Minggu, 23 Oktober 2011

KATAK -part 1-

“Gila kamu! Jadi kamu nggak bilang kalo kamu pergi ke Nagoya? Astaga, bisa mampus kita Fa.” Ucap Oyi ketika Yadera mengaku jika ia pergi ke Nagoya tanpa sepengetahuan siapa pun.
“Ya habis kalo aku bilang sama Mama pasti nggak bakal dikasi. Jadi aku nekat nggak bilang siapa pun. Bukannya kamu juga?”
“Yadera, ya aku nggak sebego itu lah. Kakak ku tahu. Aku bilang padanya. Jadi jika ada apa-apa kakak yang memberitahu Papa dan Mamaku.”
“Ah itu sih kamunya yang bego namanya. Katanya kabur, tapi kok bilang-bilang sih?”
“Ya habis mau bagaimana lagi? Aku nggak bisa pergi tanpa bilang pada siapa pun.”
“Kita udah di bandara, lanjut apa enggak?”
Oyi bingung antara pergi dan tidak. Tiket sudah berada ditangannya, tapi keraguan kembali mendatangi dirinya.
“Oyi…”
“Sorry Fa, kayaknya aku nggak bisa lanjut, kamu sendirian aja deh kesana.”
“Apa?! Wah nggak solider loe. Gimana bisa aku ke sana sendirian tanpa siapa pun? Lagi pula ini kan pertama kalinya aku ke sana!”
“Aku nggak bisa bawa anak orang seperti kamu. Kalau ada apa-apa pasti aku yang kena salah.”
“Salah kan kita tanggung bersama?”
“Nggak bisa.” Oyi langsung meninggalkan Yadera yang ling lung di bandara itu.
“Dasar cowok pengecut! Kita nggak usah temenan lagi! Aku bisa cari teman yang jauh lebih solider terhadapku!” teriak Yadera di ruang tunggu bandara.
Beberapa mata tertuju pada Yadera, “Apa liat-liat?”
Mereka pun langsung mengalihkan pandangan.
Trus gimana nih aku sendirian ke Nagoya? Masa’ aku harus ikut-ikutan membatalkan perjalanan ini? Padahal ni tiket aja susah banget dapetnya…nggak bisa kayak gini. Aku harus cari orang! Siapa pun harus mau temani aku ke Nagoya!!
Kalian pasti bingung mengapa Yadera begitu nekat ingin ke Nagoya. Itu hanya disebabkan oleh satu hal, yaitu menghadiri pesta pernikahan kakak sepupunya, Nobu. Sudah sangat lama Yadera ingin mengunjungi Nagoya namun kesempatan selalu sempit. Kali ini diliburan musim panasnya, Yadera nekat ke sana bersama Oyi. Tapi Oyi mangkir dari janjinya, yaitu meninggalkan Yadera seorang diri.
“Maaf, boleh tolong ambilkan Koran disitu?” tanya Yadera kepada seseorang cowok yang ada disampingnya.
Cowok bertopi itu diam tanpa kata dan mengambilkan apa yang Yadera mau.
“Sendirian?” tanya cowok itu.
“Iya, kamu mau kemana?”
“Kamu sendiri?”
“Lho? Ditanya malah nanya balik..”
“Aku mau ke Jepang.”
“Oh..sama.”
“Tokyo?”
“Nagoya. Nengok kakak sepupu yang mau menikah.”
“Kok kebetulan ya? Berarti tujuan kita sama.”
“O ya? Menghadiri acara seperti itu juga?”
“Iya, tapi yang ini bukan saudara, tapi teman.”
“Siapa namanya?” tanya Yadera.
“Krum. Dia akan menikah dengan orang sana.”
“Krumaf Dahlu?” tiba-tiba Yadera ingat seseorang.
“Lho? Kamu kok tau?”
“Itu kan orang yang akan menikah dengan kakak sepupuku di Nagoya!?”
“Kebetulan aja kali namanya??”
“Orangnya keturunan India kan? Rambutnya panjang, matanya coklat, dan hidungnya mancung? Biasanya ia dipanggil Lulu?”
“Oh….jadi kamu yang sering Krum ceritakan? Adik sepupu Nobu?”
“Kamu kenal dengan kakakku?” tanya Yadera yang sama-sama terkejut itu.
“Nobu teman chattingku. Pasti kamu udah lama nggak dikontak sama Nobu, iya kan?”
“8 bulan yang lalu.”
“Kasian amat. Tapi katanya kamu benar ingin ke sana? Masa iya seorang diri?”
“Bagaimana jika kita pergi bersama?”
Cowok itu melunjak mendengar tawaran Yadera.
“Kamu dan aku??”
“Iya, Cuma kamu dan aku…”
“Kamu…dan  aku???”
“Iya, hanya aku dan  kamu.”
“Bagaimana ya?”
“Tenang saja, aku tidak merepotkan.”
“Kamu mau nipu aku ya?” tanya cowok bertopi itu sambil menunjuk hidung Yadera.
“Hei, sori ya. Asal kamu tau, uangku banyak. Jadi nggak ada untungnya aku nipu kamu. Bilang saja tidak mau, aku juga tidak keberatan.” Yadera pergin meninggalkan cowok itu.
Dia pikir dia bisa seorang diri ke Nagoya? Nagoya kan luas..bodoh!
“Hei, bukan itu maksudku. Maaf jika aku mengatakan kamu penipu, habis tampilanmu sendiri yang brandalan seperti itu. Jadi meskipun niatmu baik pasti orang lain akan menghindari kamu.”
Ah? Masa’ tampilan sejelek itu? Perasaan biasa aja deh kayak gini. Dari dulu juga kayak gini…apa jangan-jangan Oyi pergi ninggalin aku gara-gara penampilanku ya?
“Hallo, jadi bagaimana? kamu jadi sendirian pergi ke Nagoya?”
“Kayaknya sih gitu. Udah nggak mungkin lagi aku balik ke rumah. Tiket ini sudah susah payah aku dapatkan sampai aku sakit begini.” Sekarang Yadera memang dalam keadaan yang kurang fit.
“Kamu sakit? Kenapa nekat? Pulang sana!”
“Pulang?!”
“Baiklah, Aku mau menemanimu.”
“Hah? Serius kamu?”
“Ya seriuslah, ini Cuma faktor kasian aja ya.” Tambah cowok itu.
“Oh jadi kamu liat aku jadi kasian gitu ama aku?”
“Ya selebihnya gitu. Lagi pula kamu kan cewek, nggak bagus pergi sendirian. Tapi Cuma sampai pulang ke sini lagi. Setelah itu anggap kita enggak ada apa-apa.”
“Ok. Deal.”
“PERHATIAN UNTUK PENUMPANG JURUSAN NAGOYA, PESAWAT AKAN BERANGKAT SETENGAH JAM LAGI.” Ucap si mbak pengumuman untuk semua penumpang jurusan Nagoya.
“Ok, jangan buat aku repot dengan kebodohanmu.”
“Hei! Siapa yang kau bilang bodoh itu?!”
»•••«
Selama perjalanan, Yadera dan cowok bertopi itu asyik mengobrol di dalam pesawat. Yadra baru ingat sesuatu jika mereka belum saling berkenalan.
“Kita udah ngobrol panjang lebar kayak gini tadpi kok belum kenalan ya? Nama kamu?” tanya di cowok bertopi itu.
“Maaf, kalo aku udah ngobrol lupa yang lain.”
“Jadi nama kamu?”
“Tifany Yadera.”
“Yadera? Asal kamu dari mana sih?”
“Aku dari..aku juga tidak terlalu tau aku ini dari mana. Yang aku tau selama ini Cuma aku tinggal bersama orang tua yang sangat sayang terhadapku. Sampai-sampai aku dijaga ketat oleh Mamaku. Entah mengapa aku juga kurang tau. Aku rasa aku anak pungut.”
“I waouw, masa’ sih gitu? Mereka nggak pernah cerita asal kamu dari mana?”
“Enggak. Katanya sih dari aku bayi sampai usia 5 tahun yang mengasuhku Kak Nobu. Itu aku juga tau dari buku harian Mamaku. Waktu itu aku tidak sengaja menemukan buku di tong sampah. Ternyata itu milik Mamaku.”
“Jadi kamu mau minta penjelasan kan sama Nobu. Iya kan?”
“Pengen sih aku tanyain. . . tapi aku takut Kak Nobu nggak ngasih penjelasan yang sebenarnya.”
“Ah, Nobu itu orangnya baik banget. Apalagi dia kakak sepupumu, pasti dia akan memberitahumu.”
“Aduh, aku lupa mau tanya siapa nama kamu?”
“Namaku Haru Koyama.”
“Lho? kamu orang Jepang ya?”
“Iya, masa’ dari awal ketemu kamu nggak ngeh sih?”
“Aku kira kamu orang lokal?”
Koya, begitulah panggilan untuk Haru Koyama.
“Bukan, aku sebenarnya hanya menetap sementara disini. Rencananya 2 bulan lagi aku mau cabut. Balik lagi ke Negara asal.”
“Tapi kok kamu fasih banget bahasaku?”
“Aku di sana belajar sastra Indonesia. Memangnya nggak keliatan ya kalo aku ini Japanese?”
“Enggak. Sama sekali enggak. Ok, kamu disini tinggal bareng siapa?”
Yadera mengambil coklat yang ia bawa didalam tas kecilnya.
“Aku punya kakek disini. Kakekku veteran sini.”
“Lho? Berarti kakekmu bekas penjajah sini dong?”
“Nggak, bukan gitu…kakekku mendukung Indonesia. Dia disembunyiin sama nenekku, awalnya nenekku nemuin dia pas dia terluka diserang sama orang pribumi. Nenekku gak tau apa-apa waktu itu. Ya udah deh, ditolong.”
“Oooo, jadi jodohnya nemu pas perang ya….unik banget sih?”
“Jadi, kamu udah deket banget ya sama Nobu?”
“Ya aku deket banget sama kakak Nobu. Ya seperti yang aku bilang di awal tadi. Dari kecil aku udah sama Kak Nobu. Dulu banget waktu aku umur 3 tahun pernah diajak Kak Nobu ke Jepang. Tapi aku udah lupa. Aku Cuma dikasi jimat ini sama Kak Nobu. Dia bilang bawa jimat ini kalo aku balik lagi menemui Kak Nobu.”
Koya sudah tertidur dari tadi.
“Yee, dia malah tidur…tau gitu ngapain tadi aku ngomong panjang lebar..ck!”
Yadera ikutan menyender dikursinya dan masih mengunyah coklat itu dengan lezat. Sesekali ia menoleh kearah Koya yang sedang tertidur itu tanpa membuka topinya. Lalu ia melanjutkan pandangannya kearah jendela disebelah Koya, melihat awan yang putih di bawah sana. Kemudian ia melihat penumpang yang lainnya, banyak yang tertidur, juga banyak yang sedang sibuk dengan laptop masing-masing. Yadera merasa bosan melihat situasi seperti ini. Lalu ia beranjak ke kamar mandi untuk buang air kecil smabil membasuh wajahnya yang sudah mulai berminyak itu.
Air yang segar membasuh wajah yang letih itu karena kebosanan yang menyerang. Sempat berpikir Yadera di dalam kamar mandi, mengapa Koya begitu terlihat mempercayaiku untuk perjalanan kali ini? Padahal kan baru kali ini saja aku bertemu dengannya? Aku bisa saja menipunya, atau berbuat  hal yang lain. Aku merasa bersalah pada diriku sendiri sudah merepotkan orang yang sebelumnya tidak ku kenal. Jika saja aku tidak ingin membaca majalah yang ada di ruang tunggu tadi, pasti aku tidak akan bertemu dengan Koya. Bisa saja aku tidak jadi berangkat hari ini.
Yadera sadar dari lamunannya, ia kembali kekursinya, tapi Koya sedang tidak  berada ditempat.
“Lho? Kemana ya?”
Yadera pindah ke tempat duduk Koya untuk melihat awan di bawah sana. Dia sempat terkagum dengan pemandangan yang luar biasa indah di bawah sana.
“Kamu habis dari mana?” tanya Koya.
“Kamar kecil, cuci muka.” Jawab Yadera yang melihat Koya tanpa topinya. Ternyata rambutnya dicat biru..
“Kamu sendiri?”
“Sama, sori tadi aku ketiduran. Semalam aku begadang main game. Trus insomnia kambuh, ya udah nggak tidur ampe pagi. Kamu sendiri nggak ngantuk?”
“Nggak, semalam aku tidur nyenyak. Padahal aku tadi kabur jam 5 pagi buat ke sini. Biar nggak ketinggalan pesawat.”
“Kata pramugarinya 5 jam lagi nyampe.”
“Duh, ternyata nggak secepat yang kuduga. Aku bosan nunggu gini.”
“Kita main, mau nggak?”
“Main apa?”
“Permainan yang sederhana aja, SOS?”
“Wah, jadul banget sih kayak anak SMP main kayak gituan?”
“Eh, tapi ngasah otak juga lho.”
“Kamu belajar dari mana sih permainan kayak gitu?”
“Kakekku hobi banget main itu sama nenek biasanya. Asyik banget keliatannya, coba-coba aku tanya..kata kakek jika aku menemui seseorang aku harus mengajaknya bermain permainan ini.”
“Memangnya kenapa harus aku?”
“Karena kamu orang pertama yang membuatku tidak bosan.”
“Maksud kamu? Aku menarik gitu?”
“Iya, aku tau kamu kebingungan waktu di ruang tunggu tadi. Eh nggak taunya kamu datengin aku buat ngambiil majalah. Kamu itu orangnya lugu banget. Asli lucu kadang-kadang.”
“Kita kan baru bertemu kali ini saja? Kenapa kamu bisa bilang gitu?”
“Aku tadi baru ingat, aku pernah melihatmu di pesta ulang tahun temanku 3 minggu yang lalu.”
“Pesta ulang tahun siapa?”
“Seorang temanku, namanya Hugy. Bukannya kamu datang dengan gaun pink ya waktu itu?”
Yadera coba mengingatnya. Lalu wajahnya memerah.
“Ah, jangan ingatkan aku dengan pesta itu! Sangat buruk!”
“Memangnya kenapa?”
“Apa kau tidak melihatku jatuh ke kolam waktu itu gara-gara di dorong oleh seseorang disana? Aku malu banget tau! Mana acaranya agak formal gitu lagi, ini malah pake acara nyebur sgala.”
“Oh, jadi kamu yang masuk ke dalam kolam renang itu? Hahaha…” Koya tertawa geli.
“Kenapa ketawa?”
“Maaf…waktu itu aku yang menolongmu. Yang mendorong juga aku.”
“Jadi kamu? Ah pantas saja..”
“Maaf..maaf, aku benar-benar tidak sengaja! Aku tidak melihatmu berdiri di belakangku. Aku kira tidak ada orang, maka dari itu aku..”
“Ah! Sudahlah Koya! Lupakan saja. Aku tidak ingin mengingat hal itu lagi!”
Yadera ngambek. Ia hanya menolehkan kepalanya ke jendela.
Koya ingin melihat wajahnya tapi tak tampak. Koya berusaha mendorong lengan Yadera, tetap ia tidak ingin melihat Koya yang sudah secara tidak sengaja mendorongnya ke kolam renang 3 minggu yang lalu.
“Fa, jangan gitu dong…aku kan emang bener gak sengaja waktu itu. Habis kamu nggak bilang-bilang sih kalo mau berdiri di belakangku, aku kan jadi bisa minggir.”
“Bodo!” sahut Yadera keras. Spontan orang di dekat mereka menoleh.
“Fa, sorry…masa’ gitu sih kamu..”
Yadera benar-benar jengkel. Tapi ia merasa kasian juga sama Koya yang terus-terusan minta maaf. Karena Koya berisik, maka Yadera pun angkat bicara.
“Gara-gara kamu aku jadi nggak boleh datang-datang lagi ke acara pesta gitu sama Oyi!”
“Oyi?”
“Temanku yang suka ngajakin aku ke pesta.”
“Maaf, kamu mau ganti rugi apa juga aku kasih deh!”
“Aku nggak perlu ganti rugi. Aku juga kan udah janji nggak bakal ngerepotin kamu. Toh kamu juga yang udah nolongin aku waktu itu. Sudahlah Koya, lupain aja masalah yang itu. Malu-maluin Negara aja.”
“Maaf…”
»•••«
Hari sudah malam, Koya dan Yadera harus segera mencari penginapan untuk beristirahat.
“Selamat datang Nona di Jepang. Kota yang indah dan maju.”
“Yah nggak rugi juga aku ke sini sama kamu. Ada guide gratisan.”
“Hehe, itung-itung nebus kesalahanku yang waktu itu…”
“Malam ini kita mau menginap dimana?”
“Aku punya rumah disini. Bagaimana jika dirumahku saja? Disana ada Mama dan Papaku. Biar sekalian aku kenalkan kamu dengan mereka.”
“Serius kamu? Ntar dikiranya aku apa-apanya kamu.”
“Apa-apanya aku gimana maksud kamu? Aku sering kok bawa temanku ke rumah. Tapi baru kali ini aja cewek ..”
Dengan agak terpaksa Yadera akhirnya ikut Koya kerumahnya.
“Kita cari taksi dulu yuk? Kebetulan aku punya teman yang jadi supir taksi disini.”
“Terserah  guide aja deh. Aku Cuma ngikut ajah.”
Blum apa-apa sudah kayak gini ceritanya…apa yang terjadi besok-besok ya? Aduh mudah-mudahan aku nggak nyusahin Koya.

Ternyata begini suasana Jepang malam hari. Cukup dingin. . dan rumah Koya ini cukup hangat untukku. Aku malu banget tadi pas ketemu sama nyokapnya Koya..aku nggak bisa bahasa Jepang. Untungnya bokap Koya bisa sedikit bahasa Indonesia.. pernikahan Kak Nobu 4 hari lagi..aku isi dengan apa ya hari-hariku sebelum datang ke acaranya Kak  Nobu? Aku nggak tau, aku ingin tidur dulu, capek banget.

Keesokan harinya ibu Koya yang membangunkan Yadera dan menyuruh Yadera ikut dengan KOya pagi ini. Dengan mata yang masih sangat berat maka Yadera pun menuruti apa yang dikatakan ibu Koya.
“Kita mau kemana sih pagi-pagi buta kayak gini? Aku kan masih capek Koya…lagian ini jam berapa sih?”
“Eh..udah bagus juga aku kasi kamu tumpangan dirumahku. Udah gitu ngeluh lagi..mau kamu angkat kaki dari rumahku?”
“Tega amat sih kamu? Aku kan Cuma ngeluh dikit..”
“Kita ini mau nangkap katak.”
“Hah?! Buat apa?”
“Biasa aja nggak perlu kaget gitu dengernya. Ya buat dijual dong, dijadiin makanan. Kamu kira yang semalam yang kamu makan itu apa?”
“Jadi itu daging katak ya?”
“Bukan, daging ayam kok.”
Yadera memukul kesal Koya.
“h, kok mukul sih?”
“Habisnya..aku kirain itu daging katak!”
“Siapa juga yang bilang itu daging katak?”
“Udah ah, mau cari dimana?”
“Sawah.”
“Orang tua kamu jualan masakan katak atau Cuma jual dagingnya doang?”
“Cuma jual dagingnya aja. Ibuku alergi dengan daging katak.”
“Ngomong-ngomong kamu single ya? Aku kok nggak liat foto pacar kamu di rumah?”
“Oh, aku nggak punya.”
“Nggak pengen punya atau memang males nyarinya?”
“Aduh, aku nggak pernah mikirin yang begituan. Sekolah aja masih berantakan.”
“Kamu anak SMA juga?”
“Iya, aku sekarang sekolah di Indonesia selama 2 tahun..baru tahun ini aku kelas 2. Rencana sih Cuma sampe kelas 3 doang aku di Indonesia.”
“Kamu sekolah dimana?”
“Sma Umipta.”
“Hah?!” lagi-lagi Yadera terkejut.
“Kenapa sih? Dari ‘HAH’ melulu? Nggak ada kata lain apa?”
“Berarti kita satu sekolah dong?”
“Kita? Satu sekolah? Aku kok nggak pernah lihat kamu?”
“Aku anak bahasa.”
“Sama dong?”
“Hah? Tapi aku nggak pernah liat kamu!?”
Mereka jalan dipematang sawah yang gelap dan becek.
“Iya, aku baru masuk satu hari sebelum hari liburan musim panas. Jadi wajar kalo kita nggak ketemu.”
“Eh itu ada katak! Cepat tangkap!” teriak Yadera memecah keheningan.
Koya langsung mempersiapkan peralatannya dan mulai beraksi menangkap katak-katak itu. Sampai fajar menyingsing mereka masih sibuk menangkap katak itu. Sampai akhirnya Koya lelah.
“Eh, kok berhenti sih?”
“Capek tau! Nih gentian dong!”
“Tapi aku nggak bisa..”
“Gampang aja, kayak tadi itu caranya..”
Yadera mencobanya dan badannya belepotan dengan air sawah yang coklat itu. Tapi Yadera gigih dengan usahanya. Dalam waktu 15 menit saja sudah 30 katak yang ia dapatkan.
“Nih udah dapet. Pulang yuk, mandi. Malu kali diliatin orang banyak kita dekil kayak gini.”
“Ah, udah biasa mah orang disini pada belepotan. Kan banyak yang nangkap katak juga disini. Kebetulan ini memang sawah milik ayahku.”
“Ohh,”
“Ohayou!!” teriak salah seorang petani yang melewati Yadera dan Koya yang sedang duduk di pinggir pematang sawah itu.
“Ohayougozaimasu.” Jawab Yadera kepada petani yang lewat dengan senyum kesenangannya.
“Tuh kamu bisa bahasa Jepang?”
“Aku kan anak bahasa. Masa selamat pagi aja nggak bisa.”

Setelah mereka mandi dan sarapan, Koya mengajak Yadera jalan-jalan ke sebuah kolam kecil yang berada tidak jauh dari rumah Koya untuk memberi makan ikan-ikan koi yang ada disana.
“Ini milik ayahmu juga?”
“Bukan, ini milikku. Aku yang membuat sendiri kolam ini. Aku suka sama ikan-ikan ini. Udah dari aku kecil sampai sekarang Cuma 2 yang mati dari sekian banyak ikan.”
“Wah, ikan koi kan emang tahan lama.”
“Kamu sendiri tadi jago banget nangkap katak?”
“Hahha,  bawaan lahir kali?”
“Hahahaha, kamu ini lucu banget sih? Aku nggak pernah liat cewek senekat kamu!”
“Makasih.”
“Beneran, mulai dari kolam renang, di bandara, di pesawat sampe nangkap katak tadi..semuanya dilakukan dengan nekat. Tapi bukan hidup nekat mati singkat kan?”
“Ya enggaklah! Ngaco aja deh Koya ngomong!”
“Kamu sendiri, Oyi itu cowok kamu ya?”
“Bukan! Dia Cuma temen biasa aja. Tapi dia itu pengecut banget jadi cowok. Masa’ aku ditinggalin gitu aja di bandara?” Yadera langsung mengklarifikasinya.
“Ck, parah tu si Oyi.”
“Sumpah aku nggak mau temenan sama orang matre kayak gitu.”
“Matre gimana maksud kamu?”
“Aduh si Oyi itu cowok yang paling ‘parah’ yang pernah gue kenal. Udah cukup lama sih aku temenan sama dia. Ya kira-kira udah 3 tahunan lah..emang sih pertama-tamanya aja dia itu baik banget, mau bayarin apa aja ke aku, tapi eh lama-kelamaan dia punya klise gini, ‘aduh…gimana ya..bukannya aku nggak mau bayarin punya kamu..tapi kartu kredit punyaku lagi dikunci sama bokap…alasannya sih supaya aku nggak terlalu besar pakenya..’ ih nggak banget kan?! Ya terpaksa pake uangku dulu deh kalo bayar apa-apa. Tapi nggaj Cuma disitu, dia pernah ngancem aku, katanya kalo aku nggak beliin dia tas Rip Curl yang terbaru, dia bakal kelar temenan sama aku. Ya waktu itu aku terpaksa banget beliin dia tas bermerek itu. Padahal tas itu harganya setengah juta sekian..padahal kan aku ngumpulin uang buat terbang ke Nagoya. Ini aja sebenarnya setahun mundur dari rencana. Eh udah gitu Oyi ninggalin aku lagi di bandara. Kesel banget aku sama dia!!”
Tanpa sadar Yadera mengipak-ngipakkan kakinya ke kolam ikan yang luas itu.
“E…e..ee kalo kesal jangan kolam ikanku dong yang dipake pelampiasan..?!”
“Ups, sorry..aku kebawa suasana.”
“Ya dapat disimpulkan kalo Oyi itu jahat ke kamu…tapi kalo tiba-tiba suatu saat dia suka kamu gimana?”
“Ish…” mendesah jijik, “Amit-amit nggak pake imut-imut, ogah banget daku sama orang yang kayak begitu. Kalo aku pacaran sama cowok matre bisa-bisa nggak sampe nikah…baru pacaran aja udah melarat.”
“Orang tua kamu tau kalo Oyi kayak gitu sifatnya?”
“Nggak. Bodohnya juga kenapa aku nggak bilang sama nyokap.”
Yadera lantas berpikir sesuatu…
“Jika dia tidak menemani aku ke Nagoya…jangan-jangan dia…kyaaaaa!!!!!!!!” teriakan Yadera membuat ayam jantan yang diam diatas pohon mangga itu lari terbirit-birit.
“Kenapa lagi Fa?” tanya Koya yang bingung itu.
“Ini sangat gawat!!”
“Gawat apanya?” wajar Koya menjadi bingung dengan sikap Yadera yang berubah sekejap itu.
Yadera langsung sibuk mencri ponselnya..teng! dia baru ingat telah meninggalkan ponselnya di rumah.
“Aduh..mati aku sekarang. . . .” Yadera bersimpuh di jembatan kecil yang menuju kolam ikan.
“Tifany…kamu ini kenapa sih? Kayak kuda lumping aja?” tanya Koya sambil duduk bersila menghadap ke arah Yadera.
“Oyi pasti bilang kepada orang tuaku jika aku pergi seorang diri ke sini. Dan jika aku pulang nanti pasti aku langsung di kurung dirumah.”
“Jadi?! Selama ini kamu pergi ke sini tanpa sepengetahuan keluargamu?”
Yadera mengangguk pelan dan masih memegang kedua pipinya yang chubby itu.
“JIka tau seperti itu aku tidak akan mengajakmu ke sini bodoh!”
“Maaf, aku lupa menceritakan hal ini kepadamu.”
Yadera melihat kedua orang tua Koya sedang tertawa ketika melihat ekspresi Koya dan Yadera.
“Lebih baik sekarang kau pulang saja!” pinta Koya.
“Pulang? Aku baru satu hari disini!”
“Atau tidak cari penginapan saja buat dirimu sendiri, aku nggak mau menampung buronan seperti kamu!” entah mengapa Koya terlihat begitu marah, lalu ia masuk ke dalam rumah dan langsung memberesi koper yang dibawa oleh Yadera dan begitu Koya selesai denga koper itu ia langsung menyerahkannya begitu saja kepada Yadera.
“Nih kopermu! Sekarang angkat kaki dari rumahku!”
“Kamu jangan bercanda Koya, ini sama sekali nggak lucu!”
“Aku nggak sedang bercanda. Aku nggak suka ada buronan di rumahku.”
“Koya. Koya, … kamu  bercanda kan?”
Koya langsung menyeret paksa Yadera ke depan pintu gerbang rumahnya. Koya tampak begitu marah dan kesal, langsung ia tutup pintu gerbang itu dengan kasar didepan wajah Yadera yang setengah panik itu.
“Hei, Koya…jangan bercanda!! Kamu tega buang aku diwilayah yang nggak aku kenal ini?!”
Orang-orang yang sedang berbelanja makanan pun akhirnya menjadikan Yadera sebagai objek.
Yader merasa malu. Lalu dia menyeret kopernya yang berat itu dengan tidak sekuat tenaga. Lesu, begitulah gambaran Yadera yang baru saja diusir dari rumah Koya. Ia tidak tahu mengapa dirinya diusir dari rumah itu. Apa yang salah denganku? Apakah hanya gara-gara aku tidak jujur kepadanya? Atau mungkin aku terlalu munafik dimatanya? Aku bingung harus kemana setelah ini. Hari masih pagi dan aku nggak tau harus menemukan siapa lagi yang mau menampungku. Apa aku langsung saja menelpon Kak Nobu? Aku membawa nomor teleponnya. Tapi aku tak ingin merepotkan Kak Nobu, ia sekarang pasti lagi sibuk…tapi aku nggak punya pilihan lin selain menghubungi Kak Nobu.
Yadera langsung mencari telepon umum, dia masukkan koinnya dan langsung mendial nomor Kak Nobu. Setelah sekian detik tak diangkat, akhirnya ada seseorang wanita yang berbicara.
“Ohayougozaimasu…”
“Ohayougozaimasu…” Yadera tidak meneruskan kalimatnya karena dia tidak tahu harus mengucapkan apa lagi. Pengetahuan bahasanya masih sangat kurang.
Lalu Yadera coba mengucapkan, “Selamat pagi?”
“Selamat pagi…dengan siapa disana?” jawab wanita itu.
“Lulu ya? Krumaf Dahlu kan? Ini aku, Tifany Yadera!!” jawab Yadera girang.
“Tifany? Adik Nobu, bukan?”
“Iya, tolong jemput aku di …” Lagi-lagi Yadera berpikir. “Oh di Genjoku Store, tau kan?”
“Oh, tau. Akan kusampaikan pada Nobu. Tunggu disana ya?”
“Thanks Lulu, aku tunggu disini. Jangan lama-ama. Aku menelpon lewat telpon umum.”
Alangkah bahagianya Yadera ketika tahu akan segera berjumpa dengan Kak Nobu. Lalu ia menunggu cukup lama di depan deptstore itu. Sekitar 1 jam kemudian ada sebuah mobil mewah yang berhenti tidak jauh dari tempat ia duduk.
“Tifa-chan?” tanya seseorang.
Ketika Yadera mengadah, ternyata itu Kak Nobu yang ia cari selama ini.
Yadera langsung memeluknya, ia meneteskan tangis haru.
“Kak Nobu!!....” dia pun termehek-mehek.
“Ayo pulang. Aku rasa suhu badanmu agak meningkat.” Kak Nobu menuntunYadera masuk kedalam mobil serta membawakan kopernya. Mobil itu meninggalkan areal Genjoku store.
»•••«
Yadera menjelaskan mengapa ia nekat ke Nagoya.
“Jadi seperti itu ceritanya?” tanya Lulu.
“Maaf aku sudah merepotkan kalian yang akan mau menikah!” Yadera meminta maaf sambil membungkukkan badan dalam-dalam.
“Tidak apa Tifa-chan. Kakak sangat senang kamu ada disini sekarang. Maunya kakak yang kali ini ke sana menjemputmu, tapi kamu sudah terlebih dahulu datang kesini, ya apa boleh buat, seharusnya kakak yang meminta maaf tidak menjemputmu kesana. Kenapa ayah dan ibu tidak ikut?”
Jeng…ketika Kak Nobu menanyakan hal itu Yadera tidak tahu harus menjawab seperti apa.
“Sebenarnya gini Kak…aku nggak bilang ke Mama Papa kalo aku ke Nagoya. Artinya aku kabur.”
Lulu sempat terkejut, “Itu kan sangat bahaya Tifa-chan…lalu dengan siapa kamu ke sini?”
Astaga, lagi-lagi Yadera terdesak. Dan terpaksa ia harus menceritakan semuanya.
“Aku ke sini dengan teman Lulu, Koya.”
“Koya yang itu?” tanya Lulu sambil mempergakan ‘sedang memakai topi’.
“Iya. Dan semalam aku menginap dirumahnya. Tapi entah kenapa dia mengusirku pagi ini. Aku bingung, dalam waktu yang sekejap dia begitu marah dari yang tadinya ramah dan baik. Aku diseret keluar rumah dan dia tidak membukakan pintu lagi untukku.” Yadera menangis, mungkin karena sudah merepotkan Koya dan membuatnya marah.
“Sudah..sudah..yah mungkin Cuma salah paham. Sekarang kan sudah ada kakak disini. Jangan sedih lagi ya?” pinta Kak Nobu sambil merangkul mesra adiknya itu.
“Nanti biar Kak Lulu marahi Koya! Sudah seenaknya membuat kamu nangis seperti ini!” dengan semangatnya, Lulu memutuskan pensil yang ada ditangannya. Krrriaaak!
Nobu dan Yadera seperti orang yang tersengat listrik tegangan rendah.

Sudah 3 hari Yadera tinggal di rumah Nobu. Dia ikut membantu Lulu mendesain wedding cake untuk pesta ini. Tapi ia tidak bisa seceria dulu, dia selalu saja terfikir oleh Koya. Dia masih bingung mengapa Koya mengusirnya pagi itu, dia masih mencari dimana letak kesalahan yang ia perbuat. Tapi sudah berhari-hari ia tidak menemukan kesalahan yang ia buat.
“Tifa-chan..ikut Lulu yuk?”
“Kemana?”
“Memesan kue ini. Nanti aku belikan kue yang lezat, bagaimana?”
“Boleh, tapi aku nggak suka rasa coklat.”
“Iya, kau boleh memilih sesuka hatimu.”
Naik mobil mewah, ada sopirnya. Aku nggak pernah ngerti kenapa Kak Nobu nggak pernah memberikan aku yang seperti ini di Indonesia sana. Yang aku duga selama ini pasti Mama menyuruh Kak Nobu untuk membiarkanku mandiri. Tapi mana? Kak Nobu juga eksekutif muda, banyak  uangnya. Lulu juga dari keluarga kaya..banyak punya uang…enak banget mau ditraktir kue enak…fuuh…hidupku selalu menyusahkan orang lain.
“Tifa-chan..kenapa dari kemarin-kemarin kok nggak ceria gitu?”
“Aku kepikiran sama diriku. Aku nggak tau kenapa Koya mengusirku. Aku rasa aku nggak punya sama apa-apa sama dia.”
“Hoho, jadi ceritanya kamu kangen nih sama dia?”
“Hah?! Kangen?”
“Apa lagi kalo bukan kangen namanya. Buktinya kamu kepikiran sama dia. Yah meskpiun nggak secara langsung mikirin dia lagi ngapain .. tapi itu udah nunjukkin kalo kamu kangen sama dia. Kamu tau nggak Koya itu umurnya berapa?”
“Kak Lulu berapa?”
“24. Kamu?”
“17?”
“Ya sama. Koya juga masih bocah ingusan. Iya kan? Pasti dia udah cerita sama kamu?”
“Kami satu sekolah kok. Dia murid baru, jadi aku belum tau jika dia satu jurusan denganku di sekolah.”
“Wah…kebetulan sekali…seharusnya kamu senang dong? Setiap hari bisa ketemu kan?”
“Ketemu?”
“Iya. Kenapa wajahmu jadi muram seperti itu? Aku salah ucap ya?”
“Tidak..”
Yadera bingung dengan keadaannya jika setiap hari bertemu dengan Koya. Untuk saat ini Yadera belum bisa menjawabnya.

Lulu begitu fasih berbahasa Jepang. Padahal baru sekian bulan disini.. sedangkan aku yang sudah belajar dari tahun lalu masih ngak-ngik-nguk ngomong disini. Untungnya Lulu bisa berbagai macam bahasa, jadi aku tidak kesusahan berkomunikasi dengannya, walau terkadang terdapat kesalapahaman kecil. Kue disini semuanya cantik dan kelihatannya pun manis…tapi apa benar yang dikatakan Lulu, kue-kue disini sangat enak? Aku jadi ingin mencobanya…
Yadera mengambil kue vanilla yang berbentuk seperti permen itu. Jika dirupiahkan harganya sekitar Rp 20.000/batang. Padahal kue itu mungil, hanya menang dibentuk luarnya saja.
“Kak, aku ambil yang ini.,,sepertinya kakak masih lama..aku tunggu diluar ya?”
“Iya, jangan jauh-jauh.”
Tiba-tiba saja aku teringat jika masih mempunyai souvenir dari pesawat yang aku tumpangi, aku mengambilnya di dalam tas, tapi bukan itu yang ku dapatkan..melainkan sebuah pin baju yang sangat indah. Dan aku tidak ingat jika pernah mempunyai benda ini. Aku berusaha mengingatnya..tetapi aku memang tidak pernah membeli pin ini. Atau ada yang sengaja menaruhnya di dalam tasku? Nanti saja aku tanyakan kepada Lulu.

“Lama banget?”
“Maaf Tifa-chan..agak sedikit rumit soalnya. Tapi aku bingung, kenapa kamu ambil kue yang kecil seperti itu?”
“Yang besar mahal.”
“Oh, nggak perlu khawatir soal harga..”
“Aku tau kalian punya duit banyak. Tapi alangkah baiknya jika sebagian disumbangkan ke panti asuhan. Pasti lembaga swasta seperti itu susah mendapatkan bantuan pemerintah.”
“Lho?”
“Setelah aku melihat keadaan orang tua Koya yang pas-pas-an, aku jadi tau betapa susahnya cari uang dari hasil keringat sendiri. Aku sempat merasakan mencari katak bersama Koya di pagi buta. Aku memaksakan mataku yang masih lengket demi tidak merepotkan Koya maupun orang tuanya. Ternyata begitu susahnya mencari uang, tidak sebanding dengan perjuangan untuk mendapatkan apa yang harusnya dijual.”
“Jadi Tifa-chan ikut mencari katak dipagi buta? Tidak!” Lulu terkejut.
“Memangnya kenapa? Ada yang salah lagi?”
“Kali ini pasti tidak salah.”
Kalimat yang menggantung itu membuat tanda  tanya besar di kepala Yadera.
»•••«
Hari pernikahan tiba juga. Lulu terlihat begitu cantik dan anggun menggunakan gaun pernikahan yang putih itu. Wajahnya begitu berseri-seri, tampak seperti boneka Barbie yang selalu tersenyum. Nobu juga terlihat amat tampan dengan jas hitamnya dan rambut pendeknya.
“Ya ampun..ini beneran Kak Nobu?”
“Tifa-chan…kakak gugup nih. Takut salah ucap nanti.”
“Jangan gugup, ingat…satu kali dalam seumur hidup. Tenang saja kak, nanti biar aku yang merekam semuanya. Janji deh  nggak ada moment yang nggak kerekam.”
“Thanks ya Tifa-chan ku yang kirei….kamu juga tampak imut menggunakan gaun itu. Beli dimana?”
“Kak Lulu yang belikan, aku jadi nggak enak hati sama Lulu.”
“Haha, dia memang begitu orangnya. Kalo dia kayak gini berarti dia benar-benar suka sama kamu. Sudah ya..kakak harus menyiapkan cincinnya dahulu.”
Sampai sekarang pun aku nggak pernah ngerti kenapa Koya seperti itu. Pasti Lulu tahu sesuatu, tapi dia tidak kunjung membukanya dihadapanku. Nanti pasti aku akan bertemu dengan Koya, dan aku belum mempersiapkan kata-kata yang tepat untuknya. Aku masih bingung sama diriku sendiri.

Aku sedang merekam moment yang bahagia ini. Semua orang tampak gembira, apa lagi dari kedua keluarga mempelai..senyum selalu terkembang diwajah mereka. Aku tidak akan melewatkan ini semua dengan sia-sia! Mulai dari awal sampai akhir aku rekam semuanya dalam handycam milik Kak Nobu ini. Tapi ditengah-tengah aku tidak tahan harus ke kamar kecil. Handycam itu aku letakkan, dan lalu aku masuk ke dalam toilet. Ketika aku sudah usai dengan itu semua, handycamnya tidak ada. Aku ragu, apakah aku letakkan dikursi itu atau aku titipkan pada seseorang. Karena pengunjung disini banyak sekali, banyyaaaak sekali..aku bingung! Kak Nobu pasti sangat marah jika handycam itu sampai hilang!!
“Ehm, mencari ini?” tanya seseorang.
“Katak!” teriak Yadera spontan.
“Katak??” Koya ikutan bingung.
“Bukan, …em…maksudku..kamu kok baru datang? Habis mencari katak?”
“Iya..tadi aku bangun kesiangan. Maaf!”
Yadera meraih handycam itu dari tangan Koya.
“Kamu tidak memberi selamat kepada Kak Nobu?”
“Sudah, baru saja. Lulu cantik sekali, aku tidak pernah liat dia se-anggun itu. Dulu dia tomboy, seperti kamu.”
“Aku??”
“Iya, iya kan?”
Yadera pergi menuju meja kue.
“Kenapa?”
“Gak penting tau nggak sih nanyain kayak gitu. Seharusnya kamu bisa nilai sendiri.”
“Lho? Itu kan brosku yang hilang?”
“Salah sendiri, ngapain kamu taruh ini didalam tasku?”
“Hehe, ketahuan juga..”
“Jadi benar kamu sengaja melakukannya?”
“Sorry ya, aku ingin kamu memiliki bros itu.”
“Pantas saja tadi Lulu kaget melihat aku menggunakan bros ini.”
“Lulu belum cerita?”
“Cerita apa? Tentang apa?”
“Soal katak itu.”
“Katak? Katak yang mana?”
“Yang kita tangkap di pagi buta itu.”
“Tidak, dia tidak mengatakan apa pun kepadaku.”
Koya menepuk jidatnya dan lalu langsung mengambil kue yang ada dimeja.
“Kamu rakus banget, malu dikit dong…masa makannya kayak gitu?”
“Sorry, …aku kaget juga sama Lulu.”
Kemudian dia menjangkau soft drink di atas meja.
“Sekarang jelaskan semuanya kepadaku, kenapa kamu ngusir aku pagi itu?”
“Maaf ! itu aku Cuma bercanda!”
“Bercanda kepalamu,! Untung aja aku telfon Kak Nobu!”
“Iya aku bingung banget waktu kamu udah nggak ada disekitar situ! Aku kira kamu diculik…tapi siapa sih yang mau culik kamu? Uang aja nggak punya…”
Perkataan itu membuat Yadera semakin sinis kepada Koya.
“Ya sudah, trus mau kamu apa lagi sih?”
“Katak!” kini giliran Koya yang berteriak ‘katak’ dan membuat Yadera bingung.
“Katak??”
“Bukan,…bukan itu maksudku!”
“Apa?”
“Katak…”
Ada apa sebenarnya dengan katak??? ??
“Juragan katak iya itu kamu..”
“Disamping itu…kamu mau nggak nangkap katak lagi besok pagi?”
“Hah?!”
“Iya, katak.”
Aku tidak paham dengan apa yang dimaksud dengan ‘katak’ itu.
“Katak…?”
“Iya ka-a-ta-a-ka..jadinya katak.”
“Please aku nggak ngerti.”
“Ayolah…masa’ kamu nggak ngerti?”
“Sebentar, aku pikir lagi…tunggu.”
Ternyata Nobu dan Lulu diam-diam memperhatikan mereka.
“Selagi kamu mikir, aku mau ambil sesuatu dulu. Boleh kan?”
“Ok, terserah.”
Koya mengambil sesuatu di suatu tempat.
Jangan-jangan yang dimaksud katak itu adalah…
“Jadi udah ketemu.”
“Sudah!”
“Lho? Yakin nih sudah?”
“Yakin!”
“Kalo salah gimana?”
“Ya berarti aku nggak benar.”
“Huhh, okelah…whatever you say…tapi intinya Cuma satu..” kalimat Koya dipotong oleh Yadera.
“Pernyataan cinta.”
Keduanya sempat terdiam sejenak.
“Jreng..jreng!!! Anda mendapatkan satu buah souvenir dari juragan katak!!”
“A..udah deh, apaan sih? Nggak lucu.”
“Ih, nggak lucu tapi kamu kok ketawa?”
“Yang lucu itu bukan kamu, tapi bonekanya. Thanks.”
“Kamu mau kan nyari katak lagi sama aku besok pagi?”
“Iya, tapi jam 3 pagi gimana?”
Raut wajah Koya masam.
“Haha, bercanda. Aku tau jam segitu kamu masih mimpiin aku kan?”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar