Tangannya selalu siap dengan stik drum kayu itu. Iya, Exsyv memang seorang pemain drum disalah satu band sekolah ini. Dia memang seorang yang pawai memainkan alat gebuk itu, tapi dia tak pandai untuk bergaul. Dia hanya berbicara seperlunya atau dia hanya berbicara banyak kepada seseorang yang ada nun jauh disana. Pernah sesekali aku memergokinya sedang ditelfon oleh seseorang. Dia memang tidak tahu jika aku sedang memperhatikan dia saat itu sampai aku menyadari satu hal yang selama ini tidak aku sadari. Suaranya indah, walaupun dia hanya berbicara dengan nada yang agak tinggi tapi aku tahu dia punya potensi untuk menjadi vokalis bandku. Tapi aku tahu tidak mudah untuk berbicara dengannya. Bagaimana tidak?! Kerjanya di kelas hanya memojok dengan kacamatanya, dia seorang cupu dan kutu buku. Semenjak itu aku tahu jika ada pribadi unik dari Exsyv yang menarik rasa ingin tahuku.
Sampai suatu saat, ketika aku sedang membasuh mukaku di toilet wanita, aku mendengar ada kegaduhan di toilet pria. Karena waktu itu sekolah sudah bubaran, maka aku beranikan diri melihat kesebelah. Oh My God! Aku tidak tahu harus melakukan apa waktu itu. Spontan saja aku langsung menutup pintu toilet pria dan bingung harus melakukan apa, karena sangat tidak mungkin jika aku meminta bantuan orang lain pada saat itu. Aku perlahan membungkukkan badan dan mencoba mengeluarkan suara, “Hai, kamu tidak apa-apa?” tanyaku kepada orang yang pingsan itu. Tidak ada jawaban darinya. Kemudian aku mencoba mencipratkan sedikit air dari tanganku untuk membangunkan dia, tapi tidak ada respon juga. Karena posisinya telungkup, aku berusaha membuat posisi duduk untuknya. Setelah aku benarkan posisi dia, astaga! Aku sampai mundur 2 langkah sampai aku terjatuh dari posisi bungkukku. “Exsyv, kamu kenapa??!”, aku sampai tidak menyangka jika itu adalah Exsyv.
Aku berusaha mendekatinya lagi kali ini dengan lincah, aku melihat mukanya lebam-lebam dan kacamatanya pecah. Aku yakin dia habis dihajar oleh seseorang atau mungkin di keroyok.
“Kamu jangan ceritakan hal ini kepada orang lain..” ucapnya yang pertama kalinya untukku.
“Aku rasa lukamu perlu di obati.” Tanpa pikir panjang aku langsung memapahnya menuju mobilku lewat pintu belakang sekolah dan segera mengobati lukanya dirumahku.
Exsyv sempat bingung kenapa aku mengajak ke rumahnya, dia protes.
“Lukamu harus di obati, jika tidak bisa infeksi. Aku tahu, pasti kamu di pukul menggunakan besi yang ada di belakang kelas kan?”
Exsyv tidak menyangka jika aku tahu hal itu.
“Jangan kaget seperti itu, jelas aku tahu. Ada sisa-sisa karat di pipimu itu. Dan itu luka, jadi infeksi akan terjadi cepat jika tidak segera di obati.”
Aku turun dari mobil dan memapahnya. Keadaannya parah sekali, kakinya keseleo, jarinya patah, dan banyak terdapat luka memar di sekujur tubuhnya. Aku membiarkan dia rileks sebentar di sofa empuk itu. Lalu aku langsung mengambil P3K. Lukanya hampir fatal jika orang itu memukul lebih keras sedikit saja. Aku khawatir jika Exsyv tidak bisa main drum lagi, karena ada jarinya yang patah.
“Aku harus membawa yang ini kerumah sakit. Harus di gips.”
“Harus?” tanyanya lagi.
“Iya, mau tidak mau, harus. Mau lama-lama ga main drum gara-gara ini?”
Lalu aku mengobati luka yang ada di pipinya. Pertama-tama aku harus membersihkan luka itu dengan air steril agar kuman-kuman dan bakteri pada sisa karat itu bisa hilang, lalu baru memberi betadine. Aku tahu ini pasti akan sedikit sakit, makanya aku memberikan sebuah bantal sofa kepadanya. “Ini akan sedikit lebih sakit dari pada luka yang lain. Pegang ini..” . Dia memegangnya dan sesekali meremasnya, aku tahu itu sakit tapi dia mencoba menutupinya.
“Sudah. Jangan banyak bergerak dulu. Habis ini aku akan mengantarkanmu ke rumah sakit.”
Aku pamit kepada dokter, kemudian mengantar Exsyv pulang. Tapi dia yang masih berseragam sekolah itu tidak ingin pulang malah diam duduk di emperan rumah sakit. Aku menunggunya untuk bicara. 10 menit, 20 menit, 30 menit…
“Thanks.” Ucapnya setelah waktu berlalu 30 menit lebih 39 detik.
Aku hanya tertawa kecil sambil mengamati lingkungan rumah sakit itu. Untukku hanya perlu diam 2 menit untuk menjawab, “You’re welcome.” Entah apa yang membuat suasana menjadi unik sehingga untuk pertama kalinya dia tertawa bersamaan denganku.
Setelah perut terisi dan hari mulai gelap, barulah aku mengantarkannya pulang. Aku baru tahu jika dia memang orang yang sederhana. Rumahnya pun tidak semewah rumahku dan juga minimalis. Dia tidak lekas turun dan meninggalkan aku, tapi dia malah memandangi rumahnya itu.
“Jam 7.” Kataku mengingatkan waktu.
Tapi aku mendapat sebuah pengakuan yang tidak pernah aku minta.
“Randy. Dia iri dengan skill ku bermain drum.”
“Oh! Hmm…jika butuh bantuanku katakan saja.”
“Aku memang sedang membutuhkannya.”
“Menjadi vokalis bandku, hanya itu yang bisa aku tawarkan padamu.”
“Setuju. Aku pensiun jadi drummer.”
Dia turun dari mobil dengan terpincang-pincang, lalu aku bingung sendiri kenapa dia langsung setuju dengan tawaran bantuanku.
***
Beberapa hari sudah lewat dari insiden pemukulan itu, dan semenjak itu pula Randy rupanya mulai mendekati aku. Aku tidak tahu, Randy mengetahui kejadian itu atau ini hanya kebetulan semata. Exsyv yang melihat hal itu rupanya geram, karena baik Exsyv maupun aku tahu jika Randy adalah playboy kelas berat. Dia hampir saja membuat anak orang kehilangan masa depan dan dia hampir saja membunuh temannya sendiri menggunakan sebuah pulpen hanya karena masalah sepele. Ya, Randy itu cowok brengsek!
Suatu siang saat pulang sekolah mobilku mogok karena bensinnya habis dan aku bingung harus minta bantuan kemana karena lagi-lagi sekolah sepi dengan cepatnya. Dari kejauhan aku melihat ada segerombolan anak-anak motor matik yang hendak menghamipiri aku. Aku sudah was-was takut jika itu adalah Randy. Ternyata dugaanku memang benar, hampir saja aku ‘celaka’ disana, tetapi entah dari mana datangnya, bak pahlawan yang muncul disiang tiba-tiba, Exsyv datang sambil memukuli mereka satu persatu. Melihat Exsyv di kroyok, maka aku terpaksa menggunakan ilmu taekwondo-ku kepada mereka. Ya, baru kali pertama itu aku melawan seorang cowok dengan ganasnya. Lalu mereka semua pergi.
“Aku ada perlu sama kamu.” Ucapnya yang langsung membawaku masuk ke dalam mobil.
“Tentang band kita? Diterima demo kasetnya?”
Beberapa hari yang lalu sebelum hari ini, kami semua merekam sebuah lagu yang dikirim ke sebuah label rekaman. Dan di lagu itu suara indah Exsyv mengalun, walau aku tahu kondisinya belumlah fit benar.
“Produser minta kamu yang jadi leadernya, bukan yang lain.”
Aku langsung tahu jika demo kaset kami lolos audisi. “Aku?”
“Jika kamu bersedia, minggu depan kita teken kontrak, 2 album.”
“2 album?”
“Yang lain sudah menjemput kita. Aku sudah bilang jika kamu membutuhkan bensin.”
“Thanks.”
Aku dan Exsyv menunggu yang lain datang untuk memberikan pertolongan.
Setelah kami membicarakan ini, kami mendapatkan hasil yang kami mau. Aku setuju untuk menjadi leader band kami—band yang belum punya nama—ini. Dan mulai minggu depan kami akan sibuk dengan persiapan album pertama kami.
***
Album pertama hampir rampung semuanya, hanya tinggal mengisi efek-efek suara yang akan mempercantik suara Exsyv. Kami mempunyai waktu senggang di liburan sekolah ini dan Exsyv mengajak aku untuk berkunjung ke rumahnya. Dengan senang hati aku penuhi undangannya hari itu juga dan langsung menuju kerumahnya.
“Ada apa sih mendadak kamu ngajakin aku berkunjung kerumahmu?”
“Randy.”
Dia menyebut nama Randy di hadapanku. Dari sini aku mulai merasakan ada yang ganjil.
“Itu dia, dulu.” Exsyv menunjuk salah satu foto yang tergantung di dinding rumahnya.
Iya, foto anak kembar dan salah satu dari mereka wajahnya rusak, hancur.
“Adik kamu?” tanyaku yang waktu itu benar-benar tidak mengerti apa-apa.
“Iya, tapi sekarang dia bukan adikku lagi.” Jawabnya sambil menyembunyikan sesuatu yang besar dariku.
Aku ling lung tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Ketika aku sedang memperhatikan foto itu dengan seksama, dia begitu saja memelukku. Aku tidak bisa membaca suasana, kali ini sungguhlah berbeda.
“Aku ingin ungkap 1 fakta, dan kamulah orang yang aku percayai.” Ucapnya serius.
“Ok.” Hanya itu yang bisa aku jawab.
Dia melepas pelukannya lalu mengajak aku bicara face-to-face di meja makan.
“Anak kembar yang ada di dalam foto itu aku dan Randy. Dulu Randy tersiram air keras sewaktu bermain di taman, lalu wajahnya menjadi rusak. Tidak ada harapan lagi waktu itu, sampai akhirnya kedua orangtuaku pindah ke Melbourne tanpa aku. Semenjak kejadian itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan mereka, ketika usiaku 12 tahun aku baru sadar jika mereka semua membuang salah satu dari kami dan itu aku. Aku cukup menerima alasan itu, karena aku tahu jika aku tetap bersama mereka Randy pasti merasa tidak adil kenapa wajahnya tidak seperti aku. Dan saat itu pula aku tahu, disana mereka mengupayakan operasi plastik untuk Randy.”
Aku melihat mata Exsyv mulai berkaca-kaca, aku memegang tangannya untuk menenangkannya.
“Ketika hidupku mulai indah dengan drum setku beberapa bulan yang lalu, tiba-tiba Randy pindah ke sekolah kita dan langsung membuat keonaran. Jelas aku tahu itu Randy, dia membuka situs online alat-alat musik dan aku cukup sering menengok situsnya itu. Aku perlahan mulai mendekatinya berharap dia bisa menerimaku, tapi aku salah. Dia ternyata sangat membenciku, sangat. Dia ingin mengambil semua yang aku miliki, termasuk kemampuanku bermain drum. Aku tidak bisa melukai adik kembarku sendiri, aku merelakan jari ini patah demi dia. Karena aku sayang dia, tapi sayang sekali ini semua tidak sampai kepadanya.”
Baru kali ini aku melihatnya menangis, dia genggam tanganku erat. Aku tahu, dia sangat sedih.
“Tapi aku tidak bisa tinggal diam ketika Randy bersama teman-temannya mengganggumu kala itu. Aku tahu, Randy tahu peristiwa kamu menolongku di siang itu. Sudah sangat jelas dia menginginkan kamu untuk menghancurkan aku saat itu. Jika aku tidak cepat datang waktu itu….” Exsyv menahan kalimatnya, “Kamu pasti tahu apa yang akan terjadi.”
Aku langsung mengajukan sebuah pertanyaan, “Kenapa? Kenapa aku dengan kamu sebenarnya?”
“Aku sudah mencoba menahannya, tapi maaf….aku tidak bisa. Aku tahu, kamu akan jauh terlibat dalam masalahku ini. Tapi aku jujur mengakuinya, berat aku melalui semuanya ini seorang diri. Siang itu aku memang sudah mengikutimu semenjak pulang sekolah, perasaanku tidak enak, aku takut terjadi sesuatu kepadamu, dan ternyata feelingku benar.”
Bahkan sampai penjelasan itu pun aku sudah sangat mengerti. Exsyv menaruh perhatian lebih terhadapku.
“Semalam, tidurku amat tidak nyenyak. Aku terbangun di tengah malam. Tiba-tiba telfon rumahku berdering. Ternyata dari kedua orangtuaku dan mereka membawa sebuah kabar….”
Aku semakin merasa ada yang tidak beres dengan semua ini, aku pindah duduk di samping Exsyv. Aku lihat Exsyv dari awal bercerita sampai sekarang terus menunduk. Aku mencoba mengangkat kepalanya dan melihat binar matanya.
Kini…aku tahu semuanya.
***
Kini hubunganku dengan Exsyv banyak sekali perubahan. Aku masih ingat sekali, dulu dia selalu berada di pojok kelas, seorang diri ditemani oleh buku-bukunya yang setia. Tapi kini dia berada di pojok kelas bersama aku tidak lagi dengan buku-buku usang itu. Dulu tak seorang pun yang mengajaknya ngobrol atau sekedar berbicara, tapi kini ada aku yang selalu membuatnya bersuara. Aku suka dengan perubahan itu, aku juga tahu dia menikmati perubahan yang aku berikan.
Secara tidak langsung aku harus berterima kasih kepada Randy karena telah mempertemukan aku dengan Exsyv, seorang drummer yang unik dan bersuara merdu. Jika tidak menemukan ia sedang babak belur dikamar mandi, aku tidak akan sedekat ini mengenalnya bahkan sampai tahu cerita tentang keluarganya. Jika aku mengingat ini semua, aku benar-benar teringat curahan hati Exsyv sore itu dirumahnya.…
Sebenarnya sungguh berat aku mengungkap ini semua, aku juga merasakan apa yang Exsyv rasakan selama ini. Ternyata pertemuannya dengan Randy siang itu—siang dimana dia menggangguku—itu adalah pertemuan terakhir bagi Randy dan juga Exsyv. Hari dimana Exsyv curhat kepadaku, saat pada tengah malam ia menerima telfon dari kedua orang tuanya di Melbourne, pesan itu berbunyi jika Randy kembali pulang ke Melbourne dengan pesawat pada pukul 11 malam. Sesaat sebelum Exsyv lebih jauh menanyakan hal itu, mereka mengatakan jika pesawat itu jatuh ke pelosok hutan karena hilang arah dan diberitakan jika tidak ada satu pun orang yang selamat dari kecelakaan maut tersebut. Dan lebih parahnya lagi, setelah jatuh pesawat itu meledak dan terbakar.
Kini, aku tahu Randy mempertemukan aku dengan Exsyv adalah untuk mencapai satu tujuan , yaitu menemani Exsyv di kala Randy sudah tak ada lagi untuk Exsyv. Dan sekarang aku yakin Randy tersenyum melihat aku dan Exsyv bahagia. Terima kasih Randy.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar