Tidak ada yang istimewa di istana ini. Istana ini hanya berdiri diatas tanah yang amat luas yang dikelilingi oleh kota perajin topi. Aku disini berperan sebagai putri dari Raja Ulif. Semua orang mengenal aku, tapi aku jenuh dengan keadaan di istana yang serba terikat dengan peraturan. Bahkan pada perjamuan makan malam ataupun makan siang dan pagi itu membutuhkan peraturan yang berbeda. Aku tidak dibolehkan makan roti lebih dari 2 lembar. Menjengkelkan! Dan aku harus memakan buah apel yang bagiku itu adalah buah paling aneh. Manis memang, tapi bikin enek.
Suatu hari aku nekat pergi keluar istana dengan pakaian yang baru dijahit oleh permaisuri ayahku yang ke-3. Ayahku itu suka sekali menikah berkali-kali, jadi anaknya banyak. Dan untungnya aku putri pertamanya dari istri pertamanya pula. Jadi kalau dihitung-hitung aku mempunyai 7 saudara. Dan aku mempunyai kakak kandung bernama Vincent. Dia suka memanah dan berburu binatang. Dia masih tergolong muda, umurnya saja baru 20 tahun. Dan yang lagi 6 orang semuanya adik-adikku. Entah siapa saja aku tidak tahu, karena mereka tinggal terpisah-pisah. Ayah membuatkan istana masing-masing untuk para permaisurinya. Namun ayahku disini tinggal bersama ibu.
Saat itu semua orang berlutut menghaturkan hormat kepadaku. Aku jadi merasa tidak nyama pada mereka semua. Sampai-sampai orang yang sedang sibuk sekalipun menghentikan pekerjaannya. Jadi aku kembali ke istana dan ayah pun mengomeliku dengan ceramah ini itu. Ah, sudahlah, aku benar-benar malas mendengar ocehannya yang itu-itu melulu. Dan aku bertekad jika suatu saat aku akan kabur dari istana ini dan berkeliling dunia. Yah … mungkin bukan dunia yang luas ini. Tapi aku ingin sekali mengenal dunia luar dan ingin merasakan bagaimana susahnya mereka yang membanting tulang untuk hidup.
**
“Selamat pagi Tuam Putri. Silakan membasuh diri, baju dan parfum sudah disediakan.” Ucap salah satu dayang di istana ini kepadaku.
“Kalian keluar aja deh, saya bisa melakukan semuanya sendiri.”
Aku benar-benar kesal dengan para dayang-dayang itu yang terlalu memperhatikan tingkah lakuku.
Mereka keluar dan aku berendam di air yang ditaburi banyak bunga, entah bunga apa saja ini.
Terkadang aku berpikir, mengapa orang diluar sana begitu bebas memilih hidupnya. Ada yang menjadi penjahit, pembuat batu permata, penempa besi….aahhh aku ingin sekali bekerja mengandal tenaga sendiri untuk mencari uang. Aku ini bukan anak kecil lagi yang harus didampingi ke mana saja, aku ini sudah dewasa! Umurku saja sudah 18 tahun! Masa masih dijagain sih kalo pergi ke mana-mana?!
Setelah usai aku mandi, aku bingung harus memakai pakaian yang mana. Para dayang itu pasti menerima kiriman lagi dari permaisuri yang ke-3. Aku juga heran kepada istri ayahku yang ke-3 itu, apa sih yang ia kerjakan disana sampai-sampai 3 hari sekali pasti aku mendapat gaun yang terbilang cukup mewah ini. Aku bingung memilihnya, lalu aku teringat dengan gaunku yang sudah lusuh itu. Ya, hanya gaun biasa. Sama seperti yang dikenakan masyarakat itu. Aku mendapat gaun ini dari seseorang yang kukagumi. Kakek. Tapi sekarang kakek sudah meninggal.
“Aku rasa aku pakai yang ini saja….apa sekalian saja ya hari ini aku kabur dari istana?”
Setelah mengenakan gaun itu, aku segera berlari ke jendela. Karena kamarku terletak di istana yang paling atas, maka aku bisa melihat penjaga yang ketat menjaga pintu-pintu istana. Aku diam sejenak memikirkan jalan kabur yang paling jitu. Aha! Akhirnya aku temukan juga!
Tanpa pikir panjang aku segera mengenakan topi dayang yang tertinggal di kamarku.
“Dengan begini tidak ada yang mengenali aku.”
Aku berjalan sepanjang koridor yang amat panjang itu. Hiiy, saking sepinya aku merasa ngeri sendiri. Aku sempat mendengar kabar jika Vincent pernah diganggu dikoridor ini saat mencari aku ke kamar. Aku sempat bertemu dengan dayang-dayang yang tadi sempat mengantarkan gaun ke kamarku. Salah satu dari mereka memanggilku.
“Hey, kamu pelayan baru disini?”
Aku hanya mengangguk, aku takut jika ketahuan.
“Mau kemana?”
“Ambil cucian.”
“Bagus! Setelah itu temui kami lagi disini! Saya harus mengetest Anda.”
“Iya.” Aku menjawab dengan suara yang dibuat-buat.
Lalu mereka kembali cekikan.
Aku berjalan menuruni banyak anak tangga. Ups! Dibawah ada ayah yang sedang bertemu dengan kakak. Entah mengobrol apa. Aku mencari ide agar mereka pergi sebentar dari ruang utama agar aku bisa menelusup keluar. Aku baru ingatjika aku mempunyai petasan udara. Jika dilemparkan jauh ke udara, maka petasan ini akan langsung meledak. Lalu aku melemparkannya ke udara dan seketika itu pula petasan itu meletus. Kakak dan ayah bergerak kearah jendela, aku langsung keluar menuju taman depan kemudian menuju taman belakang.
“Apa itu tadi?”
“Mungkin anak-anak dibawah.”
Sialan! Ada penjaga di pintu belakang. Gimana aku keluar ya?
Tapi kan sekarang posisi ku dayang….bilang saja keluar untuk membeli bumbu dapur…….pasti lolos dah!
“Mau kemana?”
Aku harus merubah suaraku lagi, “Membeli bumbu dapur…persediaan sudah habis.”
Aku masih menunduk, takut jika ketahuan.
“Baik, tidak lebih dari 15 menit.” Kata salah satu dari mereka.
Aku hanya mengangguk lagi. Fuuhhhh.
Aku langsung menggunakan kesempatan ini untuk kabur sejauh-jauhnya. Aku juga tidak tahu jalan, tetapi aku berusaha kabur sejauh mungkin. Bahkan aku tidak membawa tanda pengenalku, aku sengaja meninggalkannya di bawah bantal.
Aku sudah sampai di sebuah padang luas, dan tukang kuda itu menurunkan aku begitu saja secara paksa. Ya itu karena itu tidak membayar tumpangannya.
“Kalau tidak punya jangan naik kuda lagi!”
“Maaf!”
Udara kebebasan pun aku hirup. Dan kebetulan di dekat sana ada seseorang yang sedang menggembalakan domba. Langsung saja aku dekati dan aku ajak bicara.
“Hei, sedang sibuk ya?”
“Sudah tau kenapa tanya? Minggir-minggir kau menggangguku saja!”
Siapa nih orang? Sombong banget sih?
“Aku Cuma mau tanya…….apa…”
“Sudah,…kau tunggu saja disana. Aku masih sangat sibuk. Kalau mau tanya tunggu sampai aku selesai dengan domba-domba ini!” ucapnya sambil memasang wajah yang sok sibuk.
Ih, kalau kau tau siapa aku pasti kau tidak akan berani menyuruhku menunggu!
Terpaksa aku menunggu orang itu dengan sekian puluh dombanya itu. Bosan juga menunggu dia, siapa sih dia sampai aku rela menunggu dia?!
“Tadi kau mau tanya apa?”
“Ini dimana ya?”
“Kau ini dari mana hendak kemana?”
“Aku dari kota perajin topi, aku mau jalan-jalan….tapi aku tidak tau arah.”
“Parah kau! Berapa tahun kau tinggal di kota itu sampai-sampai daerah yang tersohor ini pun kau tidak tau?”
“Aku dari kecil di kota perajin topi….tapi karena aku menderita penyakit paru-paru selama 6 tahun, makanya aku tidak pernah kemana-mana. Aku hanya membantu ayahku membuat topi-topi untuk dijual.”
“Lantas dengan apa kau datang kemari?”
“Naik kuda, tapi aku diturunkan secara paksa ditempat ini. Aku nggak punya uang buat bayar jasa tumpangan itu.”
Aku memasang senyuman pengharapan agar dia mau menampungku di rumahnya.
“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu?”
“Aku rasa kau tau…apa maksudku..”
“Tidak bisalah aku menampungmu. Rumahku hanya cukup untuk 1 orang. Lagi pula jika kau bermalam dirumahku, aku tidur dimana?! Aku hanya punya 1 tempat tidur.”
“Ya apa salahnya 1 dibagi berdua?”
“Tidak! Lebih baik kau mencari tumpangan di kota.”
“Kotanya jauh nggak?”
“2 kilometer dari sini.”
“2 kilometer itu sejauh apa ya?”
“Jauh, sejauh kau datang dari kotamu ke sini sekarang.”
“Yah, masa aku jalan kaki?”
“Ya itu terserah kau. Walaupun kau pandai merayu, tapi aku tidak bisa menampungmu dirumahku. Apa kau mau tidur di kandang domba?”
“Kau samakan aku dengan domba milikmu?”
“Itu terserah kau. Mau ke kota atau bermalam bersama domba-dombaku.”
“Kau tega sekali!”
Sekalinya aku kabur dari istana langsung bertemu lelaki keras kepala dan aneh ini. Bagaimana kedepannya? Orang seperti apa lagi yang akan kutemui?
“Halo, bagaimana? Kau mau atau tidak?”
“Baiklah, aku tidur bersama dombamu.”
“Ya sudah, langsung saja masuk ke bangunan itu. Dan buat sendiri alas tidurmu.”
“Ada matras disana.”
“Ada. Matras alami.”
“Matras alami?”
“Jerami.”
Hah? Aku harus tidur menggunakan jerami? Badanku bisa gatal-gatal semua!!!!
Ya beginilah nasibku. Tidur bersama domba diatas tumpukan jerami. Dombanya bau!!! Aduh bisa mati sesak napas aku disini. Tapi tak apalah malam ini saja, semoga besok tidak sial begini nasibku. Saat aku sudah hendak terlelap, aku mendengar pintu kandang itu terbuka, aku pikir anak laki-laki itu yang datang, tetapi aku rasa bukan. Aku tidak berani membuka mata, aku hanya mengintipnya saja. Karena ruangan ini gelap, aku tidak jelas melihat siapa itu. Dia memberiku selimut, lalu pergi begitu saja.
**
Ternyata domba-domba itu sudah tidak ada lagi dikandang ini. Aku saja tidak tahu kapan domba-domba itu digiring keluar. Aku tidak mendengarnya. Kemudian aku bangun dan keluar mencari lelaki itu. Aku lupa menanyakan namanya semalam. Tapi baru satu langkah aku keluar dari kandang ini, aku melihat Vincent! Astaga, aku harus kembali bersembunyi di kandang domba ini lagi. Tapi aku masih melihat keluar, dan aku melihat lelaki itu berbincang dengan kakak. Mati aku! Kakak membawa sketsa wajahku! Ya jelas saja pasti ketahuan! Aku member kode pada si penggembala itu agar tidak memberitahu kakak jika aku sedang berada disini sekarang. Ajib…kakak pergi. Lalu sekarang penggembala itu menghampiri aku.
“Kau mengenalnya?”
“Tidak.” Aku berbohong.
“Bukannya kau datang dari kerajaan mereka?”
“Iya, tapi kan kemarin aku sudah bilang aku jarang keluar rumah!”
“Tapi masa’ orang setampan dia kau tidak mengenalnya?”
“Aku memang tidak mengenalnya. Lalu mengapa?”
“Kau mau kemana setelah bermalam disini?”
“Aku tidak tau….mungkin aku berkelana lagi mencari tempat bermalam.”
“Kau ini seperti tidak punya tujuan saja?”
“Ya kan aku bilang, aku kabur dari rumah untuk jalan-jalan. Sedangkan aku tidak tau arah.”
Muncul 2 lelaki baya menghampiri kami.
“Bagaimana tawaran kami??” tanya salah satu dari mereka.
“Saya terima, saya sudah berkemas. Apakah Anda sudah disediakan?”
“Sudah, kudanya juga sudah kami siapkan.”
Mereka sedang membicarakan apa ya? Sepertinya urusan bisnis…
“Baiklah jika seperti itu, kami berikan Anda waktu untuk bersiap.”
“Terima kasih.”
Kemudian kedua orang itu pergi.
“Kalian tadi bicara apa sih?”
“Aku menjual peternakan ini. Dan segala isinya.”
“Lalu kau mau tinggal dimana?”
“Mereka sudah berjanji memberikan tempat tinggal. Aku dapat uang, mereka dapat domba.”
“Kau tidak sayang meninggalkan domba itu?”
“Itu domba milik ayahku. Karena ayahku sudah meninggal, maka dia menitipkan domba itu sementara kepadaku.”
Oohhh, jadi begitu ya….
“Lalu kau mau kemana?” tanya lelaki itu kepadaku.
Aku ling lung, tidak tahu harus menjawab apa.
“Kalau begitu kau ikut saja bersamaku.”
“Ke mana?”
“Kita cari makan, mau?”
“Makan?!”
“Iya, aku tau kau pasti kelaparan dari kemarin belum makan, iya kan?”
“Iya…..tapi boleh tidak aku menumpang mandi di rumahmu?”
Dia mengangguk.
Segar sekali rasanya habis mandi….air disini dingin dan membuat aku merasa bersemangat. Tidak seperti di istana, setiap hari aku mandi dengan air hangat. Huh! Sungguh membosankan!
“Bagaimana? Sudah segar?” tanyanya sambil memberiku sebuah roti selai.
“Segar, kau mau meninggalkan rumah ini sekarang?”
“Iya, kebetulan almarhumah ibuku mempunyai pakaian-pakaian ini. Karena aku laki-laki dan tidak bisa memakainya, kau saja yang pakai.”
“Kau memberikan ini padaku?”
“Iya, aku tau kau tidak membawa apa-apa dari rumah. Sebaiknya kau ganti bajumu. Yang kau pakai itu sudah bau.”
Hehe, aku hanya tersenyum.
Aku mengganti bajuku dengan baju milik ibunya tersebut. Untungnya pas dibadanku, dan baju ini cukup indah.
Aku melihat pemuda itu sudah menunggu di luar rumah sambil terus mengunyah rotinya. Aku harus berterima kasih kepadanya karena sudah mau menampungku semalam.
Dia melihatku, sempat tertegun beberapa saat.
“Kenapa? Apakah aku terlihat aneh memakai baju ini?”
“Tidak.” Jawabnya sambil mengalihkan pandangan.
“Kalau boleh aku tau, kita mau kemana?”
“Ke kota perajin manik-manik.”
“Itu kan jauh sekali?”
“Ya kan kita naik kuda.”
“Kalau tidak salah 6 hari kan perjalanan ke sana? Lebih santai jika naik kereta…”
“Kau fikir kau putri apa?”
“Aku….” Ups! Hampir aja keceplosan…..
“Kau kenapa?”
“Aku kan hanya berandai saja…..”
Kemudian kami berjalan dan lalu menunggang kuda. Agak kikuk sebenarnya, duduk diatas kuda bersama pemuda yang baru aku kenal kemarin itu. Apalagi aku harus duduk dibelakangnya, rasanya benar-benar kikuk. Untung saja aku tidak duduk didepannya.
Perjalanan kami tempuh dengan panjang, dan matahari siang ini sangat menyengat. Sepanjang perjalanan tadi kami tidak menemukan kedai minuman atau makanan. Sampai sore pun kami hanya jalan dan aku rasa kuda ini juga sudah haus, dan kami harus segera menemukan kedai makanan.
“Eh itu kedai makanan!” teriakku seperti orang yang tidak pernah makan saja.
“Akhirnya….”
Kami turun dari kuda dan memberikan kuda itu minuman dan makanan.
“Tapi aku tidak punya uang untuk makan disini.” Ucapku.
“Sudahlah, pakai uangku saja.”
Pemuda ini benar-benar baik kepadaku. Dengan cara apa aku harus membalas kebaikannya?
Kedai ini sepi, seperti jarang ada orang yang berkunjung ke sini.
“Selamat sore…..mau pesan apa?” tanya pemilik kedai itu.
“Menu biasa saja. 2 porsi.”
“Silakan tunggu!”
“Kamu biasa ke sini?”
“Nggak juga sih, pernah beberapa kali sewaktu ayah masih hidup.”
“Di dekat sini ada penginapan tidak?”
“Tidak.”
“Lalu kita mau tidur dimana?”
Makanan datang, aromanya menusuk perut yang keroncongan ini.
“Maaf, di sekitar sini ada penginapan?”
“Tidak, kotanya masih 3 kilometer lagi. Jika kalian mau bermalam, ada kamar kosong disini. Tapi Cuma ada satu.”
“Satu kamar?” tanya pemuda itu.
“Iya.”
“Kalau begitu terima kasih. Akan kam fikirkan lagi.”
Lalu aku dan pemuda itu makan.
“Kau sudah menolongku, aku harus balas dengan apa?”
“Nggak perlu, aku nggak butuh apa-apa dari kamu.”
“Tapi kan…”
“Ayahku pernah bilang, jika aku menolong seseorang tidak boleh meminta imbalan.”
“Tapi kan…”
“Sudahlah, o iya….nama kamu siapa?”
“Sabia.”
“Hm? Sabia?? Nama kamu kok sama ama putri kota perajin topi?”
“O ya? Aku malah tidak tau. Tapi aku yakin Putri Sabia yang itu pasti jauh lebih cantik daripada aku. Kamu kenal sama Putri Sabia itu?”
“Tidak sih, tapi sewaktu kecil aku pernah bertemu dengannya dan memberikan sebuah cincin. Tapi sudahlah, itu sudah lama sekali.”
Tidak, apakah dia ini…..Rangga? teman semasa kecilku yang menolongku saat aku tersesat di hutan kota?
“Kalau boleh aku tau….dalam rangka apa kau bisa bertemu dengannya?”
“Waktu itu aku mencari coklat di hutan kota perajin topi, dengan tidak sengaja aku menemukan anak perempuan yang menangis di dekat batu yang besar. Aku tau dia tersesat, maka dari itu aku mengantarnya ke pusat kota. Dia tersenyum, dia janji akan menemui aku lagi jika dia sudah besar. Maka dari itu aku memberinya sebuah cincin dan sampai sekarang aku menunggunya. Tapi belakangan aku sadar, dia itu berbohong. Buktinya sampai umurnya 18 tahun begini dia tidak datang juga.”
Ah? Masa iya sih aku sempat janji seperti itu? Apa gara-gara itu lama aku jadi lupa ya? Bahkan aku tidak ingat kalau pernah tersesat di hutan…..
“Kalau misalnya dia datang dan menemui kau, kau senang?”
“Aku tidak tau.”
“Lho kok tidak tau?”
“Ya aku sudah lupa wajahnya.”
“Iya juga sih…itu kan sudah lama sekali…”
Gawat, kalau kalung ini terlihat olehnya…dia pasti tau….dan mengembalikan aku ke istana…
“Nama kamu?” tanyaku memastikan.
“Rangga.”
Ternyata benar…..dia memang Rangga.
Aku melihat kakakku datang, sial! Kenapa harus saat seperti ini? Terpaksa aku harus masuk ke dalam kedai lagi dan menyewa kamar yang ditawarkan pemilik kedai itu.
“Eh, yakin mau bermalam disini?”
“Iya, aku bisa tidur dibawah.” Aku masih resah jika Vincent menemukan aku di sini.
“Kenapa sih? Seperti resah begitu?”
“Tidak…aku rasa aku lelah..makanya aku pengen cepet-cepet istirahat.”
“Kau tidur saja di atas. Biar aku yang tidur dibawah.”
“Tapi kan … masa’ kau yang membayar kau yang tidur dibawah?”
“Sudahlah, tak apa. Jika kau tidur dibawah, trus sakit. Kan aku juga yang repot.”
“Kalo gitu aku tidur dulu. Maaf merepotkan.”
Rangga merapikan barang bawaannya, aku sudah mengantuk lalu tertidur.
**
Pagi datang menyingsing. Tidak!!!! Kenapa Rangga ada disampingku?! Bukankah dia bilang tidur dibawah? Tapi kenapa sekarang ada diatas bersamaku?
Aku langsung bangun, membasuh wajah dan masih mencerna apa yang terjadi barusan.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi semalam dan apa yang Rangga lakukan. Seingatku Rangga merapikan barang-barang dan lalu aku langsung tertidur. Lalu kenapa Rangga bisa tidur bersamaku diatas?
“Rangga, Rangga…bangun….sudah pagi….”
Rangga masih setengah sadar, dan malah memelukku. Jangan-jangan dia mengira jika aku ini guling?
“Rangga, mau melanjutkan perjalanan atau tidak?”
Rangga malah semakin erat memelukku, aku jadi bingung harus berbuat apa.
“Rangga……..kudanya manggil tuh…..dia nggak sabar mau jalan-jalan lagi….”
Kali ini Rangga baru membuka matanya…hihi, ternyata mukanya lucu juga kalo habis bangun tidur.
“Sabia? Astaga, sudah pagi……maafkan aku.”
Rangga duduk sambil mengucek-ngucek matanya.
“Maaf ya?”
“Maaf untuk apa?”
“Semalam aku tertidur di atas….aku hanya duduk sebentar. Eh malah ketiduran.”
Ternyata tidak sengaja…
“Kamu mau mandi? Tadi aku menemukan kamar mandi di kedai. Atau aku dulu yang mandi?”
“Iya, kau duluan saja. Aku mau mengemasi barang lagi, takut ada yang tertinggal.”
Kami mengucapkan terima kasih kepada pemilik kedai dan melanjutkan perjalanan.
“Kau tidak keberatan jika aku ikut bersamamu sampai kota?”
“Lalu aku harus meninggalkanmu disini sendirian begitu?”
“Ya tidak begitu juga sih….aku kan hanya bertanya…aku kan merepotkan?”
“Sejauh ini kau tidak merepotkan, malah kayaknya aku deh yang ngerepotin? Tadi aja aku dibangunin susah kan?”
“Nggak juga sih….”
“Ini sudah hari ke 3 kau kabur dari rumah, tapi tidak ada orang tua yang mencarimu?”
“Mereka tidak begitu peduli denganku, sudahlah..jangan bicarakan mereka. Aku hanya ingin bersenang-senang.”
“Kau aneh.”
“Aneh bagaimana?”
“Punya orang tua tapi tak ingin mengakui mereka kalau mereka itu ada.”
“Sudahlah Rangga…..”
Akhirnya kami sampai di kota pengrajin kain. Kota ini sangat ramai, terlihat orangnya yang ramah menyambut kehadiran kami. Bahkan kami mendapat air minum gratis dari penduduk lokal.
“Wah….baju itu bagus banget… kira-kira berapa ya harganya?”
“Kau mau?”
“Ah? Tidak…aku hanya kagum. Baju ibumu juga nggak kalah bagusnya sama baju yang itu kok.”
Mungkin karena tidak berhati-hati aku tersandung batu ditengah jalan, nyaris jatuh. Untungnya tidak. Aku melihat Rangga mengamati satu buah benda yang dipajang di sebuah toko topi. Dia mengamati topi yang bagus itu. Jika aku punya uang aku akan belikan buat dia, tapi aku memang bodoh, kabur tanpa membawa barang satu pun.
“Kau ingin topi itu?”
“Tidak.”
“Jika tidak kenapa dari tadi kau memperhatikan topi itu terus?”
“Aku hanya ingat janji ayahku.”
“Apa?”
“Dia ingin sekali memberikanku sebuah topi yang mahal seperti itu. Tapi ketika ayah hendak membelikannya, ia malah terjatuh dari tebing.”
“Aku turut prihatin.’
“Aku lapar, kita cari makanan bagaimana?”
“Boleh.”
Aku tau pasti sangat berat ketika ayah Rangga meninggal akibat jatuh dari tebing. Andai saja aku bisa member kehidupan yang layak buat Rangga. Aku ini kan putri kerajaan, bisa saja kan aku meminta perdana menteri untuk mengadopsi Rangga? Lagi pula si perdana menteri tidak mempunyai putra.
“Hei, kok bengong? Nanti kesandung lagi lho.”
“Eh? Iya nih..saking lapernya aku sampai bengong mikirin makanan enak.”
“Lalu setelah ini kamu mau kemana?”
“Hm…mungkin aku akan mencari pekerjaan? Biar aku mendapatkan uang dan bisa pergi jalan-jalan.”
“Masih juga ingin jalan-jalan? Memangnya perjalanan sejauh ini belum melelahkan apa?”
“Belum. Aku belum begitu puas. Kenapa? Kau keberatan ya aku ikut ke sana?”
“Tidak juga. Aku senang ada yang menemaniku.”
Eh? Tumben dia berkata seperti itu??
“Tapi aku masih merasa tidak enak denganmu. Kau sudah terlalu banyak membantuku.”
“Terimalah, selagi aku berbaik hati.”
“Terima kasih banyak!” aku membungkukkan badan, tetapi ketika aku menarik badanku kembali kepalaku terbentur kios salah satu pedagang yang ada disana.
Semuanya menoleh ke arahku.
“Aow!!” aku beraduh dengan keras, sakit!
“Kau tidak apa-apa?” tanya Rangga sambil memegang kepalaku.
“Tidak!” aku memang berkata tidak, tapi aku masih menggosok-gosok kepalaku.
Rangga tertawa, “Kau aneh. Tidak apa-apa tetapi memasang wajah kesakitan seperti itu.”
Aku hanya tertawa nyengir.
“Hm…makanannya enak sekali!” sanjungku kepada Rangga.
“Kau suka ya?”
“Iya! Kalau kau?”
“Tidak begitu, aku membenci sup.”
“Kenapa? Ini kan baik buat kesehatan?”
“Aku muak dengan sayuran sebanyak itu.”
“Oh…kenapa tadi tidak pesan daging saja?”
“Aku juga tidak terlalu suka dengan daging.”
“Ah….kau pasti suka roti kan?”
“Dari mana kau tahu?”
“Karena waktu aku ke rumahmu kau hanya memberiku roti dan susu.”
“Hebat juga kau memperhatikan sampai sedetail itu.”
Aku melihat Rangga merogoh saku celananya.
“Ini buat kau.”
“Uang sebanyak ini? Buatku? Untuk apa?”
“Katanya kau perlu uang? Dengan begini tidak perlu repot bekerja kan?”
“Tapi aku kan ingin merasakan…”
“Jangan. Nanti penyakitmu kambuh lagi.”
Padahal kan aku sehat-sehat saja. Tentang penyakit itu kan aku bohong.
“Tapi Rangga….aku nggak ngerti apa maksudmu?”
“Tidak, aku hanya ingin berbagi bersamamu. Itu saja tidak ada maksud lain.”
Aku tidak pernah mengerti dengan jalan pikiran Rangga.
**
Ini sudah menginjak hari ke-5ku bersama Rangga. Menurut orang yang berada di kota ini sebentar lagi kami akan tiba di kota tujuan Rangga. Tiba-tiba aku berubah pikiran. Aku ingin berpisah dengan Rangga di kota ini. Aku juga tidak tau kenapa, tapi aku merasakan mulai ada yang lain di dalam hati kecilku.
Aku mengetuk pintu Rangga di penginapan ini.
Rangga membuka pintu, “Kenapa Sabia?”
Aku masih ragu dengan keputusanku ini.
“Sabia? Ada perlu apa ya?”
Aku masih bingung, padahal ini masih pagi.
“Masuk, mungkin kau ingin berbicara di dalam?”
Kemudian aku masuk, duduk di kursi dan gelisah.
“Ada masalah apa Sabia? Uang yang ku beri sudah habis ya?”
“Tidak, uangnya masih utuh. Belum aku pakai sama sekali.”
“Trus, kenapa Sabia?”
“Aku ingin berbicara sesuatu hal kepadamu.”
“Apa?”
“Aku ingin kita berpisah sampai disini saja.”
“Kenapa? Aku jahat ya?” terlihat wajah Rangga yang sedikit tidak terima. Aku takut dia marah kepadaku.
“Tidak bukan itu. Aku sudah terlalu membuat repot dengan mengajakku jauh-jauh ke sini. Lagi pula aku harus melanjutkan hidupku. Aku harus mengambil keputusanku sendiri.”
“Jadi selama ini bukan pilihan hidupmu? Lalu untuk apa kau kabur dari rumah? Kabur dari kedua orang tuamu?”
“Aku hanya ingin mendapat kebebasan.”
“Bersamaku tidak bebas ya?”
“Tidak! Aku merasa sangat bebas.”
“Lalu??”
Aku benar-benar bingung menjawab pertanyaan yang memojokkanku ini.
Kemudian aku berdiri, menghela napas panjang, dan menatap dalam-dalam wajah Rangga.
Aku harus jujur dengan Rangga.
Aku melepas kalung yang ada dileherku, memindahkannya ke tangan Rangga.
“Jangan dilihat sebelum aku pergi.”
“Tapi Sabia kau…”
“Dengarkan aku, …”
Aku meyakinkan diriku sejenak.
“Sabia…”
“Rangga, aku pergi sekarang. Terima kasih atas segala apa saja yang kau berikan kepadaku. Aku menerimanya semua dengan senang hati dan aku senang bertemu denganmu lagi.”
“Lagi?”
“Ssst..”
Rangga mengernyitkan dahi lagi.
“Anggap saja pertemuan kita kali ini kebetulan, tapi jika kita bertemu lagi suatu saat nanti….itu berarti kita jodoh.”
Aku langsung keluar dari penginapan dan pergi untuk pulang ke istana. Aku tidak tau apakah Rangga masih mengenali cincin pemberiannya itu.
Di dalam kereta, aku menangis. Aku benar-benar tidak ingin melihat Rangga menunggu-nunggu Sabia si putri kesasar ini. Biarlah aku yang pergi dengan begini kita impas.
**
Aku tiba kembali di kota pengrajin topi. Tidak ada yang mengenali aku disana. Tampilan sangat sederhana, bahkan aku kembali di malam hari. Dan kota tidak begitu ramai. Uang yang diberikan Rangga sudah habis aku gunakan untuk ongkos pulang. Perutku sudah keroncongan, dan aku tidak punya uang untuk membeli roti itu.
Tidak! Jangan roti!! Aku tidak ingin mengingat Rangga lagi! Stop ingatan tentang Rangga!!
Aku berjalan sampai akhirnya tiba didepan pintu istana. Kebetulan penjaga itu sedang tertidur, maka aku masuk dengan diam-diam sampai Vincent memergokiku.
“Hei, kau siapa masuk istana sembarangan?”
Kakakku pun tidak mengenali aku yang lusuh ini. O iya, aku juga baru memotong rambut panjangku menjadi sebahu, pantas saja kakak tidak ngeh dengan ku.
“Kau tuli?”
“Enak aja tuli! Ayah dan Ibu mana?”
“Hey, kau fikir kau putri apa?”
Aku sengaja mengerjai kakak. Langsung saja aku berlari ke dalam istana, dan aku paling tau jika Vincent tidak bisa berlari kencang.
“Penjaga! Ada penyusup!”
Yah, dia memanggil penjaga…..aku harus segera menemui ayah!
“Ayahanda, ini dia penyusupnya.”
“Gadis lusuh ini? Mau apa kau datang kemari?”
Astaga, tidak ada yang mengenali aku! Apa aku sudah dilupakan disini?
“Ayah?”
“Kau memanggilku apa? Ayah? Kau ini siapa Nak? Ada perlu apa kau kemari? Mencari orang tuamu?”
Ada apa ini? Pasti ada yang tidak beres disini. Jangan-jangan aku dikerjai oleh mereka semua?
“Aku Sabia!”
“Sabia? Jangan macam-macam kau! Adikku sudah lama mati!”
Mati??!! Yang benar saja!? Jika tau seperti ini aku tidak akan meninggalkan Rangga.
“Berani benar kau mengaku-ngaku sebagai putriku? Pengawal, usir dia dari istana ini!”
“Tapi Ayah….aku ini Sabia!!! Aku kabur dari istana beberapa hari yang lalu!!”
Pengawal itu menyeretku dengan paksa keluar istana, aku begitu saja dilemparkan ke tanah dengan kasar sampai siku lenganku berdarah.
“Hei! Aku ini Sabia!!” teriakanku tidak digubris oleh Vincent.
“Ayo Nak, ikut bersama ibu.”
Seorang ibu baya membawaku ke rumahnya.
“Jadi benar mereka mengerjaiku?”
“Maaf ya Tuan Putri. Mereka melakukan semua ini Cuma ingin membuatmu jera agar tidak kabur lagi.”
“Kok Ibu bisa tau?”
“Saya tau karena anak saya menjadi dayang di sana.”
“Jadi pada saat saya kabur mereka tau?”
“Mereka tau ketika kau sedang berada di kota pengrajin kain. Ada seseorang yang mengenalimu disana, lalu dia langsung melapor ke sini. Dan Raja mengajak semuanya untuk tidak mengenalimu.”
“Ide siapa ini Bu?”
“Ide Pangeran Vincent.”
“Kakak jahat!” aku menggebrak meja, kesal dengan kakakku yang jelek itu.
“Sudahlah..sementara kau tinggal di sini saja.”
“Tapi tanganku sampai terluka begini, mana belum makan…belum mandi….belum tidur….aduh capek…”
“Tuan Putri tidak usah khawatir. Di rumah ini semuany sudah tersedia lengkap.”
“Ibu penjual topi juga?”
“Iya. Tuan Putri mau topi-topi itu?”
“Tidak, saya ingin belajar membuat topi.”
“Oh, boleh saja. Bagaimana jika besok?”
“Iya!”
Aku ingin membuat topi yang bagus lalu akan kuberikan Rangga jika aku bertemu lagi dengannya.
Pagi ini aku bangun subuh hari. Aku bersemangat sekali ingin belajar membuat topi ini, dan akan aku jual kepada setiap orang yang aku temui di kota ini.
“Hati-hati tangan Tuan Putri tertusuk. Bahan ini tajam.”
Aku tidak peduli jika tanganku penuh dengan goresan. Aku hanya tidak sabar dengan topi-topi ini.
Hanya perlu waktu 2 jam aku belajar membuat topi ini.
“Wah Tuan Putri ternyata berbakat membuat topi.”
“Iya Bu, ada tidak manik-manik? Saya ingin menghias topi-topi ini.”
“Sebentar ya, Ibu membelinya keluar dahulu.”
“Iya Bu, saya tunggu.”
Setelah menunggu sekian lama akhirnya Ibu datang juga membawakan aku begitu rupa-rupa manik-manik. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menghias topi-topi itu.
“Bu, saya ingin menjual topi-topi ini dahulu. Ini saya titip satu buah, tolong disimpan dulu Bu. Ini mau saya berikan kepasa seseorang.”
“Iya, semoga berhasil ya Tuan Putri!”
Aku langsung berangkat menjual topi-topi ini, tapi sampai siang hari begini belum ada yang membeli topi-topiku. Mereka malah mengusirku dari kios-kios mereka. Sebal!! Ini semua gara-gara Vincent!
“Ibu….”
“Lho? Kok sudah pulang Tuan Putri?”
“Saya diusir dari kios-kios mereka. Mengganggu katanya. Tapi saya nekat mau ke istana!”
“Eh Tuan Putri?”
“Ibu tunggu disini ya.”
Aku harus membuat Vincent jera!
Lalu aku mencuri satu buah jeruk dari dagangan yang terletak di dekatku lalu aku kembali masuk ke dalam istana dengan gampang.
Aku mengupas buah jeruk dan lalu mengunyahnya. Aku sangat tau Vincent sangat tidak kuat dengan buah jeruk.
Aku memegang pundak Vincent yang sedang berlatih memanah itu dan langsung memberikan napasku yang bau dengan jeruk itu.
“Apa-apaan neh…..” Vincent langsung pingsan dan aku tertawa terbahak!
“HAHAHHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAAH, siapa suruh ngerjain adik sendiri?”
Kemudian aku mengambil panahnya dan masuk menemui ayah.
“Ayah!”
“Kau lagi!”
“Ayah jangan macam-macam!” aku sudah bersiap memanah.
Siapa bilang aku tidak bisa memakai panah, kalian salah besar!
“Eh eh, sudah sudah!!” Ibu menghalangiku.
“Selesaikan semua ini!”
“Maaf Sabia, Ayahanda hanya ingin…”
“Bagaimana kerajaan ini mau maju, pemimpinnya aja masih kekanak-kanakan begini?”
“Ini semua ide Vincent, Sabia..”
“Ah, Vincent kalian dengarkan, bocah ingusan begitu juga!”
“Pengawal, tolong panggilkan Vincent ke sini.”
“Maaf Tuanku, Pangeran Vincent pingsan gara-gara Putri Sabia.” Ucap salah satu pengawal.
“Kau apakan kakakmu Sabia?” tanya Ibu.
“Aku kasih nafas jeruk gratis.”
“Astaga!”
Ibu langsung mencari Vincent dan meninggalkanku.
“Maafkan kami Sabia. Kami sudah mengikatmu dengan peraturan konyol seperti itu.”
“Sabia juga ingin minta maaf sudah sempat membuat kalian semua khawatir.”
“Naiklah, bersihkan dirimu.”
Lalu aku naik, tapi dicegat lagi oleh ayah.
“Sabia!”
“Iya?”
“Baju milik siapa yang kau kenakan?”
“Milik seseorang yang baik hati.” Aku langsung menuju kamar untuk beristirahat.
Lagi-lagi Ibu mencegatku, “Sabia!”
“Iya?”
“Kenapa kau memotong rambutmu?”
“Biar tambah cantik J.” Jawabku polos.
**
Sudah berhari-hari aku hanya menghabiskan waktu di dalam kamar, berkeliling istana, mencoba makanan enak di kota, tapi tidak juga bisa menenangkan hatiku yang masih teringat dengan Rangga. Kira-kira Rangga sedang apa ya disana? Apa dia menemukan putri kesasar yang lainnya atau dia sudah membangun sebuah toko roti di dekat rumahnya yang baru? Aku jadi penasaran bagaimana sih kota perajin manik-manik itu? Masa’ iya aku harus kabur lagi dari sini? Atau aku bujuk saya Ayah agar aku bisa pergi kesana dengan menggunakan kereta dan ditemani Vincent? Tapi Vincent kadang menyebalkan! Huh, tapi apa salahnya dicoba?
Lalu aku menemui ayah yang sedang berjalan-jalan ditaman istana. Dan aku segera mengutarakan apa yang aku mau.
“Kau ingin ke kota itu? Untuk apa?”
“Aku ingin menjual topiku disana, siapa tau laku?”
“Kau ini seorang putri, masa’ mau jualan ke sana? Apa kata orang-orang kau mencari uang di negeri orang?”
“Ayolah Ayah…sekalian Vincent dan aku jalan-jalan…”
“Kau yakin mau ke sana bersamaku, Sabia?”
“Iya Kak….ayolah temani aku ya??”
“Baiklah jika itu memang kemauan putriku…kapan kau akan berangkat?”
“Sekarang?”
“Sekarang?! Kenapa mendadak seperti ini?” Vincent langsung bingung.
“Iyalah…aku sudah tidak sabat Yah…”
“Baiklah, pengawal! Tolong panggil kusir dan suruh mengantarkan Tuan Putri ke kota perajin manik-manik!”
“Siap Tuanku!”
Aku langsung mengambil topi yang pernah aku titipkan di rumah Ibu itu. Dan lalu berangkat menuju kota dimana Rangga berada. Aku berangkat dengan sejuta harapan.
“Memangnya kau mau mencari siapa disana?” tanya Vincent di tengah-tengah perjalanan.
“Tidak, aku hanya ingin menjual topi ini.”
“Jangan bohong. Aku tau siapa adikku ini.”
“Sudahlah, jangan goda aku seperti itu Kak!”
“Jujurlah, aku akan jadi pendengar yang baik. Aku janji.”
“Waktu aku kabur kemarin, aku bertemu Rangga.”
“Rangga? Anak lak-laki yang menggembala domba itu?”
“Lho? Kau mengenalnya?”
“Dia kan pernah bekerja di istana kita? Pasti kau sudah lupa ya?”
“Ah? Kapan?”
“Waktu kau masih berumur 10 tahun. Dia kan yang menjaga kuda-kuda kita. Waktu itu memang dia hanya bekerja sekitar 1 minggu, karena dia mendengar kabar bahwa ayahnya mengalami kecelakaan, maka seketika itu pula dia berhenti dari istana.”
“Tapi dia tidak pernah cerita?”
“Mungkin dia malu menceritakannya?”
“Malu? Kenapa harus malu?”
“Karena para pengawal dan dayang istana tidak ada yang menyukai anak itu.”
“Kenapa?”
“Hari pertama bekerja saja sudah membuat keonaran, makanya dia dijauhi oleh semua orang.”
“Ayah, Ibu, dan Kakak juga tidak suka?”
“Tidak, kami menyukainya. Bahkan ketika kami mendengar bahwa ayahnya meninggal, perdana menteri ingin mengangkatnya menjadi anak, tapi dia tidak mau dan malah mengurusi domba-domba itu.”
Aku baru tau, jika Rangga sudah melewati banyak kesusahan.
“Kau jatuh cinta kepadanya ya?” tanya Vincent mengangetkan lamunanku tentang Rangga.
“Hah? Aku tidak tau.”
“Sabar ya Sabia, aku harap kalian memang berjodoh.”
**
Aku dan kakak sudah tiba di kota Rangga. Sudah setiap orang disana aku tanyai mengenai Rangga, tapi tidak ada seorang pun yang mengenal ataupun melihatnya. Aku khawatir jika Rangga masih menungguku di kota perajin kain. Tapi tidak mungkin aku kembali lagi ke kota perajin kain. Karena jarak kota ini ke sana sangatlah jauh.
“Bagaimana Sabia?”
“Tidak ada. Mereka bilang penduduk baru di sini hanya orang tua itu.” Aku menunjuk seorang ibu tua.
“Terus bagaimana?”
“Ya sudah kita pulang saja.”
“Kita kan baru tiba disini? Lagi pula kusir kita dan kudanya juga sudah lelah, bagaimana jika kita menginap saja dulu malam ini? Tenang saja, aku bawa uang kok.”
“Tapi Kak…”
“Ya sudah, kita sekarang cari penginapan saja.”
Aku sudah hampir berputus asa karena sudah jauh-jauh datang kemari tidak menemukan Rangga. Dan malam ini ku bermalam di kota yang indah ini. Jika malam sudah datang, maka jantung kota ini akan menyalakan lampu yang dihiasi manik-manik indah. Aku ingin melihatnya dari dekat.
“Kak, aku mau keluar sebentar. Mau ikut?”
“Kemana?”
“Melihat lampu yang terbuat dari manik-manik tersebut. Ayolah, siapa tau kau mendapatkan jodohmu disini?”
“Haha, tidak. Aku ingin beristirahat, jangan tersesat lagi ya.”
“Iya.”
Aku meraih mantelku dan memakainya ketubuh yang sedang menggigil ini. Salju sudah mulai turun sedikit demi sedikit malam ini. Aku berjalan di jalan yang agak licin, aku harus hati-hati berjalan, jika tidak aku akan……ooowwww!!!! Tidak aku terpeleset. Uh, pantatku sakit sekali….untung saja aku menggunakan pakaian yang aku kenakan saat aku kabur bersama Rangga. Jadi tidak akan dimarahi oleh kakak. Aku berjalan pincang, memegangi pinggangku yang mulai terasa kaku karena terjatuh ini. Dan aku pun membuang sepatu yang aku gunakan. Baru kali ini aku benar-benar merasa sial. Setelah ini apalagi yang akan terjadi?
Akhirnya aku melihat lampu-lampu indah ini dari dekat juga. Indah, tapi eh? Kok mati?
“Pak, kenapa dimatikan?”
“Sudah tengah malam. Anda sendiri sedang apa disini? Bukankah Anda Putri Sabia?”
“Saya ingin melihat lampu ini dari dekat.”
“Maaf ya Tuan Putri, lampi ini dimatikan jika sudah tengah malam.”
Aduh, kesialanku datang bertubi-tubi. Sudah tidak bertemu dengan Rangga, terpeleset, lalu tidak bisa melihat lampu indah ini. Setelah ini apa lagi?!
Dengan kekesalanku aku terpaksa kembali lagi ke penginapan, tapi aku malah berputar-putar di tempat yang sama. Dan ini sudah kelima kalinya aku melewati sebuah toko mainan. Yah, aku tersesat lagi. Aku mencoba jalan lain, tapi tidak juga menemukan penginapan dan kereta kudaku.
“Aduh, kalau nggak ketemu juga gimana?”
Aku lelah, duduk di pinggir kolam kecil sambil bermain air. Salju yang turun semakin tebal dan kakiku sudah mulai mati rasa, terpaksa aku harus mencari sepatu yang kubuang tadi. Hiks, tapi aku tidak tau dimana membuangnya tadi. Betapa sialnya aku hari ini. Aku sudah pasrah, kebetulan ada sebuah rumah kosong yang sudah tak berdinding lagi dan hanya menyisakan tiang-tiang penyangga rumah. Berbekal mantelku yang tebal ini, aku terlelap disini.
Aku merasa hangat, dan nyaman. Tapi tunggu, semalam kan aku berada di atas lantai kayu, mengapa tiba-tiba lantai kayu ini empuk sekali?
Aku membuka mata, aku sudah berada di atas tempat tidur. Ini penginapan! Siapa yang membawaku ke sini?”
“Eh? Sudah bangun rupanya?” sapa Vincent yang membawakan the hangat.
“Aku kok disini?”
“Pertanyaan yang aneh, sejak sore kemarin kau kan sudah tidur.”
“Semalam kan aku keluar?”
“Itu pasti kau bermimpi. Kau tidak ingat ya?”
“Ingat apa?”
“Kita kan tidak menemukan Rangga, terus kita mencari penginapan, dank au langsung tertidur.”
“Tapi semalam aku melihat lampu yang ada ditengah kota itu.”
“Oh, lampu yang tinggi itu ya? Baru saja dibeli oleh seseorang dan sekarang sudah dipindahkan ke tempat lain.”
“Kau tau?”
“Penjaga penginapan bercerita kepadaku. Kenapa?”
Aku meraba pantatku, tidak ada rasa sakit memar akibat jatuh. Tapi jika mimpi kenapa bisa sakit sekali seperti benar terjadi?
“Salju turun ya?”
“Salju? Ini kan musim semi.”
“Lho? Tapi semalam saljunya kan turun Kak?”
“Tidak, semalam aku tidak tidur, menjaga kau.”
Berarti benar, kesialan bertubi-tubi itu hanya mimpi, tapi kenapa terasanya amat benar?
“Kau mimpi buruk ya? Itu pasti gara-gara kau kelelahan memikirkan Rangga.”
“Mungkin. Baru kali ini aku mimpi buruk seperti itu.”
“Lalu rencanamu hari ini apa Sabia? Mencari Rangga lagi atau kita pulang?”
“Aku tidak ingin pulang.”
“Lantas?”
“Kita jalan-jalan keluar yuk?”
Aku berjalan bersama kakak pagi ini. Benar tidak bersemangat. Masih memikirkan apa makna dari mimpi ini. Aku bingung Rangga pergi kemana. Sementara kakak sedang membeli makanan, aku masuk ke dalam toko antik. Semua barang-barang serba aneh ada di toko ini. Lalu seorang ibu-ibu menyapaku.
“Selamat pagi dan selamat datang, ada yang bisa dibantu?”
“Saya ingin melihat-lihat.”
“Silakan, Putri Sabia ya?”
“Iya, Ibu kok tau?”
“Jelas sekali saya tau, beberapa hari yang lalu ada seseorang yang menitipkan benda ini kepada saya bersama secarik surat.”
Wow, penggemar rahasiaku kah?
“Dari siapa ya?”
“Seorang laki-laki, cukup tinggi, membawa kuda berwarna hitam.”
Jangan-jangan itu Rangga?
“Dia menitipkan sebuah kalung yang berliontinkan cincin, untung saja Tuan Putri datang kemari, jika tidak saya hendak menjualnya.”
Aku memakai kalungku itu lagi dan membaca surat dari Rangga.
Aku kembalikan kalung ini Sabia. Dari awal aku sudah tau jika kau memang Sabia yang selama ini aku tunggu. Aku memang sengaja tidak bicara padamu karena aku sangat takut jika kau tidak menerimaku kembali. Firasatku benar, kau akan pergi lagi dariku. Setelah kau meninggalkanku, aku tidak jadi tinggal di kota ini, aku tau kau pasti akan mencariku kembali. Kau katakan jika kita bertemu kembali berarti kita berjodoh. Maka dari itu, jangan mencariku lagi. Aku berjanji akan setia menunggumu datang kembali ke hidupku. Percuma saja kau mencariku, kita tidak akan bertemu.
Salam sayang untukmu, Putri Sabia dari Rangga.
Astaga! Aku tidak percaya apa yang sudah aku baca barusan itu. Rangga memintaku untuk tidak mencarinya, dan dia yakin akan bertemu denganku jika kami memang berjodoh, mengetahui hal itu aku langsung meminta pulang, menunggu waktu itu hadir kembali.
**
Kakak sibuk menyiapkan pesta ulang tahunnya yang ke 22. Semua orang yang ada ko kota perajin topi ini diundang tidak terkecuali. Aku senang melihat kakakku sekarang sudah memiliki kekasih hati bernama Alie. Mereka sangat serasi dan 3 tahun lagi mereka akan menikah. Aku turut bahagia melihat kakak yang ceria itu sedang mempersiapkan pesta kostum buat malam nanti. Tapi sayangnya aku malas mengikuti pesta seperti itu. Aku mengurung diriku dikamar yang terletak di istana yang paling atas dan paling jauh dari keramaian. Seperti Rapunzel saja, aku memang sengaja memilih kamar di istana bagian ini, asyik bisa mengamati orang-orang yang ada dibawah sana.
Kakak melambaikan tangan dan menyuruhku turun, tapi aku tidak mau. Aku memilih melamun melihat orang-orang yang berdansa itu. Berpikir mengapa mereka bisa tetap bahagia meskipun sudah ditinggal oleh orang yang mereka sayangi. Sedangkan aku, baru ditinggal….salah, aku yang meninggalkan Rangga. Itu memang kebodohanku yang paling bodoj, melepas mutiara yang sudah ada di genggamanku. Aku merasa bosan dikamar, aku mengganti bajuku dan mencoba bergabung dengan kakak dibawah. Tapi setelah sampai dibawah, malah aku ingin naik ke atas lagi.
Beberapa orang kenalan kakak dari kerajaan lain mengajakku berdansa, tapi aku menolaknya semua. Aku melihat kuda kakak yang sedang diikat di pohon, iseng. Aku mencoba menunggangi kuda itu, awalnya memang gampang, tapi setelah agak jauh dari istana, kuda itu memberontak dan membawaku jauh dari istana, aku panik, tidak tau harus berbuat apa, sampai aku terjatuh dari kuda dan saat aku sadar aku terjatuh ditempat dimana aku bertemu dengan Rangga untuk yang kedua kalinya.
“Eh kudanya kok balik sih? Yah kalau aku jalan kaki jauh sekali…….ini kan 2 kilometer?”
Aku melihat tidak ada lagi domba-domba yang dijual oleh Rangga itu. Bahkan pondok kecil yang ditempati Rangga itui sudah rata dengan tanah. Aku begitu prihatin melihat keadaan tanah yang kering dan gersang ini. Hari semakin malam dan semakin gelap disini. Aku tidak membawa benda lainnya kecuali kalung cincin ini.
“Huh, seandainya aku tidak menunggangi kuda itu, pasti aku tidak ada tersesat disini.”
Aku hanya duduk di rumput ini sambil memandangi langit, aku masih mendengar pesta Vincent yang meriah di kejauhan sana, semua orang pasti sedang bersuka ria disana. Sedangkan aku, aku pasti tersesat. Aku ini putri yang bodoh, tidak tau arah sama sekali.
Sayup-sayup aku mendengar derap langkah kaki kuda, ah itu pasti Vincent atau Alie yang mencariku.
Karena keadaan gelap, maka aku tidak bisa melihat siapa yang sedang menaiki kuda itu, Vincent atau Ayahanda. Yang jelas ini adalah sosok laki-laki, tidak begitu asing. Aku tidak tau siapa dia.
Aku dibawa menjauh dari istana, aku takut dia adalah orang jahat yang berniat buruk terhadap Tuan Putri yang tersesat ini seperti aku.
Dia menghentikan kudanya lalu aku turun dan dia juga ikut turun.
“Maaf, kau siapa?”
Orang itu tidak menjawab, aku jadi semakin was-was. Tempat ini gelap, tidak ada pencahayaan sama sekali.
“Halo, bisa antarkan aku pulang atau tidak?”
Masih tidak ada respon, kemudian dia mendekatiku, meskipun kami berdekatan, aku masih tidak bisa melihat wajahnya.
“Maaf, kau siapa?” aku bertanya itu lagi sambil menundukkan wajah.
Hiiy, siapa sih orang ini? Misterius sekali.
Lalu ada seseorang yang membawa obor. Aku langsung saja merebut obor itu.
“Maaf, saya pinjam sebentar obornya!”
Aku membawa cahaya itu perlahan mendekati orang yang menolongku ini, tapi dia malah membalikkan badannya.
“Kau siapa? Kau tidak ikut berpesta di istanaku?”
Orang itu menggeleng, aku semakin takut dengan orang aneh ini.
Orang itu tertawa, lalu saat aku lengah dia memelukku.
Aku takut, pasti orang ini berniat jahat terhadapku. Saat aku ingin melepaskan diri dari orang itu, oborku jatuh dan mati.
Gawat, obornya jatuh!
Orang itu lalu melepaskanku perlahan dan dia mendekati telingaku. Dia berbisik.
“Kita memang berjodoh.”
Ah! Suara ini kan…Rangga!!
Dia mengambil kudanya dan membantuku naik menunggangi kuda itu lagi. Kali ini aku dibawa kembali ke istana.
“Ah, pasti dia kabur lagi.”
“Sabia memang seperti itu, nanti juga kembali.”
Aku mendengar Alie dan kakak membicarakanku.
“Sabia? Dari mana?” terlihat Alie sangat mengkhawatirkan aku.
“Jalan-jalan, gimana pestanya kak?”
“Sebentar lagi akan mulai acara puncaknya.”
“Oh…kalau begitu aku mau kebelakang dulu.”
“Kok? Disini aja Sabia?”
“Maaf Alie, penting.” Aku langsung berlari menuju taman paling belakang yang ada di istana luas ini.
Saat aku berlari, hak sepatuku patah, aku terjungkal. Padahal hanya 10 meter lagi aku sampai di taman belakang.
Tapi ada tangan yang membantuku, Rangga.
“Kau tidak pernah berubah, selalu ceroboh.” Rangga membantuku berdiri.
“Sepatunya aja yang sudah jelek.”
“Bukannya itu sepatu yang aku belikan di kota perajin kain?”
“Hah? Bukan, kalau yang itu masih aku simpan.”
Dia membawaku duduk di pinggir kolam mungil.
“Kau kemana saja?” tanyaku.
“Aku tidak kemana-mana. Kau itu yang sibuk mencariku. Padahal kan selama ini aku ada dikota ini.”
“Hah? Jangan bergurau.”
“Aku tidak bergurau, Vincent tidak bilang ya?”
“Bilang apa?”
“Aku sekarang kan sudah menjadi anak angkat perdana menterimu. Masa’ kau sama sekali tidak tau?”
“Yang benar! Jangan bercanda!”
“Aku tidak bercanda Sabia.”
“Trus kenapa kau bilang mau tinggal di kota perajin manik-manik?”
“Itu kan hanya sebuah rencana.”
“Kenapa kau jual kalung ini ke toko antik itu?”
“Oh, itu bibiku. Aku titipkan saja ke dia, siapa tau kau ke sana, dan benar kan kau kesana bersama Vincent?”
“Kau jahat!! >_<”
Aku memukuli Rangga dengan sepatu hak tinggiku yang rusak itu. Dia hanya tertawa sambil mencium keningku.
“Maaf, aku hanya ingin sedikit mengerjaimu saja Sabia…”
“2 tahun ini kau bilang mengerjaiku? Itu keterlalulan namanya!”
“Maaf..maaf…keasyikan sih?”
“Kau katakan asyik? Jika tau begini lebih baik aku menerima lamaran teman kakakku saja!”
“Eh, jangan itu dong Sabia! Kau yang bilang sendiri kalau mau menungguku?”
“Itu kan kau yang bilang.”
“Kau bilang, kalau kita bertemu kembali secara tidak sengaja, berarti kita berjodoh kan?”
“Tapi tadi kau kan….”
“Aku tidak sengaja melihat kau yang sedang duduk disitu. Aku kira itu bukan kau? Ternyata itu memang kau.”
“Dari mana kau tau itu aku?”
“Mudah saja, potongan rambutmu yang khas itu. Di sini putri mana lagi yang mempunyai rambut sebahumu itu?”
“Tapi ini kan sudah panjang.”
“Ya aku tau semua wanita disini, tidak ada yang rambutnya sependek punyamu.”
Rangga tersenyum nakal.
“Ngapain senyum kayak gitu?”
“Kau semakin cantik diumur yang ke 20 ini.”
“Idih, umur 20 kan udah tua Rangga.”
“Ehm,” Rangga berdehem lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
“Ngapain Rangga?”
“Mau menikah denganku?”
Aku kaget, tidak menyangka saat Rangga datang kembali dia sudah membawa sebuah cincin untuk membuatku terikat olehnya.
“Pasti kau sudah punya yang lain ya?”
“Enggak, siapa bilang?”
“Trus?”
“Ya……”
“Ya mau atau tidak?”
“Bukannya kau punya yang lain?”
“Tidak, siapa bilang?”
“Bohong.”
“Sumpah Sabia.”
“Beneran?”
“Iya, Sabiaaaaaa…….”
Aku mengulurkan tangan kiriku, aku meminta dengan isyarat agar cincin itu masuk ke jari manisku.
“Kayaknya ada yang kurang….” Ucap Rangga.
“Apa lagi sayang?”
“Kau panggil aku apa?”
Aku benar-benar tidak sadar sudah memanggil Rangga dengan sebutan sayang.
“Em maksudku apa yang kurang?”
“Bukan bukan…aku ingin dengar sekali lagi kata yang kau ucapkan tadi.”
“Kata yang mana sih?”
Wajahku sudah merah padam, aku malu!!
“Yang itu tadi…..”
Oh tidak, Vincent mengganggu kami. Dia membawakan potongan kue ulang tahunnya kepada kami.
“Maaf mengganggu kalian berdua, aku hanya ingin membagi kue ini.”
“Kakak tau darimana kalau aku….”
“Alie yang memberitahuku.”
“Kalian semua sekongkol?”
“Iya Sabia….maafin aku ya sayang?”
Aku kaget, kini giliran Rangga yang memanggilku dengan panggilan sayang.
Belum sempat aku memakan kue tersebut, Alie dan Vincent sudah menumpahkan kue itu ke wajah Rangga dan juga wajahku!
“Aaaaaaa….kakak !!!”
“Maaf ya Rangga, Sabia…..Alie dan aku sangat senang kalian bisa bersama lagi.”
Mereka pergi begitu saja meninggalkan kami yang belepotan ini.
“I love you Sabia.” Ucap Rangga yang wajahnya penuh dengan kue tart tersebut.
“I love you, too.”
Dan aku memang Putri Sabia yang tersesat di hati Rangga.
FINISH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar