Tak terasa sudah 3 tahun kepergian Stiva dari hidup gue. Rasanya baru kemarin gue bertemu dengan Stiva di cafe itu, tapi sekarang semuanya sudah berubah. Yoga bertemu kembali dengan pacar pertamanya dan jadian lagi, gue hanya bisa gembira lihat Yoga bahagia bersama orang yang ia sayangi. Tak lupa setiap seminggu sekali gue datangi makam Stiva. Dan selalu gue panjatkan doa untuknya yang sudah tenang di alam sana. Surat terakhir yang ia tinggalkan masih gue simpan dengan baik dan selalu gue bawa ke mana pun gue pergi.
***
"Hai Ga, gimana kabar lo sekarang? Kayaknya makin mantap aja neh?" tanya gue sambil membuat kopi.
"Mantap dong, kita kan udah kerja sekarang...udah nggak ngemis lagi sama orang tua. Btw, gimana kerjaan lo? Emangnya nggak susah kuliah sambil kerja?"
"Nggak lah....yang penting gimana ngaturnya aja. Nggak sulit kok. Kan gue kuliah malam, jadi waktu siang gue penuh di kantor, kalo jam 6 keatas gue udah stand by di kampus."
"Hebat....lo bisa bangkit setelah kejadian itu." Yoga menepuk bahu gue.
"Masa lalu itu indah banget. Susah dilupain." Jelas gue.
"Tapi sebenarnya ada 1 yang mengganjal hati gue."
"?"
"Jika suatu saat elo ketemu cewek lain yang bisa merebut hati lo dari mendiang Stiva, gimana? Elo bakal turuti apa kata hati elo untuk mengejar cewek itu atau malah besikeras untuk menghalau rasa suka terhadap cewek itu?"
"Hm...gimana ya? Susah juga. Tapi manusia kan perlu bangkit juga, gue yakin kalo gue nemuin cewek yang tepat, pasti Stiva bakal senang di sana." Gue menunjuk langit-langit apartemen gue.
"Jawaban yang cukup bijak. Kalo gitu ganbatte ya, semoga hidup elo lebih baik dari hari kemaren, gue balik." Yoga memberi salam lalu pergi dari apartemen gue.
Gue bingung saat Yoga mengajukan pertanyaan tadi. Masih berat menerima Stiva pergi, tapi harus dan memang harus direlakan. Kata orang tua, jika seseorang yang meninggal dunia trus nggak direlain kepergiannya, maka orang yang meninggalkan dunia itu nggak akan tenang di alam baka. Dan gue takut membuat Stiva tidak tenang di alam sana karena gue belum 100% merelakan dia pergi dari sisi gue.
Selama belakangan ini gue mulai lagi mengenang Stiva, karena seminggu lagi adalah genap 4 tahun Stiva tidak ada di dunia. Dan gue akui, gue mulai resah dengan mengingat kenangan yang dulu indah dan manis, saat pertama kali gue melihat dia tertawa di cafe, saat gue mengajaknya makan sore di cafe lalu hujan turun, saat gue mengajaknya ke taman kupu-kupu, dan saat terakhir dia mengecup bibir gue di titik puncak kehidupannya. Semua itu adalah kenangan indah dan merupakan kenangan yang abadi dan terasa kalbu Stiva sangat kental di dalamnya. Kesukaan Stiva pada warna ungu, rumahnya yang bernuansa ungu, semua itu adalah milik Stiva. Kini rumah itu telah beralih menjadi panti asuhan. Itu merupakan salah satu keinginan Stiva yang ia ajukan kepada orang tuanya yang kini sudah tiada juga. Akhirnya rumah panti asuhan itu gue tangani dna gue kelola dengan sangat baik. Dengan begini gue harap Stiva bisa tersenyum senang di surga indah, bercengkrama dengan para malaikat yang setia temaninya di sana.
***
"Pak Bin, tolong nanti dijaga pantinya. Sore ini hingga tengah malam, seperti biasa saya ada di kampus. Dan seperti biasa saya harus ke sana."
"Ke tempat biasa, Den?"
"Iya Pak, tolong ya, mungkin kali ini agak sedikit lama."
"Iya Den, hati-hati di jalan."
Gue berangkat dengan secercah harapan. Yaitu makam Stiva masih terawat dengan baik. Walaupun gue sangat sering ke sana, tapi kali ini gue berangkat dengan Yoga, sohib gue yang selalu ada di saat gue perlu dia.
Yoga adalah sosok yang penuh dengan harapan dan semangat. Tidak ada kata menyerah di dalam ‘kamus hidupnya’. Dia terus berusaha walau sekalipun berada di titik nol. Dan dia pula yang terus-terusan membangkitkan gue dari keterpurukan selama 3 tahun belakangan ini. Gue sangat salut terhadap daya upaya yang Yoga berikan ke gue.
***
Selama perjalanan 3 jam, gue tidak hentinya mengobrol dengan Yoga agar tidak ngantuk selama perjalanan. Karena sepulang dari kampus, gue langsung pergi menuju makam Stiva. Kebetulan Stiva di makamkan di desa aslinya, Harum Wangi. Sebenarnya perjalanan memakan waktu 6 jam, tetapi karena gue lewat jalan pintas, jadi menghemat waktu 3 jam lagi buat istirahat.
"Stev, apa lo nggak ngantuk? Elo udah 1,5 jam bawa mobil, sini biar gue gantiin?"
Tetapi gue menolak tawaran Yoga.
"Enggak ah...tapi gue haus nih, gimana kalo kita cari supermaket yang buka 24 jam?"
"Hm...ini jam 4 subuh loh....pertamina aja tutup."
Tidak jauh dari pertamina, gue melihat supermaket yang buka 24 jam. Supermaket itu cukup ramai jam segini, ternyata dekat sebuah mesjid.
"Yakin lo? Nggak takut ada perampok di sini?" Yoga merasa agak khawatir.
"Nggak...tuh sebelahnya kan mesjid, banyak orang lagi, mana mungkin ada perampok di sini, lagian langit udah mulai terang. Lo mau nitip apa?"
"Kopi deh, sama camilan apa kek gitu?"
"Oke, lo tunggu bentar ya di sini. Gue nggak lama kok."
Gue turun dengan meninggalkan Yoga di mobil sendirian. Gue masuk ke toko dan mulai mencari beberapa minuman isotonik, camilan, dan tentunya beberapa bungkus kopi bantal. Saat menuju kasir, gue merasakan perasaan yang aneh.
"Ini saja?" tanya SPG itu.
"Iya." Jawab gue seperlunya.
Iseng-iseng gue perhatikan wajah SPG itu. Tidak mirip dengan Stiva, tetapi aroma parfumnya sama dengan bau harum Stiva, gue masih ingat benar.
"Ini. Jadi totalnya 16.500. Mau pake uang pas atau mau kembalian?"
"Uang pas." Gue menyodorkan uang pas.
"Baik, ini struk belanjanya. Ada lagi yang bisa di bantu?"
Gue menoleh ke arah Yoga, dia masih di mobil dan aman.
"Hm, saya mau tanya, Anda pakai parfum apa?"
"Parfum? Saya tidak menggunakan parfum."
Eh, nggak pake parfum? Tapi kok baunya nyengat banget?
"Mas, ada lagi?"
"Oh, nggak. Makasi."
"Sama-sama."
Lalu SPG itu sibuk dengan urusannya.
"Lama banget coy, katanya bentar..."
"Itu yang buat gue lama." Gue menunjuk SPG itu.
"Cewek yang jaga kasir itu? Kenapa? Nyantol di hati ya?"
"Bukan, Cuma aneh aja."
"Aneh kenapa?" Yoga langsung meminum kopi bantalnya.
"Aroma tubuhnya wangi banget. Sama kayak aroma tubuh Stiva."
"Pake parfum kali?"
"Gue tanyain juga sih, katanya enggak. Yah...lupain aja, mungkin banyak orang yang kayak gitu, kita harus cepat sampai, kalo pagi biasanya macet di sekitar sini."
Selama perjalanan gue masih memikirkan gadis yang di toko tadi. Aromanya yang khas semakin mengingatkan gue dengan Stiva sewaktu dulu gue peluk disaat terakhir kali. Yoga bilang itu hanya kebetulan semata, tapi kalo gue bilang pasti ada hubungannya dengan Stiva, mungkin saudara jauhnya atau teman sejawatnya. Tapi intinya membuat gue semakin mengenang Stiva di 4 tahun kematiannya.
***
Akhirnya kami berdua sampai di sebuah hotel melati dan menginap di sana untuk beberapa hari. Rencana gue menengok makam Stiva nanti siang pukul 12 tepat. Yoga mengaku jika ia kelelahan akibat menemani gue begadang semalam. Maka kami memutuskan untuk beristirahat sebentar.
"Steven, ayo bangun. Kok elo sekarang doyan molor sih?"
Ada suara yang sangat familiar membangunkan di saat-saat gue istirahat siang ini. Gue masih meraba-raba, suara siapa ini...sepertinya sangat tidak asing.
"Stev, apa elo nggak kangen sama gue? Udah lama kita nggak ketemu."
Saat gue membuka mata, semuanya masih seperti tadi.
Gue duduk dan melihat sekeliling. Tidak ada siapa pun kecuali suara Yoga yang sedang mandi. Gue melihat arloji, ternyata jam 11 kurang. Tak sadar, ternyata sudah 4 jam gue teridur pulas bersama Yoga. Tapi, kenapa Yoga tidak membangunkan gue?
"Hei Bro, udah bangun loe?"
"Lo bawa cewek ke sini?"
"Hah? Cewek gue maksudnya?"
"Bukan, tapi cewek lain?"
"Ya enggaklah, ngapain juga? Emang lo kira gue tukang main cewek pa?"
"Beneran nggak ada cewek disini?"
"Lo barusan mimpi ya? Ling lung muka lo!"
Gue bangkit dan memeriksa seluruh ruangan yang ada di kamar tersebut. Dan memang tidak ada cewek di sini.
"Kita temenan berapa tahun sih?"
"Sorry, mungkin gue kecapean."
"Jadi nggak siang ini ke makam Stiva? Kalo elo nggak mandi sekarang, ntar nggak bisa tepat nyampe di sana jam 12 tepat."
Astaga, kenapa gue bisa lupa hal sepenting ini?!
***
"Ini areal perkuburannya? Ternyata, banyak juga ya orang yang melayat siang ini?"
"Yuk, pasti Stiva udah nungguin kita."
4 tahun yang lalu di waktu yang sama gue meneriman surat ini dari seseorang yang amat misterius, seseorang yang menghilang begitu saja saat surat itu ada di tangan gue. Di saat yang bersamaan, gue melihat ada seseorang yang baru meninggal. Tak jauh dari makam Stiva, banyak sekali kuburan baru.
"Sewaktu minggu lalu gue ke sini, 4 kuburan baru ini nggak ada, Ga."
"Ajib, berarti tiap hari ada aja orang yang meninggal."
"Itulah dunia, ada yang baru dan yang lama harus tumbang."
Gue duduk bersila di samping makam Stiva. Nisannya masih terawat baik, dan tidak ada ilalang yang menjulang tinggi di sekitar makam. Gue taburkan bunga yang di bantu Yoga juga. Setelah itu berdoa seperti biasa. Tapi siang ini atmosfer kembali beda, sama seperti apa yang gue rasain subuh tadi pada saat bertemu SPG itu.
"Maaf, kalian kenal kak Stiva juga?"
"Iya, kami ini temannya, dan dia mantannya. Elo siapa?" tanya Yoga.
Gue masih menunduk mengusap nisan berbatu Stiva.
"Gue Lily. Adik kelas Stiva. Jadi ini orangnya yang di banggakan kak Stiva?" Lily, begitu nama gadis itu menyapa gue.
Glek, ternyata Lily adalah SPG di toko itu!
"Elo?" ucap kami berbarengan.
"Kalian udah saling kenal toh?" tanya Yoga.
"Astaga, pantas saja tadi pagi elo tanya seperti itu ke gue."
"Ternyata benar dugaan gue. Elo teman dekatnya Stiva."
"Oh...SPG toko yang tadi pagi ya?" sela Yoga.
"Iya, tadi pagi gue sempat bertemu dengannya. Gue nggak nyangka, ternyata kak Stiva benar-benar tepat memilih orang."
"Maksud loe?"
"Kak Stiva selalu menceritakan Steven. Salah satunya, kak Stiva paling suka sifat Steven yang lembut dan menghargai wanita."
Gue jadi agak canggung mendengar Lily berkata seperti itu.
"Oh...Steven memang begitu orangnya, bersahaja. Stiva benar-benar menyayangi Steven." Yoga yang menangani situasi ini.
"Tapi sayang, kak Stiva cepat sekali perginya. Padahal masih banyak hal yang kak Stiva ingin lakukan."
"Apa?" tanya gue penasaran.
"Kak Stiva ingin sekali melihat laut. Dari kecil hingga kemarin, ia tak pernah melihat laut. Ia hanya melihatnya lewat internet atau di film-film saja. Gue benar-benar ingin sekali mengajak kak Stiva pergi ke laut Granula."
"Laut Granula?"
"Belum pernah dengar ya?"
"Belum."
"Di laut itu ada sebuah karang yang indah dan berbentuk menyerupai hati. Mitosnya, jika mengukirkan nama orang yang kita sayangi, maka orang itu akan kembali pada kita. Sudah banyak fakta yang terjadi di sana. Dan kak Stiva pernah bilang ke gue kalau dia ingin mengukirkan nama STEVEN di batu karang itu."
"Stev, elo memang pangeran Stiva."
"Tapi nggak mungkin orang yang udah mati bisa hidup lagi."
"Semua orang juga tahu nggak akan ada orang mati bsia hidup lagi, tetapi kak Stiva akan tetap hidup di hati kita."
Mulia benar Lily. Sifat-sifat Stiva menular kepadanya, suka berfilosofi dan setenang air, tetapi menghanyutkan.
"Dimana laut itu?"
"Nggak jauh dari sini, sekitar 7 kilometer ke arah barat. Mau ke sana?"
"Gimana Stev? Mau ke sana nggak? Siapa tau keajaiban datang?"
"Enggak ah, tetapi aja Stiva udah nggak ada."
"Lo kenapa jadi pesimis gitu sih? Biasa loe suka kan sama hal-hal begituan?"
"Yoga, pikir dulu dong. Nggak ada orang mati bisa hidup lagi."
"Ya seenggaknya elo udah mewujudkan impian Stiva yang terbesar. Ingat, itu permintaan Stiva loh, dia bakal sedih di sana kalo orang yang dicintainya nggak menjalankan amanatnya."
Perkataan Yoga ada benarnya juga. Ini merupakan permintaan Stiva sebelum dia meninggal, dan sebuah keharusan untuk gue menjalankan permintaan terakhirnya. Tetapi bagi gue, tetap saja Stiva sudah nggak ada.
"Gimana fren? Lo mau nggak ke Laut Granula? Atau elo harus bawa segenggam tanah kuburan milik Stiva dan hanyutkan ke laut atau usapkan pada batu karang itu."
"Gila loe! Mau jadiin pantai berhantu apa?"
"Eh, bukan itu maksud gue. Seolah kita mengajak Stiva kesana dan membuat dirinya di ‘sana’ tenang dengan melihat atau seenggaknya merasakan angin laut Granula."
Lagi-lagi perkataan Yoga itu masuk akal.
Gue menjalankan saran Yoga untuk mengambil segenggam tanah kuburan Stiva. Agak ngeri juga sih, karena nggak Cuma Stiva yang di kubur di sana. Ada banyak mayat orang lain yang menghuni tanah kuburan itu. Tetapi gue berpositive thinking aja, siapa tau omongan Yoga ada benarnya juga.
***
7 kilometer kami tempuh siang ini. Iklim di desa sekitar berubah. Dahulu masih sejuk karena ada pepohonan yang masih rimbun. Tetapi sekarang sudah beralih fungsi menjadi hutan bakau.
Sudah mulai terlihat air laut yang begitu luas. Dan Laut Granula ini merupakan laut yang banyak di kunjungi peselancar domestik maupun non domestik. Ternyata memang benar yang dikatakan oleh Lily. Di karang yang bentuknya menyerupai hati ini banyak sekali nama-nama. Dan gue tidak berlama-lama di pantai ini. Gue membuang semua tanah kuburan Stiva di laut, dan kini gue anggap Stiva sudah menyatu dengan Laut Granula ini.
Dengan iseng, gue ingin menorehkan nama Stiva di karang itu, yah meskpun gue kukuh kalo orang mati nggak bisa hidup lagi. Yoga sudah balik duluan ke mobil, dan gue mengambil ukiran yang sudah disediakan di sana, satu-satunya tempat yang tersisa adalah di tengah karang itu. Maka gue ukir nama Stiva dengan indah di sana. Tanpa pengharapan yang banyak, hanya ingin bisa merelakan Stiva dan mencari pengganti Stiva.
***
Selama beberapa hari gue dan Yoga menghabiskan waktu mengenang Stiva dan mampir ke cafe J n G. Tempat dimana gue pertama kali menemukan Stiva.
Suasana cafe itu semakin malam semakin ramai. Dan banyak anak SMA dan SMP nongkrong-nongkrong di cafe itu. Gue masih ingat betul bagaimana tertawa Stiva malam Sabtu itu.
"Ga, gue mau ke toilet dulu. Lo jangan main mata ya sama anak-anak SMA itu. Ingat cewek lo yang setia nungguin lo disana."
Gue ingin sekali melepas Stiva, tapi ingin mengenangnya di dalam kenangan. Di toilet gue cukup lama membasuh wajah berkali-kali, tumben sekali gue merasa gerah dan ngantuk, padahal cuaca diluar dingin, habis hujan.
Saat gue keluar dari toilet, ada seorang cewek tomboy yang menabrak gue begitu saja. Gue sempat lihat tangannya terluka dan berdarah, tetapi gue kesal karena dia sedikit mabuk.
"Hei, kalo mabok bukan di sini tempatnya." Gue membantunya berdiri, tetapi mulutnya bau sake.
"Gue nggak mabok!" ucapnya sambil merebahkan dirinya di pelukan gue.
"Hei, jangan tidur di sini!"
Tiba-tiba ada segerombolan cowok SMA yang masuk ke dalam toilet, seperti sedang mencari gadis mabok ini. Gue segera bersembunyi di bilik kamar mandi yang paling pojok dan mencoba menggendong gadis ini. Ternyata cukup berat juga bobot gadis ini.
"Mana Gesshoku? Seharusnya kan dia menemani kita malam ini?" ucap salah seorang dari mereka.
"Ini semua gara-gara elo! Kalo lo nganterin dia ke toilet ini tadi, dia pasti nggak kabur!"
Aduh, gimana nih? Pasti habis ini mereka memeriksa satu-persatu bilik kamar mandi ini?
Gue melihat sebuah jendela yang kira-kira bisa mengeluarkan cewek yang bernama Gesshoku ini keluar, ke belakang cafe. Dengan hati-hati gue mengeluarkan dia lewat jendela itu, dan terpaksa gue ikutan keluar dari cafe itu dan langsung memberi tahu Yoga bla.bla.bla.
***
"Gila loe! Kalo ketauan anak SMA itu gimana?"
"Makanya, sekarang kita buruan cabut dari sini!"
"Tapi gimana cara bawa nih cewek ke depan? Pasti dong mereka bakal liat nih cewek!"
"Lo sekarang bawa mobil gue ke gang kecil yang ada di belakang cafe sana, ntar biar gue yang bawa Gesshoku ke sana."
"Hah, siapa namanya?"
"Gesshoku, udah buruan! Yang laen ntar pada curiga neh!"
Gue benar-benar bersusah payah menggendong cewek bernama Gesshoku ini. Sekarang gue tahu, pasti cewek ini asli orang Jepang yang udah di tipu sama teman-teman lelakinya di sini. Kurang ajar anak- anak SMA tadi, masa ingin ‘mengeroyok’ Gesshoku? Untung aja nih cewek ketemu gue, dan gue selamatkan, awas kalo dia udah sadar nanti, gue bakal buat perhitungan sama nih anak!
Tangan Gesshoku masih berdarah, tetapi lukanya sudah agak mengering, jadi ngeri sendiri lihat tangan yang luka seperti itu.
"Steven! Buruan, kayaknya anak-anak SMA itu tau deh kita bawa kabur ceweknya!"
"Hah?" Sial, kenapa harus pada saat seperti ini?
***
Pagi hari ini kami harus pulang, dan kami bingung harus mengajak cewek ini atau tidak. Karena sampai saat ini dia belum sadar dari pengaruh sake.
"Ga, gimana nih? Gesshoku mau kita tinggal di sini atau kita bawa pulang?"
"Bawa pulang? Ntar kalo disangkanya kita penculik, mau loe tanggung jawab?"
"Lihat aja dompetnya, kan pasti ada KTP tuh, siapa tau kita bisa nganterin dia pulang?"
Yoga mencari dompet Gesshoku dan menemukan bahwa Gesshoku tinggal di kota yang sama dengan gue dan Yoga, tetapi ada alamat lain yang mengatasnamakan desa Harum Wangi. Gue jadi memutuskan untuk membawa Gesshoku ke puskesmas terdekat yang tentunya jauh dari cafe kemarin.
"Teman Anda dibius semalam menggunakan aroma alkohol yang dicampur dengan minuman. Jadi, dia tidak mabuk, hanya saja pingsan karena pengaruh obat bius yang baunya menyerupai bau sake."
Suster menjelaskan seksama.
"Sudah sadar?"
"Sudah, kalau mau menjenguknya bisa."
Gue dan Yoga hanya melihat keadaannya dari luar, tetapi Gesshoku tersenyum pada kami dan menginginkan kami masuk.
"Masuk?" tanya gue di balik jendela.
Gesshoku mengangguk sambil tersenyum ceria.
"Masuk gih....gue tungguin di luar."
Akhirnya gue masuk ke dalam ruang perawatan Gesshoku.
"Thanks udah selamatin gue semalam. Elo tau kalo gue nggak ketemu sama elo mungkin gue udah jadi wanita penghibur."
"Hah?" gue hanya diam di sampingnya.
"Iya, anak-anak SMA itu ternyata menjebak gue, memasukkan bius berbau sake ke dalam minuman gue. Teman gue yang bilang, dia udah tau rencana ini sejak lama."
"Trus, loe bisa pulang sendiri kan?"
"Hm, uang gue habis, mobil gue dicuri. Yang tersisa Cuma hape doang."
"Tragis...trus, lo mau pulang ke kota apa ke desa Harum Wangi?"
"Lho? Kok lo tau?"
"Gesshoku, semalam itu elo nggak sadar, jadi...gue sama temen gue yang diluar tau semua alamat, nomor hape, dan alamat email punya loe."
"Semalam kalian menggeledah dompet gue?"
"Habis mau bagaimana lagi....gue nggak mau terseret-seret dalam masalah loe."
"Okey, no problem, yang penting kalian berdua udah menyelamatkan gue, dan sebagai balas budi, gue akan memberi kalian imbalan."
"Eits, gue nggak pelru imbalan, kebetulan aja lo nabrak gue semalem, masa iya gue tega ninggalin elo dalam keadaan ‘mabok’ kayak gitu? Jadi Nona Gesshoku, elo mau dianterin pulang apa enggak?" tanya gue sekali lagi.
"Oke, kalau loe memaksa, anterin gue ke kota aja."
***
Dengan insiden ‘Gesshoku’ malam itu, gue jadi nggak henti-hentinya mikirin Gesshoku. Perlahan bayang-bayang Stiva kandas sudah dari dalam kepala. Dan setiap bertemu dengan Yoga, selalu aja mengingatkan gue tentang Gesshoku, cewek yang kebetulan menyeret gue dalam masalah baru dan sebenarnya malas meladeni anak-anak SMA berandalan itu. Usaha mereka benar-benar menguras waktu. Sekarang seolah gue menjadi body guard Gesshoku.
"Hei, capek ya di kejar-kejar anak SMA itu?" tanya Gesshoku yang sudah menunggu gue di restoran Jepang.
"Rese loe! Pake sebut-sebut nama gue segala, jadi tersita waktu gue buat jaga panti. Seharusnya loe gue taro di panti, biar lo ngerasain gimana repotnya ngurusin anak kecil di sana."
"Hey, loe nantangin gue?"
"Kalo iya kenapa? Loe sanggup nggak?"
"Cuma ngejagain anak kecil yang nakal, kenapa nggak sanggup?"
"Oke, mulai nanti malam sampai besok dan lusa, dan lusanya lagi, elo harus jagain tuh panti! Ini jaminan sebagai pengganti jasa gue!"
"Oke, gue jabanin! Siapa juga yang takut ngejagain anak kecil...Cuma anak kecil bro!"
Gue melihat anak SMA itu mengawasi kami di restoran.
"Eh, mereka datang lagi tuh."
"Udah tau. Dari tadi mereka mengawasi kita. Memangnya apa yang mereka incar dari elo sih? Cantik juga enggak!"
"Bukan gue sebenarnya, tapi kalung ini. Harganya selangit."
"Kalung apaan tuh? Bentuknya nggak jelas, jelek. Bagi gue nggak ada harganya. Kenapa lo pertahankan?"
"Sebenarnya sih gue juga nggak suka, gue pengen jual nih kalung. Tapi masalahnya nggak ada yang percaya kalung ini asli dan harganya mahal."
"Lo nemu kalung itu? Atau...jangan-jangan elo nyuri lagi? Padahal loe kan anak orang kaya?"
"Hm, gue nyuri ini dari toko perhiasan di Kyoto. Gue kan asli Jepang nih, jadi gampang aja buat nyuri beginian."
"Apa? Lo maling?"
"Ssst, toko itu punya bokap gue....jadi gue Cuma kenal omel aja, makanya gue dibuang ke kota loe yang sumpek ini."
"Nekat loe ya?! Trus mau lo sekarang gimana?"
"Gue mau jual kalung ini, tapi surat-suratnya nggak ada di gue. Jadi gue pakai aja buat sementara."
"Gue punya rekan bisnis yang bisa buatin surat asli untuk kalung ini, mau nggak?"
"Jangan-jangan..."
"Apa? Lo kira gue minat sama kalung kayak gini? Sorry Non, gue nggak suka permata. Mau apa enggak gue buatin surat kalung ini? Tapi ada imbalannya."
"Apa? Uang? Mobil, rumah?"
"Bukan...ntar juga elo bakal tau sendiri waktu tiba di panti."
***
"Bisa saja saya buatkan surat kalung ini. Lagi pula, kalung ini asli. Tapi semua ada jaminannya sampai pembuatan surat selesai."
"Bagaimana kalau laptop saya digunakan sebagai jaminan. Umurnya baru sebulan, dan masih bagus."
"Stev, yakin laptop lo pake jaminan?" bisik Gesshoku.
"Yakin, udah tenang aja, kalung lo bakal aman di tangan yang ahli."
"Laptop? Baiklah, nanti akan saya kabari Anda jika surat kalung ini sudah selesai."
"Ternyata elo banyak juga punya kenalan. Kerjaan lo apa Stev?"
"Gue arsitek, tapi baru sebatas magang. Itu juga Cuma 3 hari dalam seminggu. Hari-hari biasa gue jaga panti, sore ampe malem gue kuliah."
"Kalo gitu...elo bisa bantuin gue bikin rumah kan?"
"Rumah? Bukannya elo udah sewa apartemen?"
"Gue lebih suka rumah dari pada apartemen. Apartemen jelek, kan Cuma buat rumah sementara. Nggak mungkin dong seumur hidup kita tinggal di apartemen?"
"Kalo gitu lo tinggal di panti aja. Jarak apartemen gue ama panti kan nggak jauh-jauh amat, 10 menit juga nyampe."
"Tinggal sama orang banyak?"
"Lho, kenapa? Nggak biasa? Elo itu harus bersosialisasi dengan orang lain, nggak boleh sombong. Ntar nggak ada yang temenan sama elo."
"Eh, ini ya pantinya? Kok kayak home stay sih?"
"Ini ada sejarahnya, yuk gue ceritain di dalam."
Seperti biasa, gue disambut hangat oleh adik-adik kecil yang manis. Gue anggap mereka malaikat dan peri gue setelah kepergian Stiva. Gue paling suka menggendong peri hutan, Kiara. Dia yang paling imut dna lucu diantara yang lain.
"Papa...Papa....aku juga mau di gendong...masa Kiara trus yang Papa gendong?" rengek salah satu dari mereka.
"Stev, loe kok dipanggil ‘Papa’ sih?"
"Mereka semua yang disini nggak punya orang tua, jadi mereka menganggap gue sebagai ayah mereka."
"Kalo ada Papa, pasti ada Mama dong?" tanya Gesshoku.
"Anak-anak...kalian mandi dulu ya....Papa ada tamu nih..!"
"Iya!!!" seru mereka, gue sangat suka suara mereka yang riang gembira.
"Ayo ke ruang tengah, disana paling enak ngobrolnya." Ajak gue kepada Gesshoku.
"Jadi, Mama mana?"
"Mama udah nggak ada, Gesshoku. Mama udah pergi 4 tahun yang lalu."
"Sorry, gue nggak ngerti Stev."
"Jadi gini..dulu ini rumah Stiva, cewek gue. Tapi dia kena penyakit kanker otak, sehingga nyawanya nggak lama. Dalam kurun waktu seminggu dia jadian sama gue, tapi dalam waktu seminggu itu semuanya terasa sangat lama, sehingga kami benar-benar saling mencintai, sampai dia ..."
"Jadi karena itu elo jomblo ampe sekarang? Apa nggak kesepian?"
"Huh...gue masih nggak bisa lupain Stiva. Tapi...sejak gue ketemu sama elo lewat insiden itu, gue sudah bisa menerima bahwa Stiva harus direlakan."
"Tapi..gue nggak ganggu aktifitas elo kan?"
"Sebenarnya sih enggak, Cuma kadang-kadang ia."
"Kalo gitu gue minta maaf deh, udah terlalu ngerepotin elo. Kalo gitu...gimana sebagai balas jasa, biar gue yang urus panti ini?"
"Elo, bisa emangnya?"
"Ya kan harus di coba dulu...lagi pula gue nggak terlalu membenci anak kecil kok. Ya Cuma gue butuh tenaga, pembantulah katakan."
"Kalo lo bisa dan minat, gue bisa alihkan penjagaan panti ini ke elo. Tapi dengan 1 syarat."
"Apa?"
"Jangan pernah coba-coba masuk ke dalam ruangan yang ada di atas. Ruangan itu hanya boleh gue yang bersihkan. Anak-anak disini semua tau peraturannya, jadi elo bisa tanya mereka."
"Okey, nggak masalah. Jadi, mulai malam ini gue tinggal di sini?"
"Iya, biar semua barang-barang punya loe, Tuti yang beresin. Loe tetap di sini jangan kemana-mana. Anak-anak SMA itu nggak akan tau elo ada di sini."
"Kok kelihatannya elo yakin banget gue bakal aman di sini?"
"Karena rumah ini yang paling aman di kota ini. Kalo gitu, gue pulang."
***
Hm, ternyata Gesshoku emang cewek yang baik. Meskipun dia bisa bela diri dengan sempurna, tapi dalam mengurus anak memang Gesshoku jagonya. Semua anak-anak panti tunduk sama perintah Gesshoku. Kini panti menjadi lebih ramai dengan hadirnya Gesshoku di sana, dan itu membuat gue menjadi lebih sering menghabiskan waktu di panti.
Kemudian, pada saat Gesshoku sedang memandikan peri hutan, Kiara, Panji, anak berumur 10 tahun itu berbincang dengan gue.
"Pa...kenapa nggak cari Mama baru aja? Kan seru kalo Papa punya Mama baru...jadi Mbak Tuti nggak repot lagi?"
"Hahaha, Panji....kok ngomong gitu Nak?" gue benar-benar suka dengan anak kecil.
"Kan kalo Papa kerja, bisa ada Mama yang nemenin aku di sini Pah."
"Oh..jadi kalian sekongkong ya mau cari Mama baru....?"
"Gimana kalo Kakak Gege yang yang Mama baru?"
Seketika itu kopi yang gue minum nyangkut di kerongkongan gue.
"Iiihhhh, Papa jorok..!" Panji melihat gue dengan kopi yang berceceran di mana-mana.
"Aduh...kenapa kotor lagi?" tanya Gesshoku.
"Ini Kak...Papa jorok...."
"Panji, mandi sana..ini sudah sore, jangan terlalu malam mandinya."
"Iya Kak!!" Panji menjawab dengan semangat.
Sepeninggal Panji, hanya ada kami berdua di ruang tengah.
"Makanya, kalau minum itu jangan sambil mainan sama Panji, jadinya gue lagi kan yang bersihin ini semua."
"Sorry, habis tadi Panji nanya yang enggak-enggak..."
"Ah, emangnya Panji nanya apaan sih?"
Gue mencari pertanyaan standar.
"Itu..Panji nanya umur gue sekarang berapa.."
"Berapa?" tanya Gesshoku sambil membersihkan meja.
"20."
"Oh...umur segitu udah beranak banyak banget..."
"Gesshoku, jangan bercanda ah!"
"Eh, baju elo itu kotor kena kopi, sini biar gue cuciin sekalian."
"Hah? Nggak deh, gue bisa cuci sendiri kok!"
"Udah....mumpung gue nyuci nih....sekalian..."
Gesshoku membuka paksa kemeja yang gue kenakan. Gue memberontak sehingga menyentuh meja dan jatuh ke lantai.
Betapa kencangnya debaran jantung gue ini, bagaimana tidak, dengan posisi seperti itu—bibir gue hanya berjarak 1 cm dari bibir Gesshoku—gue benar-benar terpaku, hampir saja gue menciumnya, tetapi gue sudah mendengar langkah anak-anak menuju ruang tengah, lantas gue urungkan niat itu.
"Eh, anak-anak....ada apa nih rame-rame ke sini?" tanya gue yang sudah membenarkan posisi. Semuanya terlihat normal.
"Kok Papa nggak pake baju?" tanya Ningsih, anak kecil berusia 5 tahun.
"Baju Papa kotor, tadi kena kopi...bisa ambilkan baju Papa yang lain nggak?"
"Di mana Pa?" tanya Panji.
"Di mobil, ini kuncinya. Jangan berlari seperti itu, nanti jatuh lagi Panji!"
Di mana Gesshoku? Gue harus minta maaf!
"Ge=sshoku...tadi...."
"Hei, lihat nih...baju loe udah nggak kotor lagi...sekarang tinggal masukin di mesin pengering...habis itu di jemur!"
Sebenarnya gue agak bingung dengan sikap Gesshoku, seolah tidak terjadi apa-apa, tapi gue yakin jantungnya masih berdebar dengan keras, sama dengan jantung gue sekarang ini, masih sangat keras berdebar. Gue jadi benar-benar penasaran sama Gesshoku ini, apa gue harus mengetest dia ya?
"Gesshoku, gue pengen nanya sesuatu nih....sini dong jangan jauh-jauh.."
"Steven, kalo mau nanya, nanya aja dari sana...."
"Papa! Papa! Ini bajunya...." teriak Panji.
"Makasih ya Panji, eh..kalian lupa ya? Udah berdoa belum? Kalau belum, cepat temui Bunda Maria di gereja, ajak Mbak Tuti sekalian."
"Papa gimana?"
"Ntar Papa nyusul..."
"Iya Pa..."
"Ternyata elo nggak pernah lupa ya sama Tuhan?"
Gue hanya memberikan senyum penuh arti.
"Tadi elo mau tanya apaan?" tanya Gesshoku sambil memasukkan baju ke dalam pengering. Tidak mau hanya diam, gue membantunya.
"Pertanyaannya simple sih, tinggal jawab iya atau enggak aja."
"Pertanyaannya apa?"
"Sebenernya tadi Panji itu nggak nanyain umur gue."
"Trus hubungannya sama gue?"
"Ada hubungannya, tapi gue agak ragu mau tanyain ke elo." Gue sengaja mendekatkan diri kepada Gesshoku. Gue mau ngetest dia, dia menjauh atau tetap di tempat. Ternyata menjauh.
"Udah, tanyain aja..nggak perlu canggung gitu, kita kan udah lama kenal."
"Panji minta sesuatu sama gue."
"Apa? Mainan? Ato adek baru?"
"Bukan...bukan itu..."
Gesshoku menghentikan aktifitasnya.
"Lalu?" dia menatapku dekat.
"Panji minta Mama baru, Ge."
Terlihat ekspresi terkejut di raut wajah Gesshoku. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Mama baru, gitu?"
"Iya, tapi gue bingung mau cari Mama baru dimana."
"Ah, itu sih gampang aja! Tampang lo kan udah OK tuh, tinggal berdiri aja di Monas, udah deh, pasti banyak yang daftar buat jadi Mama baru!"
Aha! Gesshoku, lo nggak bisa boongin gue!
"Bener juga apa yang lo bilang....ide lo bagus juga tuh!"
"Eh...tapi.."
"Apa?"
"Jangan lupa bawa anak-anak, biar mereka bisa milih Mama baru buat mereka. Fuuhh, ya ya...kerjaan gue masih banyak ini..." Gesshoku mengalihkan pembicaraan.
Sekarang gue tahu bahwa Gesshoku mempunyai perasaan yang sama dengan gue, sekarang tinggal bikin kejutan buat anak-anak dan tentunya buat Gesshoku.
***
Hari ini tanggal 25 juni, dan gue sudah menyiapkan 1 kejutan buat Gesshoku. Gue juga belum tahu harus dimana buat kejutan ini. Tapi yang jelas gue sudah benar-benar bisa merelakan Stiva dan gue benar-benar sangat berterima kasih kepada Stiva yang sudah berikan sebuah kehidupan yang lebih baik seperti sekarang ini.
"Steven, kita ini mau kemana sih? Kok mata gue pake di tutup segala?"
"Udah, jangan berisik! Sekarang pegang tangan gue, di depan banyak tangga, gue nggak mau kamu jatuh dan luka."
Akhirnya gue menggenggam tangan Gesshoku juga.
Perlahan-lahan kami berdua menaiki tangga yang lumayan banyak itu, dan harus perlahan-lahan, ini menandakan jalan kehidupan gue.
"Stev, gue capek nih naik terus....emangnya kita mau kemana sih? Kalo ada lift, kenapa nggak naik lift aja?"
"Nggak seru kalo naik lift, nggak berasa capeknya. Ini dikit lagi kok, sabar ya Ge."
Kami sampai di lantai paling atas. Kini anginnya lagi kencang banget, makanya gue tidak menyarankan Gesshoku memakai gaun, nanti salah-salah gaunnya melebar gara-gara angin.
"Udah sampai nih?" tanya Gesshoku sambil mengusap keringatnya.
"Sudah...sekarang gue bukain penutup matanya. Kalau habis ini elo suka, teriak aja yang keras, tapi kalo lo anggap aneh, ketawa yang lebar."
"Apaan sih loe?"
Pada saat gue membuka penutup mata Gesshoku, benar-benar berdetak kencang jantung ini. Rasanya sama ketika pertama kali bertemu dengan Stiva di bawah terik matahari waktu itu. Waktu itu gue juga menabrak Stiva, dan kini gue juga menabrak Gesshoku. Suatu kebetulan yang amat indah.
"Steven, ini kan candle light dinner? Ngapain lo buat beginian? Maksudnya apa?" sesuai dengan perjanjian, Gesshoku tertawa terbahak-bahak.
"Duduk dulu yuk, nanti semuanya akan gue jelaskan."
"OK."
Kami menuju ke sebuah meja berbentuk hati.
"Sekarang kita udah duduk, jadi,...buat apa semua ini?"
"Hm, sebelumnya...bisa nggak bahasa kita, kita rubah jadi aku-kamu?"
"Ok, nggak masalah."
"Tadi kan kamu tanya, buat apa smua ini aku buat?"
"Iya, dan aku mau jawaban yang jelas."
"Aku buat dinner ini, di tempat ini Cuma buat ngenalin Mama baru."
"Oh, Mama baru....kenapa nggak ngajakin anak-anak aja? Kok mesti aku?"
"Itu karena anak-anak masih kecil, dan Mama baru itu rupanya bakal malu banget jika ada anak-anak disini."
"Oh...kirain apaan."
"Trus kenapa aku mesti ajakin kamu?"
"Kenapa coba?"
"Karena kamu harus kenal betul dengan Mama baru itu."
"Emang kayak gimana orangnya?"
"Baik banget, bagiku dia cantik luar dalam, sabar, penyayang, manis, agak pemalu, dan .... keibuan banget."
"Oh....ya bagus dong." Gesshoku udah mulai bete.
"Mau gue kenalin sekarang?"
"Boleh juga."
Gue sengaja bangkit dari kursi gue dan berdiri di belakang Gesshoku.
"Mama baru itu memakai baju biru, celananya jeans panjang, rambutnya sebahu hitam, bola matanya hijau kebiru-biruan, dan harumnya seperti bunga mawar."
Gue menunggu reaksi Gesshoku, tetapi dia masih diam, entah apa yang dilakukannya, gue bingung..terpaksa gue duduk kembali, dan ternyata wajahnya sudab memerah tak karuan. Gesshoku tidak bisa berkata apa-apa, tak lama kemudian dia menangis.
"Kamu yakin atas pilihanmu?"
"Iya, kenapa?" gue membuka senyum.
"Ku rasa aku tidak bisa menjadi Stiva yang kamu inginkan."
"Gesshoku,....kamu nggak perlu mikirin Stiva lagi. Aku yakin Stiva juga senang bisa lihat kita bahagia disini."
"Tapi ... tetap aja aku merasa tidak enak pada mendiang Stiva!"
"Sssst, jangan ngomong kayak gitu, ntar malah dia yang sedih di sana. Aku nggak mau buat sedih orang-orang yang ku cintai."
"Tapi aku tetap nggak yakin aku bisa buat kamu bahagia seperti Stiva yang bisa bahagiain kamu."
Gue berlutut di hadapannya.
"Yang aku mau sekarang Cuma kamu."
"Aku? Gesshoku?"
"Iya, aku udah terlanjur sayang kamu, dan aku harap kamu bisa ada buat aku menggantikan Stiva yang udah tenang di alam sana."
"Sekarang, kenapa kamu bisa yakin kalau aku adalah orang yang tepat buat menggantikan Stiva?"
"Karena Stiva bukan kamu, dan aku mau kamu tetap menjadi Gesshoku yang aku kenal selama ini. Yang unik, keibuan, sayang sama anak-anak,..."
"Tapi jika...."
"Sekarang yang aku mau tanya sama kamu, mau jadi Mama baru buat anak-anak, dan apa kamu mau jadi wanita yang berarti di hidupku?"
Kata-kata itu benar-benar terlontar begitu saja dari dalam diri gue. Padahal gue tidak menyiapkan naskah sebelumnya.
"Kamu harus terima apa pun keputusan yang aku berikan."
"Oke, itu memang sudah resiko." Jawab gue sambil menghapus air matanya.
"Pertama, jadi Kak Gege itu sulit. Harus mencuci celana Kiara yang masih ngompol itu, harus mengerjakan PR Panji, harus membuat makanan, tapi semua pekerjaan itu terasa amat ringan ketika melihat wajah bayi mungil, Peter. Dan aku menjawab.....iya untuk pertanyaan nomor 1."
"Oke, lalu...pertanyaan terakhir?"
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk menjawab pertanyaan nomor 2, tapi intinya, bagimu aku adalah wanita yang berarti setelah Stiva, dan aku hargai itu, tapi....aku tidak tahu apakah jawabanku ini tepat atau tidak....tapi aku menjawab ....."
"Apa??" gue benar-benar tidak sabar mendengar jawaban yang diberikan oleh Gesshoku.
Gue tidak menyangka, ternyata..........Gesshoku langsung memelukku begitu saja......dan berbisik, "I LOVE YOU. I’LL BE YOUR GIRL FRIEND."
Gue langsung memeluknya dan menggendongnya bak putri dalam dongeng. Malam ini pada pukul 18 menit ke 27, detik ke 47, gue dan Gesshoku resmi menjadi sepasang kekasih, dan dia akan menjadi Mama dari anak-anak panti asuhan ‘St. Vagaia’. Tak lupa kukecup hangat bibirnya, sebagai tanda cinta dari gue untuk Gesshoku.
Dan dikejauhan sana, anak-anak bersorak atas kemenangan Papa Steven.
***
~TAMAT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar