Dia berdiri tegak disana, tegar walaupun dihempas angin, tidak sakit walau diguyur hujan. Dia tetap seperti itu siang dan malam, dia tetap seperti itu disaat panas dan dinginnya bumi. Dengan setia dia selalu menunggu ditempat itu tanpa kenal lelah, walaupun ada orang yang mencercanya, dia tetap pasang wajah yang polos dan hanya itu itu saja ekspresi wajah yang ia punya. Sampai suatu saat ada seseorang anak perempuan yang menghampirinya, kemudian tersenyum padanya. Anak kecil itu terus memandanginya, berharap akan membalas senyumnya itu. Tapi ekspresinya masih tetap sama dari hari ke hari. Anak perempuan itu bingung, harus berbuat seperti apa lagi agar teman barunya itu bisa tersenyum. Kemudian, anak perempuan itu pulang dan besoknya, ketika hujan deras dia datang kembali. Anak itu tetap tersenyum kepadanya, dan ternyata dia memberikan sebuah kalung yang ia buat semalam. Kalung itu terbuat dari perak dan berliontinkan batu permata, entah anak perempuan itu mendapatkannya dari mana atau mungkin memang benar ia membuatnya sendiri? Selain memberikan kalung, anak kecil yang berusia 7 tahun itu juga memberikan sebuah topi yang terbuat dari anyaman bambu.
“Aku senang bisa bertemu denganmu sedekat ini. Tapi sayang aku dan keluargaku harus pindah kekota karena kata kedua orangtua ku aku harus berada disana.”
Dia tetap berdiri tegak, tidak memandang anak perempuan itu.
“Padahal aku inginnya disini menemanimu, semoga kita bisa bertemu suatu saat nanti. Aku janji aku akan menemuimu lagi. Namaku Daisy. Da da..”
Anak perempuan itu pergi menuju ke mobil orang tuanya dan selama beberapa tahun harus tinggal dikota untuk meneruskan pendidikannya.
***
“Daisy, jangan lupa makalah yang kemarin besok dibawa ya? Itu sudah harus segera disetor ke bu dosen.”
“Iya Vit, pasti aku bawa besok. Tapi besok kita tidak ada mata kuliah lagi kan?”
“Tidak ada, oya..pas kita wisuda jangan lupa bawa kamera digitalku ya?”
“Astaga..iya iya Vit, akan aku bawa. Tapi jangan lupa untuk ingatkan aku juga ya?”
“Oke. Aku pulang duluan ya Dai..”
“Oke! Bye..”
Daisy tumbuh dengan baik diperkotaan dan beberapa hari lagi dia akan melakukan wisuda bersama teman-temannya. Tetapi Daisy tak pernah melupakan teman semasa kecilnya. Bahkan dia masih sangat ingat ketika memberikan kalung dan topi bambu itu kepada sahabat kecilnya itu.
Seperti baru kemarin aku bertemu dengan dia…sudah berapa tahun aku tidak pernah pulang ke kampung halamanku untuk bertemu dia? Rasanya aku harus pulang karena aku sudah berjanji padanya untuk menemuinya kembali. Aku akan pulang setelah selesai acara wisuda.
Acara wisuda telah usai, dan waktunya untuk Daisy pulang ke kampung halamannya. Dia membawa pengharapan besar untuk sahabatnya itu. Tetapi apa yang ia dapatkan ketika telah sampai di kampung halamannya? Semuanya sudah berubah 100%. Bahkan tak ada lagi hamparan ladang yang hijau tempat bermain favoritnya dahulu. Bahkan rumah kakek dan nenek saja sudah berubah menjadi beton, kedai minuman yang dulunya bedeg sekarang menjadi club hiburan malam. Dan Daisy tidak lagi menyebutnya sebagai kampung halaman, tetapi lebih tepatnya pinggiran kota. Maka pupuslah harapan Daisy untuk bertemu dengan sahabat dimasa kecilnya. Tempat sahabatnya dulu kini menjadi sebuah rumah, rumah yang sangat megah. Daisy tetap saja melangkahkan kakinya menuju rumah itu, berharap mungkin masih ada sisa dimana sahabatnya tinggal.
Daisy mengetuk pintu rumah itu, dan ada seorang tante-tante yang keluar.
“Iya? Mau cari siapa Mbak?”
Daisy bingung harus mencari siapa disana.
“Eh maaf Bu…dulu disini sawah kan?”
“Iya Mbak, kenapa tanya-tanya begitu ya?”
“Dulu ada teman saya…”
“Siapa Ma?” kemudian keluarlah seorang anak laki-laki yang memakai kalung berliontinkan safir biru.
Daisy terkejut melihat laki-laki itu memakai kalung yang pernah ia berikan kepada sahabatnya.
“Kalung itu kan…”
“Ya ampun! Dia ini temanku Ma! Daisy apa kabar? Akhirnya kamu memenuhi janjimu juga..”
“Temanmu? Ajaklah dia masuk kedalam rumah. Kamu ini teman kecilnya Mailo ya?”
“Iya, iya saya temannya.”
“Masuklah Dai, topi yang kamu berikan dulu masih aku simpan!”
Daisy bingung, kenapa Mailo mengaku sebagai teman lamanya yang ia cari. Padahal Daisy sedang mencari teman lamanya yaitu boneka sawah yang ia berikan kalung dan juga topi bambu itu.
“Sebentar ya Mailo…aku itu tidak sedang mencari kamu bahkan aku tidak mengenal siapa kamu. Aku hanya sedang mencari teman lamaku yang hanya boneka sawah. Dulu dia kokoh berdiri disini. Di sawah ini yang sekarang sudah menjadi beton, dan kamu pasti telah mengambil kalung dan topi yang aku berikan kepadanya kan? Kamu ngaku saja, aku tahu kalung yang kamu pakai itu adalah buatanku yang ku buat hanya untuk dia!”
“Hey, tenanglah dulu…aku tidak mengambil kalung dan topi yang kamu berikan padanya.”
“And that means? Tidak mungkin kan hanya boneka sawah bisa berubah jadi seorang manusia? That impossible! Aku tidak akan percaya jika kamu akan mengatakan hal itu setelah ini.”
“Jika memang itu yang terjadi bagaimana? Aku tidak bisa memberikan paparan yang detail tentang hal ini. Tapi kamu telah memberikan keajaiban itu padaku.”
Daisy tidak percaya dengan apa yang ia dengar, dan segera meninggalkan rumah itu. Tetapi Mama Mailo mencegahnya untuk pergi.
“Kenapa buru-buru? Makan sianglah bersama kami, kebetulan Tante sedang masak makanan kesukaan Mailo. Dia pasti sangat senang kawan lamanya datang menjenguknya.”
“Sepertinya saya tidak bisa makan bersama, Tante. Terima kasih karena telah memberikan saya kesempatan untuk bertemu dengan Mailo.”
“Tetap tinggalah Dai. Sebentar saja.” Pinta Mailo menghadang Daisy di ambang pintu.
Ingin Daisy pergi meninggakan rumah itu, tapi dia kecewa tidak bisa melihat sosok boneka sawah itu lagi.
“Tante sih engga bisa maksa. Mungkin Daisy ada kepentingan lainnya? Iya kan Mailo?”
“Sebentar Tante, saya ingin berbicara empat mata dengan Mailo.”
Daisy menjauhi Tante dan bertanya pada Mailo.
“Oke, jika kamu memang benar boneka sawah itu…berikan satu bukti yang hanya kita berdua yang tahu!”
“Hari itu seorang anak perempuan datang menghampiriku, tersenyum padaku dan berhararap agar aku membalas senyumnya. Tapi apa dayaku, aku tidak memiliki mata, aku tidak memiliki hidung, aku tidak memiliki telinga, bahkan aku tidak memiliki semuanya. Ingin sekali aku membalas senyumnya dan meraih tangannya. Sampai aku tahu jika kamu akan pergi meninggalkan aku dan kamu meninggalkan kalung ini dan topi anyaman itu. Kamu berjanji akan menemui lagi suatu saat nanti. Aku punya perasaan, aku sangat sedih saat tahu dirimu masuk ke dalam mobil dan meninggalkan aku selama bertahun-tahun. Dan kini, saat kamu kembali, aku berharap kamu akan tersenyum kembali melihat diriku yang sempurna. Tapi apa yang aku dapat? Kamu inginkan dia yang dulu bukan aku…haruskah aku kembali untuk melihat senyummu itu?”
Mailo membuat Daisy tak mampu berbicara. Karena Daisy sekarang tahu, jika yang dihadapannya saat ini adalah sahabat lamanya yang masih setia menunggu janji Daisy selama ini. Daisy masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Pengakuan Mailo memang benar adanya, dan Daisy yakin tidak ada seorang pun disana menemaninya waktu itu. Bahkan Daisy pernah menganggap jika dirinya mengalami kelainan karena berteman dengan benda mati. Tapi Daisy mendengarkan kata hatinya jika benda itu punya nyawa dan perasaan. Daisy menggunakan hatinya saat menatap boneka sawah itu, dan ternyata apa yang dibayangkan Daisy kini menjadi kenyataan.
“Maaf jika aku sulit menerima ini semua. Aku bukan orang yang percaya dengan hal-hal fantasi seperti ini. Jadi wajar saja jika aku masih sulit menerima ini semua. Tapi akan aku coba agar aku bisa menerima semua hal ini.”
“Tak apa Daisy, aku akan coba bantu perlahan. Aku memandang tinggi persahabatan kita, dan aku masih menunggu senyummu yang indah itu.”
“Anak-anak?! Ayo kita makan, Tante sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi..” ucap Tante sambil mengajak Daisy dan Mailo bergabung.
Setelah selesai, Daisy pamit untuk pulang. Tapi dia tidak bisa meninggalkan Mailo begitu saja.
“Daisy, kamu kapan akan ke sini lagi? Aku pasti akan sangat merindukan dirimu.”
“Mailo…mungkin aku belum terbiasa denganmu yang seperti ini. Tapi aku akan coba susun rencana baru untuk kita.”
“Oya? Baiklah Dai, akan aku tunggu kabar darimu..”
“Jangan tunggu aku Mai, aku tidak mau nanti kamu kecewa menunggu aku lagi. Biarkan semua ini berjalan seperti air. Aku takut jika aku berjanji padamu aku tidak bisa menepatinya.”
“Baiklah Dai, aku mengerti itu. Tapi bisakah kita tetap berhubungan disaat kita sedang tak bersama?”
“Nak Daisy terima kasih ya karena sudah mau berteman dengan Mailo. Sebenarnya Tante kasian dengannya karena tidak memiliki teman. Dari dulu dia selalu menunggu kamu di balkon atas, berharap kamu akan datang lebih cepat. Kapan-kapan berkunjunglah kemari, ajak Mailo berjalan-jalan agar dia tahu bagaimana indahnya dunia luar.”
“Iya Tante, akan saya usahakan. Kalau begitu saya permisi dulu. Da..Mailo.”
Mailo hanya tersenyum dan melambaikan tangannya, sebenarnya dia tidak rela jika harus berpisah dengan Daisy.
Sampai mobilnya, Daisy kembali ragu untuk kembali ke kota. Dia masih ingin bersama dengan Mailo tetapi sepertinya masih ada yang kurang pas dihatinya. Mencoba untuk berpikir jernih, Daisy akhirnya berkunjung sebentar ke rumah kakek neneknya yang sudah berpindah tempat beberapa meter.
“Nek?”
“Daisy…dengan siapa kamu kesini?” tanya Neneknya yang sedang sibuk memasak.
“Aku datang sendiri Nek, bertemu dengan teman lama. Aku boleh kan menginap disini selama beberapa hari?”
“Ya tentu saja boleh. Teman lama? Siapa Dai?”
“Namanya Mailo.”
“Oh?! Iya Nenek ingat, Mailo yang dulu boneka sawah itu kan?”
“Hah? Kenapa Nenek tahu hal ini? Ini kan tidak masuk akal Nek?”
“Jika Tuhan sudah berkehendak, apa pun bisa terjadi Dai.”
“Jadi benar? Mailo itu dulu boneka sawah yang aku sering ku kunjungi?”
“Iya.” Jawab Neneknya ringan.
“Kalau begitu bisa tidak Nenek ceritakan tentang Mailo? Karena aku seorang mahasiswi yang tidak percaya dengan hal-hal yang seperti itu.”
“Kejadiannya sangat singkat, sehari setelah kamu pergi ke kota bersama Ayah dan Ibumu, tiba-tiba ada anak kecil yang menangis dan berteriak memanggil namamu. Dia hanya mengenakan kaos ungu yang biasa ia pakai untuk menjaga sawah milik majikannya. Karena tak tega melihatnya, ada seorang ibu yang mengambilnya sebagai anak. Karena dianggap hal yang ajaib, maka penduduk dari desa seberang berbondong-bondong melihatnya.”
“Nenek bercanda, masa’ iya tiba-tiba dia berubah menjadi seorang anak kecil?”
“Daisy, pernahkah Nenek berbohong padamu?”
“Tidak. Tapi dia itu….ah! sudahlah Nek, aku tidak ingin pusing memikirkan hal yang tidak masuk akal ini!”
“Jadi, benar ya kamu dulu sering mengunjungi Mailo?”
“Bukan sering sih Nek, itu pun hanya 2 kali. Tapi jika memperhatikan dari jauh, setiap hari. Dan aku benar-benar mengira jika itu adalah seorang manusia. Tetapi setelah aku dekati, ternyata hanya boneka sawah…yah sempat sih kecewa, tapi waktu itu aku benar-benar merasa dia hidup. Eh? Sekarang malah jadi kenyataan? Bahkan aku tidak pernah sampai berpikir ke sini Nek!”
“Beruntunglah kamu Nak. Itu namanya Tuhan punya rencana dibalik itu semua. Bagaimana kabar Ayah dan Ibumu di kota?”
“Aku belum sempat bertemu dari kemarin Nek. Hari ini aku baru saja selesai wisuda langsung kesini. Ayah Ibu sangat sibuk semenjak pindah ke kota. Jarang ada dirumah.”
“Kasian cucu Nenek yang satu ini, lalu kamu dirumah bersama siapa?”
“Hanya ada 2 pembantu Nek. Itu pun mereka hanya kerja part time. Kerja paruh waktu gitu..”
“Jadi mereka belum tahu jika Daisy ke kampung sekarang?”
“Tidak ada yang tahu Nek. Kan sekarang aku ada mobil. Mau kemanapun aku bebas. Tapi sepertinya beberapa hari ke depan aku tinggal disini saja ya Nek?”
“Iya Daisy sayang…tapi rumah Nenek dan Kakek sederhana lho. Tidak seperti rumah kamu yang ada dikota.”
“Tak apa Nek. Aku sudah terbiasa dengan kesederhanaan. Dan lagi pula aku masih ingin bertemu dengan Mailo. Aku perlu waktu untuk mempercayai cerita kalian. Semoga aku bisa segera percaya. Karena benar-benar seperti dongeng ceritanya Nek.”
“Iya Daisy, suatu hari kamu pasti akan percaya. Mana calonmu Daisy?”
“Calon apa Nek?”
“Calon suami?”
“Hahahah! Nenek ini bisa aja? Daisy belum kepikiran kesana Nek. Masih ingin bersenang-senang dengan apa yang belum pernah aku capai. Bisa kan Nek?”
“Bisa saja Dai, asal jangan lama-lama. Nanti jadi perawan tua. Mau?”
“Ah! Nenek jangan menakuti aku dong? Umurku kan baru 22 Nek! Masih terlalu mudah untuk itu semua.”
“Baiklah, ini sudah menjelang malam. Sebaiknya kamu istirahat ya Dai?”
“Iya Nenek. Tapi aku tidak membawa baju ganti, bagaimana?”
“Ini ada baju milik Ibumu. Semoga muat ditubuhmu. Nanti Nenek akan pilihkan yang bagus untukmu. Sekarang istirahatlah didalam.”
***
Keesokan harinya saat semua mata masih terpejam, Daisy bangun untuk menghirup udara segar. Meskipun tanah sawah hanya tersisa sedikit disana, tetapi pengairannya masih berjalan dengan baik. Langit masih gelap dan bintang-bintang masih bersinar terang diangkasa. Daisy duduk di pematang sawah sambil mencium aroma padi beserta embun yang segar. Ternyata dia tidak sendirian, Mailo ada disana.
“Pagi Dai.”
“Hai Mailo, sedang apa kamu jam segini disini?”
“Aku biasa berjalan diantara sawah yang tinggal sepetak ini. Aku ingat dulu aku berada ditengah-tengahnya. Kamu sendiri?”
“Oh? Aku? Aku hanya terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Maaf ya Mailo, sampai saat ini aku belum bisa menerima kisahmu itu.”
“Tak jadi masalah Dai. Yang penting kita masih sahabat kan? Tapi kenapa kamu tidak kembali ke kota?”
“Aku sedang bosan dengan hingar bingar kota. Semua racun berkumpul disana. Mulai dari asap hasil kendaraan, sampah, sampai limbah pabrik. Jika aku pikir, tinggal lama dikota akan membuat paru-paruku rusak.”
“Kamu benar Dai. Lalu, bagaimana dengan orang tuamu?”
“Mereka hampir tidak pernah pulang ke rumah. Setiap aku hubungi pasti mereka bilang meeting dan meeting. Aku tidak pernah menuntut apa-apa sih dari mereka. Tapi jelas aku jadi tidak betah dirumah.”
“Lalu bisakah sebut ini pelarian diri?”
“Bisa dibilang seperti itu.” Daisy tersenyum.
“Sudah lama sekali aku tidak melihat senyum yang seperti itu Dai.”
“Buat aku tertawa Mai. Bisa tidak?” Daisy memberinya suatu tantangan.
“Tertawa? Nonton saja komedi, pasti kamu akan tertawa?”
“Bukan seperti itu Mai! Buat aku senang seperti dulu, buat aku nyaman seperti dulu. Sudah cukup aku jenuh dengan rutinitas di perkotaan.”
“Benar kamu mau sesuatu yang beda disini Dai?”
“Ya. Kamu punya caranya Mai?”
“Ikutlah denganku!” Mailo mengajak Daisy ke suatu tempat.
“Kamu mau kemana?”
Daisy mengikuti langkah Mailo. Mailo mengajaknya kesuatu tempat yang jauh di belakang semua gedung beton itu sampai Mailo berhenti di tengah ilalang yang panjang menjuntai sampai tinggi melebihi kepala.
“Mailo? Kamu di depan sana? Mailo?” sepertinya Daisy kehilangan Mailo ditengah padang ilalang ini. “Mailo, jangan bercanda ah…engga lucu tau!”
Daisy melangkah lagi kedepan beberapa langkah, tetapi Mailo tidak ada. Daisy mulai jengkel dengan Mailo.
“Aku balik Mailo, permainanmu sama sekali tidak lucu!” Daisy kembali tetapi dia bingung melewati pematang sawah yan sempit itu. Baru 2 langkah saja dia sudah jatuh terjerembab ke dalam sawah yang berlumpur itu.
“Aaaahhhhhhh!!!! Mailoooo!!!! Uh….jijik banget sih aku jatuh kesawah gini? Mailo?!”
“Eh? Hahahahah! Makanya jangan sok kamu Dai!”
“Habis kamu ngilang gitu, mana aku ngerti?! Bantuin aku dong?”
Bukannya malah menarik Daisy keluar tapi Mailo malah ikut terjun bersama Daisy.
“Eh? Eh? Kok kamu malah ikutan nyemplung sih?”
“Pengen.” Mailo mengambil lumpur lalu mencoreng wajah mulus Daisy.
“Mailo! Kamu nih apa-apaan sih?” Daisy mengikuti Mailo, dia mengambil lumpur lebih banyak dan menaruh lumpur itu di kepala Mailo.
“Ih……!”
“Aow! Dai kamu berani banget sih? Aku balas ya?”
“Coba saja kalau bisa!” tantang Daisy.
Daisy berlari ke arah yang lebih jauh dari jangkauan Mailo.
“Tunggu Daisy!”
Akhirnya mereka bermain lumpur sampai matahari terbit, mengetahui pemilik sawah datang mereka langsung kabur meninggalkan sawah yang kacau balau itu.
“Kabur Dai! Yang punya sawah datang!” Mailo menarik Daisy untuk bersembunyi dibalik ilalang.
“Siapa yang merusak sawahku????!” pemilik sawah itu terpekik marah-marah sedangkan Daisy dan Mailo tertawa cekikikan dibalik tingginya ilalang.
“Ssstt, jangan keras-keras nanti dia dengar!” Mailo tidak bisa menahan rasa senangnya, begitu juga Daisy yang sampai tersungkur karena tertawa.
“Hei Mailo,..kamu berhasil membuat aku tertawa. Terima kasih kawan!”
“Yes, akhirnya aku berhasil! Kita pulang yuk?”
“Pulang? Ah ga asyik! Engga ada tempat bagus lagi? Air terjun gitu, ada engga?”
“Lihat dirimu, begitu kotornya. Kamu mau kita jalan berdua trus dibilang alien sama warga sini?”
“Ya enggalah! Tapi kalau aku pulang, pasti Mamamu marah sama aku karena udah buat anaknya jadi kue lumpur begini?”
“Yee, yang ada itu aku yang diomelin sama Nenekmu yang cerewet itu!”
“Ih, Nenekku itu engga cerewet tau! Yang ada itu Mamamu pasti nyuruh aku makan pagi di rumahmu.”
“Eh, emangnya kamu mau makan dirumahku lagi? Uh dasar parasit!”
“Mau, kalo gitu aku mandi dirumahmu aja ya?”
“Eh, jangan……jangan! Aku engga rela ya kamar mandiku penuh dengan lumpur! Yang bener itu ku yang mandi dirumah Nenekmu!”
“Ya udah kalo gitu, yuk pulang?”
Kemudian mereka pulang ke rumah Nenek Daisy. Begitu melihat keadaan mereka, Nenek Daisy langsung cicitcuit blablabla tentang mereka berdua yang kotor. Daisy dan Mailo malah bisik-bisik dan tertawa-tertawa kecil. Senggol sana senggol sini, benar-benar kembali ke usia 17 tahun.
“Hai kalian dengar tidak?”
“Dengar…”
“Tidak…”
Mereka menjawab tidak kompak, Mailo bilang ’dengar’ sedangkan Daisy bilang ’tidak’. Dan hal ini membuat Nenek semakin cicitcuit blablabla.
“Nenek, bisakah kami mandi?” tanya Daisy yang seluruh badannya sudah gatal-gatal karena lumpur itu mengering.
“Jadi, kalian sedang apa berlama-lama disana? Cepat mandi, bau kalian sudah tidak sedap!” langsung saja Daisy dan Mailo berebutan kamar mandi. Yang akhirnya mendapatkan giliran pertama adalah Daisy. Dan Mailo harus menunggu giliran.
“Yah, curang kamu Dai!”
“Bodo!” dari dalam kamar mandi dia berteriak seperti itu.
“Hei Mailo, benarkah kamu dulu boneka sawah yang sering cucuku kunjungi?”
“Benar Nek, tapi Daisy kan hanya 2 kali mengunjungi aku?”
“Kenapa kamu bsia berubah jadi manusia? Bisakah kamu ceritakan pada Nenek?”
“Ha? Jadi Nenek belum tahu ceritanya ya?”
“Jangan dikira Nenek tidak tahu ceritanya ya! Hanya saja Nenek ingin tahu cerita yang sebenarnya.”
“Kalo gitu selama ini cerita yang Nenek dengar salah ya?”
“Sudahlah ceritakan saja!”
“Iya Nek…galak banget…seingat saya dulu karena Daisy Nek. Dia memandangi saya terus, saya tahu itu, dia tersenyum ke saya. Saya maunya balas senyum itu, tapi saya kan engga punya bibir dan hanya tersusun dari jerami kering saja. Jadi bagaimana cara saya untuk membalas senyumnya?”
“Yang Nenek tanyakan bukan itu! Yang Nenek tanyakan bagaimana caranya kamu bsia berubah dari jerami kering menjadi manusia?”
“Saya juga engga tahu Nek! Tiba-tiba saja saya bisa merasakan tanah, bisa berteriak, bisa menangis, dan Mama menemukan saya. Pinokio yang boneka kayu gitu aja bisa jadi manusia, mengapa saya boneka jerami tidak bisa jika Tuhan sudah berkehendak?”
“Ya kamu benar, jawaban itu yang saya minta.”
Mailo bingung dengan Nenek gaul yang satu ini. Bertanya tapi menerima begitu saja keterangan darinya.
“Lalu, kenapa Nenek tidak ikut dengan Daisy ke kota? Bukankah hidup disana lebih terjamin ya Nek?”
“Terjamin jika kita punya uang yang banyak. Jika tidak, kamu mau makan apa disana? Bahkan sampah pun kamu harus berebutan dengan pemulung dan gelandangan lainnya. Untung saja orang tua Daisy mempunyai kemampuan untuk mencari uang disana, jadi Daisy tidak perlu kesusahan hidup disana. Kamu patut mencontoh orang tua Daisy yang ulet dalam bekerja.”
“Daisy bilang jika orang tuanya jarang berada dirumah. Saya rasa dia membutuhkan perhatian Nek?”
“Tanpa kamu beritahu pun Nenek sudah tahu!”
“Mailo, giliranmu!” teriak Daisy dari kamarnya selama dikampung.
“Cepat mandi sana! Kamu membuat kotor rumahku!”
Mailo berlalu meninggalkan mereka.
“Nenek, tadi habis ngobrol sama Mailo ya? Ngomongin apa aja Nek?
“Tidak penting. Kenapa masih pakai handuk? Tidak sopan ada laki-laki disini kamu hanya membalut tubuhmu dengan sehelai handuk!”
“Habis aku tidak tahu harus pakai pakaian yang mana Nek! Terlalu banyak baju Ibu yang ada di atas tempat tidur..”
“Sudahlah pilih salah satu saja! Memilih begitu saja kamu tidak bisa. Pikirkan bagaimana jika kamu dihadapkan pada 2 pilihan yang sulit?”
“Ah Nenek sukanya berandai-andai aja nih! Ya sudah aku pilih saja deh!”
Daisy memilih pakaian yang sangat sederhana. Ternyata dulu Ibunya adalah seseorang yang energik. Tergambarkan sari pakaian yang ada hanya celana jeans dan kaos oblong. Tetapi pakaian itu kebesaran dibadan Daisy.
“Terima kasih ya Nek, sudah memperbolehkan aku numpang mandi disini ^.^” ucap Mailo.
“Pulanglah. Nanti Daisy akan menyusulmu.”
Daisy masih termenung dikamar. Menganggap semua ini mimpi, karena pinokio hanya dongeng sedangkan ini semua nyata dan dapat disentuh. Daisy menggeleng-gelengkan kepalanya berharap jika ini mimpi akan segera terbangun.
“Sedang apa kamu Dai? Mailo sedang menunggumu sarapan dirumahnya.”
“Eh Nenek, ngagetin aja! Ya ini udah mau kesana Nek! Dandan dikit biar keren! Heheh..”
“Jangan lupa bawakan untuk Nenek ya?”
“Ok, eh dari kemarin kok aku engga ngliat Kakek ya?”
“Dia sedang pergi menjual tanah.”
“Wow! Hebatnya Kakek hari gini jual tanah. Berapa duit Nek?”
“Banyak deh, cukup buat Kakek beli TV.”
“Wius, mau beli TV nih critanya?”
“Nenek ama Kakek biar gaul dong nonton TV. Sudah sana!”
“Ih aku diusir ama Nenekku sendiri!”
Daisy kemudian ngeloyor ke rumah Mailo. Dari luar saja sudah tercium aroma yang lezat dan harum.
Ah pasti Tante sedang masakan yang sangat enak…
“Dai, lama banget sih?” panggil Mailo yang sudah ganteng.
“Eh?” Daisy heran melihat pakaian Mailo seperti pakaian yang dijual dikota-kota.
“Kenapa sih? Engga perlu heran gitu. Omku yang kirim pakaian ini dari kota!”
“Eh? Kamu punya Om di kota? Siapa namanya? Apa pekerjaannya?”
“Punya dong! Dulu kan Mamaku lahirnya dikota! Lagian Mamaku punya banyak saudara dikota.”
“Eh, kamu belum jawab pertanyaanku!”
“Pamanku itu katanya seorang pengajar. Namanya Jono. Hehe? Aku juga heran namanya ndeso banget?”
“Hah? Jono siapa? Pasti punya nama lengkap kan?”
“Wah, Jono Hasibuan. Untung namanya bukan Jono Seribuan?! Kalo Seribuan mah murah amat yak? Hahahahah!”
“Eh?!” Daisy mengenal nama itu bahkan sangat familiar. “Bener tuh Jono Hasibuan? Engga salah kan? Kok kayak nama dosen kebumianku dikampus ya? Jangan-jangan orang yang sama lagi?”
“Jadi gurumu seorang Jono Hasibuankah? Kita tanya Mama yuk? Siapa tahu orang yang sama dengan yang kamu maksud?”
“Eh jangan!”
“Kenapa sih?”
“Jangan Mai…Pak Jono musuh besarku dikampus..”
“Wah, gimana ceritanya tuh? Ceritain dong?”
“Jadi itu…apa namanya…waktu dapet tugas buat peta buta, aku telat banget ngumpulnya. Aku ngaret 1,5 bulan. Bapaknya marah-marah sama aku di ruang dosen kebumian. Hehe, makanya sampai sekarang kalo ketemu bapaknya aku suka menghindar. Habis takut sih, serem. Kumisnya penuh semuka…”
“Hah? Kok kumis sih? Brewok kali namanya?”
“Iya itu maksudku! Benar yang itu ya orangnya?”
“Iya, pamanku memang brewokan. Tapi kalo kesini dia suka bawa oleh-oleh banyak! Nih salah satunya yang aku pakai.”
“Jika seperti itu, jangan ceritakan ya kalau kita berteman? Nanti bisa-bisa kamu dilarang temenan lagi sama aku?”
“Hahaha, engga ada hubungannya kali Dai! Lagian kamu ini pake baju siapa sih? Kedodoran gitu?”
“Ini dulu baju Ibu aku..Nenek masih menyimpannya. Bagaimana? Cocok kan?”
“Cocok apanya? Yang ada kamu tenggelam pake baju itu…liat celananya. Melorot kan?”
“Ih, kamu ini memperhatikan aja sih? Udah ah yuk sarapan? Laper niih…”
***
Malam hari mereka sedang berada di atap rumah Mailo melihat bintang-bintang yang berkerlipan diatas sana.
“Hei, Dai…kamu tahu tidak?”
“Apa?”
“Sewaktu aku masih menjadi boneka sawah dulu, setiap malam aku melihat bintang-bintang ini menari.”
“Oya? Bagaimana jika bintang itu sedang menari?”
“Seperti peri, membuat bulatan atau spiral diangkasa sana. Sangat indah, seandainya malam itu kamu ada bersamaku..”
“Memangnya kenapa?”
“Akan kuajak kamu menari juga.”
“Tapi..bagaimana caranya Mai? Dulu kan kamu tidak memiliki tangan dan kaki?”
“Oiya, aku lupa.”
“Mai, bagaimana jika besok aku ajak kamu jalan-jalan ke kota?”
“Benarkah? Lalu aku meninggalkan Mamaku sendirian begitu?”
“Jika kamu ingin, ajaklah. Aku sama sekali tidak keberatan kok.”
“Aku ingin sekali membahagiakan Mamaku. Meskipun dia bukan orang tua kandungku, tapi semenjak kecil aku sudah dirawat olehnya.”
“Iya, aku mengerti Mai. Sayang ya Ibuku tidak seperhatian itu…bahkan aku tidak tahu dia sekarang berada dimana.”
“Iya kah? Hubungan kalian rupanya renggang, benar kan?”
“Benar sekali. Sekarang rumahku pasti kosong…hanya ada 2 pembantu yang aku suruh menunggu disana sampai aku pulang.”
“Jika kamu ingin pulang, pulanglah.”
“Tidak Mai, belum 24 jam aku bersamamu disini. Bagaimana jika kita berdua berkeliling dunia? Ide gila yang ok kan?”
“Aku suka ide gilamu. Kamu serius nih?”
“Eh? Aduh, aku juga pengen keliling dunia. Tapi kan perlu duit, jangan dikira murah Mai. Kalo kamu sendiri inginnya apa?”
“Aku? Apa ya? Aku sendiri tidak pernah memikirkan itu Dai. Tapi yang aku ingin sekarang hanya senang-senang bersamamu. Aku ingin menebus waktu kita yang hilang.”
“Yap! Aku setuju, maka dari itu…dikota banyak sekali permainan seru. Tidakkah kamu ingin mencobanya?”
“Oya? Aku ingin tahu sih…tapi berbahaya tidak?”
“Sangat berbahaya!” Daisy mengagetkan Mailo dengan meneriakinya.
“Uh, engga jadi deh…!”
“Hahahaha! Bercanda kali Mai! Biar seru aja aku ngagetin kamu! Maaf!”
“Dasar kamu ini, engga lucu ah!”
“Coba ya besok? Mau engga?”
“Tapi Mama diajak kan?”
“Ya itu sih tergantung Mama kamu mau ikut apa engga? Kalo engga mau jangan dipaksa juga kali.”
“Iya deh, besok pagi aku coba ajakin.”
“Ntar kalo kamu udah dikota pasti tambah ganteng!”
“Lho kok gitu?”
“Ya iyalah, ntar aku mau make over kamu. Biar kamu dapet cewek cantik disana.”
“Eh? Engga ah, aku engga mau pacaran. Ntar kalo aku udah sibuk sama barang baru kamunya aku lupain lagi? Aku engga mau ah!”
“Hihihi, beneran engga mau Mai?”
“Engga ah!”
“Ya udah, bagus deh kalo gitu?”
“Kok bagus? Apanya yang bagus?”
“Sama, aku juga engga nyari pacar dikota. Nanti kalo ada yang baru, kamu mau aku lupain lagi? Hahaha, ya ga?”
“Ah, kamu mah Cuma bisa niruin kata-kataku aja! Ga kreatif!”
“Maaf, aku kan cuman bercanda! Kamu beneran mau nih ke kota? Aku sih lebih suka disini, hanya saja disini tidak ada toko kelontong, jadi biasanya jika Mamamu belanja jauh dari sini ya?”
“Iya, aku sih tidak pernah ikut. Aku harus jaga rumah Dai. Aku ingin sekali ke kota, melihat seperti apa kehidupanmu disana. Lagi pula aku ingin sekali melihat tempat dimana kamu menuntut ilmu.”
Daisy masih asyik melihat langit yang indah itu. Dia teringat akan keinginannya menjadi astronot dikala ia kecil. Bermimpi bisa mengambil bintang-bintang itu dan ia berikan kepada orang-orang yang disayangi.
“Mai, dulu aku pengen jadi astronot lho! Tapi sepertinya itu tak akan pernah terwujud. Padahal aku ingin sekali mengambil bintang untuk aku bagikan kepada orang yang aku sayangi…”
“Kenapa? Padahal astronot kan keren? Aku juga mau kalo jadi astronot.”
“Nanti aku kelamaan disana lupa deh sama kamu disini. Aku rasa ini sudah tengah malam. Antarkan aku pulang yuk? Aku sudah ngantuk nih.”
“Oke.”
Daisy turun dari atap secara perlahan takut membuat gaduh dan mengganggu Tante yang sedang istirahat. Daisy dan Mailo memang teman sejati yang hobinya sama. Lambat laun rupanya Daisy bisa menerima kisah fantasi Mailo. Mereka langsung akrab walau baru bertemu kemarin. Dan Daisy tidak ingin keakraban ini berlangsung singkat.
Keesokan paginya ternyata Tante tidak bisa ikut ke kota karena sedang tidak enak badan. Terpaksa Mailo meninggakan Mamanya sendirian dirumah. Setelah mereka pamitan dengan Nenek dan juga Tante, mereka langsung menuju ke kota. Tujuan pertama adalah rumah Daisy, karena selama dikota Mailo akan menginap dirumah Daisy. Tujuan kedua adalah meng-make over Mailo agar terlihat lebih oke. Tujuan ketiga adalah mall, belanja baju untuk Mailo dan Mamanya. Tujuan ke empat adalah blablablabla, Daisy terus menyusun rencana itu dalam benaknya yang belum tentu semua itu berjalan lancar.
“Dai, kamu kok diem aja sih dari tadi? Ngomong apa kek gitu biar engga bosan?”
“Kamu bosan? Bagaimana jika kita mendengarkan lagu saja?”
Daisy mengambil CD musiknya dari dalam dashboard. Yang diambil adalah CD milik Lene Marline.
“Eh? Banyak banget Dai koleksimu?”
“Aku tidak bisa hidup tanpa musik. Coba bayangkan jika di dunia seluas ini tidak ada musik. Hidup akan terasa sangat datar.”
“Aku juga ingin yang seperti itu.”
“Ok, kita akan temukan selera musikmu di toko CD nanti. Kamu sabar ya, kita akan lakukan semuanya di kota nanti.”
Mailo mulai terbawa irama, dia menggoyangkan tubuhnya, menjentikkan jarinya, dan mulai bergumam. Daisy yang melihat itu senang karena Mailo bisa merasakan sentuhan feel musik yang tidak biasa ia dengar. Seolah mereka asyik berdua, Daisy sudah tidak memikirkan hal yang lain. Daisy merasa sudah menemukan belahan jiwanya disini, Mailo. Mereka bagai pinang dibelah dua, selalu ingin kompak walaupun mereka bukan saudara kembar. Larut dalam bahagia, Daisy dan Mailo.
Perjalanan yang melelahkan mereka tempuh dengan ringan sehingga mereka tak menyadari jika sudah tiba di kota yang sangat besar yang hanya dipenuhi gedung pencakar langit.
“Daisy, ini yang namanya kota? Kenapa tidak ada penghijauan sama sekali?”
“Inilah kota Mai. Semuanya raksasa beton, tapi kamu tenang saja. Disisi lain kota ini masih menyimpan taman yang sangat indah. Aku janji akan membawamu kesana cepat atau lambat. Sekarang kita pulang saja dulu ya, aku capek nih dari kampung ke kota jauh banget. Sepertinya aku tidak enak badan. Tenggorokanku sakit.”
“Minumlah air putih yang banyak Dai. Jadi, sekarang kita ke rumahmu?”
“Iya. Dan aku lebih sering menghabiskan waktuku di rumah pribadiku.”
“Jadi kamu punya 2 rumah begitu?”
“Tidak, aku hanya punya satu. Yang lagi satu orang tuaku yang punya.”
Mereka memasuki sebuah perumahan elit yang membuat Mailo menganga melihat rumah yang seperti supermarket itu.
“Jadi rumahmu sebesar itu Dai?”
“Hahhaha, tidak juga. Ini masih yang tipe kecil. Rumahku masih jauh dibelakang Mai. Jika kamu mau, aku bisa belikan satu untuk Mamamu?”
“Tidak perlu Dai, aku dan Mama sangat suka tinggal dipinggiran kota..”
Maka masuklah mereka kedalam sebuah garasi yang besar yang berisi 3 mobil mewah di dalamnya.
“Dai, mobil kamu semua?”
“Hahaha, engga juga. Tapi sering aku pakai kok. Pak Maman, tolong mobil saya yang ini diservis ya? Remnya engga main nih.”
“Iya Non. Besok ya ini sudah pada tutup tempat servisnya?”
“Ok Pak!”
“Itu siapa Dai?”
“Yang jaga rumah Mai. Kalo aku lagi pergi seperti kemarin, Bapak itu yang jagain. Dia juga tinggal disini kok. Sekarang aku antar kamu ke kamar ya?”
Daisy mengantar Mailo ke kamarnya.
“Jadi kamarku ini? Luas sekali? Kamarmu dimana Daisy?”
“Kamarku itu disana, pas diseberang kamarmu. Jadi jika malam-malam ingin memanggilku, kamu teriak saja ya. Nanti akan kubelikan kamu handphone. Ok?”
“Waduh, ngerepotin banget Dai? Handphone itu kan mahal, nanti uang kamu habis bagaimana? Nanti kamu dimarah lagi sama orang tuamu?”
“Santai aja Mai, aku kan udah kerja. Jadi aku bisa cari uang lagi buat ngeganti uang hapemu. Ok? Besok pagi bangunkan aku jika kamu bangun terlebih dahulu ya…aku capek banget nih mau bobo dulu. Kamu juga istirahat ya Mai. Selamat malam.”
Mailo masuk kedalam kamar barunya, dia sangat tidak menyangka jika Daisy adalah seorang yang mandiri. Tidak seperti dirinya yang masih tergantung Mamanya. Mailo mengelilingi kamar tersebut. Dia seperti sedang tidak berada disebuah kamar, dia merasa ada disebuah ruang keluarga yang besar. Ketika Mailo masuk ke dalam kamar mandi, bahkan ia merasa sedang berada di sebuah tempat pemandian. Bath-up yang lebar dan besar, shower yang panjang dan ada ruang sauna disana.
“Wow, jika aku bisa memberikan Mamaku kamar mandi seluas ini? Aku harus menjadi orang kaya terlebih dahulu…”
Mailo kembali ke belakang pintu kamar, mengintip dari balik korden jendela kamarnya. Dia melihat lampu kamar Daisy yang masih menyala kemudian berganti menjadi lampu yang lebih redup sinarnya. Dalam hatinya Mailo takut, takut jika suatu saat Daisy pergi meninggalkannya.
***
“Tok..tok..tok..tok..” Mailo mengetuk pintu kamar Daisy. Padahal ini masih jam 6 pagi dan rupanya Mailo tidak sabar untuk melihat wajah Daisy yang berantakan pagi ini.
“Sebentar…” sahut Daisy lemah disana.
“Dia pasti masih tidur didalam.” Ucap Mailo kepada dirinya sendiri.
Daisy membuka pintu dengan selimut tebal yang masih membungkus dirinya, “Aduh, ini jam berapa sih Mai? Rasanya aku baru saja tidur?”
“Ini sudah jam 6 pagi Dai. Memang biasanya kamu bangun jam berapa?”
“Jam 6? Pagi sekali…biasanya aku ke tempat kerja jam 8…masuk masuk deh, buka aja pintu kamarnya engga apa-apa…aku mandi dulu ya?”
Kata Daisy ingin mandi, tapi dia tergoda untuk tidur kembali. Maka dia kembali ke atas tempat tidur.
“Eh? Lho kok….katanya mau mandi tapi kenapa balik lagi ke tempat tidur Dai?”
“Bentar deh … 5 menit aja, key?”
“Ayo dong bangun Dai, aku pengen liat kota pagi hari..”
“Jangan Mai, percuma macet tau…”
“Setidaknya kita bisa lari pagi, iya kan?”
“Aduh..aku engga suka lari…”
Mailo memaksa Daisy bangun dan menyeretnya hingga Daisy terjatuh dari tempat tidurnya. Karena Daisy merasa Mailo mengganggu, maka di ruangan itu terjadilah perang bantal-guling. Bantal itu melayang kesana kemari, membuat kamar Daisy berantakan. Wajah Daisy yang kusam itu pun menjadi penuh canda dan tawa. Mereka layaknya anak kecil umur 12-13 tahun yang sedang asyik bermain perang bantal. Dan memang itu tujuan Mailo, melaksanakan apa yang belum terlaksana disaat dia masih kecil.
Bantal-bantal dan guling itu mengenai kepala mereka, dari tangan Mailo berpindah ke tangan Daisy. Mereka melakukan hal itu selama 15 menit dan disambung dengan kejar-kejaran berkeliling rumah. Berlari dari ruang TV dilantai 2 sampai berlari ke gudang di basement, sampai kembali lagi ke kamar Daisy.
“Stop…stop Mai…capek nih!”
“Katanya engga suka lari…tapi ngejar aku juga?”
“Habis! Kan kamu duluan yang mulai?”
Pelayan Daisy berlari tergopoh-gopoh menuju kamarnya, “Non, ini ada telepon dari Tuan dan Nyonya.”
“Oh, makasi ya Pak!” Lalu Daisy menerima telepon wireless itu, “Halo?”
Daisy menjauh dari Mailo, wajahnya tampak murung menerima telepon itu. Yang terdengar hanya jawaban “Iya…iya…Bye.” Lalu hubungan telepon itu terputus dan Daisy membanting telepon itu ke tempat tidur.
“Kamu oke Dai?”
“Mereka engga pulang lagi. Aku kira telepon pagi ini akan membawa berita gembira. Ternyata sama dengan telepon-telepon yang lalu.”
“Kalau boleh aku tahu, mereka ada dimana?”
“Kuala Lumpur, entahlah sedang apa aku juga tidak tahu. Mereka disana mungkin untuk mengejar popularitas? Mereka pernah masuk dalam majalah bisnis, sewaktu aku baca artikel tentang mereka, aku sangat kecewa. Mereka berbohong, mereka bilang mereka mengurus anaknya dengan sangat baik, selalu ada buat dia dan tidak pernah membuat anaknya kecewa.”
“Mungkin mereka tidak ingin dicap sebagai orang tua yang jelek?”
“Pasti mereka ingin sempurna di depan orang lain, ah sudahlah…ada atau tidak ada mereka toh sama saja bagiku…kan sekarang ada kamu disamping aku?” kemudian Daisy tersenyum sama seperti pada saat ia tersenyum pertama kali untuk Mailo.
“Nah, tersenyum gitu baru manis! Jadi ingat senyum pertamamu untukku?”
“Kamu masih ingat jelas ya ketika aku tersenyum padamu dulu?”
“Masih sangat ingat, seperti baru kemarin. Ayo mandi, dan rencanakan kegiatan untuk hari ini.”
Daisy sudah siap untuk hari ini, begitu juga dengan Mailo yang sudah wangi. Mailo keluar rumah untuk mencari udara segar. Tetapi udara pagi ini tidak sesegar dikampung, udara ini sudah bercampur dengan toxin alias racun dari kendaraan besar dijalan raya sana. Bahkan Daisy sudah disiapkan mobil untuk pergi hari ini, dan lebih hebatnya bukan mobil yang kemarin dipakai olehnya.
“Mailo? Aku lapar! Dan dirumah tidak ada makanan!”
“Makan diluar bagaimana Dai? Biasanya kamu bagaimana?”
“Biasanya aku makan dirumah orang tuaku, itu pun jika mereka ada dirumah sepagi ini. Kalau tidak ya tidak makan?”
“Kamu sering tidak makan? Pantas saja waktu Mama masak kemarin kamu lahap sekali? Dan pantas saja kamu kurus banget? Kayak lidi tau!”
“Ya udah, mumpung ada kamu disini…aku ajak kamu makan diluar saja bagaimana?”
“Dari tadi juga aku bilang gitu kan? Makan apa nih? Kamu suka makanan apa Dai?”
“Hmm apa ya? Aku tidak tau tempat makan yang enak sih? Sambil jalan aja kali ketemu ya?”
“Okelah, sesukamu.”
Mereka langsung pergi pagi itu dan Daisy mengajak Mailo makan di kaki lima akhirnya. Mereka makan gado-gado dan itu adalah sarapan yang bagus untuk pagi hari karena isinya adalah sayur. Mailo yang sangat suka sayur malah ingin mencoba salad katanya. Daisy agak ngeri mendengar kata salad karena dia tidak suka dengan saus salad. “Salad? Uh! Aku tidak suka dengan sausnya.” Setelah perut terisi dengan cukup, mereka melanjutkan perjalanan, ternyata Daisy mengajak Mailo ke sebuah salon di tengah kota.
“Selamat pagi..oh Daisy rupanya…apa kabar jenk?” sapa seorang di dalam salon itu lalu mereka cipika cipiki.
“Eh, baik-baik gue. Eh ini gue bawa temen gue dari kampung, kira-kira di rombak kayak apa ya biar gantengnya keliatan?”
Banci itu berjalan mengelilingi Mailo, “Aduh nek, ini mah disulap dikit aja udah jadi…ini beneran temen loe apa cowok loe sih?”
“Hahah! Ah pikiran lu cowok melulu..ini temen gue asli! Eh sekalian nih gue mau creambath ya bo’!”
“Oke nek…ini temen lu, lu maunya apain?”
“Aduh diapain ya? Gue ga ngerti deh bo’ kalo soal cowok beginian, kan elo yang lebih ngerti?”
“Ya udah deh, gue rapiin dikit aja kali ya neeekkk…capcuss!”
Banci itu memangkas sedikit rambut Mailo yang jelek, sebenarnya ini sangat alamiah. Mailo hanya facial dan sekarang wajahnya tampak lebih bersih dari pada beberapa menit yang lalu. Sedangkan Daisy masih sibuk dengan rambutnya. Ternyata ini lebih lama dari perkiraan, karena Daisy ingin mengubah warna rambutnya menjadi warna violet. Terpaksa yang harus menunggu lama adalah Mailo. Dia merasa mabok berada di dalam salon itu karena dia tidak tahan aromanya.
“Mailo, maaf lama ya? Kamu engga tahan sama baunya ya? Aku juga!”
“Trus kenapa kamu lama sekali?”
“Ya ini mewarnai rambut kan memang butuh waktu yang agak lama..sebentar ya aku ke bayar tagihannya dulu.”
Sementara Daisy sedang membayar tagihan, Mailo keluar untuk mencari udara. Ternyata udara diluar sangat buruk.
“Mai, sekarang waktunya kita belanja! It’s time for shopping!” mungkin karena senangnya Daisy tidak sadar menggandeng Mailo.
Karena Daisy menganggap baju-baju di distro lebih murah, dia akhirnya berbelanja di distro milik temannya. Pemilik distro itu adalah seorang penyuka sesama jenis, dan saat Mailo didekati oleh Tom, dia merasa aneh.
“Kamu, apanya Daisy?” tanya Tom perlahan mulai meraba Mailo.
Mailo merinding, dia langsung menjaga jarak dengan Tom.
“Kalo aku temannya, memangnya kenapa?”
Daisy yang melihatnya mendekati Tom, “Hhaha, Tom jangan yang ini!” kedip Daisy nakal kepada Tom.
“Hhm, gue ngerti Dai!” Tom kembali ke balik meja kasir.
Kemudian Mailo berbisik ke Daisy, “Itu…”
“Iya Mai, jangan deket-deket ama dia…bahaya…”
“Kok bisa?”
“Hahaha, aku engga tau…nih coba, pas apa engga?” Daisy memberikan beberapa setel pakaian untuk Mailo.
“Ini semuanya harus dicoba?”
“Yap, aku tunggu disini. Itu ruang gantinya, aku pastikan Tom tidak akan mengintip!”
3 menit kemudian Mailo keluar ruang ganti dengan setelan pakaian yang pertama. Daisy memberi 2 jempolnya sekaligus, dan itu semua berulang sampai 6 kali. Karena Daisy memberi 6 pasang setelan pakaian yang harus dicoba Mailo.
“Thank you ya Dai, kapan-kapan boleh tuh dikenalin?” ucap Tom sambil melempar pandangan ke arah Mailo.
“Not for this one! Eh, barang-barang lu banyak yang basi. Di toko seberang gue liat ada yang gress.”
Tom langsung kelimpungan karena barang-barangnya udah over limited time, dia langsung memesan baju yang sedang in.
“Sekarang makan siang Dai?”
“Kamu lapar? Aku sih belum..aku bisa langsung makan malam..”
“Okelah, bagus…tapi tidak untuk kamu yang sekurus ini. Bagaimana jika nasi kita ganti dengan kue?”
“Boleh juga, nah kalo toko kue aku tau tempat yang oke punya, kita kesana ya?”
“Ayok!”
Toko kue itu kecil, tapi dalamnya penuh dengan aroma yang harum. Ternyata toko kue itu adalah salah satu aset perusahaan yang dimiliki oleh ibunya dan sedang dikelola oleh tantenya kini. Tentu saja Daisy gratis belanja seumur hidup disana.
“Tante? Apa kabar?” sapa Daisy ditengah-tengah kesibukan Tantenya yang sedang membuat kue pengantin.
“Hai Daisy apa kabar? Kamu kemana aja? Kenapa engga pernah muncul? Owh, rupanya karena ini?” Tante melirik Mailo.
“Haha! Bukan Tante, ini teman aku dari kampung..namanya Mailo.”
“Oh hai Mailo, sudah lama ya berteman dengan Daisy?”
“Iya Tante, tapi baru ketemu sekarang.”
“Kamu kenal dengan nenek Daisy? Dia cerewet, benar tidak?”
“Iya Tante, saya pernah diceramahin sama Beliau.”
“Sudahlah Tante, kapan-kapan aku ajak Mailo ke rumah Tante. Aku boleh kan mengambil beberapa kue disini?”
“Kamu selalu saja tau yang sedang gratisan. Ambillah, tapi jangan banyak-banyak ya!”
“Asyik!” Daisy bertepuk tangan seperti anak kecil yang mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.
Mailo memegang sebuah kotak kue dan Daisy asik mengambil kue yang ia inginkan. Tapi Mailo menolak kue dengan rasa coklat, karena dia benci sekali dengan coklat. Dia lebih memilih kue rasa stroberi yang lembut dan manis.
“Sudah cukup Dai, ini sudah banyak sekali. Perutku tidak akan muat makan segini banyaknya!”
“Ah, sisanya berikan padaku! Aku bisa makan 10 roti.”
“Eh? Tapi kamu kok engga gemuk juga? Padahal kan roti selai begini cepat bikin gendut?”
“Aku jarang sih makan roti selai buatan Tanteku ini!”
Melihat keceriaan Daisy, Mailo semakin takut jika suatu hari dia kehilangan sosok ceria Daisy.
Tuhan, tolong jangan biarkan aku kehilangan senyum manisnya. Tegakah Kamu melihatnya sedih lalu menangis? Bahkan aku tak bisa bayangkan jika dia sedang menangis. Aku tidak ingin kehilangannya, aku masih ingin membuat Mamaku bahagia, walaupun dia bukan orang tua kandungku. Tuhan, aku tahu Kamu dengarkan doa ini…
“Mai? Mai kok ngelamun sih?” Daisy melihat Mailo melamun menatap dirinya.
“Tidak, aku hanya senang melihat kamu senang sekarang.”
“Oh, kirain kamu sedang ingin kue yang aku pegang ini?”
“Tidak Dai, aku cukup dengan 3 yang ini saja. Akan kita makan dimana kue-kue ini?”
“Kita ke taman kota saja, kurasa disana tempat yang enak untuk istirahat? Tante, aku ambil kue yang ini-ini saja ya…aku pamit ya Tante. Semoga berhasil buat kue pengantinnya!”
“Tante, permisi ya…maaf sudah merampok.”
“Hati-hati dijalan Dai!”
Taman kota siang ini lengang, tak tampak banyak pasangan seperti biasanya. Mungkin karena panas terlalu menyengat siang ini.
“Kok sepi Dai?”
“Engga tahu nih, biasanya juga rame. Ya udahlah, mumpung sepi enak nih kita makan kue, engga ada yang ngiler.”
Daisy langsung membuka kotak kue yang Mailo banyak, belum Mailo mengambil kue yang ingin dimakan, Daisy sudah langsung melahap kuenya setengah bagian. Melihat Daisy yang ceria, Mailo semakin takut.
“Kamu kenapa Mai, tidak suka ya aku ajak jalan-jalan ke kota hari ini? Masih banyak lho tempat yang belum kita kunjungi?”
“Bukan begitu Dai,……lupakan.”
“Hm? Apa yang sedang kamu pikirkan Mai? Bolehkah aku tau itu?”
“Aku sedang memikirkan bagaimana kamu menghabiskan roti sebanyak ini dalam waktu sekejap.”
Daisy diam lalu tertawa terbahak-bahak sampai matanya basah, “Jadi…dari toko kue tadi yang ada di pikiranmu hanya itu Mai?” Daisy kembali melanjutkan tawanya.
“Hei Dai, Dai! Jangan tertawa seperti itu..biasanya jika kamu tertawa berlebihan didepan nanti akan ada kesusahan yang membuatmu menangis seperti tawamu yang sekarang ini.”
“Oya? Masa’ sih? Kamu pernah seperti itu ya?”
“Bukan aku tapi Mama. Sama seperti kamu gini, beberapa harinya langsung kena masalah. Jadi usahakan tertawa yang normal saja.”
“Apakah tadi aku berlebihan?”
“Iya Dai, aku engga tanggung ya jika besok atau lusa kamu tertimpa masalah?”
“Ih, jangan gitu dong? Bikin takut aja kamu, ntar kalo yang kenapa-kenapa kamu gimana?”
“Ya…makan aja deh tuh roti!” Mailo langsung melahap roti pilihannya.
Mereka makan roti dalam diam, sayup-sayup terdengar suara daun bergesek menemani diam mereka. Mailo tidak tahu apa yang sedang Daisy pikirkan saat mengunyah roti itu dengan cepat. Sedangkan dia perlahan-lahan merasakan roti itu hancur didalam mulutnya. Yang jelas saat ini Mailo sangat takut jika tiba-tiba Tuhan merubahnya menjadi boneka sawah lagi.
“Mai, kamu tau apa yang aku pikirkan?” tanya Daisy ditengah-tengah kunyahan rotinya. “Apakah kamu mau tau?”
“Katakan Dai..”
“Aku sedang membayangkan kita sedang berkeliling dunia. Pertama kita ke Jepang, melihat bunga sakura yang indah sedang bermekaran dimana-mana. Kedua, aku sedang membayangkan kita pergi ke Cina menyusuri panjangnya tembok raksasa dan aku sangat penasaran ujung tembok tersebut. Ketiga, aku sedang membayangkan kita sedang pergi ke Mesir, melihat dari dekat piramida yang eksotis itu dan melihat makam raja Firaun disana. Keempat…”
“Jangan terbang terlalu tinggi Dai, jika kamu jatuh itu akan sakit sekali.”
“Lalu, haruskah aku mengubur semua mimpi itu? Padahal aku sudah sangat lama menunggu saat-saat seperti ini, aku harap kamu mengerti dengan semua impianku. Dan aku juga tidak tahu mengapa semua orang menyuruh aku untuk tidak berharap terlalu tinggi.”
“Pernahkah kamu mendengar cerita si bongkok dari Notredame? Atau si punguk merindukan bulan? Seperti merekalah kamu Dai. Baik si bungkuk atau si punguk itu sama, mereka mengharapkan sesuatu yang mustahil dan mereka berharap terlalu tinggi, mereka berangan-angan terlalu tinggi. Ketika mereka tahu kenyataan yang ada, sakit hati mereka mengetahui keadaan yang sebenarnya dan bahkan mungkin untuk sebagian orang yang seperti itu saat mengetahui keadaan yang sebenarnya, mereka tidak akan bisa menerima sepenuhnya. Beberapa orang bunuh diri karena itu, beberapa lagi stress kemudian menjadi gila, dan beberapa yang lain mungkin lari dari kenyataan tersebut dengan jalan mereka masing-masing. Dan aku tidak mau itu terjadi padamu Dai..”
“Benar apa katamu Mai. Mungkin aku memang berlebihan dalam beberapa hal. Tapi apakah aku berlebihan dalam menyikapi sikap kedua orang tuaku? Selama ini aku menganggap mereka tak lebih dari penyumbang dana hidupku. Bahkan aku tidak tau semua uang yang mereka berikan itu halal atau tidak. Dan sebagian teman-teman kampusku sebal padaku karena kata mereka sifatku seperti ABG umur 17 tahun yang selalu urakan dan tidak pernah menuruti aturan. Lalu aku bangga menjadi itu. Apakah itu berlebihan?”
“Mungkin mereka memang sibuk Dai. Bukan maksud ingin mencampakkan kamu, mungkin mereka terlalu larut dalam pekerjaan mereka. Bagaimana pun mereka punya tanggung jawab yang harus diselesaikan segera. Dan masalah teman-teman kampus seharusnya kamu tidak usah terlalu dipikirkan. Karena yang terpenting adalah menjadi dirimu sendiri. Jika seorang teman yang baik itu selalu menerima kekuranganmu dibanding kelebihanmu. Karena tujuan Tuhan menciptakan seorang teman itu adalah untuk menerima utuh keadaan kita. Jadi, seorang teman yang baik tidak akan membuatmu sedih, dan tidak pernah membuatmu marah. Dia selalu ada disamping kamu disaat kamu perlu atau tidak. Dia akan selalu menemani kamu dalam keadaan apa pun. Dia akan marah jika kamu melakukan sesuatu yang salah, dia akan sedih jika kamu mencampakkannya, dia akan senang jika kamu juga senang, dia akan merasakan apa yang kamu rasakan.”
Daisy takjub mendengar pernyataan dari Mailo, Daisy pikir Mailo tidak akan tahu sejauh itu karena Daisy merasa tidak pernah ada disamping Mailo ketika dia membutuhkannya. Karena Daisy tidak pernah tahu apa yang Mailo rasakan ketika dirinya tidak percaya tentang kisah sahabatnya itu. Daisy merasa bersalah kepada Mailo karena dia bukanlah seorang teman yang baik buat Mailo. Karena ia perlahan mulai sadar, membahagiakan Mailo bukan dengan uang yang ia punya walau itu hanya lima ratus perak. Dan itu tidak akan pernah bisa mengganti kebahagiaan yang selama ini hilang dari Mailo, yaitu dirinya.
“Kamu mengerti sekarang?” tanya Mailo untuk memastikan.
Entah kenapa Daisy langsung bergeming dan menangis. Baru kali ini dia memberanikan diri untuk memeluk sahabatnya itu, mungkin dia merasa jika selama ini selalu menjadi orang yang naif dan tidak menjadi dirinya sendiri.
“Mailoo…” Daisy tersedu.
“Hhahaha! Sudahlah, jangan berlebihan. Barusan dibilangin…”
Daisy menghapus airmatanya lalu tersenyum indah, “Terima kasih Mailo, aku sayang kamu sahabatku!”
“Iya Dai, aku juga sayang kamu..ayo makan lagi rotinya? Aku tau kamu masih sangat ingin melahap roti ini.”
“Aku rasa kamu ingin menyampaikan sesuatu. Iya kan? Katakan saja. Jangan ada rahasia di antara kita Mai.”
“Tidak Dai, aku rasa aku tidak perlu menyampaikan hal ini kepadamu.”
Tapi raut wajah Daisy memaksa Mailo untuk mengatakannya.
“Baiklah, tapi jangan bayangkan yang lebih dari ini ya!”
“Apaan sih emangnya?”
“Dalam diam tadi aku hanya sedang berdoa.”
“Oya? Apa?”
“Aku berdoa agar bisa terus bersamamu. Sejujurnya aku sedang takut akan suatu hal…aku takut jika suatu hari aku…aku takut jika suatu hari Tuhan mengambilmu dariku.”
Daisy menggeleng keras, “Apakah Tuhan sanggup menyiksa aku lagi? Apakah Tuhan rela melihat aku sebatang kara? Aku rasa tidak Mai, Tuhan sudah lelah melihat aku yang seperti ini.”
“Jika Tuhan berkehendak, terjadilah Dai.”
Mereka terlibat dalam suatu pandangan yang serius.
“Dan bagaimana jika itu terjadi? Aku akan menjadikan diriku seperti dirimu. Karena teman yang baik adalah ada disaat sahabatnya sedang susah, dan aku akan berada disamping kamu. Aku tidak peduli panas, aku tidak takut hujan petir, aku tidak goyah dengan badai topan, dan aku tidak takut gelap. Aku selalu ada berdiri disamping kamu, membawakan payung untukmu ketika hujan datang dan disaat panas aku akan tetap buka payung itu untuk melindungimu dari sinar matahari. Ketika dingin merasuk, aku akan bawakan selimut tebal untuk membalut tubuhmu yang rapuh. Dan saat angin menyapa, aku akan bawakan syal untuk aku kalungkan di lehermu. Ketika kamu terlalu kering aku akan siramkan sedikit air untuk menjagamu tetap lembap. Ketika ada burung yang bertengger, aku akan mengusirnya dan mengatakan jika dia tidak boleh menghinggapi kepala sahabatku. Dan ketika kamu mulai rubuh, aku akan membuatmu kembali berdiri tegak menghadapi semua rintangan yang ada. Jika perlu aku akan membuatkanmu sebuah gubuk kecil untuk melindungimu dari semua hal yang tidak diinginkan. Apakah itu sesuatu yang berlebihan? Aku rasa tidak.”
Mailo menghela napas panjang, ternyata ini Daisy? Inikah Daisyku yang kekanak-kanakan? Aku ternyata telah salah menilainya..
“Kini kamu tau kan alasanku mengapa aku begitu tidak ingin jauh darimu?”
“Maaf jika aku sudah salah menilaimu.”
“Jadi jangan pernah sekali sekali berpikir seperti itu. Karena Tuhan pasti tidak akan mengubahmu kembali menjadi boneka sawah.”
Daisy kehilangan moodnya, perasaannya sedang kacau. Dia juga takut jika hal itu terjadi pada Mailo. Belum seminggu ia bersama dengan Mailo, tetapi dengan teganya Mailo bisa berpikiran seperti itu.
“Lalu apa artinya selama bertahun-tahun ini kita saling menunggu tetapi jika hasilnya kembali ke nol? Itu sama dengan tidak melakukan apa-apa.”
“Iya Dai, aku tidak akan mengulanginya.”
“Wajar aku sebagai teman yang baik marah mendengar hal ini. Dan sebaiknya hari ini kita cukupkan disini, aku perlu mengembalikan moodku yang hilang.”
Malam harinya Daisy menghabiskan waktu di depan komputer. Dia bermain game untuk menghilangkan suntuk karena kejadian tadi siang.
“Dai, masih marah sama aku?” tanya Mailo dari balik pintu kamarnya. “Kamu tidak lapar Dai?”
Daisy memegang perutnya, ternyata memang sedang kelaparan dan maag-nya kambuh.
“Masuk Mai, engga dikunci.”
Mailo membuka pintu kamar Daisy perlahan. “Kamu masih marah?”
“Engga kok Mai, Cuma masih agak sebel aja. Ntar juga ilang sendiri.”
“Kamu tidak lapar? Di depan ada dagang nasi goreng, kamu mau?”
“Aku engga suka nasi goreng Mai. Kalo kamu inginkan itu, silakan.”
“Engga ah Dai, aku tidak akan makan jika kamu tidak makan juga.”
“Ya udah, kita makan diluar aja ya?”
“Boleh, makan apaan nih Dai?”
“Makan bebek goreng aja yuk? Udah lama aku kepengen itu. Kita makan di pasar malam saja gimana?”
“Eh? Oke punya tuh, ayok kalo begitu?”
Daisy bersiap-siap untuk makan malam kali ini. Menu yang dipilih adalah bebek goreng yang biasa di jual di pasar malam atau kaki lima. Mereka malam ini keluar dengan menggunakan sepeda motor, berhubung kaki lima yang dimaksud hanya berjarak 1 km.
Mailo memarkir motornya dan lalu melihat hingar bingar pasar malam yang sangat ramai. Di kanan dan kiri ada berbagai macam pilihan makanan. Mulai dari martabak telur, martabak terang bulan, roti goreng sampai fried chiken. Tetapi pilihan mereka jatuh pada sebuah kedai yang menjual bebek goreng.
“Bu, bebek gorengnya satu ya..tapi yang jumbo! Jangan lupa sambal ama lalapannya ya Bu!” pesan Mailo.
“Aduh? Ternyata kamu doyan bebek goreng? Pernah makan emangnya Mai?”
“Sering dikampung. Lha? Kamu sendiri?”
“Nah, ini yang pertama kali. Hehe…”
Kurang dari setengah jam, bebek goreng itu sudah siap disantap di hadapan mereka. Pada hitungan ketiga mereka langsung menyerbu bebek jumbo itu. Balpbalpbalpbalp, kreskreskreskres, plaklplakplakplak sampai bersih yang tersisa hanya tulangnya saja. Nasi yang segunung itu pun tak tersisa.
“Haahh…rasanya perutku mau meledak!” keluh Mailo yang makan paling banyak.
“Makanya jangan rakus, mentang-mentang sering makan bebek jadi bebek kamu lama-lama!”
“Aduh, ga bisa berdiri nih..” kemudian Mailo bersendawa besar.
“Ih, kamu jorok!!” protes Daisy.
“Maaf, maaf…engga bisa ditahan nih! Harusnya kamu yang makan banyak. Biar ga krempeng kayak gitu Dai! Ini kok malah aku yang jadi kekenyangan?”
“Alah, kamu kira perutku masih ada peluang apa buat makanan yang lain? Ini juga udah penuh banget.”
“Tapi kamu engga lupa bawa uang kan buat bayar makanan ini?”
Daisy meraba saku celananya, dompetnya tebal.
“Santai, banyak uang nih…berapa nih Bu semuanya?”
Kemudian mereka kembali pulang dan menyusun rencana untuk esok hari. Tetapi lain halnya dengan yang dirasakan Mailo. Dia sangat takut jika dirinya berubah kembali menjadi boneka sawah. Mailo ingin sekali menghilangkan pikiran yang itu, tetapi rasa takutnya lebih besar.
***
“Mailo? Kamu sudah bangun? Ini sudah siang, apa kamu baik-baik saja?” Daisy memanggil Mailo dari luar kamarnya.
Cukup lama Mailo tak memberikan respon. Daisy mencoba masuk ke dalam kamarnya dan menemukan Mailo yang masih dibalik selimut tebal itu.
“Mai, kamu sakit?”
Mailo hanya mengangguk pelan. Daisy meletakkan tangannya di jidat Mailo dan memang suhu tubuhnya panas. Dan Mailo dipaksa ikut ke rumah sakit sekarang oleh Daisy.
“Engga perlu Dai, Cuma demam biasa kok! Besok juga udah sembuh…”
“Pokoknya kamu harus ke dokter sekarang. Aku engga mau kamu sakit dan merusak jadwal kita disini. Lagian kamu disini bukan untuk sakit kan?”
“Kamu saja yang merawat aku, bagaimana?”
“Tetap saja kamu itu harus ke dokter Mai! Kamu itu harus minum obat…udah sekarang bangun, duduklah. Aku akan membasuh mukamu dengan handuk hangat.”
Daisy mengambil baskom berisi air hangat, dia kemudian mencelupkan handuk kecil lalu memerasnya. Mailo yang tertunduk lemas itu hanya bisa melihat Daisy yang mengelap wajahnya penuh perhatian.
“Engga usah mandi, nanti kamu tambah sakit kena air.” Daisy lanjut membasuh kedua tangan dan kakinya.
“Kamu baik sekali Dai?”
“Ya udah seharusnya dong? Siapa lagi coba yang mau peduli sama kamu selain aku? Kan Cuma aku temanmu?”
“Makasi ya Daisy. Semoga Tuhan balas perbuatanmu. Lalu bagaimana caranya aku mengganti uangmu ke dokter ini?”
“Kamu udah kayak gini masih mikirin uang? Udahlah Mai, kamu itu terima beres aja dari aku. Asal ada aku semua beres kok! Okey..”
Sampai dirumah sakit ternyata pasien yang sedang demam sangat banyak dan Daisy mengantri mendapat urutan ke 34 dari 39 pasien yang sudah ada.
“Oh My God, sebanyak ini orang yang sakit?”
“Tidak apa kok Dai, aku tidak terlalu pusing. Tapi aku pengen muntah nih? Mual banget rasanya?”
“Pasti kamu masuk angin Mai. Semalam kan kamu yang bawa motornya? Makanya, udah aku bilang aku saja…”
“Tak apa Mai, aku kan juga udah lama engga ngerasain naik motor..”
“Oya? Sebelumnya kamu pernah naik motor?” mereka sedang duduk menunggu panggilan dari dokter pagi itu dirumah sakit yang ramai.
“Pernah hanya satu kali sewaktu aku terpaksa dan mendadak mengantar Mama ke klinik dekat rumah. Karena kondisi Mama tidak bisa berjalan, maka aku meminjam motor milik tetanggaku. Padahal jarak klinik kerumah hanya 100 meter.”
“Jika aku boleh tahu, Tante sakit apa Mai? Dia terlihat begitu bugar saat aku bertemu dengannya?”
“Mama pernah bilang padaku jika ia mengidap penyakit kanker rahim. Dan aku tidak tahu penyakit itu berbahaya atau tidak.”
“Astaga!” Daisy terkejut mendengarnya dan menutup mulut dengan jari-jarinya yang mungil. “Tidakkah kamu tahu Mai, itu kanker yang sangat berbahaya bagi seorang perempuan seperti ibumu! Apakah kalian pernah membawanya ke rumah sakit seperti ini? Atau mungkin memeriksakannya ke puskesmas?”
“Tidak pernah aku rasa Dai. Mama hanya minta diantarkan ke tabib yang terkenal di kampungnya, sempat beberapa kali aku mengantarkannya, dan aku tidak pernah bertanya hal itu kepada Mama, aku takut menyinggung perasaannya.”
“Kamu salah Mai! Tidak seharusnya Tante pergi ke tempat seperti itu!” Daisy menarik-narik jaket Mailo. Dia geram mendengarnya.
“Aku pernah tanyakan itu kepada Mama. Tetapi dia malah mengatakan, ’Mama sudah sehat Mailo, dan kamu tidak pernah tahu biaya dokter itu sangat mahal kan?’ lalu karena Mama sudah bilang seperti itu, ya sudah fikirku. Semua sudah aman, bukan begitu Dai?”
“Sebaiknya kamu harus tanyakan hal itu langsung ke ibumu. Kamu tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi ketika dia lebih mementingkan dirimu dibanding dirinya sendiri. Selagi ibumu masih ada, jangan pernah menganggap semua masalahnya selesai begitu saja. Seorang ibu sangat hebat menyembunyikan masalah terbesarnya dari anaknya. Maka dari itu, kamu harus bertanya padanya tentang kanker yang dideritanya. Karena jika penanganannya terlambat, maka kecil kemungkinannya untuk bisa sembuh dan bertahan hidup.” Daisy menerangkan hal itu, mungkin dia sedang teringat dengan ibu dari ayahnya yang meninggal akibat kanker otak.
“Benarkah Daisy? Bagaimana cara aku bisa menghubunginya sementara aku tidak memiliki handphone?”
“Ingatkah kamu dengan nomor handphonenya? Jika kamu ingat, kamu bisa menggunakan milikku sementara ini.” Daisy menyodorkan hapenya kepada Mailo. Mailo tidak langsung mengambilnya tapi malah merogoh dompetnya yang terletak disaku belakang celananya.
Mailo kemudian merogoh semua kantong-kantong kecil yang ada didompetnya. Satu persatu dia cek, “Mai, kamu menyimpan nomor hape ibumu dalam sebuah dompet?”
“Iya Dai, tapi aku juga sudah lupa. Masih ada atau tidak…karena yang memasukkannya adalah Mama, bukan aku. Bahkan aku tidak pernah mengambilnya.” Mailo masih sibuk mencarinya ketika dia dipanggil masuk oleh si dokter.
“Mai, kita cari nanti ya? Sudah giliranmu, aku akan mengantarkanmu kedalam dulu.”
Selama 20 menit didalam ruangan dokter, Daisy rupanya sedang berbicara 4 mata dengan Daisy dibalik tirai korden pemisah antara pasien yang berbaring dengan perawat yang sedang mengawasi dan memeriksa suhu tubuh Mailo. Mereka terlibat dalam percakapan yang serius.
“Nona Daisy, saya rasa teman Anda bukan terserang flu biasa.”
“Maaf, saya tidak paham dengan maksud Dokter. Bisa dijelaskan lagi?”
Dokter mendekatkan mulutnya ke telinga Daisy. “Dia itu bukan manusia ya? Ingusnya seperti air, bahkan ia tak memiliki amandel di tenggorokannya.” Daisy sempat tersinggung dengan ucapan dokter barusan. Ingin sekali dia memaki dokter udik itu, tetapi dia berusaha menahan emosinya.
Daisy tersenyum kecut, “Dokter mungkin salah periksa atau salah lihat. Saya rasa perawat itu memeriksanya dengan teliti?” Kemudian perawat mendekat dan mengatakan hal yang sama dengan si dokter udik itu. “Dokter, mungkin saya salah lihat—pasien tidak memiliki amandel dan ingusnya seperti air. Bening dan tidak berbau.”
Lalu dokter itu menatap Daisy seakan berkata, ’temanmu bukan manusia’.
“Bisa saja dia operasi amandel, iya kan?”
“Jika dioperasi, tidak akan semulus dan selicin itu.”
Karena Daisy sudah dibuat jengkel oleh dokter dan perawat itu, dia langsung meninggalkan ruang perawatan dan hanya menyerahkan 25 ribu di atas meja dokter. Dia langsung menyeret Mailo keluar, terheran-heran. Daisy membuka pintu mobil dan kemudian kembali menutupnya dengan sangat keras. Mailo yang melihat tingkah Daisy itu mendadak bingung. “Daisy, apakah kamu baik-baik saja?” Daisy diam, pandangannya kesal ke depan. Mailo ingin membuka jendela mobil tetapi Daisy melarangnya. “Jangan buka apa pun!!” teriak Daisy. Melihat itu, Mailo diam memandangi Daisy kemudian bertanya lagi. “Apa kamu sedang dalam masa pra-haid? Kamu berubah 180 derajat..”
Daisy memalingkan wajah ke Mailo, menatap Mailo dengan tajam dan menyuruh Mailo membuka mulutnya selebar mungkin. “Buka mulutmu lebar-lebar!” kemudian Daisy memeriksanya sendiri. Memang tidak ada amandel di dalam sana. Bahkan sangat bersih tidak seperti bekas operasi. “Kamu ingin buang ingus, Mai?” tanya Daisy yang mendengar banyak air di dalam hidung Mailo. “Sepertinya iya…” Daisy langsung mengambilkan tissue, setelah ingus terbuang dengan tidak jijik Daisy membuka kembali tissue yang sudah diremas-remas Mailo itu. Mailo sendiri jijik melihat sahabatnya ini menghirup aroma ingus itu. Tapi Daisy tidak mencium bau ingus seperti ingusnya saat ia pilek. Itu benar-benar air cair secair air mineral yang ia minum setiap pagi. Maka, Daisy merasa ada yang tidak beres dengan Mailo. Jangan-jangan ia tidak memiliki detak jantung? Pikir Daisy.
“Ada yang salah Dai? Kenapa kamu melakukan hal menjijikkan seperti itu?”
“Tidak Mai, aku baik-baik saja. Bahkan aku lebih baik dari pada keadaanmu sekarang ini. Merasa lebih baik? Maaf, kata dokter itu kamu tidak perlu minum obat. Karena ini hanya akibat angin malam saja. Kamu hanya perlu pijatan ringan.”
“Benarkah? Tapi aku masih merasa ingin muntah. Tidak adakah toilet di sekitar halaman parkir ini? Aku rasa sebentar lagi akan keluar.”
Daisy langsung membawa Mailo ke kamar mandi rumah sakit. Saat beberapa orang melihat mereka, mereka melihat dengan ekpresi yang aneh. Ada yang hanya memelototi mereka, bahkan sampai berbisik-bisik. Berkali-kali Daisy melihat dirinya, mungkin ada noda di pakaiannya, tetapi tidak ada. Sampai ia menunggu Mailo di dalam kamar mandi. Dia berkaca, melihat apakah ada yang salah dengan dirinya atau mungkin pakaian yang ia kenakan. Tapi ternyata tidak ada yang aneh pada dirinya sampai akhirnya Mailo selesai dengan itu semua. Daisy tidak memandangnya langsung, tetapi melalui cermin itu. Kepala Mailo dipenuhi dengan jerami kering, pendek-pendek tetapi banyak. Buru-buru ia memutar badan Mailo agar tidak menghadap ke cermin.
“Mailo, kamu harus menutup kepalamu dengan tudung jaketmu.”
“Memangnya kenapa Dai?”
“Tidak—em maksudku kamu tampak lebih pucat jika tidak memakai tudung jaket ini, lagi pula dikepalamu—bukan, dikepalamu—maksudku rambutmu terlihat sangat berantakan. Jadi sebaiknya di tutup dengan tudung jaket ini. Oke?”
“Baiklah jika itu membuatku terlihat lebih baik…”
Sampai mereke pulang ke rumah Daisy, Mailo langsung masuk ke kamarnya sedangkan Daisy berjalan mondar-mandir dikamarnya. Sampai Mailo berteriak-teriak dari dalam kamarnya. Daisy spontan langsung menuju ke kamar Mailo melihat apa yang terjadi. Bukan main, kamar itu dipenuhi dengan jerami yang berserakan.
“Daisy! Tidak—apa yang—tolong beritahu aku jika ini semua mimpi!!!”
Daisy sudah menangis dan menjerit melihat semua itu.
“Mailo!!” terdengar suara Daisy tiba-tiba memenuhi kepala Mailo. Dia bangun dengan terlonjak kaget, badannya penuh dengan keringat dan tempat tidurnya benar-benar berantakan. Rambutnya berdiri tidak karuan dan rupanya Mailo lupa mematikan pendingin ruangan semalam.
“Apakah kamu bermimpi buruk?” tanya Daisy. Kemudian Mailo menatap Daisy, dia melihat pakaian Daisy sama seperti pada mimpinya: setelan baju putih dengan hot pants hijau tua.
“Kepalaku berubah menjadi jerami. Semuanya berserakan disini, dikamarku! Kemudian aku tidak memiliki amandel, padahal aku tidak pernah operasi amandel, kemudian ingusku cair dan tidak berbau hanya seperti air mineral yang kamu minum setiap pagi.” Mailo memegangi kepalanya, menarik-narik rambutnya, takut jika rambutnya copot satu persatu menjadi jerami.
Daisy mencoba menenangkan Mailo dengan memeluknya. Kemudian mengatakan jika itu semua hanya mimpi buruk. “Tenang Mailo, itu hanya sebuah mimpi buruk yang tidak berarti.” Tapi Mailo masih mengatakan jika semua tadi seperti kenyataan. Kemarahan dan kegelisahan Daisy tampak asli.
“Aku memang dari tadi sudah memperhatikanmu tidur. Aku mengetuk pintu ini berkali-kali tapi tidak ada jawaban juga, aku kira kamu sakit. Kemudian aku masuk dan mendapatimu tidur dengan sangat nyenak. Jadi aku tidak berani membangunkanmu.”
Daisy melepas pelukannya, tetapi Mailo merengkuhnya kembali. “Aku benar-benar takut jika aku kembali lagi menjadi boneka sawah. Aku tidak sanggup melihatmu meneteskan air mata.” Daisy mengusap kepalanya dengan sangat lembut, “Tenang saja, kamu akan baik-baik saja selama aku ada disampingmu. Sudah kubilang kemarin, Tuhan tidak akan tega kepadaku. Ternyata bukan aku saja yang bermimpi buruk tentangmu. Tapi dirimu sendiri juga sama seperti aku.”
“Tapi aku sangat takut Dai. Sudah lama aku dibayang-bayangi oleh mimpi buruk itu. Bahkan disetiap detik keceriaan kita aku masih terbayang. Dan…,” Mailo mendesah panjang, “aku benar-benar tidak ingin kehilanganmu.”
Daisy melepas pelukannya kemudian menatap Mailo, “Dengarkan, semua itu tidak akan terjadi dan kamu akan tetap menjadi manusia yang baik seperti ini. Kamu bisa merasakan semua perasaan seperti aku; senang, gembira, sedih, menangis, tertawa, benci, suka, sebal, marah, kasihan, iba, sadis, kejam, bahkan cinta. Semua itu dimiliki manusia seperti kita—kamu dan aku saat ini. Paham?”
“Benar apa yang kamu katakan Dai. Mungkin aku hanya berlebihan belakangan ini mengingat Mama yang sendirian di rumah.”
“Jadi, kamu ingin menghubungi ibumu?”
“Ingin sekali, tapi kami tidak memiliki alat komunikasi.”
“Baiklah, jika hari ini kamu merasa sanggup aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Bagaimana Mailo?” Daisy mengusap pipi Mailo penuh dengan perhatian dan kasih sayang.
“Baiklah Dai, aku akan bersiap untukmu.” Mailo bangkit dari tempat tidurnya dan pergi menuju kamar mandi. Daisy yang masih di kamar Mailo malah terduduk bengong memikirkan betapa khawatirnya Mailo tidak ingin berpisahh dengan dirinya. Sebenarnya kebimbangan juga sudah mulai menyerang keyakinan Daisy. Yaitu tentang anggapan Mailo yang jika suatu saat dia kembali menjadi benda mati—boneka sawah yang diam tanpa ekspresi. Tanpa menyadarinya, Daisy menitihkan airmata.
&&&
Pukul 11 siang. Ternyata Daisy mengajak Mailo berkunjung ke sebuah gerai telepon genggam yang terkenal di kota. Untuk menghilangkan kecemasan Mailo akan ibunya, Daisy berinisatif membelikan Mailo 2 handphone sekaligus. “Pilih sesuka hatimu Mai. Pilihkan juga untuk ibumu.” Tetapi Mailo rupanya menolak, “Dai, aku tidak ingin ini semua. Bisakah aku bertemu dengan Mama?” Daisy bingung, jika Mailo bertemu dengan ibunya pasti tidak akan kembali ke kota. Sedangkah Daisy tidak bisa terus menerus hidup di kampung terpencil seperti itu meskipun ada kakek dan nenek dari ibunya disana. “Minimal kamu harus memilihnya satu. Jangan kecewakan aku Mailo. Aku tahu uang tidak akan bisa menyelesaikan semuanya, tetapi ini adalah alat yang sangat penting, kamu tahu!? Jika ibumu memegang ini satu buah saja, dia akan bisa menghubungimu kapan saja ia mau. Jadi kamu tidak perlu repot mengunjunginya jika sedang berada jauh diluar rumah seperti saat ini. Kamu pakai saja milikku, aku rasa aku tidak begitu memerlukannya. Nanti kamu pilih saja nomor yang baru. Bagaimana?”
Benar juga, Mailo pikir. Sebenarnya dia sangat tidak enak kepada Daisy yang sudah repot-repot membelikannya ini itu. Karena Mailo tahu, dia tidak akan bisa membalas itu semua. Saat sedang asyik memilih-milih handphone, Daisy mendapat telepon dari orang tuanya. Daisy menjauh dari keramaian dan mengangkat telepon itu. “Ayah?” Daisy menerima penuh dengan keceriaan dan sangat berharap jika mereka akan tinggal minggu ini dirumah dan bertemu dengan Mailo.
“Apa kabar Daisyku tersayang? Ayah rindu padamu. Sedang tidak berada dirumah ya?”
“Bagaimana Ayah bisa tahu?”
“Baru saja Ayah dari rumahmu. Dan kamu sedang bersama seorang temanmu ya? Siapa namanya?”
“Namanya Mailo, Ayah! Apakah Ayah ingin bertemu dengannya malam ini?”
“Oh ya! Ayah sudah membelikanmu sebuah mobil terbaru tahun ini, saat Ayah melihat mobilmu yang ada dirumah itu sudah ketinggalan jaman. Jadi Ayah menukarnya dengan sebuah mobil yang pasti sangat kamu sukai anakku. Masalah bertemu dengan Mailo mungkin next time. Sekarang Ayah sedang dalam perjalanan menuju bandara. Ayah harus ke Haiti bertemu dengan klien penting. Dan Ibumu…”
“Ibu dirumah ya Ayah? Apakah dia masak untukku hari ini?”
“Sayangnya tidak Nak. Ibu sedang berada di Paris memperkenalkan perusahaan parfum terbarunya. Baiklah Ayah sudah dibandara, salam sayang selalu untukmu dan salam untuk temanmu Mailo.”
Begitu saja, telepon langsung terputus. Daisy tertunduk lemas di luar gerai handphone. Mailo sedang bertanya-tanya keunggulan dan kelemahan handphone yang akan dia ambil. Tetapi dia harus menanyakan hal ini kepada Daisy dulu. Mailo permisi keluar dan menghampiri Daisy. Dia melihat Daisy berdiri mematung dan menunduk suram di pojok toko. “Dai, aku sudah menemukan handphone yang cocok untuk Mama. Bisakah kamu melihatnya?” Daisy tengadah dan lalu tersenyum, yah itu senyum palsunya yang paling bagus untuk menutupi kesedihannya.
“Oya? Mana? Aku yakin seleramu tidak sepayah diriku!” kemudian belum sepenuhnya melihat handphone yang dipilih Mailo, Daisy langsung setuju. “Bungkuslah, aku akan membayarnya secara cash!”
Menunggu Daisy yang membayar itu, Mailo berdiri di luar sambil melihat-lihat nomor prabayar. Dan dia memilih 2 nomor yang mirip kemudian membelinya dengan uangnya sendiri.
“Sedang apa Mai? Kenapa tidak menunggu aku? Aku terlalu lama di dalam ya?”
“Aku hanya ingin membeli barang dengan uangku sendiri.”
“Ini, kamu gunakan handphoneku saja. Aku tidak memerlukannya lagi.”
“Jadi, kamu tidak memegang handphone dong jika ini diberikan kepadaku?”
“Tidak masalah Mai! Aku bisa kapan saja bertemu denganmu, bukan begitu?” tawa Daisy yang kemudian mengajak Mailo membeli makanan untuk dibungkus dibawa pulang.
Ayam kecap itu begitu saja dimeja makan, hanya Mailo yang memakannya. Melihat Daisy hanya melamun memandang makanan itu, Mailo dengan iseng mencoletkan kecap ke wajah Daisy berharap Daisy akan membalasnya dan terjadi perang. Tetapi melihat Daisy yang tidak merespon malah membuat Mailo khawatir dengan keadaan Daisy. Tanpa sepengetahuan Mailo, Daisy sudah mematahkan kartu sellularnya
“Jangan mencoba berbohong, aku tahu kamu sedang dalam masalah yang besar.” Ucap Mailo sambil mengelap noda kecap itu diwajah Daisy dengan tissue kering.
“Hm?” Daisy masih memandang kosong ke arah makanan itu. Diraihnya tangan Mailo dan tidak dilepaskannya. “Bolehkah aku tinggal dirumahmu, Mai?”
“Eh? Ada yang salah dengan rumah besar mewah ini?”
“Tidak sama sekali. Mungkin untuk sementara saja?” barulah Daisy menatap nanar kepada Mailo dan mengajaknya beranjak dari meja makan ke sofa empuk tak jauh dari sana.
“Ada apa Dai? Wajahmu terlihat pucat?” Mailo meletakkan tangannya di dahi Daisy tapi tidak satu derajat pun naik di badan Daisy.
“Selama ini aku terus mencoba tersenyum. Walaupun kamu berhasil mengembalikan senyum yang pernah hilang itu, tetapi itu belum sepenuhnya.” Mailo mencoba perlahan memahami perkataan Daisy. Kemudian Daisy melanjutkannya lagi. “Kini, yang aku miliki hanya kamu satu-satunya yang selalu ada untukku. Jadi wajar saja jika aku memperlakukanmu berlebihan sampai kamu tidak suka, maaf.”
“Tidak Dai, aku senang. Aku tidak mungkin tidak senang dengan semua apa yang kamu berikan kepadaku.”
“Bukan.” Daisy menggeleng pelan. “Ini masalah orang yang memperhatikanku dan tidak memperhatikan aku. Bisakah ibumu menjadi ibuku juga Mai?” Mailo langsung mengerti dengan apa yang dibicarakan Daisy sekarang.
“Bisa saja, Mama pasti akan senang mempunyai 2 anak periang seperti kita. Mungkin kita bisa membuat Mama senang dan bahagia? Iya kan?”
Daisy terdiam dan tertunduk sejenak. Tangannya terasa bergetar digenggaman Mailo. Dia langsung memeluknya lembut layaknya seorang kakak yang sedang melindungi adiknya. Dekapan hangat itu membuat tangis Daisy pecah—seperti gelas yang terbanting ke lantai, prangg! Tersedu-sedu bisu tanpa sepatah kata pun.
Daisy balas mendekap Mailo tapi tidak sempurna; tangannya gemetar dan cengkramannya keras di pundak Mailo. Itulah ekspresi kemarahan sekaligus kesedihan Daisy dan juga mungkin kekecewaannya kepada kedua orang tuanya.
“Menangislah selagi kamu bisa. Berteriaklah sekeras-kerasnya jika itu membuatmu menjadi agak ringan.”
Daisy tambah tersedu dan kemudian berteriak amat kencang—sekencang-kencangnya sejadi-jadinya sampai ia lemas dan berhenti dari itu semua. Saat Mailo melihat wajah Daisy dari balik rambut hitam panjangnya, mukanya merah padam, kelopak matanya membengkak, dan semrawut. Pipinya sudah basah sebasah-basahnya sampai membasahi baju Mailo. Sisa sedu-sedu itu masih tampak. Kemudian Mailo meraih kotak tissue yang berada di dekatnya, dengan lembut ia mengelap wajah yang basah itu. Merapikan rambut poni yang berantakan dan mencoba menunduk untuk mengintip wajah adiknya yang sebenarnya manis itu.
“Sudah?” tanyanya sederhana.
Daisy dramatis, dia mengangguk dan Mailo mengantarkannya ke kamar mandi untuk cuci muka. Ditungguinya adiknya itu dengan sabar dan sambil mengelap wajahnya, Daisy akhirnya bersuara.
“Apakah mataku tampak seperti tomat busuk?”
Mailo yang mendengar itu tertawa terbahak-bahak. Lalu dia sedikit membungkuk untuk melihat mata Daisy yang membengkak memerah itu. Memang bulat dan merahnya seperti tomat, tapi tomat segar. “Tidak, matamu indah. Hanya saja sedikit memerah. Apa kamu mencemaskannya adikku?” panggilnya kemudian.
Daisy memeluknya kembali dengan hantaman yang keras sampai Mailo sendiri terkejut kemudian tertawa kecil. Mendadak Mailo menjadi sangat dewasa, padahal sebelumnya Daisy-lah yang terlihat sebagai sosok kakak. Ternyata itu terbalik.
“Bolehkan mulai sekarang aku memanggilmu dengan sebutan ’kakak’ ?”
Mailo tersenyum, “Dan aku akan memanggilmu ‘adik’. Bagaimana?”
Daisy memeluknya lebih erat lagi.
Keadaan berangsur-angsur membaik dan esok hari mereka berencana untuk pulang. Tidak lupa Daisy mengatakan itu kepada pengurus rumahnya untuk menunggu rumahnya lagi dan mengatakan jika boleh memboyong keluarganya untuk menempati rumahnya yang kosong sementara dengan syarat-syarat. Merasa akan pergi dengan waktu yang lama, Daisy membawa semua bajunya yang ada di lemari. Saat melihat adiknya ini mungkin berlebihan, Mailo sempat berhenti di depan kamarnya dan bertanya. “Perlukah semuanya kamu bawa ke kampung? Bukankah disana kamu bisa menggunakan pakaian lama ibumu?” Mendengar pertanyaan itu, Daisy mengurangi setidaknya 20 setel pakaian. Merasa masih terlalu banyak, dia mengurangi 10 setel pakaian lagi. Jadi yang dia bawa hanya 25 setel pakaian sederhana. Dan ketika malam datang, Daisy mengajari Mailo, kakak barunya bagaimana tata cara menggunakan handphone. Sejenak ia bisa melupakan masalahnya dengan kedua orang tuanya. Mungkin kepergiannya kali ini akan terasa gempar, menghebohkan.
Pagi kemudian menyambut. Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat dengan mini bus. Dari lengangnya bus sampai berdesakan sampai lengang lagi mereka lalui. Pukul 9 pagi mereka sudah tiba di kampung. Udara yang begitu segar segera memasuki rongga-rongga dada mereka. Suara gemericik air sudah masuk menembus terowongan telinga mereka. Serta bunyi cicit cuit burung sawah yang indah sudah hinggap di hati mereka. Segera saja mereka menelusuri sawah, tidak peduli mereka akan kembali kotor atau terperosok ke dalap petak-petak sawah yang berlumpur maupun berlintah. Mereka menari seolah burung telah bernyanyi untuk mereka sampai satu suara memanggil mereka.
“Mailo, Daisy??” ternyata itu datang dari wanita paruh baya yang mereka sayangi. Langsung saja mereka berlomba-lomba untuk memeluk si ibu dengan hangat dan kesenangan luar biasa. “Mama!!” panggil mereka serentak dan kompak. Si ibu bingung sekaligus senang mendapat kejutan sepagi ini. Daisy dan Mailo memeluknya erat sampai si ibu kesulitan bernapas.
“Hentikan anak-anak! Mama tidak bisa bernapas!” setelah itu mereka berdua melepasnya dengan kegirangan.
“Mama! Aku kangen Mama!” ucap Mailo memeluk lembut ibunya sekali lagi. “Aku ke sini membawa banyak hadiah untuk Mama.”
“Mailo, Mama sudah senang kamu bisa mengenal kota bersama Nak Daisy. Apakah dia nakal?” tanya Mama kepada Daisy.
“Sangat!” jawab Daisy mengerjai kakaknya. Kemudian Mailo membalasnya dengan menjitak kepala Daisy.
“Mama, aku membawa kado yang sangat besar buat Mama.”
Ibunya kelimpungan mencari bingkisan yang besar itu dan tidak bisa menemukannya. “Mana Mailo? Mama tidak melihatnya.”
“Dia ada di depan wajah Mama, gadis berambut hitam panjang akan menjadi adikku.” Ucapnya lega dan Daisy gugup takut-takut jika Mama tidak menyukainya.
“Mailo, akhirnya kamu mendapatkan seorang adik perempuan yang cantik dan juga manis.” Ucap Mama langsung memeluk Daisy. Rupanya dia suka dan lagi-lagi Daisy menangis terharu dan langsung menghapus air matanya, berusaha tidak terlihat rapuh.
“Daisy, beberapa hari yang lalu ada segerombolan orang yang menjemput kakek dan nenekmu. Apakah kamu mengetahuinya?”
“Menjemput kakek dan nenek?” Daisy mengulangnya lagi. “Siapa Ma?”
“Katanya orang-orang dari kota. Mama pikir mereka akan bertemu denganmu? Tidak ya?”
Daisy menggeleng. “Tidak, aku tidak tahu sama sekali.” Pandangannya kosong, sampai Mailo menepuk punggungnya keras. “Mama, bolehkan adikku ini tinggal bersama kita disini?” tanya Mailo sambil merangkul gagah adiknya ini.
“Tentu saja dengan senang hati. Tetapi rumah ini hanya lebih luas dari rumah nenek dan kakekmu.”
“Tak apa Ma. Sudah sangat bersyukur terlindung dari hujan dan panasnya terik matahari.”
“Hm…ngomong-ngomong kamu tidak membawa kendaraanmu Dai?” tanya Mama yang melihat ke arah depan melalui atas punggung Daisy.
“Tidak Ma, kami ke sini naik mini bus.”
“Astaga! Apakah kalian tidak kecopetan?” Mailo dan Daisy tertawa bersamaan. Kemudian mereka masuk ke dalam rumah dan membuat sarapan.
Daisy memecah 3 telur dan memasaknya menjadi telur mata sapi. Mailo sedang asyik mengaduk-aduk beras yang akan menjadi bubur, sedangkan Mama sedang mencuci pakaian di belakang rumah. Merasa pagi ini sepi, Mailo mencoba bertanya sesuatu kepada adiknya.
“Bagaimana jika suatu saat kamu menemukan laki-laki yang ingin menjadikanmu seorang istri?”
“Pertanyaan macam apa itu Kak?”
“Pertanyaan iseng, mungkin?”
“Aku tidak pernah memikirkan hal itu Kak. Yang terpenting saat ini adalah Kakak dan Mama. Jadi mulai sekarang aku harus bekerja lebih giat lagi. Benar kan?”
“Tapi dari awal kamu belum memberitahu aku tentang pekerjaanmu. Bolehkan Kakak tahu?”
“Oh, masalah itu…aku memang terkadang berada di kantor Kak. Tapi aku punya bisnis online. Jadi semua orang yang ingin membeli produkku harus memesannya lewat internet. Mengerti kan Kak?”
“Oh, bisnis online ya Dai? Kakak tahu, tapi jenisnya apa Dai? Pakaian, makanan, atau barang-barang bermerek?”
“Bukan juga sih…apa ya namanya?” Daisy sedang mencari istilah yang tepat untuk pekerjaannya sambil membalik-balik telur mata sapi itu. “Aku menjual benda-benda artistik Kak. Seperti hiasan-hiasan kecil atau lilin unik yang biasa dijual di Bali. Terbayangkan?”
“Tidak, Kakak tidak pernah melihatnya. Bisakah kamu tunjukkan pada Kakak?”
“Aku sedang tidak membawanya Kak. Aku janji akan menunjukkan gambarnya saja ya? Kebetulan ada di laptopku. Ok?”
“Baiklah…kira-kira bisa tidak kamu berikan aku pekerjaan Dai?”
“Kakak ingin bekerja untuk Mama ya? Aku bisa saja Kak mencarikannya. Kakak ingin pekerjaan yang seperti apa?”
“Yang jelas yang gajinya besar.” Senyum Mailo.
“Hahaha! Okelah Kak! Ada kok, tapi Kakak mau menunggu kan? Aku sedang ingin menikmati hidup disini. Damai dan tenteram…”
“Tapi jika suatu saat orangtuamu mencarimu kesini dan menyalahkan kami bagaimana? Aku takut, karena kamu tahu mereka berkuasa, bisa saja mencelakakan aku dan Mama?”
“Tidak Kak. Mereka tidak seperti itu. Aku akan membuat semuanya baik terkendali. Kakak pesimis!”
“Bukan seperti itu Daisyku sayang…aku dan Mama kan tidak punya apa-apa seperti keluargamu. Kami hanya punya rumah ini saja. Bahkan berlian dan emas pun kami tidak punya. Kakak rasa orangtuamu sangat berkuasa, bukankah begitu?”
“Iya Kak. Terkadang aku sampai pusing menghitung perusahaan mereka. Setiap aku melangkah, disana ada spanduk mereka. Setiap aku melirikkan mata, nama perusahaan mereka nyantol disetiap sudut perkotaan. Bahkan mereka menjadi sponsor utama pertandingan bulu tangkis ibu kota yang besar itu. Aku juga tidak tahu bagaimana persisnya. Dahulu sih keadaan masih bisa terkontrol. Setidaknya dalam satu minggu mereka 3 hari dirumah. Sekarang, bisa saja mereka tidak pulang dalam kurun waktu 5 bulan. Bahkan aku merasa jika rumahku itu sudah beralih menjadi villa.”
“Kenapa tidak terpikirkan untuk menyewakan rumahmu Dai? Minimal untuk Pak Maman dan keluarganya. Dia masih digaji oleh orang tuamu dan disamping itu kamu juga bisa mendapat 2 keuntungan sekaligus. Pertama, rumahmu menjadi terawat dan bersih, yang kedua setidaknya kamu mendapat uang sewa. Iya kan?”
“Hahahaha! Ide Kakak cemerlang, tapi tahu kan Pak Maman? Dia hanya rakyat biasa yang tidak digaji seberapa oleh kedua orang tuaku. Sedangkan rumahku itu rumah mewah, jadi percuma saja memberikan sewa kepadanya, lebih baik menitipkan saja sudah cukup. Hei! Aku jadi punya ide Kak! Kamu mau dengar?”
Daisy menyelesaikan pekerjaannya dan kemudian berbicara serius kepada Mailo.
“Kenapa tidak Kakak menjadi pemilik kost-kost-an saja? Aku akan memberikan modalnya dan kita membeli tanah kemudian kita bangun sebuah rumah dengan banyak kamar yang bagus, kemudian kita pasang iklan di sekolah-sekolah atau kampus. Dengan begitu pasti banyak mahasiswa dan murid yang mencari tempat tinggal sementara. Iya kan?”
“Eh? Aku? Tidakkah Mama jika menjadi ibu kost akan jauh lebih baik?”
“Tidak! Aku punya usaha lain untuk Mama. Aku akan membangun sebuah toko kelontong kecil di sebelah rumah ini, dengan begitu masyarakat yang ada disini tidak perlu juah-jauh lagi jika ingin belanja kebutuhan sehari-hari. Iya kan? Bukankah itu ide yang cemerlang Kak!?” Daisy menggenggam tangan Mailo dan menggoyang-goyangkannya.
“Bisa sih…tapi itu modalnya besar lho. Apa tidak takut uangmu habis untukku semua? Sedangkan aku tahu kamu masih banyak membutuhkan uang untuk usahamu.”
“Tenang saja Kak! Jika Kakak setuju, kita akan mendiskusikan ini dengan Mama. Bagaimana?”
“Serius kamu Daisy? Aku tidak ingin orang tuamu mengomel gara-gara uangmu ludes untuk kami berdua. Sebenci apapun kamu dengan mereka. Mereka tetap orang tua kandungmu!”
“Iya, aku mengerti Kakak…mungkin di saat aku sedang sedih seperti ini aku bisa membagi kebahagiaan dan rejekiku yang lebih pada kalian! Iya kan!?”
“Baiklah jika kamu memaksaku…tapi mau sampai kapan kamu akan tinggal disini? Karena aku takut warga sekitar berpikir yang tidak-tidak tentang kehadiranmu disini. Lalu jika mereka bertanya aku harus menjawab apa?”
“Katakan saja jika aku ini keponakan Mama ya? Kan tentu semua orang disini tidak akan protes. Kecuali jika aku bertemu dengan Pak Jono Hasibuan pamanmu itu. Bisa mampus aku disini!”
“Hahahah! Ternyata kamu masih ingat dengan dosen kebumianmu itu ya? Tenang saja, dia tidak akan ke sini lagi. Karena pasti tanggal muda seperti ini dia sibuk dengan mahasiswa baru, ini kan tahun ajaran baru. Benar kan Daisy?”
“Oh iya! Dia kan panitia kampus buat penyeleksi mahasiswa baru. Bagaimana jika lain waktu aku ajak Kakak ke kampusku dan sekalian bertemu dengan Pak Jono. Mungkin saja dia bisa memaafkan aku atas tindakanku yang konyol dulu. Iya kan?” Daisy langsung mengambil wadah besar untuk memindahkan bubur yang dibuat oleh Mailo. Ketika makanan sudah siap di atas meja, Mama datang dan mengambilkan mereka makanan dengan lauk tambahan.
“Mama sangat senang karena sekarang punya 2 anak. Laki-laki dan perempuan, tetapi Mama masih bingung kenapa kamu tiba-tiba ingin aku menjadi Mamamu? Bisakah kamu jelaskan Daisy?”
Daisy menjadi murung ketika hendak menjelaskan alasannya kenapa mendadak datang bersama Mailo. Diraihnya jemari mungil Daisy oleh Mailo, dan Mailo mencoba menjelaskannya. “Jadi begini Ma…sebenarnya ini ide gila kami berdua. Sebelumya tak pernah terfikirkan oleh kami untuk nekat seperti ini. Tetapi keadaanlah yang memaksa Daisy untuk melakukan ini semua. Mailo tahu kedua orangtua Daisy super sibuk dan beberapa bulan ini sudah jarang sekali pulang kerumah. Mereka pulang mungkin hanya mengambil arsip-arsip perusahaan yang tertinggal. Ya..Mama seharusnya tahu bagaimana keadaan Daisy yang sebenarnya, dia sangat kesepian dirumahnya yang seperti istana itu, hanya ada Pak Maman pengurus rumah Daisy. Rumahnya lengang seperti tak ada kehidupan disana. Mereka selalu berada di luar negeri untuk bisnis mereka yang membuana itu. Dan Daisy hangat dan rindu akan kasih sayang seorang Ibu. Maka dari itu kemarin kami mengingatmu, Ma. Jadi Daisy sengaja meninggalkan apa pun yang berhubungan dengan kehidupannya di kota dan memilih menginap dirumah kita untuk sementara waktu. Jadi aku harap Mama mengerti dengan sikon Daisy sekarang.”
Mama yang mendengar itu langsung iba, merengkuh Daisy dan menenggelamkannya dalam pelukannya. Ini mungkin pertama kalinya Daisy merasakan pelukan seorang Ibu setelah bertahun-tahun lamanya jauh dari itu semua.
“Daisy, Mama sangat mengerti apa dan bagaimana perasaanmu…tinggallah disini. Temani Mama dan Mailo. Kita akan buat keluarga ini bahagia.”
“Terima kasih Mama…” Daisy tersenyum bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar