benarkah secantik itu? Itu kan
hanya sebuah patung? Hanya patung Chia,..”
Chia berpindah lagi, ia merasa kesal
tanpa alasan dengan Kevin, “Kamu kan tahu aku pencinta patung dan keluarganya! Itu
bagiku seperti hidup, aku bahkan sempat berfikir jika patung perempuan yang
kulihat waktu itu adalah mayat yang di awetkan!”
“Dih Chia! Engga ah, ga ada yang
kayak gitu!” semalam, Kevin baru saja membaca artikel mengenai La Pascualita. “Ngga
ada pokoknya yang kayak begituan Chia!”
“Aku juga tidak
tahu...” Chia kemudian tersenyum aneh ketika Kevin kembali mengarahkan
pandangan keluar jendela dengan pemandangan lembah gersang itu.
~`Kevin....`~
@.@
“Jadi, kamu berencana
melihat pameran itu tahun depan? Aku mau menemanimu, itu jika kamu tidak pindah
ke kota lain lagi Lyn.”
Mereka sedang makan es
krim pelangi di salah satu sudut tempat hiburan itu.
“Aku sudah tidak akan
pindah lagi. Akhir tahun ini Ayahku sudah pensiun dari pekerjaannya, mereka
sedang mempersiapkan sebuah restoran di kota.” Jelas Lyn dengan senyum
manisnya. “Kamu harus datang ya di acara pembukannya nanti! Tapi Tom, sampai
kapan kamu akan seperti ini? Ini tidak baik bagi hidupmu.”
Tom memandang sebuah
permen lolipop yang di pegang oleh seorang anak kecil manis. Gadis cilik itu
tengah menunggu ibunya yang sedang ke kamar kecil. “Aku ingin masalah ini
selesai dulu baru aku bisa lega. Aku masih belum bisa melupakannya setelah
kematian menghampirinya begitu saja.”
Lyn menepuk pundak
lelaki itu sambil bersimpati, “Meskipun aku bisa mencari tahu penyebab
kematiannya untukmu, tapi rasanya itu tidak etis. Aku tidak bisa mengikutimu
masuk rumah itu tadi, lalu aku melihatnya melalui mata batinku, sepertinya ada
yang tidak suka aku seperti itu.”
“Maafkan jika memang
yang melakukan itu Sera...”
“Ah sudahlah, itu
bukan masalah bagiku. Aku juga yang salah main masuk rumah itu tanpa meminta
ijin terlebih dahulu. Jadi jangan putus asa, pasti kita akan buat Kevin ingat
dengan semuanya.”
~`Mungkin
jika Sera ada disini, Kevin akan lebih cepat sadar...sadar tentang siapa
dirinya dan sadar jika ada seseorang di ‘sana’ yang tengah menunggu untuk
damai...~`
Lagi, sebuah potongan
kejadian masuk ke dalam penglihatan Lyn. Kali ini membuat kepalanya pening
seketika.
“Ah, jangan...jangan
yang itu...dia tidak ada sangkut pautnya...”
“Lyn, Lyn? Lyn!!”
weh... lho ._. eh asli ini mana lanjutannya eonn... penasaran ;_;a walau ga se-greget kemaren sih
BalasHapussabar ya dongsaeng .
Hapuslanjutin~ lanjutin~ lanjutin~~
BalasHapuswah maav baru ngecek komen hehehe hihihihi harap sabar
Hapusih keren, sekuel nya thod. bener2 nyambung critanya. really.. can't wait for the next part. haha lanjut thor..
BalasHapus