Panas benar-benar menyengat diluar sana. Tanah pun sedikit kering karena sudah lama pengairan disini bermasalah. Merasa bosan didalam rumah, Daisy mencoba berjalan-jalan diluar dengan membawa sebuah payung. Dia tidak tahu Mailo pergi kemana karena dari beberapa menit yang lalu dia sedang sibuk membereskan kamarnya. Sedangkan Mama sedang tidur siang, karena Daisy tak biasa tidur siang, maka ia memilih berjalan-jalan disekitar perumahan yang berujung pada sawah kering. Dia cukup terkejut ketika menemukan sebuah boneka sawah di ujung sawah kering itu. Dengan perlahan Daisy mencoba mendekatinya dan melihatnya lebih dekat lagi. Kali ini boneka sawah yang ia temui memakai kimono berwarna orange dan ada topi yang melindungi kepala yang terbuat dari gumpalan kain. Daisy mencoba merabanya, tetapi dia dikejutkan oleh Mailo yang terengah-engah mencarinya.
“Eh? Kenapa ada boneka sawah disini?”
“Jadi Kakak tidak tahu jika disini ada seperti ini? Aku kira Kakak pernah ke sini? Jadi belum ya?”
“Pernah kok. Tapi sudah lama sekali. Karena sawah disini terlalu basah dulu, aku tidak diperbolehkan Mama untuk main ke sini. Tapi seingat Kakak boneka ini tidak ada dulu?”
Mailo ingin menyetuh boneka itu, tapi tangannya keburu diraih Daisy. “Kak, Mama tidur ya?”
“Iya, kenapa? Kamu bosan dirumah Daisy?”
“Lumayan Kak. Ada hal menarik tidak di daerah sini? Aku ingin sesuatu yang baru.”
“Kamu mau tidak mengunjungi kandang sapi atau mungkin peternakan ayam? Ada sih di sekitar sini.”
“Bolehlah, dari pada aku bengong sendirian dirumah?” Daisy menyodorkan payungnya kepada Mailo. Mailo menerima dengan senang hati dan juga ikut memayungi Daisy. Ketika mereka pergi dari tempat itu, Daisy sempat menengok ke belakang ketempat boneka sawah itu berada. Dan apa yang dilihat Daisy? Boneka sawah itu melambaikan tangan kepada Daisy seolah-olah tersenyum.
“Hah?!” Daisy terkejut dan berhenti dari langkahnya.
“Kenapa Dai?”
“Tidak, hanya saja leherku agak sedikit pegal karena berhimpitan di bus tadi pagi. Ayo kita jalan Kak?”
Mailo jadi curiga lalu melihat ke arah yang sama, tetapi boneka sawah itu tetap pada posisinya. Terentang dan diam.
Daisy melihat banyak sapi dan anak-anaknya. Dari jenis sapi jawa sampai sapi australia. Dan disamping kandang sapi itu ada peternakan ayam yang lumayan besar. Bahkan Daisy sempat ikut membantu pemilik untuk memberi makan anak ayam. Karena hari sudah sore, mereka memutuskan untuk pulang, tetapi di tengah perjalanan mereka bertemu soerang nenek-nenek yang tersungkur di tanah dan semua ubinya berserakan. Langsung saja Daisy dan Mailo menolong nenek renta itu.
“Ya ampun Nek! Ayo bangun, apa Nenek tidak apa-apa? Kak, tolong ubinya!”
Segera Mailo memasukkan ubi-ubi itu kedalam keranjang besar.
“Aauh…pinggang Nenek…” keluh nenek itu.
“Nenek? Duduklah dipinggir Nek! Saya dan kakak saya akan membereskan ubi-ubi milik Nenek!”
Daisy langsung membantu Mailo memasukkan ubi ke dalam keranjang. Setelah selesai mereka mengangkutnya ke sebelah nenek itu duduk.
“Nenek mau kemana?” tanya Mailo yang ikut duduk di sebelah nenek.
“Nenek habis mencabut ubi-ubi itu untuk Nenek bawa ke rumah Nenek…cucu-cucu Nenek sangat menginginkan ubi rebus. Tapi Nenek tidak kuat membawa ubi-ubi itu seorang diri. Jadilah Nenek terjatuh..” ucap nenek itu dengan suara paraunya.
“Wah jika seperti itu kaki Nenek pasti sakit. Rumah Nenek dimana? Biar kami antarkan Nenek sampai rumah.” Tanya Mailo yang kelihatannya sangat senang membantu orang lain.
“Rumah Nenek ada di ujung jalan ini.”
Daisy berdiri kemudian sedikit jinjit untuk melihat rumah yang berada paling ujung dari jalan ini. “Eh? Yang bergenteng seng itu ya Nek?”
“Iya…” jawabnya terbata-bata sambil memegangi punggungnya.
“Kak! Biar aku yang membawa ubinya. Kakak gendong Nenek saja ya!?”
“Sip!”
Keranjang ubi yang lumayan berat itu diangkat oleh Daisy dan Mailo menggendong Nenek itu dipunggungnya. Mereka berjalan menantang sinar mentari sore. Sore itu memang terasa sangat indah, dengan hadirnya seorang nenek yang terjatuh di jalan bisa membuat Daisy dan Mailo semakin memahami dan mengerti arti dari sebuah hidup sosial. Tidak seperti di kota yang semuanya berdiri dengan kaki sendiri dengan keegoisan yang sangat tinggi.
“Nah, sudah sampai Nek…” kemudian Mailo menurunkan nenek itu ke sebuah dipan empuk dan ke 5 cucu nenek itu langsung menyerbu dan semuanya masih berumur rata-rata 7 tahun.
“Nenek…Nenek…kenapa…?” tanya anak-anak itu.
Melihat anak seumuran seperti itu, Mailo teringat kala Daisy yang mengunjunginya ditengah sawah pada saat hujan lebat dan tersenyum kepadanya. Sedangkan Daisy meletakkan keranjang ubi itu di sebuah pojokan rumah dan anak-anak kecil itu mengelilingi Daisy berterimakasih karena sudah menolong nenek mereka.
“Terima kasih Kakak sudah menolong Nenek…terimalah beberapa ubi ini untuk kalian.” Ucap salah satu dari mereka kepada Mailo dan juga Daisy.
“Oh?! Ya ampun…terima kasih adik kecil…tapi apa kalian tidak kekurangan jika memberi kami ubi ini? Kata Nenek, kalian sangat menginginkan ubi goreng?”
“Ambillah Nak…Nenek tidak bisa memberi apa-apa selain itu. Kami suda cukup dengan ubi sebanyak ini.” Nenek itu menyandarkan dirinya ke sebuah bantal besar.
“Wah, kami sangat tersanjung Nek! Terima kasih! Jika Nenek perlu bantuan kami, kami ada dirumah besar hijau itu. Kami senang dapat membantu Nenek!” Daisy sama girangnya dengan Mailo yang sudah berhasil mengantarkan nenek itu sampai rumah di sore ini. “Kalau begitu kami pulang dulu ya Nek! Sampai jumpa!” Daisy langsung pamitan, tetapi Mailo masih memandang anak-anak kecil itu lalu segera menyusul Daisy pulang.
Mama sedang menyapu halaman rumah sore ini. “Kalian darimana saja? Mama sampai bingung mencari kalian.”
“Maaf Ma, tadi kami baru saja mengantarkan nenek yang terjatuh di jalan. Ini kami mendapat ucapan terima kasih berupa ubi.”
“Iya Ma, nenek itu tidak kuat membawa keranjang ubinya yang penuh. Jadi kami berusaha menolongnya.”
“Wah, Mama sangat senang memiliki kalian berdua yang tidak egois!” Mama langsung memeluk kedua anaknya erat.
Melihat daun kering tertumpuk banyak, Daisy langsung meraih sapu lidi yang digenggam Mama dan membuat daun-daun kering itu bersih dari halaman rumah. Mailo juga, dia membantu Daisy mengumpulkan daun-daun kering dan membuatnya menjadi humus atau kompos. Setelah selesai melakukan semuanya mereka mandi dan setelah itu makan malam. Mereka terlibat dalam obrolan yang hangat dan atraktif. Ketika malam lebih larut dari biasanya, Mailo dan Daisy naik ke atap lagi untuk melihat sejuta bintang.
“Mengapa bintang itu selalu indah jika dipandang dari sini?” tanya Daisy kepada malam yang sunyi.
“Daisyku sayang,..” panggil Mailo.
“Apa kakak? Merasa lebih lega?”
“Lebih lega? Iya setelah menolong nenek tadi. Tapi kenapa terasa aneh ya sore ini? Ada 2 hal baru yang aku lihat.”
“Apa itu Kak?”
“Pertama aku tidak pernah melihat boneka sawah yang berada diujung itu. Kedua, selama aku tinggal disini aku tidak pernah melihat nenek yang kita tolong tadi. Aku merasa aneh saja Dai. Seperti ada yang janggal hari ini.”
“Ah, perasaanmu saja kali Kak Mailo?” Daisy juga teringat dengan boneka sawah yang melambaikan tangan padanya.
“Tidak Dai, ada yang aneh disini. Apa ya?”
“Tapi aku rasa Mama biasanya saja kan?”
“Sepertinya kamu juga menyembunyikan sesuatu dariku ya Dai?”
“Ih, kenapa Kakak tahu? Ya sih Kak, ada yang mengganggu pikiranku.”
“Katakan Daisy sayang.”
“Boneka sawah itu tadi melambaikan tangan padaku. aku sendiri tidak yakin dengan apa yang aku lihat siang tadi.”
“Benarkah? Pantas saja, aku merasa ada yang berbeda saat melihat boneka sawah tadi.”
“Tapi aku tidak tahu itu apa Kak. Apakah ini suatu pertanda buruk buat kita Kak?”
Bintang-bintang bersinar dengan terangnya diangkasa malam, tetapi itu tidak membuat jawaban tadi sore jadi terungkap. Mereka lama memandangi bintang sampai angin malam berhembus menandakan mereka harus kembali ke kamar masing-masing.
“Sudah malam adikku tersayang, saatnya kita untuk tidur.” Ajak Mailo yang kalung safir birunya bercahaya dimalam gelap.
“Aku tidak pernah tahu jika kalung Kakak itu bisa bersinar.”
“Hm? Lalu kamu dulu mendapatkannya dimana?”
“Aku dulu mengambilnya di sungai disekitar sini. Aku rasa disungai belakang sana. Bagaimana jika besok kita kunjungi sungai itu?”
“Hah? Kamu mengambilnya dari sungai yang ada dibelakang sana? Tidak ada seorang pun yang berani ke sana seorang diri.”
“Oya? Aku malah tidak pernah mendengarnya, memang ada apa disana Kak? Ada penyihir jahat ya?”
“Bukan, tapi ada banyak binatang buas. Pernah ada yang melihatnya disana. Buaya atau mungkin ular. Kakak tidak akan mau kesana ah! Kemudian, bagaimana cara kamu mendapatkan kalung ini??”
“Kalau tidak salah aku kesana kemudian menemukan batu ini di pinggir sungai, makanya aku bisa mengambilnya. Aku juga tidak tahu, aku langsung melihat batu ini berkilauan. Jadi aku ambil buat Kakak. Mungkin Kakak dan batu ini memang berjodoh, jika tidak batu ini pasti sudah hilang di ambil petani. Iya kan? Atau mungkin karena batu ini Kakak bisa berubah jadi manusia? Huh, tidak ada satu orang pun yang bisa menjawabnya.”
“Ayo tidur, aku sudah ngantuk banget. Ya kita lihat saja besok, jadi ke sungai itu atau tidak.”
Mereka akhirnya mengurungkan niat untuk ke sungai itu. Mama marah-marah kepada Daisy karena sungai itu sangat berbahaya bagi mereka. Dan Mama tidak mengatakan jelas alasan kenapa mereka tidak diperbolehkan ke sungai itu.
“Lho? Tapi Mama harus bilang dulu alasannya kenapa kami tidak boleh kesana?” Daisy memojokkan Mama.
“Sudahlah Daisy, orang disini tidak akan ada yang berani datang ke sungai itu! Itu sungai terlarang! Jangan pernah datangi, atau Mama akan menghukummu!” Mama meninggalkan Daisy yang sudah dongkol di ruang makan itu.
“Huh! Apa sih? Memangnya disungai itu ada apa sih? Pokoknya aku harus kesana melihatnya! Dulu aku kan kesana, dan buktinya tidak terjadi apa-apa!”
“Sudahlah Dai, kata Mama engga boleh ya jangan datang kesana. Aku engga mau kamu kenapa-kenapa. Jangan ngelawan Mama. Dia engga pernah main-main sama kata-katanya. Kamu mau jadi Malin Kundang?”
“Tapi Kak!” Daisy menarik kakaknya keluar ke halaman depan. “Dulu aku kesana dan tidak ada apa-apa! Lihat, aku baik-baik saja kan? Aku ingin Kakak menemani aku ke sungai itu.”
“Wah! Gila kamu Dai! Kakak tidak akan mau kesana! Bahkan aku pernah bermimpi buruk tentang sungai itu! Berkali-kali sampai akhirnya Mama yang mengusir mimpi buruk itu dengan nyanyian tidurnya! Tidak ah! Untuk yang satu ini aku tidak mau! Pokoknya kamu jangan nekat Dai! Bahaya! Ngerti bahaya kan?”
“Aduh Kakak…” Daisy terus merajuk.
“Psssttt! Sekali tidak ya tidak. Kakak tidak mau membangkang Mama. Sekarang lebih baik kita sarapan dulu. Pasti Mama sudah masak buat kita.”
Daisy masih penasaran dengan sungai itu sampai tengah hari ini. Dengan suntuknya dia menghampiri rumah nenek yang ia tolongnya kemarin. Melongok tapi rumah itu tampak tak berpenghuni, mencoba masuk kedalamnya seperti tidak ada kehidupan disana. Padahal kemarin sore disini sangat ramai dengan anak kecil yang gembira karena nenek mereka membawa ubi hasil tanam sendiri. Tapi, kemana semua sekarang itu? Daisy mencarinya ke belakang gubuk nenek, tapi yang ada hanya satu pakaian berwarna ungu yang lusuh.
“Daisy? Sedang apa disini? Mama memanggilmu, ada yang mau dibicarakan katanya.” Tegur kakaknya yang sengaja mencari Daisy keluar.
“Kak…coba lihat ini…” Daisy membuka kain penutup gubuk itu. Saat Mailo masuk yang ia rasakan sama seperti yang Daisy lihat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. “Aku sedang mencari nenek yang kemarin kita tolong, tetapi aku berpikir jika gubuk ini sudah sangat lama tidak di jamah tangan manusia.”
“Benar…tapi entahlah Dai. Ayo pulang? Mama sudah menunggumu di kamarnya.” Mailo membawa pulang Daisy. Tapi mata Daisy masih menatap gubuk itu. Ketika mereka sudah cukup jauh dari gubuk itu, ada sekelibat tatapan anak kecil yang menatap Daisy dari balik kain penutup pintu gubuk reot itu.
“Mailo!” spontan ia memanggil kakaknya.
“Kenapa Daisy?”
“Aku melihat anak kecil itu melihat kita dari balik kain gubuk itu…”
Mailo menoleh ke belakang dan mempertajam matanya, tapi yang ada hanya gubuk reot.
“Fatamorgana mungkin Dai, siang ini kan panas sekali?” Mailo melanjutkan menggiring adiknya pulang.
Tapi tadi aku yakin sekali ada anak kecil yang kemarin, sedang menatapku juga Mailo…apa benar itu Cuma efek fatamorgana di siang sepanas ini? Aku mulai merasa ada yang aneh di lingkungan ini.
Daisy sendirian ke kamar Mama dan menemukan Mama sedang menjahit sesuatu di atas tempat tidur.
“Ada apa Mama memanggilku?” Daisy mendampingi Mama duduk disampingnya.
“Mama Cuma ingin minta maaf sudah memarahimu tadi pagi Dai…Mama sadar Mama ini Cuma Ibu sementara.”
“Kok Mama ngomongnya gitu? Mama ya Mama, aku senang dimarahi seperti itu. Mama tahu selama ini aku tidak pernah dimarahi seperti itu..didik aku Ma...”
“Tapi ada satu yang Mama belum kasi tahu ke kamu Dai.”
“Apa Ma? Tentang sungai itu?”
“Tapi tolong jangan beritahu ini kepada Mailo..”
Daisy merasa Mama akan memberitahu sebuah rahasia besar yang menyangkut tentang Mailo. Dan mungkin ini berkaitan dengan sungai dan mungkin juga lingkungan ini. Daisy kembali duduk disamping Mama.
“Kenapa Ma? Selama ini ada hal yang mengganjal dihati Mama?”
“Sebenarnya…,” Mama meletakkan apa yang sedang ia kerjakan. “Mailo itu hidup karena batu safir yang kamu berikan kepadanya. Dan Mama tahu dan Mama melihat kamu mengambil batu safir itu di sungai itu sewaktu siang hari. Mama melihat semuanya, apakah kamu masih ingat Dai?”
Daisy mencoba mengingatnya, tapi mungkin itu terlalu lama jadi tak terekam begitu bagus diingatan Daisy. “Aku tidak begitu ingat Ma. Tapi aku pernah kesana sekali. Ada apa Ma dengan batu yang aku ambil?”
“Batu itu adalah batu ajaib. Siapa pun yang memiliki batu itu jika dia makhluk hidup akan penuh dengan keberuntungan. Dan jika di kenakan pada benda mati maka benda itu akan hidup. Dan kamu sudah meletakkan benda di itu leher boneka sawah yang kini menjelma menjadi Mailo.”
“Jadi semua karena batu itu? Itu berarti jika batu itu diambil…Mailo akan kembali menjadi boneka sawah?”
“Mama tidak pernah tahu itu Daisy. Mama tidak berani mengambil atau melepas kalung itu. Karena Mama pernah bermimpi di datangi seorang nenek dan di dalam mimpi Mama, nenek itu bilang jika Mama tidak diperkenankan melepas kalung itu dari leher Mailo.”
“Kapan Mama mendapat mimpi itu?” Daisy mulai menyatukan puzzle yang berantakan.
“Beberapa hari yang lalu Dai, mungkin sekitar 2 atau 3 hari. Tolong ya Daisy, Mailo dijaga. Mama tahu kamu bisa menjaga Mailo dari semua bahaya, dan Mama juga tahu jika kamu sangat menyayangi Mailo.”
“Lalu, dari mana Mama tahu jika batu itu yang membuat Mailo bernyawa?”
“Saat Mama menemukannya menangis di tengah sawah, batu itu menyala amat terang. Warnanya seindah samudra. Bahkan, Mailo pernah bilang ingin melihat laut. Dan dari situ Mama mengambil kesimpulan jika batu itu yang memberikan nyawa kepada Mailo. Dan ditambah dengan mimpi Mama tentang nenek itu, pasti batu itu!”
“Iya Ma…tapi aku tidak ingat saat mengambil batu itu. Karena itu sudah sangat lama sekali. Tapi kemarin Mailo pernah mengatakan jika ia sangat takut jika suatu hari kembali lagi menjadi boneka sawah.”
“Mama menyerahkan semua ini kepadamu. Jagalah Mailo untuk Mama, Daisy.”
Kemudian Daisy menghela napas dan keluar dari kamar Mama. Daisy melihat Mailo sedang makan roti dibawah, dia memanggangnya sampai gosong.
“Kakak! Itu rotinya gosong!”
Mailo segera mengangkat rotinya dari panggangan. “Eh? Aduh…kenapa lama sekali di kamar Mama? Ngobrol apa sih? Ngobrolin aku ya?”
“Huu! Jangan GR dong!” Daisy duduk disamping Mailo yang sedang mengoleskan margarin ke atas rotinya. “Kak, sudah berapa hari aku disini ya?”
“Kenapa? Kamu tidak betah di kampung? Ingin kembali ke kota?”
“Hm, tidak juga sih…tapi aku sedang ingin ke pantai.”
“Pantai?”
“Iya pantai. Disekitar sini tidak ada ya?”
“Pantai itu apa Dai?”
“Pantai itu laut.”
“Laut?! Aku bahkan tidak pernah tahu dan tidak pernah melihat bagaimana laut itu.”
“Astaga…bagaimana jika kita sekeluarga pergi ke pantai? Di kota ada banyak akses untuk menuju ke pantai. Apakah Kakak mau? Jika Kakak…”
“Kapan Daisy? Kapan?”
“Jadi Kakak mau pergi ke pantai bersamaku dan juga Mama?”
“Katakan padaku Dai! Kapan?!”
Mailo sudah mengabaikan roti gosongnya dengan menggoyang-goyangkan tubuh Daisy.
“Oke oke…bagaimana jika besok kita kembali ke kota? Dan aku rasa keadaanku sudah kembali normal. Bagaimana?”
“Mama!” Mailo langsung memanggilnya dengan teriak.
Dengan tergesa-gesa Mama langsung keluar menghampiri mereka. Wanita paruh baya itu terengah-engah sambil penasaran saat melihat wajah Mailo yang cerah itu.
“Kenapa Mailo?”
“Mam! Besok kita akan ke kota bersama Daisy! Dia akan mengajak kita ke laut!”
“Pantai Mailo…”
“Iya Mam! Pantai! Mama besok ikut ya?”
“Oh? Ya jika itu bagus untuk Mailo, Mama akan dukung. Tapi siapa yang akan jaga rumah ini Mailo?”
“Kan ada Pak RT? Lagian rumahnya tidak jauh dari sini kan?”
“Baiklah, jika memang seperti itu, Mama akan berkemas.” Wanita paruh baya itu kembali meneruskan perkerjaannya yang tertunda.
Diluar mentari sore bersinar hangat. Burung-burung hinggap di pepohononan tinggi dan angin mengibaskan rambut panjang Daisy. Suasana ini membuat Daisy benar-benar tentram.
“Sayang, di kota tidak akan ada suasana seperti ini.”
“Jadi, setelah ini kamu akan tinggal di kota, begitu Daisy?”
“Aku tidak tahu Kak. Aku bahkan sudah memutuskan untuk tidak merencanakan semuanya, aku biarkan berjalan apa adanya. Kakak takut jika aku meninggalkan Kakak, begitu?”
“Iya jelas aku sangat takut. Karena sekarang yang aku punya hanya kamu dan Mama.”
Mereka berjalan menyusuri jalan besar desa, melihat para petani yang sedang memanen padi.
“Aku kan sudah bilang, aku tidak akan pernah meninggalkanmu Kak.”
“Tapi bagaimana jika suatu hari kedua orang tuamu keberatan menerima aku dan Mama?”
“Kita tidak pernah tahu jika kita belum mencobanya. Dan aku tidak akan biarkan satu orang pun memisahkan kita.”
“Terima kasih untuk semuanya.”
“Seharusnya aku yang berterima kasih Kak. Aku tidak tahu jika aku tidak memberikan kalung itu kepadamu.”
“Hm? Kalung ini maksudmu? Ada apa dengan kalung ini?”
“Maksudku…kalung itu indah. Cocok sekali Kakak pakai. Jangan pernah dilepas ya Kak. Itu adalah harta yang sangat berharga buat Kakak dari Adik.” Daisy merangkul kakaknya mesra.
“Terima kasih sekali lagi. Sebenarnya harta Kakak yang paling indah dan berharga Mama dan kamu, Daisy. Kalianlah yang memberi nyawa kepadaku. Kalian membuat hidupku berwarna.”
Daisy melihat boneka sawah yang kemarin melambaikan tangan padanya.
“Itu kan boneka sawah yang kemarin ada di dekat rumah kita? Tapi kenapa sekarang bisa berada di tempat sejauh ini?”
“Eh? Itu kan…lho jauh sekali dia dipindahkan?”
Daisy dan Mailo menghampiri boneka sawah berkimono itu. Boneka itu tampak lebih bagus dari pada sebelumnya. Pakaiannya menjadi lebih bersih dan lebih rapi. Ada yang menarik-narik celana Mailo.
“Kakak sedang apa disawah milik ayahku?” tanya seorang anak laki-laki berumur 9 tahun.
“Tidak, kami hanya sedang melihat boneka sawah ini lebih dekat. Adikku ingin melihat boneka ini lebih dekat. Bolehkan adik kecil?”
“Dia ini temanku Kak. Ayah menemukannya di selokan sekitar sini beberapa hari yang lalu. Jadi Ayahku mengambilnya untuk menjaga sawahnya dari burung-burung nakal.”
“Benarkah dia ini temanmu, adik kecil?” Tanya Daisy sambil membawa anak itu mendekat kepada boneka sawah.
“Iya, bahkan aku sudah memberinya nama.”
“Oya?! Boleh tidak Kakak tahu nama teman barumu ini siapa?”
“Namanya Kesya. Dia cantik kan Kak?”
Daisy teringat akan dirinya yang pernah seperti itu sewaktu kecil.
“Aku mau memberinya syal ini agar dia tidak kedinginan.” Kata anak kecil itu sambil meminta tolong agar Mailo mengalungkan syal rombeng itu ke leher si boneka sawah.
“Baiklah jika seperti itu, Kakak ingin meninggalkan adik dengan teman adik ya…pulanglah sebelum malam ya.” Daisy mengajak Mailo pergi dan meninggalkan anak kecil itu bersama boneka sawahnya.
“Aku tidak menyangka Dai, masih ada anak yang seperti kamu. Ajaib!”
“Jangankan Kakak, aku sendiri terkejut melihatnya. Kenapa aku jadi punya perasaan jika boneka itu akan hidup ya?”
“Oh tidak Dai, jangan samakan aku dengan boneka sawah lainnya.”
“Iya Mailo sayang…” Daisy merangkul kakaknya kemudian pulang menemani Mama yang sendirian dirumah.
Sesampainya mereka dirumah ternyata matahari sudah tenggelam. Langit yang terang sudah berubah menjadi gelap dan berbintang. Ketika mereka masuk ke dalam rumah, terdengar seperti benda tumpul jatuh berantakan. Mailo dan Daisy saling pandang, mungkin saja Mama sedang memerlukan bantuan didapur. Sementara Mailo ke dapur untuk melihat Mama, Daisy malah ingin keluar lagi melihat langit kampungnya yang gelap dan berbintang. Dia keluar pagar dan menghirup udara malam. Kepalanya tidak sengaja menoleh ke arah gubuk reot itu. Gubuk itu masih kosong dan tidak berani Daisy menghampirinya karena sama sekali tidak ada penerangan disana. Tapi dia jadi teringat kembali dengan tatapan anak kecil yang melihatnya. Daisy sangat yakin jika ada yang menatapnya. Tapi kenapa Mailo tidak mempercayai dirinya, atau mungkin Mailo menutupi sesuatu dari itu atau mungkin Mailo memang tidak percaya dengan apa yang disebut makhluk lain selain manusia. Daisy memang tidak menyebutnya sebagai makhluk halus, tetapi tetap saja hal itu membuat dirinya merinding.
“Daisy, masuk! Tidak baik saat maghrib begini berada di luar!” Mailo memanggilnya dari pintu rumah.
“Maaf Kak. Aku hanya ingin melihat langitnya.”
“Lain kali biar Kakak yang temani kamu. Tidak baik pada jam-jam segini seorang perempuan berada diluar, pamali!”
“Iya Kak, maaf.” Daisy lalu ke kamar mandi untuk mencuci kakinya. Setelah keluar dari kamar mandi, Daisy kembali mendengar suara yang ia dengar saat masuk ke dalam rumah. Langsung saja ia ke dapur, munkgin Mama menjatuhkan sayuran atau sejenisnya. Tapi dapur dalam keadaan kosong tidak ada yang sedang masak atau hanya mengambil air. Karena penasaran, Daisy kemudian menghampiri kakaknya yang sedang duduk di meja makan.
“Kak, tadi Ibu habis masak tidak? Barusan aku mendengar suara yang sama seperti yang kita dengar saat masuk rumah.”
“Ibu katanya tidak masak malam ini. Tadi aku juga sempat lihat ke dapur, tetapi tidak ada Ibu disana. Saat ku tengok ke kamarnya, Ibu sedang tidur. Kemudian bangun dan mencuci muka di kamar mandinya. Yakin kamu mendengarnya dengan jelas?”
“Iya Kak…tapi aku juga jadi tidak yakin. Apa mungkin tetangga sebelah ya?”
“Rumah kita aku rasa agak bersela dari rumah samping. Masa’ iya suaranya berkumandang? Disini kan tidak ada ruang luas kosong?”
“Kakak jujur, aku mulai merasa ada yang aneh terjadi disekitar kita. Semenjak kita menolong nenek yang keranjang ubinya jatuh, setelah itu aku merasa aneh tinggal di lingkungan sini. Kakak percaya tidak padaku?”
“Bukan Kakak tidak percaya, tapi aku sendiri tidak merasakan sesuatu yang berlebihan. Mungkin hanya perasaanmu yang kangen dengan suasana kota.”
“Kakak! Aku benar-benar merasa aneh, sebelum kita menolong nenek itu semuanya baik-baik saja! Apa gara-gara aku makan ubinya jadi aneh begini ya? Kemana coba nenek dan semuanya cucunya itu? Masa’ tiba-tiba menghilang? Kejadian itu baru kemarin lho Kak! Dan hari ini kita ke gubuknya tapi yang kits temui apa? Hanya gubuk reot tua kosong kan? Ini sama sekali tidak masuk akal!”
“Mungkin hanya perasaan kamu saja Daisy sayang…kalau begitu besok adalah pilihan yang tepat kita akan berlibur ke kota bersama Mama. Bukan begitu?”
“Mungkin iya Kak. Aku mengharap jika semua ini hanya halusinasiku saja. Semoga semuanya segera membaik. Aku juga sempat bingung dengan keadaan ini, membuatku berpikir terlalu jauh. Apalagi masalah sungai, boneka sawah itu, dan juga gubuk reot tua. Aku harap semua itu tidak menghantui aku lagi.”
Tanpa sepengetahuan mereka, Mama menguping pembicaraan mereka dari balik pintu kamarnya yang dekat dengan dapur. Mama resah mendengarkan semua cerita Daisy kepada Mailo. Karena dulu sekali sebelum Mama menemukan Mailo, dia juga mengalami hal yang sama dengan Daisy. Yaitu bertemu dengan seorang nenek yang keranjang jagungnya jatuh.
***
“Ini rumahmu Daisy?” Tanya Mama yang mendongak melihat rumah Daisy yang tinggi dan megah.
“Iya Ma. Mama bebas mau tinggal disini. Ada Pak Maman yang ngejagain rumah ini selama aku pergi. Mama sudah ketemu tadi di depan?”
“Sudah Dai. Mama sudah bertemu dengannnya. Jadi tidak apa sementara Mama menginap disini? Apa tidak merepotkan Daisy?”
“Tidaklah Ma. Yang ada pasti aku yang ngerepotin Mama nanti. Kan selama ini Mama yang masakin semua makanan buat aku? Ya kan Kak?”
“Kamar Mama dimana?” Tanya Mailo sambil masuk ke dalam kamarnya.
“Oh, ayo Ma. Aku tunjukkan kamar Mama. Kamar ini special, luas dan besar.” Daisy dan Mama memasuki satu ruangan yang akan menjadi kamar Mama.
Sementara Daisy bersama dengan Mama, Mailo penasaran dengan lantai ketiga rumah Daisy. Seorang diri dia naik dan menemukan ruangan yang kosong. Hanya ada 1 meja kantor dan 1 kursi bos. Awalnya Mailo berpikir ini adalah ruangan kantor Daisy, tetapi bukan. Ruangan ini lebih menyerupai ruangan kosong yang tidak pernah terjamah. Tetapi di atas sini udara yang ada lebih banyak dikarenakan letaknya yang paling tinggi dan terdapat banyak jendela. Dinding ruangan ini bercat merah menyala seperti membangkitkan semangat tetapi terkesan suram juga karena sepi.
“Daisy, ruangan di atas ruangan apa?”
“Oh, baru dari atas ya? Ngapain?”
“Lihat-lihat saja. Dulu ga sempat ngeliat.”
“Dulu itu kantor Ayah. Tapi karena sudah tidak dipakai lagi, ya sudah dibiarkan begitu saja. Punya ide untuk ruangan diatas?”
“Tidak. Oh mungkin belum. Aku sudah sangat ingin melihat laut. Jam berapa kita akan ke pantai?”
“Sore. Jam 2 kita akan berangkat, tempatnya lumayan jauh dari sini. Mungkin sekitar 2 jam perjalanan.”
“Kenapa lama sekali Dai?”
“Ya karena pantai yang bagus perlu ditempuh dengan perjuangan yang lama juga.”
“Sabarlah Mailo. Masih banyak waktu kan? Lagi pula kita belum makan semua kan? Biar Mama masak untuk kalian. Dapurnya dimana Daisy?”
“Mama mau masak ya? Tapi gini Ma, aku rasa disini tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak…disini memang tidak pernah menyediakan bahan makanan.”
“Non Daisy!” tiba-tiba Pak Maman mencari Daisy sampai ke dalam rumah.
“Ada apa Pak?”
“Maaf Non, sewaktu Non pergi saya menyimpan beberapa bahan makanan. Mungkin tidak seenak makanan yang biasa Non makan, tapi saya rasa itu cukup buat makan satu keluarga.”
“Benarkah Pak? Wah…kebetulan Pak, kita makan bareng yuk? Masakan Mama enak lho!” ajak Daisy.
“Bukan saya menolak, tapi saya baru saja makan ketoprak Non…jika Non ingin makan silakan.”
“Makasi ya Pak Maman.”
Mailo langsung membuka kulkas, di dalamnya ternyata banyak tersimpan bahan makanan seperti sayur, beberapa daging dan susu. Karena mereka sudah lapar, Mama langsung saja mengolah makanan itu menjadi sebuah makanan yang mewah seperti direstoran.
“Mailo, tolong bantu Mama bawa makanan ini ke meja makan disana. Daisy mana?”
“Lho? Bukannya tadi disini ya?”
Daisy ternyata tertidur dikamarnya menunggu Mama yang sangat lama memasak untuknya. Saat dibangunkan Mailo, tidak sengaja Daisy melihat amplop pink diatas mejanya lampunya. Daisy menyuruh Mailo untuk menunggunya di ruang makan. Daisy membuka amplop itu dan ternyata dari Ibunya. Surat itu mengatakan bahwa Ibunya akan pulang dalam waktu 3 hari lagi bersama Ayah tentunya. Dan selama ini Ibunya menyuruh orang untuk mengikuti Daisy kemanapun Daisy pergi. Ibu mengatakan jika dia sangat senang jika Daisy mengenalkan keluarga barunya kepada Ayah dan Ibunya. Daisy memang sempat jengkel karena selama ini ada orang yang mengikutinya, tapi dia mengambil hikmah dari semua kejadian ini. Bahkan Ibunya sudah mengetahui tentang cerita Mailo dan Mamanya. Daisy kira jika Ibunya tahu hal ini dia akan membencinya dan menutup akses dirinya kepada Mailo dan Mama. Ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Ibu dan Ayahnya juga sangat menyesal karena selama ini sudah menelantarkan dirinya, tapi semua ini semata-mata hanya untuk mengumpulkan pundi-pundi uang untuk diberikan kepada Daisy agar Daisy bisa meraih impiannya, yaitu membuka sebuah restoran khas Indonesia sekaligus membuka toko kecil yang menjual handycraft. Ternyata orang tua Daisy sangat memahami apa keinginan dan kemauan Daisy, tapi hanya saja Daisy yang tidak paham dengan cara kedua orang tuanya. Dan setelah membaca surat itu dia berjalan tenang menuju meja makan. Daisy makan dengan lahap dan tersenyum tetapi ditahan.
“Kamu kenapa Dai? Dari tadi seperti menahan senyum?” tanya Mailo sambil mencuci piring.
“Ha? Hm…iya sih. Nanti deh pas dipantai aku kasi tau Kakak. Oke? Mama juga aku kasih tahu.”
“Ada apa sih Daisy sayang? Sepertinya bahagia sekali? Apa gara-gara balik ke kota kamu jadi senang?”
“Mungkin Ma, eh ini sudah hampir jam 2, kita siap-siap yuk? Ayo..!!”
Daisy terlalu bersemangat sampai kakinya tersandung dan kesakitan. “Auuwww…”
“Eh?!” Mailo langsung membantu Daisy duduk dikursi. “Sakit?”
“Engga. Ya sakitlah! Aduh aduh…tapi aku siap mengantar kalian ke pantai sore ini…atau Pak Maman aja yang jadi supir ya?”
“Ide bagus Dai. Biar aku yang kasi tahu Pak Maman gimana?”
Belum sempat menjawab, Mailo sudah keburu ke teras depan dan berbicara dengan Pak Maman. Sepeninggal Mailo, dengan kakinya yang masih sakit dia naik ke lantai 3. Ruangan ini memang tampak sepi, suram dan pengap. Nuansa merah mengingatkan Daisy akan darah segar yang pernah ia alami sewaktu berumur 16 tahun. Dia kecelakaan saat sedang mengendarai sepeda motor pada waktu pulang sekolah. Waktu itu semua masalah menghampirinya dan masalah datang bertubi-tubi. Tidak kenal ampun, dan pada puncaknya hari Selasa itu adalah hari penuh kebohongan di sekolah. 7 jam Daisy berlajar di kelas sampai pukul 2 siang. Hari itu di sekolah memang tidak terjadi apa-apa. Tetapi Daisy benar-benar merasa tertekan, dia ingin menangis tetapi tidak di tengah-tengah temannya. Dia pulang lebih awal dari pada biasanya, mengendarai motor dengan penuh hasrat ingin membunuh semua masalahnya itu. Sampai pada suatu tikungan, mungkin Daisy larut dengan masalah yang sedang ia pikirkan pada saat perjalanan pulang. Motornya hilang kendali dan dia terpeleset jatuh. Daisy sempat 3 kali pontang panting di tengah jalan raya. Setelah itu dia tidak sadarkan diri. Saat dia sadar ternyata tubuhnya sudah penuh dengan balutan perban putih. Dia tidak bisa menggerakkan badannya, semuanya mati rasa. Dan yang lebih parahnya, masalahnya itu tidak kunjung pergi. Ditambah dengan kedua orang tuanya yang masih harus bolak balik keluar kota. Hanya istri Pak Maman yang mengurusi dirinya selama berbulan-bulan. Sementara dia mengingat tentang tragedinya, Mailo sudah berkemas dibawah. Daisy bersyukur karena dirinya bisa sembuh total dari insiden kecelakaan itu. Meskipun luka itu masih membekas sedikit, tetapi Daisy tidak pernah mau menunjukkan bekas luka itu kepada Mama juga Mailo. Dia merasa malu dan juga itu sama dengan menguak hatinya yang terluka dulu.
“Dai, ini sudah jam 2.” Ucap Mailo mendekati Daisy yang sedang merapat di dinding merah itu.
“Astaga, ayolah kalau begitu…aku yakin pasti Kakak suka sekali dengan pantai itu. Sepi dan indah.”
“Sepi?”
“Jika malam baru sangat ramai. Apalagi nanti malam itu purnama, pasti airnya pasang dan banyak orang yang mengabadikan moment itu?”
“Kamu tidak tertarik kesana malam ini?”
“Aku benci angin laut sebenarnya. Buat aku masuk angin. Ayo Kak, kita berangkat sekarang!” Daisy langsung menarik Mailo masuk ke dalam mobil.
Pantai ini memang sangat indah. Pasirnya yang berwarna putih berkilauan seperti mutiara saat terkena bias sinar matahari. Airnya yang biru laksana batu safir yang Mailo kenakan. Mailo langsung berlari menyentuh ombak yang berbuih itu.
“Mailo jangan jauh-jauh! Hati-hati ombaknya cukup besar!” Mama memperingatkan.
Daisy hanya melihat Mailo dari kejauhan. Sinar matahari sepanas ini akan membuat kulit putih Daisy gosong. Mailo tak luput dari pengawasannya tapi dia juga tetap siaga jika sesuatu terjadi pada diri Mailo. Mailo berlarian kesana kesini, bergulingan diantara pasir kering dan basah, berenang dari satu ujung ke ujung yang lain. Sampai Mailo kelelahan sendiri dan menghempaskan dirinya di pasir yang kering dan terjemur oleh matahari sore.
Blakkk! Mailo mengatur napas sambil memejamkan mata karena letih. Dadanya yang bidang dan perutnya yang six-path itu membuat Daisy menyadari jika Mailo ini seorang yang kuat. Daisy merapatkan jaketnya dan duduk disamping Mailo.
“Sudah capek? Mau pulang?” tanya Daisy sambil merapikan rambutnya.
“Haaahhh….hhhhh…lumayan…tapi asik…belum puas ah! Ampe malam aja yuk kita disini?”
“Tidak, tidak Mailo.”
“Lho? Tumben kamu memanggil ku dengan nama?”
Daisy menutup mulutnya dengan jari, “Eh? Aduh maaf Kakak…reflek nih…maaf Kakak…maaf…”
Mailo malah mengusap kepala Daisy dengna lembut. “Kamu beneran tidak mau main air denganku? Aku rasa kamu perlu refreshing?”
“Tidak ah Kak, nanti aku sakit…”
“Ayolah, kamu tidak akan sakit dengan main air di pantai…ayolah temani Kakak? Ya?”
Daisy masih duduk malas dipasir sedangkan Mailo sudah berdiri dan akan bergegas menuju air lagi. Sebelum Daisy sempat menjawab, Mailo sudah menarik paksanya.
“Aduh jangan dong…Kak Mailo…”
Mailo menggendong, menyeret, menceburkan habis-habisan Daisy ke dalam air. Daisy yang tidak bisa melawan hanya bisa terpontang-panting mengikuti Mailo yang kesana kemari. Sampai akhirnya Daisy menyerah. Dia terduduk lemas di antara buih ombak.
“Kak, aku sudah tidak bisa melanjutkan ini. Aku rasa aku akan segera sakit…”
“Ayolah Daisy, jangan bercanda. Kamu tidak akan sakit hanya dengan berendam di air asin ini. Ayolah Daisy…”
Daisy mencoba bangkit dengan berpegangan pundak Mailo. Tapi seolah kakinya tidak kuat menopang berat tubuhnya, Daisy kembali tumbang, pandangannya mulai kabur, tetapi dia tidak mengatakan hal itu dan tetap berdiri semata-mata agar Mailo senang dan dia sama sekali tidak ingin merusak kesenangan dan kegembiraan Kakaknya. Setelah beberapa menit, Mailo merasa bosan dan menggendong Daisy menuju ke Mama yang duduk-duduk di sebuah pendopo.
“Mama, kenapa engga gabung sih? Asyik lho!”
“Lho, kenapa Daisy basah kuyup begini? Ayo ganti baju dulu, nanti masuk angin lho, angin disini kencang sekali.”
Daisy mengambil baju gantinya dan masuk ke dalam toilet wanita untuk membersihkan diri.
“Mailo, senang?”
“Senang sekali Ma! Tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Setelah main air, aku jadi lapar Ma…aku ingin makanan enak.”
“Bukannya kamu sudah makan sebelum kesini Mailo? Tangan Mama mash bau bawang nih.”
“Hahah…sudah habis kalorinya Ma. Aku mandi dulu deh, pada lengket berasa seperti ikan pindang nih?”
Setengah jam berlalu, Daisy dan yang lainnya sudah siap untuk menuju restoran Padang tak jauh dari situ. Daisy menahan pusing dan mualnya karena berendam tadi, tapi dia tetap menjaga suasana agar baik dan tidak ada kepanikan. Pak Maman yang ikut makan di restoran Padang pun tidak memperhatikan gejala Daisy yang makin parah. Jaketnya yang basah membuat Daisy tidak terlindung dari angin pantai. Daisy hanya menggunakan t-shirt tipis dengan celana pendek. Daisy makan dengan perlahan sampai ia permisi untuk ke toilet. Di dalam toilet dia mengeluarkan semua makanan yang baru masuk ke dalam perutnya. Dia muntah banyak disana, sampai membuat Mailo menyusulnya ketika semuanya mau pulang kembali ke kota.
“Daisy!” Mailo menangkap tubuh Daisy yang hampir jatuh itu.
“Aku tidak apa-apa Mai…” Daisy sudah tidak bisa berdiri.
Tangan Mailo bergelut di pinggang Daisy, menopangnya untuk berdiri. “Kamu beneran sakit? Maafkan aku Daisy.” Mailo langsung membawa Daisy ke mobil. Tetapi Daisy sudah tidak bisa berdiri apa lagi berjalan. Mailo jongkok dan menggendong Daisy di punggungnya. Badannya panas, dan harus segera mendapatkan pertolongan pertama.
Mama yang melihat Daisy seperti itu, panik dan segera meminta Pak Maman untuk membawa ke rumah sakit terdekat. Sedangkan rumah sakit yang paling dekat jaraknya 20 km dari rumah makan Padang itu. Pak Maman segera berangkat ke rumah sakit, sedangkan Daisy sudah menggigil di dalam mobil.
“Tahan Dai, ini tidak akan lama.” Mailo menenangkan Daisy dengan merangkulnya.
“Bukan, aku hanya perlu berendam di air hangat. Jangan kerumah sakit, nanti jika Ayah dan Ibu tahu dia bisa marah padaku.”
“Aku akan mengatakan jika semua ini ulahku.”
“Jangan, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa. Jangan pancing kemarahan mereka. Kita pulang saja, aku butuh air hangat, berendam di air hangat. Please Mai, jangan bawa aku ke rumah sakit. Aku menolak.”
Karena itu adalah permintaan Daisy maka Mailo tidak bisa menolak, mereka langsung ngebut pulang kerumah, belum mobil masuk garasi Mailo sudah membawa Daisy turun dan membawanya ke kamar mandi pribadinya. Menyiapkan kran air panas, menumpahkannya di bath-tup dan membiarkan Daisy sejenak berendam. Kondisi Daisy membaik, tetapi dia menjadi terserang flu sekarang. Setelah Daisy kering, Mama segera memijat seluruh tubuhnya dengan lembut. Sampai akhirnya Daisy tertidur pukul 7. Mama kembali ke kamarnya dan ada Mailo disana.
“Bagaimana keadaan Daisy Ma?”
“Kamu ini, lain kali jangan paksa adikmu untuk hal yang tidak ia sukai. Kamu mau kedua orangtuanya menuduh kita mencelakakan anaknya?”
“Maaf Ma, aku menyesal.”
“Mama capek, Mama sudah cukup sibuk dengan mengurusi makan kalian berdua. Daisy adalah tugasmu, 3 hari lagi orangtuanya akan pulang dan Mama tidak mau melihat dia sakit ketika kedua orangtuanya pulang. Mengerti?” Mama kesal dengan Mailo yang egois.
“Iya Mama..”
Mailo kembali ke kamar Daisy dan melihat Daisy yang benar-benar lemah dan rapuh itu. Dalam hati ia menyesal sudah membuat adiknya itu sakit seperti ini. Bahkan dia sudah sangat panik ketika tubuh Daisy menggigil seperti tadi. Pantas saja Daisy membenci laut, karena memang seperti itu. Jika ia terserang angin laut yang kencang seperti itu, maka tubuhnya tidak bisa menahan lebih dari 1 jam. Maka dari itu dia sangat menghindari pantai atau laut yang membawa keburukan pada dirinya. Karena tidak ingin mengganggu Daisy yang sedang istirahat, Mailo memutuskan untuk menonton TV saja sampai kantuk menjemputnya.
Pagi-pagi sekali Daisy sudah sibuk dengan laptopnya. Ternyata selama ini banyak orderan yang masuk disitusnya. Dan hari ini Daisy harus mengambil dan membuat beberapa pesanan customer jauh dari rumahnya. Tapi dia merasa belum kuat untuk menyetir mobil sendirian. Maka ia menunggu Pak Maman bangun. Daisy yang sudah mandi itu menemukan Mailo yang tertidur di sofa depan TV. Ini masih pukul 5 pagi dan belum ada seorangpun yang bangun kecuali dirinya. Tubuhnya merasa masih berat karena masih sedikit mual dan pusing. Tapi dia memaksakan diri untuk bekerja hari ini dan stay di kantor. Dia tahu, Mailo pasti melarangnya kecuali membawa serta Mailo ke kantornya.
“Kak Mailo, bangun.” Gugahnya.
Mailo menggeliat dan merubah posisi tidurnya dengan tidak membuka mata.
“Kak, bangun.”
Mailo mencoba membuka sedikit matanya, mengintip dari balik matanya yang lengket dan kotor itu.
“Jam berapa sih ini? Sepertinya baru saja aku tidur?” Ya, Mailo memang baru saja tidur 4 jam yang lalu.
“Aku tahu…bangun dulu sebentar deh.”
“Ada apa sih? Kamu sudah sehat?” Mailo langsung meletakkan punggung tangannya di jidat Daisy.
“Aku ingin pagi ini Kakak temani aku di kantor. Aku harus kesana dan ke beberapa tempat lain lagi.”
“Jangan ah! Kamu masih sakit, nanti saja kalau sudah sembuh ya? Tunggulah beberapa hari lagi.”
“Ah, tidak bisa Kak. Customer sudah menunggu lama untuk pesanan mereka. Kakak juga bantu kok, bantuin aku juga biar cepet selesai. Ayolah, dari pada Kakak dirumah seperti ini?”
Mama bangun keluar dari kamar menuju washtafel untuk gosok gigi dan cuci muka.
“Aduh…jam berapa berangkat? Aku masih ngantuk nih…”
“Jam 8 berangkat, Kakak tidur dulu, nanti jam setengah delapan aku bangunin.”
Mailo langsung menuju ke kamarnya dan mati suri.
“Mau kemana Dai?”
“Kantor Ma, ada orderan banyak dan hari ini harus selesai.”
“Lho, tapi kan kamu kelihatannya masih sakit? Tidak apa-apa?”
“Terpaksa Ma, jika tidak begitu pelanggan pada kabur semua. 2 hari lagi sudah harus dikirim.”
“Ya sudah, Mailo menemanimu kan?”
“Iya Ma.” Seperti ada kalimat yang tertahan di ujung lidah Daisy.
“Sepertinya ada yang mau kamu katakan lagi Daisy?”
“Tidak Ma, aku hanya ingin makan bubur pagi ini. Dan aku tidak bisa membuatnya.”
“Oh, bubur memang baik untukmu. Tunggulah Dai, Mama akan buatkan untukmu.”
Daisy membuka jendela, menghirup aroma embun yang masih melekat di dinding rumahnya dan masih membasahi rumputnya. Terlihat Pak Maman sudah bangun dan meregangkan ototnya di teras depan. Bersiap untuk jogging 15 menit kemudian melakukan rutinitasnya sebagai supir Daisy. Mama yang belum mandi itu sudah sibuk ini itu di dapur menyiapkan sarapan untuk semua orang yang ada di tempat ini. Karena merasa tidak melakukan apa-apa, Daisy kembali naik ke lantai 3 rumahnya dan berpikir akan dijadikan ruangan apa ini. Karena ruangan ini begitu luas, dan jika dijadikan sebuah kamar, mungkin terlalu besar. Terpikir dari Daisy untuk membuat ruangan ini sebagai gudang handycraftnya. Tetapi ruangan ini terlalu kecil untuk dijadikan gudang. Muncul gagasan agar warna dinding ini dirubah menjadi dinding yang atraktif dan warna-wanrni. Daisy akan mengubahnya menjadi warna biru muda, hijau muda, kuning, dan pink. Tetapi tentunya semua itu akan dibicarakan dengan Mailo dulu, jika dia tidak setuju Daisy akan mengubah warnanya.
Tentang kesehatannya hari ini, Daisy merasa jika pusingnya bertambah parah saja tetapi pesanan ini harus diselesaikan tepat waktu. Jika tidak ia akan kehilangan semua pelanggannya. Kalimat yang tertahan adalah sebuah pertanyaan tentang sikap Mailo. Semenjak dirinya tinggal sementara di rumah Mailo dikampung, sikap Mailo jadi melunjak, tidak seperti Mailo yang dulu yang lembut dan melindungi dirinya. Itu terbukti kemarin pada saat Mailo memaksa dirinya untuk bermain di pantai sampai dirinya sakit seperti ini. Jika Mailo yang dulu tidak akan memaksa Daisy melakukan hal yang menyusahkan Daisy. Semuanya ini berubah ketika mereka menolong nenek dengan keranjang ubi yang jatuh di kampung. Daisy merasa jika semenjak hari itu Mailo jadi berubah sikapnya. Tapi Daisy tidak mau bernegatif thinking dengan kejadian ini. Dan Daisy juga tidak ingin Mama mengetahui pikirannya yang bisa meracuni pikiran Mama. Lalu dia menghapus pikiran pikiran itu sementara dan melangkah ke teras depan untuk menghirup udara segar. Pusingnya masih menekan keras kepalanya, tetapi dia berusaha untuk minum obat agar pusingnya terkendalikan.
“Daisy, ayo makan dulu.” Mama membawanya masuk ke dalam rumah.
Mama mengambilkan piring dan bubur secukupnya ditambah dengan beberapa sayuran ringan dan daging. Daisy makan dengan perlahan, karena dari tadi dia hanya memegangi kepalanya. Dia makan sangat sedikit, lalu minum obat yang berbentuk pil itu. Menunggu Mailo yang masih tidur, Daisy kembali di depan laptopnya melihat pesanan-pesanan baru yang masuk. Selama ini kedua orang tuanya tidak tahu jika Daisy bekerja via online seperti ini. Yang mereka tahu hanya kuliah Daisy membanggakan. Sebenarnya dibalik itu semua Daisy adalah anak yang benar-benar mandiri, tetapi sangat menginginkan seorang sosok kakak laki-laki yang sekarang ia dapatkan di diri Mailo, si mantan boneka sawahnya.
Pukul setengah delapan akhirnya Daisy membangunkan Mailo juga, meskipun sedikit malas tapi Mailo semkain di desak oleh Mama untuk menemani Daisy. Mungkin Mama belum menyadari perubahan sikap Mailo. Tetapi Daisy tetap diam sampai Mama menyadari sendiri hal itu. Daisy juga harus cepat sembuh karena kedua orangtuanya akan kembali ke rumah besok atau mungkin bisa lebih lambat ata mungkin lebih cepat. Daisy yang sudah menunggu di dalam mobil bersama Pak Maman itu masih memegangi kepalanya.
“Non masih pusing?” tanya Pak Maman.
“Masih Pak, sedikit…padahal udah minum obat tadi.”
“Non yakin mau kerja hari ini dengan kondisi yang seperti itu?”
“Tidak apa Pak. Lagian ini sudah harus dikerjakan. Nanti Pak Maman nggak usah nunggu di kantor, kan sudah ada Mailo. Pak Maman jaga rumah aja ya, siapa tahu Mama perlu bantuan.”
“Iya Non.”
Mailo masuk ke dalam mobil dengan baju baru yang sempat Daisy belikan untuknya. Serta parfum mahal semerbak di tubuhnya.
“Gimana Dai? Aku keren ga?”
“Bagus kok bajunya.” Daisy hanya mengatakan itu sambil sibuk melihat gambar-gambar desain ditangannya. “Ayo Pak, kita ke tempat penjualan handycraft dulu baru ke kantor.”
Pak Maman menghidupkan mesin mobil dan pergi menuju tempat yang Daisy maksud. Sepanjang perjalanan tidak banyak yang mereka perbincangkan, tdiak seperti dulu. Mailo lebih banyak diam sambil terus bercermin dipantulan jendela mobil. Kali ini Daisy tidak mungkin salah, ada yang berubah dari diri Mailo. Dengan mengumpat, Daisy mencoba memandang mata Mailo, dan dia tidak ragu lagi, ada yang benar-benar berubah dari diri Mailo entah apa itu Daisy belum bisa menemukannya.
“Non, tokonya yang ini ya?”
Daisy mengalihkan pandangan keluar, “Oh iya Pak. Tunggu sebentar ya Pak. Mungkin agak lama di dalam.” Daisy sudah membuka pintu mobil, tetapi Mailo masih sibuk bercermin.
“Kak, kamu tidak ikut menemaniku?”
Barulah Mailo menoleh, “Oh, sudah sampai ternyata? Sampai tidak menyadari aku, ayo!” Mailo turun dengan sombongnya. Berjalan tegap disamping Daisy dan berusaha menarik perhatian dengan pakaian barunya. Tapi, siapa yang peduli itu pakaian baru?
Daisy mengambil keranjang belanja dan mulai mencari bahan-bahan yang di perlukan. Sampai Daisy tidak tahu jika dirinya terpisah dengan Mailo disana. Karena bahan-bahan yang ia cari sudah terkumpul sekarang adalah mengelilingi toko untuk mencari dimana Mailo bersembunyi. Di tengah-tengah pusingnya, Daisy mengelilingi toko mencari Mailo. Karena merasa tidak ada, Daisy segera membayar belanjaannya dan kembali ke mobil, mungkin saja Mailo sudah berada di sana bersama Pak Maman. Ternyata benar, dan dia sedang berdiri di depan pintu mobil sambil terus melihat dirinya, terutama baju barunya yang mahal itu.
“Sejak kapan Kakak disini?”
“Eh, kamu lama sekali Daisy. Aku bosan di dalam, jadi aku keluar saja.”
Daisy agak bingung dan janggal mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Mailo. Begitu tahu jika Daisy sudah selesai berbelanja, Mailo begitu saja masuk kedalam mobil dan duduk seperti pangeran. Daisy membuka bagasi belakang mobil dengan susah payah untuk memasukkan barang belajaan. Tapi untung saja Pak Maman segera membantunya. Kemudian Daisy kembali masuk ke dalam mobil dan mulai mempunyai pikiran-pikiran yang aneh mengenai Mailo.
Daisy kesusahan berkomunikasi dengan Mailo karena Mailo terus-terusan tanpa henti memandangi dirinya sendiri lewat pantulan itu. Narsisnya begitu berlebihan, over! Maki Daisy dalam hatinya. Pak Maman hanya bisa mengintip Daisy dan Mailo dari kaca spion depan. Pak Maman juga merasa jika ada yang tidak beres dengan mereka berdua.
“Non, saya mendengar ada suara ponsel?” Pak Maman memecah kebekuan.
Daisy ingat jika itu bunyi ponsel miliknya dulu yang sekarang menjadi milik Mailo.
“Kak, ponselmu berbunyi.”
Mailo meraih ponselnya, ternyata Mama yang menghubungi.
“Halo Ma? … oh, oke… iya Ma …” Mailo terdiam sejenak.
Melihat ketidakberesan, Daisy berusaha bertanya. “Apa ada yang di titip Mama?”
“Tidak.”
“Terus?”
Mailo tidak menjawabnya. Dia menyimpan ponselnya di kantong celananya, matanya melihat kearah luar jendela. Tangannya menopang dagunya, menandakan Mailo sedang memikirkan sesuatu.
“Ada apa Kak? Yakin kamu tidak ingin membaginya bersamaku?”
“Sudahlah!” ini adalah pertama kali Mailo membentak Daisy.
Daisy yang terkejut spontan memegang dadanya dengan kedua tangannya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi diantara mereka. Sesuatu yang tidak jelas menjadi pemicunya.
“Teman-teman, hari ini kita akan membuat pesanan dari customer. Aku harap semua ini akan selesai malam ini juga, karena besok sudah harus dikirim.” Ucap Daisy memberi pengarahan kepada bawahannya.
Ya ini adalah kantor Daisy. Kantor yang sangat besar, seperti gedung pencakar langit lainnya, dan kebetulan Daisy adalah pimpinan disini yang juga ikut bekerja didalamnya. Daisy sengaja tidak memberitahukan hal ini kepada Mailo. Daisy masuk ke dalam ruangannya bersama Mailo.
“Wah, hebat Dai. Tapi kamu tidak pernah mengatakan hal ini padaku. Ya kan?”
“Maaf Kak. Aku memang sengaja tidak mengatakannya, biar menjadi kejutan untuk Kakak.”
“Ya aku terkejut Dai. Sangat.” Nadanya seperti menyindir Daisy.
Daisy rupanya harus membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar. Dia berpikir apa mungkin kesalahan ada pada dirinya sampai dia bertanya kepada salah satu teman kantornya.
“Nit, aku ini jahat ya?”
“Eh? Pertanyaan macam apa itu?”
“Sudahlah jawab saja…”
“Tidaklah kawan, kamu itu orang yang benar-benar baik…oh iya…laki-laki itu siapa?”
“Itu kakak angkatku. Tampan tidak?”
“Ah, serius kamu? Cowok setampan itu kakakmu?”
“Lho, mau kenalan?”
“Tidak, aku hanya bertanya…umurnya berapa?”
“Mungkin 3 tahun lebih tua dariku? Bodohnya diriku!” Daisy menepuk jidatnya sendiri. “Aku tidak pernah menanyakan berapa umurnya?”
“Tanyalah, sudah sejak kapan kalian bertemu?”
“Sudah lama juga aku tak tahu kapan pastinya Nit. Apa dia cocok menjadi kakakku?”
“Dia itu pantasnya menjadi kekasihmu Dai!”
“Ah, ngaco banget…selesaikanlah perkerjaanmu Butet…”
“Kenapa kamu panggil aku Butet? Namaku Nita.”
“Logat kamu itu Medan sekali, aku jadi ikut berbicara bahasamu ini…aahhh!”
Daisy kembali keruangannya dan menyelesaikan perkerjaannya.
“Dari mana sih?”
“Kamar mandi.”
“Beritahu aku bagaimana menyelesaikan ini.” Mailo ternyata mencontoh pekerjaan yang dilakukan Daisy tadi.
Daisy memberitahunya perlahan sampai akhirnya satu handycraft utuh jadi dan sangat indah.
“Simpanlah Kak. Itu handycraft pertamamu.”
“Oh ya? Jika ini pertama bagiku, berarti kamu punya juga?”
“Ada aku simpan dirumah. Hm, aku boleh bertanya sesuatu?”
“Apa?”
“Umurmu berapa Kak?”
“Kenapa tiba-tiba menanyakan umur?”
“Aku hanya ingin tahu, selama ini aku belum sempat bertanya, iya kan Kak?”
“Mungkin sekitar 24?”
“Oh.”
“Kamu tahu kan kenapa aku mengatakannya sekitar?”
“Iya aku mengerti Kak. Terima kasih karena sudah mau menemani aku di sini.” Daisy kembali duduk dan mulai bingung, mungkin hanya dirinya yang sakit kemudian jadi berhalusinasi yang tidak-tidak.
Ketika semua pekerjaan sudah selesai, satu persatu karyawan pulang dan meninggalkan Daisy dan juga Mailo hanya berdua di kantor. Karena sudah sore dan masih ada beberapa lagi yang harus diselesaikan, maka dari itu Daisy tidak menelpon Pak Maman dirumah.
“Ini masih lumayan banyak Dai. Bagaimana jika dilanjutkan dirumah?” usul Mailo.
“Tidak ah, nanggung masih segini…kenapa, kamu pasti sudah bosan ya disini?” Daisy meregangkan jari-jarinya yang letih.
“Bosan? Sedikit mungkin?” Mailo berjalan menuju jendela kaca dan melihat kota dari ketinggian beberapa meter dari tanah. “Dai..”
“Apa?” jawab Daisy sambil terus membuat handycraftnya.
“Maaf tadi sikapku seperti itu.”
Daisy langsung menahan pekerjaannya dan diam menatap handycraft yang hampir selesai itu.
“Tadi Mama menelponku dan ingin mengatakan sesuatu kita saat pulang nanti. Aku sendiri langsung resah, takut. Entahlah, aku bersikap seperti itu agar aku tidak resah.”
“Tapi sebelum dapat telepon dari Mama juga sikapmu sudah berlebihan kan?”
“Aku hanya ingin menjadi yang lain.”
“Untuk apa? Mailo ya Mailo, orang lain ya bukan dirimu.”
“Iya aku tahu aku salah Dai, tapi jujur aku merasa resah belakangan ini. Terutama sejak dari pantai kemarin. Bukan, tapi sejak aku menolong nenek itu.”
“Kita, bukan kamu saja.”
“Iya, kita. Selama ini aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Aku rasa aku telah berubah semenjak kita menolong nenek itu. Pada mulanya aku juga tidak percaya dengan apa yang kamu lihat di gubuk reot itu. Seorang anak kecil yang mengintip di balik kain penutup pintu digubuk itu. Bahkan aku sempat katakan padamu jika itu hanyalah fatamorgana belaka. Tapi sewaktu kamu berbicara dengan Mama dikamar, aku diam membuat roti panggang di dapur, dan tidak sengaja aku melihat ada anak kecil yang mengintip lewat jendela dapur. Aku langsung keluar untuk mencari anak itu, tetapi tidak ada tanda-tanda siapa pun yang sedang ada disekitar sana.
Daisy jujur terkejut saat mendengar cerita seperti itu. Karena Daisy beranggapan bahwa Mailo tidak sungguh-sungguh percaya dengan apa yang dia lihat.
“Lalu, Kakak sudah tahu siapa nenek yang kita tolong itu?”
“Tidak, dan aku tidak ingin tahu lagi tentang itu.”
“Kenapa?”
“Tidak tahu, aku merasa aneh semenjak menolong nenek itu. Aku juga bingung, selama ini aku takut mengungkap semua ini, takut kamu anggap aku membual.”
“Tidak. Kenapa Kakak tidak pernah katakana hal ini dari awal? Apa yang Kakak rasakan sama, aku juga merasa aneh setelah menolong nenek itu apalagi bertemu dengan cucunya yang banyak itu. Tapi aku semakin penasaran lagi dengan ubi yang nenek berikan kepada kita. Dan sungai.”
“Ubi dan sungai? Maksudnya?”
“Mama sangat melarang aku pergi ke sungai itu. Padahal, seingatku waktu aku kecil tak seorang pun melarang aku pergi ke sungai itu. Tapi kenapa sekarang sepertinya sungai itu menyimpan sejuta misteri?”
“Mama juga pernah memberitahuku seperti itu. Tapi aku pernah melihat ada yang kesana untuk mandi. Aku sangat menuruti kata Mama, jadi aku tidak berani ke sungai itu.”
Inginnya Daisy membuka rahasia perihal kalung safir biru milik Mailo itu. Tetapi Mama melarangnya untuk membicarakan hal itu kepada Mailo. Tentang mimpi jika Mama di datangi oleh sesosok nenek yang mengatakan bahwa Mailo hidup karena batu safir biru itu. Daisy anak kuliahan dan dia tidak percaya memang dari awal mengenai kisah Mailo ini. Sangat tidak masuk akal! Itu yang terpikir oleh Daisy sampai detik ini. Tapi dia berusaha tidak egois dan berusaha menerima kisah Mailo ini. Ketika dia sudah berusaha mulai menerima kisah ini, hal semacam boneka sawah berkimono yang melambai padanya dan intipan anak kecil digubuk reot itu mulai membuat Daisy berpikir rasional lagi. Berulang-ulang ia menetapkan doktrin didalam otaknya jika semua ini pasti ada yang salah. Orang kampung begitu mudahnya percaya dengan jelmaan boneka sawah yang bernama Mailo itu hanya bagian dari kepercayaan orang kampung termasuk nenek dan kakeknya yang kini sudah pindah ke kota. Orang kampung masih percaya dengan hal-hal yang mistik dan masih banyak yang beraliran animisme seperti pada jaman kerajaan Majapahit dan sebagainya. Daisy menganggap hal itu lumrah, tetapi tidak untuk yang satu ini, jadi Daisy menarik kembali semua ucapannya.
“Kak, ingat tidak sehabis kita menolong nenek itu? Kita sempat memberitahu Mama kan? Dan ketika itu apa reaksi Mama?”
“Mama hanya mengatakan jika kita adalah anak yang baik, kalau tidak salah? Aku juga tidak seberapa ingat.”
“Tidakkah kamu merasa aneh? Jika kakak yang sudah lama tinggal disana tidak mengingat ada yang tinggal di gubuk reot itu, bagaimana dengan Mama yang sudah tinggal jauh sebelum Kakak? Seharusnya dia tahu dong siapa-siapa saja yang bukan penduduk sana. Iya kan? Tapi, ekspresi Mama bilang jika dia mengenal nenek yang kita tolong itu. Apalagi cucu nenek itu begitu banyak, pasti dia memiliki beberapa anak. Dan pasti Mama tahu dong siapa-siapa saja anak dari nenek itu? Seharusnya umur anak nenek itu lebih muda dari Mama. Iya kan?”
“Penjelasanmu membuat aku bingung Dai, haruskah kita kembali ke kampung dan bertanya hal itu kepada tetangga? Aku rasa tidak.”
“Aku rasa iya. Aku tidak mau mati dengan rasa penasaran yang begitu besar.”
“Kamu orang intelek Dai.”
“Justru aku orang intelek, maka dari itu aku berusaha membuka semua ini dengan sejelas-jelasnya. Aku sangat tidak suka teka-teki.”
“Aku rasa kita tidak perlu jauh-jauh, kita harus paksa Mama membongkar semua ini besok. Besok saat orang tuamu datang, agar kita tahu semua Mama itu sebenarnya orang yang seperti apa.”
“Kenapa tiba-tiba kamu bisa berbicara seperti itu Dai? Bukankah kamu sangat melindungi dan menghormati Mama?”
“Iya, tapi tidak dengan cara yang seperti ini Dai. Mama berbicara empat mata denganmu saja itu sudah membuatku amat sangat curiga, karena semenjak Mama mengambilku dari sawah pada saat hari hujan itu, dia tidak pernah menyimpan rahasia apapun dariku.”
“Oya? Darimana Kakak tahu jika Mama tidak menyimpan rahasia apa pun dari Kakak? Apa kamu pernah membuktikannya? Ingat, seorang Ibu itu sangat pintar menyembunyikan rahasia dari anaknya. Bahkan kadang aku merasa Ibuku menyimpan suatu rahasia besar dariku. Tapi aku tidak pernah bisa membuktikannya. Dan mungkin aku akan segera membuktikannya. Cepat atau lambat, atau aku akan membuat dia mengakuinya. Karena semua ini hanya untuk kebaikan kita, agar kita tidak mencontoh dirinya yang salah. Bayangkan saja, jika kita sudah berada di posisi mereka, dan kita menyimpan sebuah rahasia besar dari anak kita, pasti suatu saat anak kita akan mencontoh itu dan itu akan terjadi turun temurun sampai dunia kiamat.”
Daisy terus membahas topik ini dengan handicraftnya yang masih belum selesai.
Mailo menghela napas panjang. “Kamu benar Daisy. Aku tidak pernah tahu apakah Mama sudah jujur padaku atau belum. Dan mungkin aku juga telah menyembunyikan sebuah rahasia darimu Dai.”
Pekerjaan Daisy selesai, lalu dia merapikan hasil karyanya kemudian menghampiri Mailo. “Rahasia?”
“Iya, rahasia yang mungkin bisa membuatmu kecewa.”
“Katakan saja Kak, mungkin ini adalah waktu yang tepat.”
Mailo menggenggam tangan Daisy, “Aku tahu dari awal aku ini gila.”
“Maksud Kakak?”
“Kita tahu, benda mati tidak mungkin bisa bernyawa. Iya kan?”
Daisy menunggu apa kata-kata berikutnya.
“Aku tahu, kamu tersenyum padanya. Memberikan kalung ini padanya, dan topi bambu padanya. Tapi boneka sawah tetap benda mati. Pada siang itu matahari sangat terik, kamu datang dan tersenyum padanya. Berharap dia bisa membalas senyummu. Keesokannya kamu datang dibawah hujan deras sambil mengucapkan salam perpisahan padanya dan memberikan kalung ini.”
“Kakak ini sebenarnya mau menyampaikan apa sih?” Daisy kasar melepaskan tangannya.
Tetapi Mailo meraihnya lagi.
“Aku bukan boneka sawah yang hidup. Aku hanyalah seorang anak kecil yang mengikutimu bertemu dengan boneka sawah itu. Aku tahu semua yang kamu lakukan dan kamu ucapkan pada boneka sawah itu, karena aku diam-diam mengintipmu. Jelas di awal kamu benar, aku mencuri apa yang kamu berikan kepada boneka sawah itu.”
Daisy mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini.
“Aku memang ditemukan Mama malam itu. Hujan, dan aku berusaha mengambil kalung dan topi pada boneka sawah itu. Tetapi pemilik sawah melihatku merusak boneka miliknya. Aku dihajar, sehingga aku menangis dan Mama mendengarku. Jadi aku sama denganmu, aku Cuma manusia biasa yang berusaha membuat kisah di dalam hidupku.
“Jika kebohongan yang kamu bawa padaku, mengapa kamu katakan jika kamu takut kembali menjadi boneka sawah ketika diawal perjumpaan kita?”
“Aku sudah terlanjur basah, dan orang-orang kampung juga sudah mendengar kebohonganku. Aku mengatakan jika aku adalah boneka sawah yang ada disana. Dan begitu mudahnya mereka percaya kepadaku. Aku salah, sudah menipu ratusan orang termasuk kamu dan Mama.”
“Sudah ku duga cerita semacam itu tidak ada. Bodohnya aku sempat percaya pada bualanmu itu Mailo.”
Mailo tahu, Daisy kecewa padanya.
“Maafkan aku, tak seharusnya aku mengambil kalung ini darimu…” Mailo melepas kalung itu dan mengembalikannya pada Daisy. Batu safir itu masih tampak indah dan terawat.
“Ya jelas aku kecewa, tapi dari awal aku juga yang gila. Nekat jauh-jauh ke kampung hanya untuk menemui boneka sawah yang jelas itu sudah bertahun-tahun lamanya dan tidak mungkin berada lagi di tempat asalnya.”
Mailo diam, dia takut berbicara lebih banyak.
“Terima kasih Mailo, kamu sudah menyadarkan aku dari semua bualan ini. Baik bualan yang kamu buat dan juga bualan Mama yang ditujukan kepadaku.”
“Tunggu, kamu belum memberitahuku apa yang dikatakan Mama kepadamu 2 hari yang lalu.”
“Ya, aku yakin itu bukan sebuah rahasia penting lagi…Mama mengatakan jika dia pernah di datangi seorang nenek di dalam mimpinya. Nenek itu berkata jika batu safir biru ini adalah batu yang bisa membuat boneka sawah menjadi bernyawa. Bodohnya aku sempat tertipu dengan hal seperti itu.”
“Kalau begitu Mama memang menyembunyikan sesuatu hal dari kita.”
“Mama tahu, kisahmu?”
“Mungkin tahu?”
“Kenapa ’mungkin’?”
“Aku pernah menulisnya di secarik kertas, dan kertas itu sekarang menghilang. Padahal aku sudah menyimpannya dengan baik.”
“Kakak menyimpannya dimana?”
“Di sebuah kaleng kecil, kalengnya pun ikut menghilang. Dirumahku tidak ada siapa-siapa lagi selain aku dan Mama. Aku pernah menanyakan hal ini kepada Mama, tetapi dia menjawabnya penuh dengan rasa terkejut, dia bilang dia tidak pernah melihat kaleng kecil yang aku cari.”
“Jika aku boleh tahu, kamu bertanya seperti apa ke Mama?”
“Kalau tidak salah aku bertanya, ’Tahu dimana kaleng milikku?’ aku hanya bertanya itu saja.”
“Dan jawaban Mama?”
“Dia terkejut, ’Maaf Mailo, Mama tidak tahu kaleng kecilmu berada dimana’ begitu jawabnya.”
“Apakah kamu menyebut kata ’kecil’ saat bertanya?”
“Tidak.”
“Jika tidak, mengapa jawaban Mama mengatakan ’kaleng kecil’? Masa’ kamu tidak menyadari kejanggalan sebesar itu Mailo?”
Mailo baru menyadari jika memang Mama yang mengambil kaleng kecil miliknya.
“Ayo kita pulang, kita paksa Mama untuk mengakui semua ini.”
“Aku tidak yakin jika Mama mau mengakui hal ini dihadapan kita Mai.”
“Harus, kita paksa dia untuk mengakui semuanya!”
“Sebelum kamu sibuk mengurusi urusan Mama, aku mau urusan diantara kita selesai dulu. Lalu sekarang apa? Kamu sudah mengakui semuanya, masih haruskah aku seperti ini? Memanggilmu KAKAK? Haruskah aku marah? Atau aku harus sedih? Masih kah kita berteman?”
“Aku sudah tahu aku salah besar. Kamu sudah sepantasnya marah, karena seorang teman yang baik pasti marah ketika temannya melakukan sebuah kesalahan. Sudah wajar jika kamu sedih, karena mungkin temanmu ini sudah mengecewakanmu. Dan jika kamu bertanya padaku, masihkah kita berteman…pernahkah ada ungkapan yang mengatakan jika kamu mantan sahabatku?”
“Iya, aku tahu tidak kan pernah ada sebutan mantan sahabat. Meskipun kesalahanmu besar dan bertahun-tahun, aku bisa mengambil hikmah semua ini. Jika hubungan ini tulus tidak menuntut apa-apa.”
“Aku memang tidak pernah menuntut apa-apa…”
“Tapi, aku ingin tetap menjadi adikmu.” Sebuah pelukan hangat mendarat ditubuh Mailo.
“Ayo, kamu sedang sakit dan kamu belum makan siang Daisy sayang. Aku tidak mau sakitmu bertambah parah. Biar aku hubungi Pak Maman agar menjemput kita disini.
Terbongkarlah semuanya. Mereka mendesak Mama agar mengakui semua bualannya kepada Daisy. Dan Mailo menyesal karena orang yang selama ini membesarkannya adalah seorang penipu. Dan Jono Hasibuan, mantan dosen kebumian Daisy ternyata juga tahu semua kebohongan Mama. Ada alasan mengapa Mama berbohong kepada Daisy tentang sungai dan mimpi nenek dengan batu safir bertuahnya. Mama hanya ingin ber’kasta’ dimata Daisy yang seorang anak orang kaya itu. Mengetahui hal itu, Daisy dan juga Mailo menjadi sangat membencinya. Mailo, jelas saja dia kecewa berat. Dan malah tidak ingin berbicara kepada sang Mama lagi. Kini semuanya menyadari satu hal, jika berbohong itu adalah hal yang buruk untuk dilakukan. Tetapi ada kalanya berbohong merupakan penyelamat dari sebuah masalah dan itu biasa di sebut White Lie. Sebuah kebohongn putih, alias berbohong demi kebaikan.
Tetapi tetap tidak ada penjelasan mengenai bunyi-bunyian aneh di kamar mandi, anak kecil yang mengintip, dan boneka sawah yang melambaikan tangannya kepada Daisy.
Tengah malam, Daisy yang tidak bisa tidur mengetuk pintu kamar Mailo.
“Kenapa? Tidak bisa tidur?”
“Iya. Aku grogi bertemu dan menjelaskan semua ini kepada Ayah dan Ibu.”
“Kenapa? Katamu berbohong itu tidak baik, jadi jujurlah pada mereka.”
“Akan kucoba, tapi bantu aku.”
“Aku mungkin tidak bisa membantu banyak, karena aku seorang pembohong juga.”
“Aku juga pernah berbohong dulu.”
“Tapi itu Cuma kebohongan kecil, Dai.”
“Tetap saja bohong.”
“Pagi hanya beberapa jam lagi, kamu tidur. Agar mereka tidak curiga jika kamu sakit. Aku tidak mau dituduh sebagai penyebab sakitmu.”
Daisy kembali ke kamarnya dan mematikan lampu. Semua orang harus fit untuk hari esok.
***
Ibu dan Ayah terkejut melihat Mailo. Dia berdiri tegap, sama-sama memandang Ibu untuk yang pertama kalinya. Daisy yang melihat keadaan ini mulai ikutan bingung.
“Daisy, jadi ini Mailo?”
“Ya Bu, ada apa sih? Kenapa kalian bertiga jadi bengong seperti ini?”
Kemudian Ibu berbisik sesuatu kepada Ayah. Ayah mengajak Mailo ikut bersamanya masuk ke dalam kamar.
Ibu, Mama, dan Daisy menunggu diluar. Ibu sangat resah. Pikir Daisy ada rahasia lagi yang akan terkuak, dan mungkin ini yang paling besar. Tidak lama kemudian, Mailo dan Ayah keluar. Ayah mengangguk dan Mailo tampak bingung. Ibu menangis.
“Hei, ada apa sih? Aku butuh penjelasan, kami semua butuh penjelasan dari kalian.”
Ibu mengeluarkan sebuah foto dari dompetnya. Foto balita berumur 3 tahun yang memiliki tanda lahir berupa seperti luka bakar di pinggul kiri.
“Maaf Daisy, Ibu menyimpan rahasia ini karena tidak ingin melukai hatimu.”
“Kenapa Bu? Ini foto siapa Bu?”
“Ini foto kakakmu Dai! Ayah dan Ibu kehilangan dia di bandara saat dia berusia 3 tahun! Kami sudah berupaya mencarinya, tetapi tidak pernah ketemu! Dan dia!” Ibu menunjuk Mailo. “Dia adalah kakak kandungmu Daisy! Mailo! Dia Mailo! Dia anak pertama Ibu, dia kakakmu!”
Betapa terkejutnya Daisy. Speechless, tak ada yang bisa dia ungkapkan saat ini. Masih tidak percaya jika Mailo, orang ini—pembohong ini adalah kakak kandungnya, dan dia sadar nalurinya tidak pernah salah. Mama lega karena Mailo sudah bisa menemukan keluarga aslinya dikota ini. Kini, semua rahasia sudah terbongkar.
“Ayah senang, kita bisa berkumpul kembali seperti ini.”
“Tidak pernah terbayangkan jika semua kebohongan ini berakhir indah, iya kan Daisy?”
Daisy tertidur pulas di sofa karena pengaruh obat yang ia minum.
“Jangan pergi lagi Nak, kami semua membutuhkanmu disini.” Pinta Ibu merangkul Mailo.
“Tidak Bu, aku akan menjaga kalian semua disini. Yang terpenting, menjaga adikku yang cantik dan manis ini.”
Daisy tersenyum dalam hati mendengar kalimat itu, dan dia memejamkan mata, bersyukur karena semuanya menjadi indah pada waktunya.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar