Minggu, 23 Oktober 2011

KATAK -part 2-

“Nggak, aku jam segitu mimpiin katak-katak yang ada disawah.” Koya manyun.
“Maaf..aku kan Cuma  bercanda.”
“Duh…duh yang lagi gembira nih…ehm..ehm…” sela Kak Nobu yang menghampiri mereka di dekat meja kue.
“Kak Nobu? Ngapain ke sini? Aduh..sana gih..banyak yang nyariin tuh…” Yadera sudah panic, takut ketahuan oleh Kak Nobu jika dia ada hubungan special dengan Koya.
“Udah…kakak tahu kok.” Nobu mengedipkan matanya dengan genit kepada Yadera. “Kakak tinggal dulu ya…have fun girl!”
“Eh, Nobu…” Koya memberi isyarat pandangan terhadap Yadera.
“Aduh, aku nggak tahu. Kayaknya sih dia fine-fine aja sama hubungan kita. Aku nggak tau gimana Mama sama Papa di Indonesia. Sampai sekarang mereka nggak menghubungi Kak Nobu. Aku khawatir mereka marah besar sama aku.”
“Jangan ngomong gitu, gimana kalo kamu ngomong sama Nobu biar dia yang jadi juru bicara kamu?”
“Ah, kamu ini ada-ada aja?”
“Ih, daripada kamu yang kena marah? Masa’ Nobu nggak mau bantu kamu?”
Ada seekor katak yang melompat diantara mereka.
“Ih! Katak!” teriak Yadera memungut perhatian sekitar.
“Ngapain kamu teriak? Kayak nggak pernah ngeliat katak aja?”
“Kalau aku lihat katak aku selalu ingat kamu. Habis wajahmu mirip sama katak hijau sih?”
“Jahat, masa’ muka secakep ini disamain sama katak hijau?”

Acara siang ini sudah selesai. Tinggal menunggu resepsi dari Lulu dan Nobu. Selagi Nobu dan Lulu beristirahat, Yadera kepikiran dengan orang tuanya di Indonesia, mengapa tidak menelpon atau memberi kabar atau pun menanyakan keadaan dirinya lewat Kak Nobu. Apakah orang tuanya benar-benar marah dengannya?
“Tifa-chan, ada panggilan untukmu.” Lulu memberitahu dengan tiba-tiba.
“Siapa?”
Lulu hanya menyodorkan telepon wireless itu.
“Halo?”
Kamu pulang sekarang juga! Atau Mama akan menyusul kesana!”
Yadera menjauhkan telepon itu dari telinganya. Suaranya amat kencang sampai-sampai Lulu menjangkau suara itu. Kemudian Yadera langsung memutus telepon itu begitu saja.
“Mama?”
“Iya. Aku disuruh pulang.”
“Terus?” Lulu melipat tangannya, sepertinya berlatih menjadi seorang calon ibu yang tegas.
“Aku nggak mau pulang. Liburan ku masih panjang.”
“Jika Mama menyusul ke sini?”
“Aku bisa kabur lagi.”
“Kamu mau tinggal dimana lagi? Kan kamu hanya bisa tinggal disini. Mau menginap? Nggak punya uang kan? Mau menginap di rumah Koya? Itu sama sekali bukan mencirikan gadis yang baik.”
“Aku bisa pergi bersama Koya.”
“Kamu belum tahu kan Koya itu sebenarnya kayak gimana?”
“Dia baik.”
“Yang itu semua orang juga tau.”
“Lalu?”
“Sebaiknya kamu pulang.” Lulu seperti menutup-nutupi sesuatu.
“Aku tidak mau pulang. Ini liburanku, ini hak ku. Kau hanya perlu bahagiamu saja dengan Kak Nobu. Aku juga berhak untuk bahagia bersama Koya.”
“Kamu masih terlalu kecil. Sebaiknya kamu pulang.  Aku nggak ingin Nobu disalahkan Mama dan Papamu.”
Skakmat. Yadera tidak bisa melawan lagi. Tapi ia masih berusaha untuk tidak pulang ke Indonesia seorang diri.
“Tekadku sudah bulat, aku tidak ingin pulang sebelum aku ingin pulang.” Yadera langsung keluar mencari pencerahan untuk dirinya.
Maaf Mama, aku belum bisa pulang ke sana. Aku rasa hidupku lebih layak disini. Aku disini dapatkan apa yang aku mau. Aku merasa sangat bebas disini. Lagi pula aku baru saja memulai hidupku yang sesungguhnya. Aku bertemu dengan Koya, Mama. Aku sangat menyayangi dia. Biarkan apa kata orang, aku benar-benar ingin tetap bersama dengan Koya. Jangan halangi kebahagiaanku Mama.
Yadera menangis di hari yang seharusnya menggembirakan itu.

“Tifany!” teriak Koya memanggil Yadera.
“Kenapa?” tanyanya sambil menghapus airmata itu.
“Harusnya aku yang tanya ‘kenapa’.”
“Maaf.”
“Maaf buat apa? Sudahlah, Lulu baru saja menceritakan hal ini padaku.”
“Hah?”
“Pulanglah. Aku akan baik-baik saja disini.”
“Aku nggak mau pulang.”
“Jangan begitu, kasian orang tuamu. Pasti sangat rindu padamu.”
“Mereka bukan orang tua kandungku.”
Koya tertegun mendengar jawaban itu.
“Aku tau, pasti mereka bukan orang tua kandungku. Naluriku nggak mungkin salah.”
“Jangan bicara seperti itu.”
“Kamu tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan semenjak bertemu kembali dengan Kak Nobu. Akhir-akhir ini aku  baru menyadari, jika aku memiliki kesamaan fisik dengan Kak Nobu. Kamu tau artinya itu kan?”
“Itu kan hanya kesamaan fisik. Bukan berarti kamu adik kandung Nobu, iya kan?”
“Semua itu bisa terjadi. Tapi perasaan antara kakak dan adik itu nggak mungkin bisa bohong kan? Nobu pasti menyembunyikan semua ini dariku. Dan sekaranglah saatnya aku mengetahui semuanya.”
Yadera ingin segera menemui Nobu.
Tetapi Koya mencegahnya dengan alasan tertentu.
“Jangan sekarang. Kamu pasti tau kan kondisi Nobu seperti apa? Kita tanyakan 2 hari lagi saja.”
“Kita?”
“Aku mau bantu kamu. Tapi kamu jangan gegabah. Tentu saja kamu ingin masalah ini cepat jelas kan?”
“Tapi Mama tidak akan menunggu selama itu. Aku takut jika dia datang sebelum kita bergerak.”
“Jika dia datang terlebih dahulu, kita kabur sama-sama, bagaimana?”
“Kamu yakin dengan langkah itu?”
“Aku yakin karena kamu.”
Yadera memeluk Koya sebagai bentuk terimakasih.
Lulu merasa semuanya ini berjalan salah. Entah mengapa tiba-tiba Lulu besikeras untuk memisahkan Koya dengan Yadera.
≈≈≈
Pesta resepsi pun digelar dengan meriah. Tapi Yadera memisahkan diri dari semua keramaian itu. Dia hanya menyendiri di balkon melihat lampu-lampu yang gemerlap itu. Dia bingung harus bagaimana sekarang. Antara nekat  bertanya kepada Nobu dan menunggu segala keputusan dari Koya. Malam ini Koya sengaja mencoba berbicara dengan Lulu, tapi rupanya hati Lulu kini agak susah diluluhkan. Apakah ini semua ada hubungannya dengan Mama Yadera?
“Tifa-chan…” panggil Koya yang juga memisahkan diri dari keramaian.
“Bagaimana?”
Koya menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“Apa ku bilang. Ini tak kan berhasil. Seandainya saja aku menanyakan hal ini kepada Kak Nobu tadi pagi sebelum acara ini dimulai. Pasti semuanya menjadi jelas.”
“Kita tidak tau apa yang akan terjadi hari ini maupun esok. Malam ini tidur dimana?”
Yadera tidak langsung menjawab pertanyaan itu, sepertinya dia sedang merencanakan sesuatu.
“O o, jangan bilang ini rencana dadakan lagi?”
“Kamu pasti tau jalan pulang ke rumahmu kan? Aku akan pulang mengambil koperku. Kamu tunggu aku di kios kecil dekat rumah Kak Nobu. Aku pulang sekarang.”
“Kamu yakin dengan keputusanmu?”
“Aku akan berusaha menghargai keputusanku sendiri.” Yadera langsung menyelinap turun dan pulang ke rumah Kak Nobu untuk membereskan pakaian. Semakin lama anak ini semakin nekat.

Yadera sampai di rumah Kak Nobu. Sepi, tidak ada orang. Sial, pintunya pun dikunci. Terpaksa dengan gaun anggunnya Yadera harus melompat jendela kamar dan langsung membereskan kopernya yang berantakan itu. Tanpa ba-bi-bu lagi Yadera langsung berlari ke kios kecil yang redup itu. Dia menunggu Koya 15 menit disana sambil minum ocha hangat. Malam sangat dingin, sebentar lagi musim panas akan berakhir.
“Maaf membuatmu menunggu.” Koya datang dengan setengah berlari.
“Ayo, kita istirahat mala mini. Katak-katak disawah itu pasti sudah menunggu kita besok pagi.”
Taksi yang mereka naiki pun menghilang di malam itu.

“Maaf, saya merepotkan lagi!” ucap Yadera kepada ayah Koya.
“Oh tidak masalah. Anggap saja rumah sendiri.” Ucapnya dengan logat Jepang yang kental.
“Ayo, taruh kopermu. Aku ingin ngobrol sebentar denganmu di kolam ikan.”
Yadera menaruh kopernya dan mengganti gaunnya dengan piyama bermotif katak hijau.
“Eh?”
“Aku beli sewaktu jalan-jalan dengan Lulu. Ini, aku juga membelikan sepasang untukmu.”
“Wah, thanks. Aku nggak tau harus balas dengan apa.”
“Kamu sudah membalasnya dengan memberiku tempat bermalam disini.”
“Jadi, bagaimana jika Nobu mencarimu ke sini besok pagi?”
“Aku sudah tinggalkan pesan buat Kak Nobu. Dia pasti sangat mengerti keadaanku. Aku yakin itu.”
“Jika Lulu yang datang?”
“Memangnya kenapa harus takut dengan Lulu? Dia siapa?”
“Kamu tidak tahu Lulu bagaimana. Dia itu bermuka dua. Mungkin selama ini kamu anggap dia orang yang baik dan pehatian terhadapmu kan? Kamu salah  besar. Dia bisa saja bekerja sama denga Mamamu demi memulangkan kamu ke Indonesia.”
“Aku sudah firasat dengan hal itu. Aku berani hadapi semuanya. Karena ada kamu.”
“Aku?”
“Iya. Jika saja aku tidak bertemu kamu di bandara, aku tidak akan menemukan hidupku yang sebenarnya.”
“Sebenarnya?”
“Iya, kamu. Aku menyadari, hidupku adalah kamu.”
“Kamu yakin?”
“Gak perlu kamu pertanyakan. Kamu nggak perlu khawatir.”
“Terima kasih. Tadi kamu mau ngobrol apa?”
“Em…tentang katak.”
“Ada apa dengan katak?”
“Katak.”
“Iya katak. Ada apa dengann katak?”
“Aku ingin mencarinya bersama kamu.”
“Bukankah kamu sudah mengutarakannya tadi pagi?”
“Iya aku tau. Tapi kali ini beda.”
“Bedanya dimana?”
“Disini.” Koya menunjuk dadanya dengan jari telunjuk.
“Disini?” Yadera mengikuti gerakan Koya.
“..”
“Apa sih? Aku nggak ngerti?”
“Aku cinta kamu.”
“Katak?” Yadera tertawa geli melihat tingkah Koya yang childish itu.
“Aku juga cinta kamu.” Jawab Yadera lagi.
“Katak.”
“Katak.”
“Bobo yuk? Udah ngantuk nih?” ajak Koya.
“Besok kamu yang bangunin aku ya. Jam 4.”
“Iya..mimpiin aku?”
“Tergantung.”
“Tergantung gimana?”
“Yah…yang muncul itu wajahmu atau wajah katak.”
“Sialan!” jawab Koya sambil mengusap kepala Yadera sesaat sebelum mereka berpisah.
“Oyasumi.”
“Oyasumi.”

Pukul 4 pagi mereka sudah siap dengan senjata mereka untuk menangkap katak disawah itu. Udara begitu menusuk badan, rasanya amat dingin.
“Bagaimana tidur semalam?”
“Cukup nyenyak. Tapi aku mimpi aneh.”
“Apa? Tentang aku?”
“Iya nih Koya..masa’ ya aku mimpi kamu berubah jadi katak?”
“Hah?! Sadis amat?”
“Hahaha, iya lho. Ih ngeri. Masa’ aku pacaran sama katak sih?”
“Nggak apa-apa. FROGMAN, penolong Tifany Yadera.” Senyumnya.
“Ih, iya banget kalo FROGMAN-nya cakep. Ini yang ada malah hidup nekat mati singkat?”
“Lho itu kan kamu, Miss Katak.”
“Kok aku sih?”
“Ya iyalah, dari dulu kamu selalu nekat kan. Nggak tau daerah sini malah asyik nelpon pake telpon umum. Itu apa namanya coba?”
“Itu kan namanya sok tau. Bukan  nekat.”
“Tapi akhirnya kamu nekat kan telpon Nobu?”
“Iya deh iya…Mr. Frogman…”
“Eh, jangan panggil seperti itu. Ntar raja kataknya bisa marah lho?”
“Iya, kan kamu yang jadi raja kataknya.”
Pagi buta suara katak sangatlah berisik. Bunyinya unik seperti kaleng penuh air yang dipukul-pukul dengan kayu. Suaranya sangat indah dan merdu (merdu bukan berarti merusak dunia ya!) sangat pas didengar oleh mereka berdua yang sedang kasmaran. Yadera dan Koya menelusuri pematang-pematang sawah yang licin itu karena semalam hujan telah turun. Sudah beberapa kali Yadera terjatuh kedalam sawah dan belepotan, tetapi ia tidak menyerah begitu saja. Demi menangkap katak, Yadera rela berkotor-kotoran. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Ini kesempatan langka, pikirnya.
“Bagaimana, kamu siap? Yang aku dengar disini kataknya gemuk-gemuk lho. Kalau dijual pasti laku keras.” Ucap Koya member semangat kepada Yadera.
“O ya? Wah aku jadi tidak sabar nih ingin menangkap semua katak yang ada disini!” Yadera langsung nyebur ke sawah itu dan dengan gesit menangkap katak-katak yang berlompatan kesana kemari.
“Ah, yang benar! Jika seperti menangkapnya, kataknya kabu semua!” Koya geram melihat aksi Yadera yang lemot itu.
“Aku capek. Gantian!”
“A .. payah!”
Yadera sudah lelah menangkap katak selama satu jam penuh. Dia ngos-ngosan, duduk sambil  berpangku tangan lalu mencermati baik-baik wajah indah Koya yang tekena sinar bias matahari yang sebentar lagi terbit itu.
“Eh, stop stop! Ayo lihat matahari terbit? Aku ingin sekali melihatnya.”
Koya duduk disebelah Yadera sambil memegang satu katak kecil.
Matahari itu perlahan terbit di ufuk timur bagian Jepang.
“Aku setuju Jepang dikatakan negeri matahari terbit. Disini sangat gampang melihat matahari terbit. Nggak seperti di rumahku, semuanya gedung tinggi.”
“Di Tokyo juga banyak gedung tinggi.”
“Ya tapi tetap gampang jika ingin melihat matahari terbit.”
Aku sangat bersyukur bisa melihat matahari terbit bersama Koya. Mata ini adalah kamera dunia, aku bisa merekam semuanya ini dan aku jadikan kenangan indah. Tapi aku sangat takut jika suatu hari aku kehilangan mata dan ingatanku. Saat itu hidupku berakhir.
“Kok bengong sih? Pasti kamu terpana ya sama pemandangan ini?”
“Iya. Menurutku ini sebuah keajaiban. Aku sangat senang melihat matahari terbit bersamamu.”
“Juga dengan katak ini kan?”
“Wreeebeeek.” Jawab katak itu seolah ia mengerti dengan situasi yang dialami Yadera.
“Haha, aku lupa jika kamu mengikutsertakan katak dibagian ini?”
“Maaf, aku lupa mengatakannya tadi. Kenapa nggak kamu rekam? Padahal kan aku bawa handphone?”
“Nggak perlu.”
Koya terperanjat mendengar jawaban itu dari mulut Yadera.
“Kenapa?”
“Cukup indahnya aku bagi untuk kamu dan aku, dan juga…katak yang kamu pegang itu.”
“Wreeeebeeek.” Katak itu bersuara untuk kedua kalinya.
Mereka pun tertawa bersama.
≈≈≈
Mereka kembali ke rumah. Sesampainya dirumah, katak-katak itu langsung diserahkan kepada ahlinya, yaitu ayah Koya. Tetapi ada satu katak yang akhirnya dipelihara oleh Koya. Yaitu katak kecil yang dia ajak melihat matahari terbit bersama Yadera tadi.
“Lho? Yang ini?” tanya Yadera.
“Aku ingin memeliharanya. Anggap saja sebagai anak kita?” ucap Koya sambil tersenyum girang.
“Apa? Ah enggak ah, aku nggak mau punya anak katak!”
“Hehe, bercanda babe.”
Tiba-tiba Ibu Koya mendatangi mereka dan berbicara serius kepada Koya.
Yadera hanya bengong mendengarkan.
Lalu Ibu Koya berlalu.
“Kenapa?”
Koya tampak bingung.
“Koya, kenapa?”
“Ibu dengar kabar bahwa Lulu akan datang ke sini siang nanti.”
“Untuk apa?”
“Memulangkan kamu.”
“Aku nggak mau pulang!” Yadera membanting ember plastic yang ia bawa.
“Sssst, jangan gitu. Jika ayahku mendengar, pasti ia akan marah sekali dengan Lulu.”
“Apa hubungan ayahmu dengan Lulu?”
“Mereka anggap Lulu kakakku. Sama seperti kamu dan Nobu.”
“Damnshit! Kita kabur!”
“Kemana?”
“Kemana saja. Yang penting Lulu tidak  bisa menemukan kita lagi. Aku sudah letih jika begini terus keadaannya.”
“Oke, oke. Aku punya satu tempat lagi. Kita bisa ke desa ayahku. Disana ada paman dan bibiku. Sekarang berkemaslah.”
Yadera dan Koya langsung bersiap-siap pergi lagi. Mereka masih belum tahu apa sebab Lulu terus mengejar mereka. Begitu pamit, mereka langsung cabut ke tempat yang dimaksud dengan pergi menggunakan taksi langganan Koya. Mereka ke sebuah desa terpencil yang kecil yang agak sulit dijangkau oleh masyarakat kota.
≈≈≈
“Aku tidak setuju jika kamu terus mengejar Tifa-chan.” Nobu mencegah Lulu yang besikeras ingin memulangkan Yadera.
“Tapi anak itu harus pulang. Kamu mau jika Koya mencelakakan adikmu?”
“Koya sudah berubah! Tidak mungkin dia menyakiti orang yang dia sayangi! Aku lebih mengenal Koya daripada kamu mengenal dia!”
“Cukup Nobu. Aku tidak ingin kita ribut hanya gara-gara mereka.”
“Kamu yang memulai semua ini. Berhenti hantui langkah mereka. Aku tidak ingin mengambil kebebasan mereka.”
“Aku sangat bertanggung jawab atas Tifa-chan. Kamu tau sendiri kan, Mbak Rere sudah menitipkan anak itu kepadaku?”
“Aku tau, aku tau! Tapi Mbak Rere itu hanya ibu angkatnya! Tidak lebih. Aku ini kakak kandungnya! Jadi aku yang berhak mengaturnya. Dia ada dibawah kendaliku, Lulu!” jelas Nobu sambil menggebrak meja.
Lulu diam tidak berani melawan.
≈≈≈
“Jadi ini desanya?”
“Iya, maaf aku tau kamu biasa hidup di kota.”
“Seharusnya aku yang minta maaf. Tak seharusnya aku bawa kamu masuk ke dalam masalah keluargaku.”
“Tidak apa. Sudah sepatutnya aku bantu orang yang aku sayangi.”
“Jadi, kita kearah mana? Kanan atau kiri?”
Koya berusaha mengingat jalan menuju rumah pamannya.
“Kamu lupa?”
“Sedikit. Terakhir aku ke sini waktu umurku 8 tahun.”
“Buset.”
“Kanan.”
“Yakin?”
“Iya, aku sudah ingat, ayo?”
Mereka berjalan diatas batu bata merah yang disusun dengan rapi. Sampailah mereka di sebuah rumah yang dikelilingi oleh tanaman-tanaman hias yang sangat indah dan terawat. Jalan pun sudah tak  berbata lagi, melainkan semenan yang terdiri dari motif batu-batu alam yang indah. Diatasan sana berdiri sebuah rumah yang sederhana, dan itulah rumah Paman Ekoda.
Koya mengetuk pintu kayu itu. Lalu menunggu si pemilik rumah membukakan pintu.
“Ohayougozaimasu?” sapa Koya kepada lelaki paruh baya itu. Umurnya sekitar 40 tahunan.
“Ohayou, Koya-kun?”
“Iya, paman masih ingat aku?”
“Wah sudah lama sekali tidak bertemu. Kamu sudah besar ya. Dengan siapa ke sini?”
“Aku membawa seorang teman perempuan, namanya Tifany Yadera.”
“O o o…ya ya paman mengerti. Ayo masuk dulu, pasti kalian lelah kan slama perjalanan ke sini?”
Yadera dan Koya masuk ke dalam rumah itu.
“Tidak begitu, hanya saja kami menghadapi suatu masalah yang cukup serius, paman.”
“Ada apa Koya? Tampaknya sangat rumit?”
Yadera angkat bicara setelah dipersilakan duduk oleh Paman Ekoda. Dia menjelaskannya dengan sabar mulai dari awal hingga keadaan yang dirasakan sekarang. Paman Ekoda tampaknya sangat mengerti dengan keadaan mereka yang didesak sana dan sini. Yadera tampak kelelahan denagn situasi yang menimpanya kini.
“Paman mengerti Tifa-chan. Kamu adalah anak perempuan yang manis. Namamu saja seperti putri yang ada di negeri dongeng. Tidak heran jika kamu dikejar sana-sini. Dan diwaktu yang bersamaan pangeran Koya-kun datang menyelamatkanmu. Sungguh suatu kebetulan.”
“Jadi Paman punya solusinya?” tanya Koya yang meniup-niup ocha panas itu.
“Kalian bisa menginap di sini sementara sambil membantu paman di ladang. Tifa-chan pasti bisa mengurusi tanaman-tanaman hias ini kan? Koya-kun mengurusi ikan-ikan yang ada di kolam sana saja.”
“Bukan itu maksudku, Paman Ekoda. Maksudku, menurut Paman…sebaiknya Tifa-chan harus bagaimana? Pulang atau menghadapi semua ini?” tanya Koya yang dengan segera membenarkan maksud pertanyaannya tadi.
“O itu ya?..Hmmmm..” paman tampak berpikir dengan keras.
Aku sudah berjanji tidak akan merepotkan Koya. Tapi sayang..aku belum bisa menepati janji ku itu.
“Dengarkan kata hatimu saja, Nak.”
“Terima kasih Paman.”
Paman Ekoda menepuk bahu Yadera, memberi dia semangat dalam menghadapi semua ini.
“Maaf, aku merepotkanmu. Padahal dulu kan aku sudah janji tidak akan merepotkanmu. Tapi kenyataannya malah seperti ini. Terkadang aku sangat malu dengan diriku sendiri.”
Lalu Koya meraih kedua tangan Yadera, “Aku rela bersusah-susah bersamamu. Aku sudah telanjur sayang kepadamu. Aku nggak mau kamu disakiti siapa pun. Sekalipun itu Lulu atau Nobu.”
“Aku tau, aku rasakan perasaanmu itu kepadaku. Tapi bagaimana pun aku harus menghormati Lulu dan Nobu. Siapa pun yang bersama Kak Nobu, itu berarti kakakku juga. Aku ingin menanyakan sesuatu hal kepadamu, Koya.”
“Apa?”
“Lulu bilang, kamu berbahaya. Maksudnya?”
“Oh, itu…” Koya langsung melepas genggamannya.
“Kenapa? Kamu  merahasiakan sesuatu dariku?”
“Iya.” Jawabnya begitu jujur.
“Apa?”
“Aku takut kamu kecewa mendengarnya. Selama ini aku sengaja menyembunyikannya. Yang tau Cuma Lulu dan orang tuaku. Bahkan Paman Ekoda pun tidak mengetahuinya.”
“Please, beritahu aku.”
“Aku junkies.”
Praang! Yadera bagaikan tersambar petir.
Dia diam sesaat, mencerna apa yang barusan ia dengar.
“Maaf selama ini aku tidak mengatakannya. Aku tau, kamu ilfill kan?”
Yadera malah meraih tangan Koya, “Nggak, aku terima kamu dalam keadaan apa pun. Aku nggak mau tau tentang masa lalu kamu. Persetan dengan itu semua. Yang aku tau dan aku mau sekarang Cuma satu.”
Yadera menatap kedua mata Koya dengan lirih.
“Apa?”
“Aku mau kita bahagia. Aku tau, umur kita masih muda. Tapi justru mulai dari sinilah aku bisa mengerti dan memahami arti cinta. Dari kamu aku tau, aku ini seperti apa. Walaupun pertemuan kita singkat, tapi ‘rasa itu’ langsung hadir di antara kita.”
“Terima kasih kamu mau menerima aku apa adanya.”
“Mungkin balasan ini yang bisa aku berikan kepadamu.” Yadera memberikan sedikit aliran listrik kepada Koya. Dengan mengecup bibir Koya.
Koya langsung menutup bibirnya dengan jari-jari panjangnya.
“Kenapa?”
“Tidak, aku hanya kaget. Kamu nekat.”
“Nggak apa-apa. Yang penting bukan hidup nekat mati singkat.”
≈≈≈
Lulu tetap saja nekat pergi seorang diri ke rumah Koya. Padahal ia tahu, Koya dan Yadera pasti sudah mengetahui keadaan ini dan langsung kabur.
“Jangan Lulu. Jangan kejar mereka. Biar aku saja yang selesaikan masalah ini.”
“Nobu, Mbak Rere sudah dalam perjalanan ke sini. Nggak bisa ditarik ulur lagi.”
“Bisa. Mbak Rere itu bukan orang yang harus kamu takuti.”
Tidak lama kemudian, Mbak Rere benar-benar datang.
“Mana Tifany?” tanya Mbak Rere sambil kebakaran jenggot.
“Mbak Rere?” Lulu terkejut dengan kehadiran Mama Yadera disana.
“Aku ingin Tifany kembali.
“Mbak, biarkan Tifa-chan mengetahui semuanya.” Ucap Nobu.
“Sekarang?” raut wajah Mbak Rere menjadi masam.
“Iya, sekarang pasti mereka sedang berada di rumah Paman Ekoda.” Nobu tahu tempat itu.
≈≈≈
Lulu, Nobu, dan Mbak Rere sedang perjalanan menuju rumah Paman Ekoda. Yadera dan Koya sedang membantu Paman di ladangnya. Mereka tidak tahu jika semuanya sedang menuju kesana.
“Paman, belum menikah ya?” tanya Yadera.
“Belum. Belum ketemu jodoh, Tifa-chan.”
“Padahal Paman cukup tampan jika jadi seorang ayah.”
“Haha, terima kasih Tifa-chan.”
“Paman dari Indonesia?”
“Oh tidak, Paman asli penduduk sini. Hanya saja Paman kuliah di Indoensia. Jadi Paman bisa berbahasa Indonesia. Paman dulu kuliah di…..”cerita Paman Ekoda tergantung, keburu yang lainnya datang.
“Tifany pulang sekarang juga!” teriak Mbak Rere.
Tifany langsung lari terbirit-birit mencari Koya.
Mbak Rere ikut mengejarnya disusul dengan Nobu. Lulu menjelaskan kepada Paman Ekoda.
“Koya!!! Koya!!! Koya!!!” Yadera berteriak memanggil-manggil Koya yang entah sedang berada dimana.
Nobu mendapatkan Yadera. Dia langsung menenangkannya. Menjauhkannya dari Mbak Rere yang terlihat sudah garang itu.
“Pulang kataku!”
“Nggak mau!!” Yadera tetap berontak.
“Mama bilang pulang Tifany!”
“Aku bilang nggak mau ya nggak mau!! Aku mau tinggal disini aja bareng Kak Nobu dan Koya!”
Koya terlambat, dia sudah tertangkap oleh Lulu.
“Tifa-chan pulang!” tiba-tiba kalimat itu terlontar dari mulut Koya.
Yadera yang berontak itu secara kontinyu tenang. Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Koya barusan.
“Pulang katamu?”
“Pulanglah..”
Tidak mungkin mendadak situasi berubah menjadi 180 derajat. Pasti ada kong-kali-kong diantara Lulu dan Mama!
“Dengar Tifa-chanku…” Kak Nobu akan segera mengakhirinya.
“Kenapa Kak?” mata Yadera sudah berkaca-kaca.
“Kamu adik kandungku. Dia, wanita yang mengaku sebagai Mamamu itu hanya tetangga kita yang dulu sekali sangat menginginkan kamu sebagai anaknya. Kakak sebenarnya sangat tidak rela memberikanmu kepadanya. Karena dahulu sikon tidak memungkinkan, maka kakak dengan sangat terpaksa membiarkan dia mengadopsimu dari umur 4 tahun. Memang selama ini kakak menyuruh dia untuk menyembunyikan rahasia ini. Tapi kakak tidak sebodoh itu, kakak minta jika kamu sudah berusia 17 tahun, kamu harus tau semuanya. Tapi dia mangkir dari janjinya dan ingin memilikimu terus.”
Yadera sudah menangis kala itu, “Kenapa Mama bilang Kak Nobu kakak sepupuku? Padahal aku tau Mama dan Papa tidak mempunyai saudara di Nagoya!”
“Maaf, itu usaha Mbak Rere untuk menutupi ini semua. Makanya Mbak Rere sangat marah ketika kamu kabur ke sini. Aku sengaja memberitahu Mbak Rere ketika pertama kali kamu datang ke rumah Kakak. Begitu juga kakak nggak bisa membuat orang tua angkatmu khawatir.”
“Tapi kenapa Lulu begitu gencar memisahkanku dengan Koya? Apa haknya terhadapku?”
Lulu sekarang yang menjadi pusat perhatian semuanya, termasuk Paman Ekoda.
“Kakak rasa kamu tau jawabannya. Lulu memang hanya teman Koya. Dia sudah terlajur sayang kepadamu. Dia tidak ingin gadis selugu kamu terkena imbasnya.”
“Aku yakin kakak pasti tau kan bagaimana Koya itu? Pokoknya aku nggak mau pulang!!” Yadera kembali berontak mendekati Lulu dan Koya.
“Maafkan kami, TIfa-chan.” Ucap Kak Nobu sangat menyesal.
“Aku Cuma mau tinggal disini bersama Kak Nobu. Aku nggak mau sebatang kara  lagi! Aku Cuma mau sama Kak Nobu!”
Koya sudah tidak bisa bicara lagi. Semua orang bungkam. Rahasia sudah terbongkar, mau apa lagi?
“Dimana ayah dan ibu, Kak?”
“Maaf, ayah dan ibu ada di Surga.”
“Kenapa?” Yadera sangat sedih.
“Kecelakaan pesawat tahun 1993. Kita yatim piatu.”
≈≈≈
Musim panas berakhir. Perjalanan melelahkan bagi Yadera dan Koya pun berakhir. Sudah diputuskan Yadera akan melanjutkan sekolah di Jepang bersama-sama dengan Koya. Seolah akhir dari semuanya menggantung, bukan? Tapi tidak demikian.
Nobu dan Lulu membangun sebuah toko kue di dekat rumah Paman Ekoda. Mbak Rere mengadopsi anak lainnya yang bisa di didik dengan baik  dan penurut tidak seperti Yadera yang ingin bebas ke mana-mana. Kedua orang tua Koya sudah sukses dengan penjualan katak mereka. Katak yang dipelihara Koya pun sudah besar dan bisa di kembangbiakkan. Mereka masih tetap mencari katak di sawah-sawah yang ada. Tapi tidak semuanya harus berjalan dengan sempurna.

“Tifa-chan!” teriak Koya yang sudah mendapat surat kelulusan dari sekolah.
“Koya-kun! Lulus?”
“Iya!”
Spontan Yadera memeluk Koya karena senang dan gembira, ia juga lulus.]
“Gimana kalo kita rayain berdua aja?”
“Apa?”
“Nangkap katak lagi yuk?”
“Boleh, carikan pasangan buat Frogman ya?”
“Frogman?”
“Itu, katak yang kamu pelihara!?”
“Whaaahahaaa…”
……..
“Wreeebeek…wreeebeeek (ahii, aku senang sebentar lagi dapat pendamping!)”




TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar