Minggu, 23 Oktober 2011

KINGDOM STORY -part 1-

Permaisuri begitu tampak anggun dengan sanggul yang dipakainya itu. Aku ingin sekali menggunakan sanggul itu ketika aku kelak memimpin nanti. Tapi itu mungkin Cuma mimpi. Masih banyak saudara-saudaraku yang akan meneruskan tahta ibuku itu. Aku hanya bisa mengikuti apa kata mereka. Aku belum pernah merasa sebosan hari ini, mungkin karena seluruh orang kerajaan ini sedang mempersiapkan pertunangan kakakku yang tersulung, dia akan bertunangan dengan seorang pangeran dari kerajaan Werck, lelaki itu berusia 25 tahun dengan nama Pangeran Hojo.
Aku terduduk di ruang utama istana.
“Hei, kok bengong aja sih?”
Lamunanku buyar ketika kakakku yang kedua menegurku.
“Aku bosan. Baru kali ini aku merasa sebosan ini.”
“Kamu kira kamu aja yang bosan? Aku juga. Dari tadi aku tidak boleh membantu apa-apa oleh Tiara. Katanya sih dia ingin menyelesaikan seorang diri.”
“Kak Tiara bilang gitu? Biasanya dia nyuruh-nyuruh kita terus?”
“Aku juga nggak tau, mungkin dia terlalu khawatir jika semuanya berjalan tidak sesuai dengan keinginan dia.”
“Memangnya kapan mereka akan menikah?”
“Tiara belum bilang. Aku juga tidak mau menanyakan itu, nanti dia stress lagi. Kamu tadi tidak lihat sih bagaimana dia……”
“Kak Tiara kenapa?”
“Sibuk sendiri, bahkan saat aku datang ke kamarnya saja, dia tidak menghiraukankku.”
“Waw, dari ceritamu sepertinya dia amat-sangat sibuk. Kamu tidak coba membantu dia?”
“Tadi kan di awal aku sudah  bilang, dia tidak ingin dibantu oleh siapa pun.”
Ketika kami sedang asyik berbincang, ada sesuatu yang menarik perhatian Aya. Aku terus saja memperhatikan ke mana arah matanya. Tapi aku tidak menemukan apa yang sedang ia pandang.
“Kak Aya kenapa sih? Lagi ngeliatin apa?”
“Hanya sesuatu yang tidak penting..” Kak Aya menjawabnya dengan nada yang terputus-putus.
Tapi tidak lama kemudian dia pamit kepadaku, “Aku pergi sebentar, tidak apa kan aku tinggal?”
“Ya...emang mau kemana sih?”
“Jujur, dari tadi aku kebelet. Nanti malam semoga kita bisa bertemu lagi.”
            Aku melihat gelagat yang tidak biasa dari Kak Aya, sepertinya ada yang mengganggunya.
Tapi apapun itu, rasa bosanku masih tidak pergi juga. Aku mencoba berjalan mendekati ibuku yang dari tadi sibuk mencoba sanggul-sanggul itu. Dari sofa yang empuk aku pindah menuju kursi marmer yang terletak persis di samping jendela. Ya begitulah, ibuku tidak bisa diganggu jika sudah sibuk dengan dirinya sendiri. Kak Tiara hampir sama dengan ibu, mungkin  karena dia anak pertama jadi sifat ibu kental ada pada dirinya. Karena aku merasa tidak punya teman ngobrol di sini, maka aku berniat mencari ayah yang entah saat ini berada dimana. Aku fikir pasti ayah mengasingkan diri di perpustakaan, ternyata benar. Ayahku atau tepatnya Raja kerajaan Syse ini, hobi sekali membaca buku. Maka ia membangun sebuah perpustkaan besar di dalam kerajaan.
Aku langsung duduk di depannya dan iseng mengambil salah satu buku yang ada di hadapan ayah. Dia mengambil banyak buku banyak sekali, kira-kira ada sekitar 7 buku. Untuk ukuran orang seperti aku, baca 1 buku saja sudah teler. Apa lagi harus membaca buku sebanyak itu?
Ayah meletakkan bukunya dan tersenyum padaku.
“Tumben ayah melihat putrid ayah yang satu ini?”
“Aku bosan, semuanya sibuk sendiri.”
“Kenapa tidak ikut ibu mencoba sanggul atau yang lainnya?”
“Huh, ga penting.”
“Tiara bagaimana?”
“Aku tidak melihatnya dari pagi tadi. Hanya Kak Aya saja yang bertemu denganku saja tadi. Sempat mengobrol sebentar, tapi dia pergi lagi. Ga tau ke mana.”
“Kenapa tidak berjalan-jalan keluar?”
“Sendiri? Malas.”
“O iya, ayah lupa….”
“Lupa apa?” tanganku tidak bisa diam memainkan lembaran-lembaran buku itu.
“Ayah ingin mengenalkan seseorang kepadamu.”
“O ya? Siapa?”
“Adik Pangeran Hojo. Kamu mau kan kenalan?”
“Oh, boleh. Dimana dia sekarang?”
“Ayo ikut dengan ayah.”
“Tapi ayah kan belum selesai membaca?”
“Taka pa, bisa dilanjutkan nanti.”
Kemudian ayah mengajakku ke sebuah ruangan yang khusus diperuntukkan untuk tamu-tamu kerajaan yang sedang berkunjung ke Kerajaan Syse. Ayah mengetuk sebuah pintu berwarna kuning keemasan, dan ada seseorang yang membukakan pintu itu.
“Raja? Ada gerangan apa Anda datang ke sini?” jawab laki-laki itu.
“Perkenalkan, ini putri kami yang paling kecil. Aku ingin mengenalkan dia dengan adikmu.”
Aku menarik lengan baju ayah dan berbisik, “Itu siapa?”
“Itu Pangeran Hojo. Ayah kira kalian sudah saling mengenal?”
“Oh, kamu Hojo? Yang akan bertunangan dengan Kak Tiara??”
“Iya, kamu adiknya? Aya?”
“Bukan. Aya itu kakakku.”
“Siapa kak?”
Dari dalam keluarlah seorang putri yang sangat cantik. Rambutnya panjang sepunggung, berwarna coklat gelap, ikal, dan bermata gelap. Aku sempat tidak percaya diri ketika melihatnya begitu menawan.
“Oh, Raja, perkenalkan ini adik saya. Namanya Tiffany.”
“Kebetulan kalau begitu, Tiffany..ada seseorang yang ingin berkenalan denganmu.”
“Siapa?” tanya Tiffany bersemangat.
“Ini anakku yang paling kecil.” Ayah mendorongku ke depan, dan berbisik “Ayo perkenalkan dirimu.”
“Hai…aku adiknya Tiara yang paling kecil. Tunangan kakakmu.” Aku bicara dengan tegang, aku grogi melihat kecantikan Tiffany.
Tiffany tampak tertawa geli, “Aku juga tau kamu pasti adik kak Tiara. Lalu aku harus memanggilmu apa? Kamu punya nama kan?”
“Nama? Oh tentu punya ..” jawabku sambil setengah tertawa.
Lalu tampak Hojo dan Tiffany tertawa lagi, “Siapa namamu?” tanya Hojo kemudian.
“Ara.” Jawabku singkat.
“Hanya itu?” tanya Tiffany.
“Sebenarnya namaku panjang sekali.”
“Namaku Tiffany Yadera. Kamu?” tanya Tiffany sambil menjabat tanganku.
“Karranya Quinnsy Anastasya.”
“Nama kamu bagus banget…” Tiffany langsung suka mendengarnya.
“Tiffany, maukah kamu menemani Ara selama kamu menginap disini?”
“Dengan senang hati.” Jawab Tiffany sambil memberikan hormat kepada ayahku.
“Baiklah, ayah tinggal.” Lalu ayah kemudian kembali ke perpustakannya.
“Jadi, kamu mau mengajakku kemana?” tanya Tiffany bersemangat.
“Em...bagaimana jika berkeliling istana?”
“Aku baru saja mengajaknya tadi.” Jawab Hojo. Aku baru menyadari jika Hojo memang tampan, dan tidak heran jika Kak Tiara tergila-gila padanya.
“Begini saja, kamu mau temani aku membeli roti? Aku dengar ada toko roti yang enak di sini?”
“Oh, iya…memang ada. Tapi mahal.”
“Mahal? Berapa harganya?”
“1 roti harganya itu 5 sen.”
“Harga yang biasa berapa?” tanya Tiffany sambil bersiap-siap, dia memoles bedak ke wajahnya yang sudah putih itu dan tidak lupa memakai gincu berwarna pink lembut.
Aku sampai bengong melihatnya. Aku kan tidak pernah memakai yang seperti itu!
“Ara?”
“Ya?”
“Harga yang biasa itu berapa?”
“½ sen saja bisa dapat yang enak.”
“½ sen? Kamu biasa beli roti yang harganya segitu?”
“Iya, kenapa?”
“Kamu kan bisa beli yang lebih mahal dari pada itu?”
Tiffany pamit dengan kakaknya, kemudian kami berdua keluar lewat pintu belakang istana menuju tempat roti yang dimaksud.
“Tapi yang lebih mahal belum tentu lebih enak.”
“O ya? Tapi kamu berani jamin kan yang harganya ½ sen itu enak?”
“Ya menurutku sih enak. Ga tau deh lidah kamu ngerasainnya gimana?”
“Di mana roti yang ½ sen itu?”
“Itu, yang jual. Biar aku yang panggilkan.” Aku melambaikan tangan pada penjual roti keliling itu. Dan dia menghampiri kami.
“Seperti biasa. Kamu mau yang mana?”
“Kamu beli yang mana?”
“Yang itu.”
“Yang itu? Emangnya ada apanya di dalam rotinya?”
“Oh, aku suka yang rasa coklat.”
“Stoberi ada nggak?”
“Ada, mau?”
“Mau!” Tiffany tersenyum-senyum, rupanya dia sangat menyukai roti rasa stoberi.
“Berapa biji?”
“2.”
“Yakin Cuma dua?”
“Iya, tambah coklat 3.”
“Buat siapa?”
“Kak Hojo. Dia sangat suka roti coklat. Kamu tidak membelikan kak Tiara?”
“Aku bahkan tidak tau dia sedang berada dimana?”
Pedagang roti itu sudah membungkuskan roti milik Tiffany.
“Berapa jadinya?” tanya Tiffany kepada pedagang roti.
“2½ sen.”
Tiffany tidak langsung membayarnya, malah melihat aku.
“Kenapa?”
“Tidak ada uang kecil. Aku yakin pasti dia tidak ada kembalian.”
Lalu aku mengintip isi dompet Tiffany. Memang dia Cuma membawa uang dalam jumlah nominal yang besar.
“Ya, pakai uangku saja dulu. Nanti ganti ya?”
“Iya.”
Tiffany manja!
“Jadi totalnya berapa?”
“4 sen.”
Aku merogoh tas kecilku dan mengambil 4 sen untuk si tukang roti.
“Kamu biasa ya membeli 3 potong roti di pedagang tadi?”
“Iya, sejak aku kecil aku selalu saja membeli roti di dia. Eh, dicoba rotinya. Enak kok.” Aku sudah menghabiskan setengah rotiku.
Tiffany langsung melahap roti yang ia beli tadi. Dan di akuinya, rasanya memang lezat. Selain rotinya empuk, juga selainya benar-benar stroberi asli.
“Kamu tidak bohong ya? Memang enak banget ini rotinya. Lain kali aku mau borong ah J.”
“Haha, aku bilang juga apa...tidak selamanya roti murah itu ga enak.”
“Tapi jika hanya makan roti begini, perutku tidak akan kenyang.”
“Jadi, kamu lapar?”
“Iya, menurutmu lebih enak makanan di istana atau di luar?”
“Sama saja. Kan koki yang ada di istana diambil dari rakyat kecil juga.”
“Oh, tapi masa sama?”
“Ya kurang lebih seperti itu. Aku belum pernah makan diluar selama ini.”
“Bagaimana jika kita mencobanya sekarang?”
“Tapi aku belum yakin dengan makanan di sini. Lebih baik kita makan di istana saja?”
“Tapi aku ingin makan diluar.”
“Tapi aku ingin makan di istana saja. Pasti banyak makanan, kan malam nanti acaranya dimulai?”
“Gitu ya?”
“Iya…kamu belum nyoba kan masakan ibuku? Enak lho!”
“Ratu jago masak ya?”
“Oh iya dong…”
“Kamu pasti sering dimasakin makanan enak ya?”
“Nggak juga, kak Aya yang biasanya buatin makanan buat aku.”
“Lho? Kok gitu?”
“Kamu taulah, dia kan super sibuk. Jadi Cuma kak Aya aja yang dekat denganku.”
“Kamu merasa di acuhkan ya? Jujur aja sama aku…meskipun kita baru kenal, tapi aku nyaman banget temenan sama kamu.”
Aku duduk di samping kolam.
“Iya. Kak Tiara tidak pernah mengajakku mengobrol sesuatu yang serius. Hubungan kami kurang harmonis, dari aku kecil, aku sering bertengkar dengan Kak Tiara. Maka itu aku lebih dekat dengan Kak Aya. Mungkin karna umur kami yang tidak terlampaui jauh.”
“Kalau aku boleh tau, Kak Tiara umurnya berapa?”
“24. Kak Aya 19, sedangkan umurku masih 16.”
“Ya wajarlah kalau kamu lebih nyambung sama Kak Aya. Secara dia kan belum 20 tahun umurnya. Biar aku tebak, Kak Tiara itu suka marah-marah ya?”
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Kak Hojo sering banget curhat ke aku kalau Kak Tiara itu sering marah-marah nggak jelas. Tapi mau gimana, Kak Hojo ngajakin nikah, Kak Tiara ngga bisa nolak.”
“Dan aku mulai curiga sama Kak Aya, kayaknya udah ada yang mulai deketin dia.”
“O ya? Kamu merasa tersingkirkan gitu?”
“Ya, sekarang aku nggak punya teman ngobrol. Seperti hari ini, aku bingung. Untung saja ayah ngenalin aku ke kamu.”
“Keputusan yang tepat, aku juga lagi butuh teman baru.”
“Memangnya disana—dirumahmu tidak ada saudara perempuan lagi?”
“Tidak, hanya aku dan Kak Hojo saja. Tapi setelah Kak Hojo mengajakku ke sini, aku jadi banyak punya teman deh.”
“Banyak? Kamu sudah berkenalan dengan siapa saja?”
“Lebih tepatnya bukan berkenalan, tapi jadi banyak laki-laki yang tersenyum padaku.”
“Hahahaha, itu bukan teman namanya! Mereka itu suka sama kamu!”
“Hah?! Suka? Bagaimana bisa? Aku kan baru tiba kemarin?”
“Ya jelaslah, kamu itu sempurna banget. Siapa sih yang ngga tertarik sama kamu?”
“Masa` aku segitunya sih? Aku ngerasa biasanya aja.”
“Kalau aku jadi cowok nih, aku kejar kamu sampai dapat!”
“Hiiiy, kamu serem deh!”
“Emangnya kamu belum punya pacar?”
“Belum.”
“Ah, masa`? bohong kamu! Masa` cewek secantik kamu ngga ada yang mau?”
“Eits, bukan nggak ada yang mau, tapi aku aja yang malas punya hubungan khusus dengan seseorang.”
“Jangan-jangan kamu abnormal lagi?”
“Enak aja kamu ngomong! Aku masih normal tau! Kamu sendiri?”
“Aku? Bodo amat ah ama yang begituan. Malas. Belum tertarik mungkin.”
“Apa kamu yang nggak normal?”
“Eh, sembarangan! Masih normal tau!”
Terdengar Guntur di langit, mendung. Baru beberapa menit yang lalu langit cerah, tapi karena kami asyik mengobrol, tak terasa hujan sebentar lagi pasti akan turun.
“Fa, kayaknya mau hujan deh. Balik gimana?”
“Emm, tapi perutku masih lapar..aku ingin makan..”
“Kan bisa makan di istana, lagian kayaknya acara udah siap itu.” Aku melihat kearah istana, lampu-lampu sudah dinyalakan. “Yuk, aku nggak mau kehujanan!”
“Ya juga sih…tapi aku ingin makan disana…”
“Besok deh janji, aku yang temenin.”
“Tapi besok aku sudah balik.”
“Tenang aja, bisa kok.” Aku langsung menarik tangan Tiffany dan kembali menuju istana. Tetapi sebelum sampai, kami sudah terguyur hujan.
“Tuh kan…ku bilang juga apa…coba tadi kita makan disana…pasti nggak bakal kehujanan!”
“Bawel amat sih? Rasanya juga sama kok yang disana ama yang disini!”
“Kamu kok ngatain aku bawel sih?”
“Iya, emang bawel kamu! Dari tadi dibilangin nggak percayaan amat! Aku yang lebih lama tinggal disini…kamu kan baru datang kemarin?”
“Idih, kamu ngomongnya kok kasar gitu sih?”
“Emang aku kayak gini, mau apa? :p”
“Iiiih, pake melet-melet lagi! Ni aku juga bisa, :p”
“Ikutan, udah ah…basah ni badan…”
Aku dan Tiffany berjalan memasuki istana dan langsung bertemu dengan Kak Aya.
“Araaa……kenapa kamu basah begini? Kamu tau tidak acaranya ini mau mulai!”
“Nggak tau, habis ngga ada yang ngasi tau!”
“Ini siapa?”
“Maaf, aku Tiffany. Adik Hojo.”
“Oh….jadi kamu yang sedang dibicarakan itu?”
“Dibicarakan?” aku jadi bertanya-tanya.
“Iya, seluruh orang istana bertanya-tanya sejak kau keluar tadi. Mereka kira kamu anak Raja.”
“Oh, jadi tersanjung.” Tiffany mengatakan itu sambil menutup mulutnya. Lalu aku menjitak kepalanya.
Tak, “Hei, jangan geer!”
“Ara! Tidak sopan kamu menyentuh kepala putri!”
“Tidak apa,…” jawab Tiffany tersenyum sambil membalas jitakanku dengan yang lebih keras.
“Auuuuuoooowwww….!”
“Ara, ganti baju! Acaranya sebentar lagi!”
“Iya…” jawabku sambil mengusap kepalaku yang dijitak tadi.
Aku mengantarkan Tiffany ke kamarnya, tetapi dia memintaku untuk tidak pergi dulu.
“Kenapa lagi sih?”
“Tunggu, aku takut sendirian. Nanti ada laki-laki yang mengintipku ganti baju lagi?”
“Kamu takut banget sih? Di sini aman kok!”
“Nggak ah, tungguin pokoknya.”
Ihh, manja banget sih? Mentang-mentang anak cewek satu-satunya…
Tidak lama kemudian aku melihat Hojo datang.
“Sedang apa di sini Putri?”
“Eeh, jangan panggil gitu. Panggil Ara aja cukup.”
“Sedang apa Ara disini?”
“Tiffany minta di tungguin ganti baju. Takut katanya kalau ada yang ngintipin dia.”
“Aduh, aku minta maaf ya?”
“Minta maaf kenapa?”
“Adikku memang manja sekali, dari kecil memang seperti itu. Dia itu ngerepotin! Keras kepala, banyak maunya. Tapi aku senang akhirnya dia dapat teman seperti Ara ini.”
“Memangnya ada apa dengan teman-temannya?”
“Dari kecil tidak ada yang mau dekat dengannya, karena dia sombong dan nggak mau kalah. Dia egois, tapi jujur aku menaruh harapan padamu.”
“Harapan apa?”
“Aku mohon sama Ara…tolong ajari dia hal yang baik ya. Aku ingin dia kelak mendapatkan laki-laki yang baik dengan sikapnya yang baik pula.
“Oh, iya…akan aku usahakan.”
Tengah asyik mengobrol dengan Kak Hojo, aku melihat Kak Tiara datang dengan wajah yang dilipat.
“Hojo!? Kamu ngapain disini?”
“Aku mau mengambil kaus tangan. Tapi ternyata di dalam ada Tiffany yang sedang ganti baju.”
“Ni anak kecil ngapain lagi di sini?” aku disentak seperti itu.
“Tiara, jangan kasar…”
“Kamu nggak tau sih..dia itu nggak bisa dikasi tau!”
“Eh, urusin aja acara kamu!” lalu aku menggedor pintu Tiffany. “Buruan!”
Lalu Tiffany keluar dan kami pergi dari mereka.

“Tadi aku dengar ada ramai-ramai, kenapa sih?”
“Tadi aku ngobrol sama Kak Hojo, trus Kak Tiara datang. Eh aku malah dimarahin sama dia.”
“Pasti kumat lagi ya?”
“Iya tuh, ngga tau kenapa?”
“Maaf tadi aku lama, sekarang gantian deh aku yang nungguin kamu ganti baju.”
“Ngga usah, acaranya sudah mau mulai. Ntar aku nyusul aja. Aku ganti baju nggak lama kok.”
“Tapi beneran kamu nggak mau ditungguin nih?”
“Nggak usah, sisakan satu bangku saja disampingmu. Tunggu aku diluar.”
“Ok, aku tunggu kamu diluar.”
Sementara Tiffany menuju keluar, aku segera mengganti bajuku dengan baju yang paling istimewa yang pernah aku punya. Gaunku ini berwarna pink, hampir sama dengan warna gaun Kak Tiara. Gaun ini ku beli saat Kak Tiara membeli gaun yang dipakainya sekarang ini. Dengan sigap aku langsung memakai gaun itu tanpa bantuan siapa pun. Dengan sangat terpaksa aku memoles bedak dan gincu pada wajahku. Aku membiarkan rambutku sebahuku tergelung ke atas. Aku tambahkan bunga mawar pada gelungan rambutku. Tidak lupa eyeshadow seperlunya, lalu aku tidak lupa memakai sepatu high heels ku. Lalu aku segera berlari menuju pintu, mengatur napas sedikit dan kemudian keluar menuju Tiffany dengan anggun.
Aku benar-benar tidak menyangka, semua mata memandangku!! Aku tetap berjalan dengan tenang, seperti tak terjadi apa-apa. Aku melihat Tiffany yang juga kaget melihatku berdandan seperti ini. Kak Tiara, Kak Hojo, dan Kak Aya sampai menganga melihatku berdandan seperti ini. Aku duduk disamping Tiffany dan semua pandangan kembali kepada kedua mempelai.
 
Kemudian Tiffany berbisik kepadaku, “Kamu mau buat kita jantungan ya?”
“Maksud kamu?”
“Kamu tadi lusuh banget, sekarang sudah seperti putri saja?”
“Lha? Aku kan memang putri? Kamu ini gimana sih?”
“Kamu ini!” Tiffany menyikut lenganku.
“Kenapa lagi sih?”
“Udah dandan kayak gini, ngomongnya masih aja kayak tadi, anggun dikit dong! Malu sama cowok-cowok yang ada di belakang!”
“Memang di belakang kita ada banyak cowok?”
“Kamu lihat ke belakang dong?!”
Aku melakukan apa yang Tiffany suruh. Hampir semuanya tersenyum padaku, aku membalas senyumnya. Tapi ada seorang yang mengacuhkanku, aku tidak tahu dia siapa.”
“Kamu senyum ga tadi sama mereka?”
“Senyum kok. Tapi ada satu cowok yang angkuh banget. Ngelirik aku aja enggak. Coba deh kamu liat. Dia pake baju warna putih.”
“Oh, dia itu sepupuku. Memang gitu dia, kalo nggak kenal nggak nyapa.”
“Siapa namanya?”
“Kenapa jadi ngebahas dia sih? Aku lagi ngebahas kamu.”
“Ngapain kamu heboh banget ngebahas aku?”
“Kamu perlu dibahas!”
Maka saat itu aku sibuk membahas diriku dengan Tiffany.
***
Setelah acara pertunangan ini selesai, aku belum boleh menanggalkan gaun pink ini. Tumben Kak Tiara memintaku untuk tetap tinggal di luar bersama Tiffany. Aku turuti saja perintahnya.
“Eh, Ara! Kayaknya cowok itu mau kenalan sama kamu deh.”
“Yang mana?” kemudian cowok itu dipanggil oleh Tiffany.
“Ngapain kamu manggil dia?”
“Kali aja kamu tertarik?”
“Nggak ah, malas.”
Cowok itu datang kepada kami dan memperkenalkan diri.
“Halo, putri…” sapanya sambil hendak mengambil tanganku, tapi aku keburu menarik tanganku.
“Hai..” sapaku garing.
“Perkenalkan, namaku Pangeran Uhid datang dari negeri Arab.”
“Pantesan mukanya kayak onta!” bisikku kepada Tiffany. Dia malah menyikut perutku.
“Bersikaplah sedikit anggun, nanti kamu buat Kak Tiara malu!”
“Oke, aku coba.”
“Mau kah anda berdansa denganku.”
“Em,..aku rasa aku tidak suka dansa.”
“Bagaimana jika bergoyang?”
“Aku juga tidak suka bergoyang.”
“Gini deh, Putri Ara memang tidak suka yang seperti itu..bagaimana jika kau berdansa denganku saja?”
“Dengan senang hati Putri…..”
“Putri Tiffany.”
“Dengan senang hati Putri Tiffany.”
Karena merasa bosan dengan acara dansa yang tidak jelas ini, aku memisahkan diri dari yang lainnya ke dekat kolam. Aku bermain air disana. Lalu pemuda angkuh itu ikut duduk di sebelahku. Aku menjaga jarak dengannya, takut jika dia berbuat sesuatu di luar nalar.
Dia masih diam sambil memandang orang-orang itu berdansa, aku tau dia sedang mengawasi Tiffany. Dalam hati aku tebak pasti dia suka dengan Tiffany, si Putri Dandan itu.
“Kenapa tidak ikut berdansa?”
“Kamu bertanya pada siapa?”
“Memangnya ada orang lain selain kamu dan aku disini?”
“Oh…tidak, aku tidak bisa berdansa. Lagi pula itu kan hanya untuk orang dewasa saja.”
“Siapa bilang? Aku rasa kamu sudah cukup umur untuk berdansa?”
“Tidak, aku masih kecil.”
“Umurmu 16 tahun kan?”
“Aku tidak suka berdansa.”
“Tapi buat apa kamu dandan seperti ini jika tidak untuk berdansa?”
“Aku hanya menghormati kakakku. Ini kan pestanya, aku tidak ingin mengacau lagi.”
“Hanya karena itu? Bohong?”
“Apa maksud kamu dengan bohong itu?”
“Tidak mungkin kamu berdandan seperti ini jika tidak menarik perhatian lawan jenismu.”
“Memang tidak, kau tahu apa?”
“Temanmu saja sedang asyik berdansa dengan pangeran arab itu.”
“Dasarnya dia aja yang suka begitu. Kamu sendiri, siapa? Aku tidak pernah melihatmu disini?”
“Aku sepupu Tiffany.”
Aku lupa jika dia sepupu Tiffany.
“Dari tadi kamu kayaknya terus liatin Tiffany, suka?”
“Nggak, bahkan aku tidak pernah berbicara dengannya.”
“Kenapa?”
“Dia suka ngelunjak kalo ketemu cowok yang ganteng sedikit. Bukan maksud menyanjung diri sendiri, tapi dia memang begitu orangnya. Aku saja suka kesal dengan sifatnya yang kelewat manja itu.”
“Aku tau, Kak Hojo sudah cerita kepadaku. Bahkan dia mempercayakan Tiffany kepadaku.”
“Selamat, semoga kamu tahan dengan sikapnya.” Dia pergi entah ke mana. Aku masih duduk di kolam sambil memandangnya sampai dia menghilang, aneh!
“Ara! Kamu tidak mau coba berdansa?”
“Tidak ah, aku tidak suka.”
“Yah…percuma dong dandan gini? Eh habis ini katanya ada perjamuan makan malam lho. Semua tamu akan berkumpul di satu meja besar yang sama.”
Wah berarti ketemu lagi dong sama sepupunya Tiffany?
“Kamu kenapa sih? Kok kayaknya nggak bersemangat gitu?”
“Nggak tau nih, tiba-tiba aku jadi malas.”
“Ayolah, ini kan momentnya Kak Hojo…ntar Kak Tiara marah lagi lho?”
“Ara, cepat masuk ke dalam. Duduk di kursimu, sebentar lagi perjamuan makan malam!” teriak Kak Aya. Aku melihatnya! Dia sedang bersama seorang cowok! Tapi aku juga tidak urusan dengan itu.

Aku dan Tiffany masuk ke dalam ruang perjamuan makan dan ternyata disana sudah sangat ramai.
“Eh, itu kan sepupu kamu? Kok nggak say hello sih?”
“Aduh, dia itu nggak pernah anggap aku ada! Aku juga kesal kepadanya, sudah kenapa jadi bahas dia?”
“Keliatannya kamu kesal banget sama dia?”
“Iya, banget. Uh, orang aneh. Lihat saja dia, terus menatapmu dengan tatapan seperti itu.”
Aku hanya bisa tersenyum apa adanya kepada sepupu Tiffany itu.
“Kamu kok senyum sih sama dia?”
“Lho? Kan aku tuan rumah, jadi harus sopan..kamu ini gimana?”
Sepertinya semua oranf\g sudah berkumpul.
“Raja datang!” kata salah seorang prajurit dan semuanya berdiri, tak terkecuali aku.
Kami memberi hormat dan Raja mempersilakan duduk.
“Di hari yang berbahagia ini, saya ingin memperkenalkan ketiga putri saya.”
Aku melihat Kak Tiara dan Kak Aya yang sudah berjalan mendekati ayah.
“Hei, kamu tidak maju?” tegur Tiffany.
“Oh iya, maaf lupa.”
Tiffany geleng-geleng sambil memegang jidatnya.
Aku menyusul Kak Aya yang sudah di samping ayah. Tempat dudukku sangat jauh dari jangkauan mereka, jadi agak lama. Lalu aku berdiri di samping Kak Aya.
“Inilah ketiga putri ku yang sangat kubanggakan……ayo perkenalkan nama kalian.” Pinta ayah.
“Tiara Radvora, putri paling sulung.” Ucap Kak Tiara sambil tersenyum, ku akui jika dia tersenyum sangat cantik.
Dan yang lain tepuk tangan, kecuali sepupu Tiffany yang angkuh itu.
“Maya Dhinary, putri kedua dari kerajaan Syse.”
Lagi mendapat tepuk tangan, tapi sepupu Tiffany tidak bertepuk tangan.
Kini tiba giliranku, aku mengambil napas sebelum memberitahukan namaku pada khalayak ramai.
“Ayo Ara, kamu pasti bisa.” Ucap Tiffany dengan sebatas ucapan bibir saja.
“Aku putri paling bungsu, umurku 16 tahun, namaku Karranya Quinnsy Anastasya.” Tidak lupa aku memberikan senyum kepada semuanya.
Aku benar-benar tidak menyangka tepuk tangan yang diberikan kepadaku lebih banyak dari mereka berdua, dan---mungkin aku salah lihat---sepupu Tiffany kali ini ikut bertepuk tangan. Aku memberikan senyuman lebih kepadanya. Aku juga tidak sadar jika tepuk tangan ini bertambah keras.
“Ada satu yang kelupaan.” Mereka berhenti memberiku tepuk tangan.
“Apa?” tanya Ayahku.
“Kalian bisa memanggilku ARA.”
“Araaaa….” Mereka serentak memanggilku.
“Terima kasih kalian sudah menyambut ketiga putriku dengan gembira.”
Ayah menyuruh kami kembali ke kursi masing-masing. Iseng-iseng aku menatap cowok angkuh itu, dia menatapku balik. Bola matanya tak lepas dari diriku sampai aku lekat dengan kursiku.
“Tau ngga, kamu keren banget tadi di depan. Anggunnya dapet banget.”
“Masa` sih? Biasa aja deh.”
“Idih! Kamu itu dbilangin gak percayaan amat sih?”
“Emang ga percaya!”
Tiffany gemas denganku, pipiku dicubitnya.
“Aduh, malu-maluin aku kamu itu.”
“Habis aku gemas denganmu. Kamu sih, dandan kayak gitu…aku jadi kalah deh.” Tiffany bête.
“Maaf, habis ini engga lagi deh.”
“Janji?”
“Iya, ini kan demi Kak Tiara.”
Aku menyempatkan melirik kea rah cowok angkuh itu.
“Eh, Fa…”
“APa?”
“Sepupumu itu dari tadi kok ngeliatin aku terus sih?”
“Naksir kali sama kamu?” Tiffany mengucapkannya terlalu keras hingga menjangkau telinga cowok angkuh itu.
“Ssssttt, pelan dikit dong…aku kan malu!”
“Maaf!” Tiffany mengangkat kedua tangannya.
Cowok angkuh itu mengalihkan pandangan matanya.
“Kamu mau tau namanya tidak?”
“Tidak.” Uh, aku kesal dengan Tiffany!
“Jangan marah dong, ya maaf kalo suara ku kekencengan. Kamu tidak sayang dengan senyummu itu? Lihat, sekumpulan cowok-cowok teman sepupuku itu melihat kearah kita.”
Aku melirik ke sekumpulan cowok-cowok itu, memang benar apa yang dikatakan Tiffany. Aku hanya bisa tersenyum kearah mereka sehingga mereka senyum-senyum riang.
“Nah gitu dong … jaga image!”
“Ya aku tahu, tapi tadi suaramu itu kencang! Semua orang nyaris mendengarnya!”
“Jadi, kamu sepertinya penasaran sekali sama sepupuku?”
“Tidak juga.” Jawabku sambil menuangkan sampagne ke dalam gelas Tiffany.
“Tinggalkan sampagne itu, kalau kau mau, aku bisa kenalin kamu ke dia.”
Aku tertawa kecil, “Kamu kan tidak tau aku sudah ngapain aja sama dia?”
“Maksudmu?”
“Tadi diluar saat kamu berdansa dengan si Arab, dia mengajakku bicara.”
“Oh My God! Masa`?”
“Ya udahlah biasa aja, malu kali diliatin ama yang lain. Kamu itu heboh banget sih semenjak kenal sama aku?”
“Masalahnya, dia itu nggak pernah ngomong sama anak cewek seperti kita-kita!”
“Serius kamu? Wah parah dong?”
“Dia itu paling anti sama aku! Makanya, dia dan aku sama-sama tidak pernah tegur sapa. Dia muak liat penampilanku yang katanya manja ini.”
“Kamu memang manja.”
“Hei!”
“Iya kok, manja banget. Untung aja aku kuat orangnya. Kalo nggak, aku nggak mau temenan sama kamu. Trus, kalo memang dia baru pertama kali bicara denganku, ada yang salah?”
“Di kamu mungkin enggak, tapi dia mungkin iya.” Kami membahas cowok angkuh itu sambil makan. Keakraban di suasana ini sangat terasa.
“Ya kenapa kamu jadi yang sibuk?” lantas aku melihat ke cowok angkuh itu. “Aku rasa dia baik-baik saja.”
“Idih, aku ogah banget dekat sama dia. Yang ada aku di caci maki trus. Dia memang nggak pernah ngomong kasar, tapi sindirannya itu lho nggak enak banget.”
“O ya? Dia kenal Kak Hojo juga?”
“Mereka teman akrab dari kecil kali. Kak Hojo itu anggap dia adik laki-lakinya. Dari kecil mereka berburu bersama, bahkan aku tidak pernah di ajak berburu.”
Aku diam saja, asyik menyantap makanan yang tersedia di depan mata. Sedangkan Tiffany masih mengomel—entah apa yang di omongkannya.
“Eeh, dia ngeliatin kamu lagi tuh!” Tiffany menyikutku, hingga ayam goring yang ku pegang jatuh ke lantai, untung saja tidak menyentuh gaunku.
“Tiffany! Kamu itu katanya lapar? Udah waktunya makan kamu malah sewot sendiri, kamu tidak lihat apa makananku jatuh?”
“Ups, maaf.”
“Hiiiy, kamu itu ……” aku tidak meneruskan kalimatku, aku keeesal sekali dengannya.
Tiffany mulai makan saat yang lain sudah selesai berhidang.
“Kamu itu ya…lihat yang lain.” Tiffany tidak meneruskan makannya, dia malu kepada tamu undangan yang lain.
“Maaf, habis aku kesal sekali dengan cowok angkuh itu!”
“Kamu aneh, saudara sendiri malah dibenci segitunya.”
Kak Tiara dan Kak Hojo menghampiri kami.
“Ara, aku ingin minta tolong sama kalian berdua.” Ucap Kak Tiara.
“Minta tolong apa?”
Tiffany masih sibuk mengelap mulutnya.
Kak Hojo menepuk bahu ku, “Kamu mau kan menjadi pembawa bunga saat kami menikah nanti?”
“Kak Hojo serius?” tanyaku tidak percaya.
“Iya, kamu ini jangan kaget gitu dong?” ucap Kak Tiara dengan judesnya.
“Jadi kamu mau tidak?”
“Mau, tapi aku berpasangan dengan siapa?”
“Em, Kak Hojo belum tahu siapa yang cocok mendampingi kamu. Nanti biar Kak Tiara yang kabarin ke kamu gimana?”
“Oke. Ssipp.”
“Lalu aku bagaimana Kak?” tanya Tiffany.
“Kamu tukang buat bunga.” Jawab Tiara juuudes.
Mereka berlalu, semua orang sudah bubaran dari acara perjamuan makan ini.
“Jadi, aku Cuma tukang yang buat bunga aja? Tapi kan aku seorang putri?”
“Tiffany, nggak salah kok jadi perangkai bunga. Mulia lagi.”
“Mulia gimana?”
“Itu berarti secara tidak langsung kamu sudah memeriahkan suatu acara. Bayangkan jika acara pernikahan itu tidak ada bunga? Terasa mati kan?”
“Kamu bener juga sih…tapi aku nggak bisa merangkai bunga.”
“Tenang saja, nanti malam aku ajarkan bagaimana?”
“Kamu kan seorang putri, bagaimana bisa kamu belajar merangkai bunga? Itu kan kerjaan para dayang?”
“Aku yang minta diajarkan oleh mereka. Habis kamu tau kan aku tidak punya kerjaan di sini?”
“Acaranya sudah selesai, kamu masih penasaran dengan sepupuku itu?”
“Tidak, jangan dipikirkan dia. Kita masih punya banyak yang bisa dilakukan selain memikirkan cowok angkuh itu.”
“Benar!”
***
Malam ini aku mengajarkan Tiffany bagaimana cara merangkai bunga. Ternyata tidak seperti dugaanku, Tiffany sangat suka dengan kesenian merangkai bunga ini, dia dengan cepat menghasilkan banyak ikat-ikatan bunga cantik yang menawan.
“Aku haus, Ara.”
“Baiklah, karena kamu sudah menyelesaikan bunga-bunga ini, aku yang ambilkan kamu minuman.”
“Ok, aku tunggu.”
Istana tampak begitu seram pada malam hari, tapi aku beranikan diri untuk mengambil minuman yang ada di meja perjamuan makan tadi. Dayang istana sengaja menyediakan panganan di sana.
“Malam Putri, ada yang bisa dibantu?”
“Aku mau satu ketel air dan 2 gelas.”
“Sebentar,” kata dayang itu mempersiapkan. “Perlu saya bawakan?”
“Tidak, aku bisa sendiri.”
Lalu aku kembali ke kamarku, disana Tiffany sudah menunggu. Tapi ternyata ada yang mencegatku saat aku belum sampai ke kamarku.
“Hai.”
“Ngapain kamu disini? Lagi pula nggak sopan udah malam begini masih berkeliaran di istana orang.” Protesku.
“Kamu sendiri?”
“Aku mengambil air ke bawah tadi. Kamu mau apa?”
“Hanya ingin melihatmu.”
“Konyol, besok kan bisa?” aku takut jika seseorang melihat kam berbincang. Karena menurut hokum istanaku, pada malam hari anak perempuan apa lagi seorang Putri raja berbincang dengan seseorang yang tidak di kenal baik laki-laki atau perempuan akan kena sangsi.
“Tapi aku mau sekarang.”
“Tapi aku sedang tidak ingin. Kamu mengerti situasinya kan?”
“Sangat mengerti.”
“Bagus kalau begitu. Sudah sana pergi. Kamar tamu di bawah perpustakaan belok kiri.”
“Aku sudah tau.”
“Aku kira kamu nyasar.”
“Kamu kasar banget?”
“Emang kenapa? Kamu siapa sih?”
“Aku sepupu Tiffany. Aku kan sudah bilang tadi siang. Bolot.”
“Eh, aku bukan bolot. Kalau jawabanmu itu pun aku sudah tau.”
“Lantas, kenapa tanya lagi?”
“Kamu membuang waktuku.”
“Kenapa masih diam saja disini? Seharusnya jika aku menyita waktumu, kamu bisa langsung pergi tinggalkan aku disini kan?”
Iya, kenapa tidak dari tadi saja aku pergi? Ini kenapa malah aku asyik berdebat dengannya?
“Maaf, mungkin lain kesempatan kita bisa bertemu lagi.”
Tapi cowok angkuh itu memegang lenganku saat aku hendak pergi, dia membisikkan sesuatu ditelingaku.
“Kamu tampak cantik dengan gaun pink itu.” Lalu dia pergi begitu saja.
Aku berbalik, Hey! Kamu datang malam-malam hanya ingin mengatakan hal itu?
Aku kembali ke dalam kamar lagi.
“Maaf, aku lama.”
“Lihatlah! Bagaimana rangkaian bungaku?”
“Wow, ini kau membuatnya seorang diri kan?”
“Iya! Dan aku senang bisa merampungkannya. Kamu kok lama banget sih?”
“Iya, tadi aku menunggu airnya agak dingin dulu. Air di meja perjamuan habis.” Aku berbohong.
“Oh…” Tiffany langsung meneguk air dari ketel itu.
Dan aku masih bingung dengan kata-kata cowok angkuh itu, apa dia mengagumiku? Aku belum berani mengatakan hal ini kepada Tiffany.

Keesokan paginya, aku bangun kesiangan. Kak Aya yang bangunkan aku.
“Ara, kamu bangun siang lagi. Ada apa denganmu?”
“Oh, aku tidur larut semalam. Ada apa kak?”
“Kamu putri kesiangan.”
“Kenapa memangnya?”
“Hojo, dan Tiffany juga. Sudah berangkat kembali ke kerajaan mereka.”
“Yah…mengapa aku tidak dibangunkan?”
“Kata Tiffany dia nggak tega bangunin kamu yang nyenyak. Lihat di meja, Tiffany meninggalkan surat dan serangkaian bunga.
Belum sempat aku membasuh wajahku, aku langsung menghampiri meja yang dimaksud Kak Aya.
Tiffany meninggalkan surat,
Maaf ya kawan, aku nggak tega bangunin kamu. Sepupuku sudah cerita tentang pertemuan kalian semalam. Kenapa kamu ngga cerita sama aku? Siapa tau aku bisa bantu kamu…
Kamu masih hutang lho sama aku, roti yang kemarin dan mengantarku makan di kedai di luar istana. Aku masih tunggu janji itu! Dan jangan lupa kembali kan uangku ya !
Oh iya, sepupuku cerita…dia kagum sama kamu. Tuh kan aku bilang apa, dia suka sama kamu! Habis kamu pake gaun itu sih, aku jadi iri…aku mungkin akan kembali saat Kak Hojo menikah dengan Kak Tiara. Atau bagaimana jika aku usulkan upacara pernikahannya di adakan di istanaku? Tapi aku ingin ke kedai yang ada di sana..
“Dasar plinplan!”
Tapi aku nggak tau kapan upacara itu akan di selenggarakan. Aku harap kamu sabar nunggu ya. Oh iya hampir lupa, rangkaian bunga itu aku yang buat lho. Yang semalam aku bongkar lagi, aku rangkai semuanya menjadi satu. Dan itulah hasilnya.
Maunya aku ngasi tau naman sepupuku yang kamu sebut cowok angkuh itu, tapi dia tidak mengijinkanku, katanya jika ada kesempatan lagi dia akan menyebutkan namanya.
“Ara, Tiffany juga meninggalkan gaun favoritnya.”
“Apa?” gila itu anak, gaun seindah ini ditinggalkan hanya untuk aku.
“Ara, kakak bangga sama kamu.”
“Bangga gimana?”
“Kemarin waktu kamu memperkenalkan diri, semua orang paling antusias sama kamu. Aku akui kemarin kamu benar-benar mempesona, cantim sekali. Tidak nyangka, putri setomboi kamu bisa membuat cowok-cowok keok.”
“Hahaha, kak Aya ada-ada aja.”
“Waktu kamu muncul pertama kali, kakak benaran tidak mengenali kamu, jika kamu tidak menggunakan mawar yang di kepala itu, kakak nggak tau dah kalo itu kamu.”
“Masa` aku sebegitu cantiknya?”
“Iya, jujur ya…kak Tiara sempat takut kemarin kalau yang jadi pusat perhatian itu kamu. Tapi dia tidak mau mengakui jika kamu cantik kemarin. Dia itu bête banget pas kita bertiga memperkenalkan diri. Dia takut kesaingan.”
“Kak Tiara kemarin juga cantik kook. Apa lagi pas tukeran cincin sama Kak Hojo.”
“Jangan bilang Tiara ya jika aku memberitahumu soal ini.”
“Iya, aku nggak akan bilang siapa pun.”
“Aku juga mau tanya, siapa anak laki-laki yang bersamamu kemarin?”
“Yang mana?”
“Yang rambutnya panjang.”
“Oh, yang gondrong itu?”
“Iya?”
“Sepupunya Tiffany.”
“Kalian sudah kenal ya, keliatannya akrab banget?”
“Belum, namanya saja aku belum tau. Tapi kemarin sempat bertemu dua kali.”
“Aku melihatnya!”
“Serius? Jangan ceritakan pada siapa pun ya?”
“Iya, kayaknya anak laki-laki itu suka sama kamu deh.” Kak Aya kemudian pergi meninggalkan aku sendirian di kamar.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar pendapat Kak Aya.
***
Akhirnya masa yang dinanti tiba. 4 bulan semenjak kejadian itu, Tiffany datang lagi ke Kerajaan Syse. Kali ini akan ada pesta besar antar kedua kerajaan, Kerajaan Syse dengan wakil Putri Tiara Radvora dengan Kerajaan Werck diwakili oleh Pangeran Hojo Wercky.
Aku menunggu Tiffany, semua rombongan ku rasa sudah masuk. Tapi aku belum melihat Tiffany dan sepupunya—si cowok angkuh. Aku kembali masuk ke dalam istana, menyambut Hojo. Aku sedikit kecewa.
“Kak, mana Tiffany?”
Tiba-tiba Kak Tiara datang menghampiri kami dengan wajah yang seperti itu.
“Aduh, Ara! Jangan ganggu Hojo bisa tidak sih? Dia ini baru sampai, pasti butuh istirahat!” Kak Tiara menarik Hojo ke dalam istana, Kak Hojo hanya bisa melambai ke arahku.
Wah, sekarang siapa yang ingkar janji?!
Aku masuk kembali ke dalam istana, ingin mengurung diri di kamar. Aku melihat ruang perjamuan makan penuh sesak dengan orang-orang yang tidak aku kenal, aku melihat sekumpulan cowok-cowok yang dulu itu dan menemukan sosok si Arab di antara mereka. Dia melihatku dan mengejar aku, aku melarikan diri ke lorong dekat kamarku, dan bersembunyi.
Ngapain lagi sih dia ngikutin aku? Pasti dia senang banget balik lagi ke sini, emang dia ada hubungan apa sih sama Kak Hojo? Kayaknya nggak penting banget dia datang ke sini.
“Putri Ara, aku tau kamu sembunyi di sekitar sini…ayo keluar saja, tidak perlu takut padaku…”
Aduh, aku mesti gimana nih…maunya sih aku pukul dia… aku terlalu rapat dengan pojokan tembok, sehingga aku menyentuh vas dan pecah. Aduh, mampus deh aku ini.
Si Arab menemukan aku.
“Tuan Putri…sedang apa Anda di situ? Ayo, turun ke ruang perjamuan bersama saya…” dia memaksa aku untuk memegang tangannya. Aku berusaha menjauh darinya.
“Tuan Putri Ara, ayo Anda jangan malu-malu…” Si Arab maksa.
Tanganku memegang sebuah vas, dan tanpa ragu-tagu lagi aku hempaskan vas itu ke kepala si Arab.
Pryaaangggg …
Gawat, ada penjaga di dekat sini! Aku bisa kena masalah ini! Ada seseorang yang menarik tanganku! Dan membekap mulutku! Aku tidak bisa berkutik.
“Hei, siapa kamu? Sedang apa kamu disini!? Kamu merusak fasilitas kerajaan?” tanya penjaga itu kencang dan memarahi si Arab. Lalu aku melihat si Arab dibawa oleh penjaga itu.
Aku baru ingat jika ada seseorang yang membekap mulutku.
“Bagaimana, si Arab bakal diusir dia dari sini.” Seorang perempuan.
“Tiffany? Bagaimana bisa kamu…”
“Ssssttt, jangan disini, di kamarmu saja!”
Aku dan Tiffany menuju kamar untuk kabar bahagia ini.

“Iya, aku lewat pintu belakang istana…”
“Tapi bagaimana kamu bisa masuk? Penjaganya kan ketat banget?”
“Bisa saja aku suap mereka, dengan ini….” Tiffany membawa roti kesukaanku.
“Wah, otakmu main juga ya?”
“Aku harus merangkai bunga untuk acara pernikahan Kak Hojo.”
“Memangnya kapan upacaranya akan diselenggarakan?”
“2 hari lagi, aku mau kamu pake gaun yang aku tinggalkan buat kamu.”
“Pasti, aku akan memakainya. Tapi aku tidak bisa berdandan.”
“Gampang, akan kubuat kamu sempurna. Tapi harus senyum sama semua orang ya, jangan memalukan Kak Hojo dan Kak Tiara. Tapi kamu tidak boleh lebih cantik dari pada aku!”
“Iya ah, bawel. Trus itu si Arab gimana…kalo dia bilang aku yang mukul dia pake vas bunga gimana?”
“Aku jamin dia nggak bakal berani. Siapa sih yang berani sama kamu? Kak Tiara aja nggak brani.”
“Tapi aku masih khawatir.” Dari bawah aku mendengar si Arab itu diusir dari istana.
Aku dan Tiffany mendekat ke lubang jendela.
“Ya, apa ku bilang. Dia pasti langsung di usir dari istana.”
“Dia itu siapa sih?”
“Kerabat Kak Hojo, dia datang begitu saja. Padahal kami tidak mengundangnya.”
“Kenapa waktu itu kamu mau berdansa dengannya?”
“Iseng, habis cowok cakep waktu itu udah habis, yang sisa Cuma dia.”
“Huu, yang gitu mau juga. Eh, kayaknya ada yang kurang, apa ya?” aku sengaja mengatakan hal itu biar Tiffany ingat dengan cowok angkuh.
“Apa? Aku kurang cantik ya?”
“Iya, lihat rambutmu. Kusut sekali.” Aku memainkan rambutnya biar dia jadi kesal.

Saat aku tengah bersiap-siap dengan gaun milik Tiffany, gincuku tidak ada di laciku.
“Tiffany, kamu melihat gincu milikku?”
“Tidak, ini pakai punyaku?”
“Tidak, warnanya aku tidak suka.”
“Aku bawa banyak.”
Tiffany mengeluarkan koleksi gincunya, mulai dari yang warna gelap hingga warna terang.
“Bagaimana?”
“Aduh, nggak. Aku mau yang punyaku saja. Aku yakin meletakkan itu disini. Aku ke kamar Kak Aya sebentar ya?”
“Eh, tapi kan aku belum ganti baju? Jika aku di intip bagaimana?”
“Pecahkan saja kepala orang itu dengan pot di sana.”
Aku buru-buru sehingga beberapa kali kesandung. Aku mengetuk pintu kamar Kak Aya.
“Ara? Sedang apa?”
“Merasa meminjam gincuku?”
“Tidak, aku sudah punya sendiri. Balik sana, aku masih lama dandan.” Pintunya di tutup begitu saja.
Huuu, kasar banget sih? Orang nanya baik-baik juga..
Aku kembali ke kamarku, aku hanya tinggal memoles gincu itu pada bibirku. Jika tidak ada itu aku tidak percaya diri.
“Mencari ini?” tanya seseorang kepadaku sebelum aku masuk ke dalam kamar.
“Kamu ?!”
“Kenapa? Kamu membutuhkan benda ini kan?”
“Bagaimana bisa…”
“Semuanya itu bisa, jadi..kamu mau ambil ini lagi atau tidak?”
“Kemarikan, sedang apa kamu disini?”
“Mengembalikan benda itu.”
“Tidak mengintip Tiffany di dalam kan?”
“Kurang kerjaan banget?” cowok angkuh itu berlalu dengan begitu saja.
Aku kembali masuk ke dalam kamar.
“Gimana Ara? Udah   ketemu?”
“Nih.”
“Di kamar Kak Aya?”
“Tidak, jatuh di lorong.”
“Apa ku bilang..”
“Memangnya kamu bilang apa?”
“Aku? Aku tidak bilang apa-apa. Cepat pakai, aku sudah tidak sabar ingin turun menemui yang lain.”
Aku memandang Tiffany sebentar, dia menarik sekali, rambutnya yang panjang coklat itu dibiarkan seperti itu, memakai mahkota bunga yang di kelilingkan di kepalanya. Rona wajahnya tampak bersinar cerah, seperti orang yang sedang jatuh cinta.
“Kenapa bengong? Aku cantik ya?”
“Iya…” jawabku jujur.
Lalu sebelum aku memakai gincu pada bibirku, aku hendak menggelung rambutku lagi. Tapi Tiffany menahanku.
“Jangan, biarkan terurai.”
“Tapi aku tidak suka rambutku.”
Tiffany langsung meraih gunting yang ada di laciku.
“Eh, mau apa kau dengan gunting itu?”
“Kamu diam, jangan berontak.”
“Mau potong rambutku? Jangan!!!” aku benar-benar menghindar.
“Tolong, kali ini percaya padaku.” Baru kali ini aku mendengar Tiffany serius.
Seperti tersihir, aku kembali duduk dan membiarkan tangan Tiffany mengolah rambutku. Aku menutup mata, aku tak sanggup melihat rambutku dipotongnya.
“Coba buka matamu. Ayolah…bagus kok.”
Aku menggeleng, air mataku sudah hampir mengucur.
“Jangan menangis, nanti bedaknya luntur!”
Aku memberanikan diri dengan membuka mataku secara perlahan, siapa itu?
“Tiffany! Itu siapa?”
“Kamu, itu kamu! Sekarang baru percaya kan?”
“Aku tidak percaya!! Aku … aku … mempunyai rambut pendek sebahu……dari mana kamu belajar memotong rambut?”
“Aku tidak pernah belajar, tiba-tiba saja aku ingin memotong rambutmu dengan model seperti itu.”
“Terima kasih!! Aku sangat percaya diri.”
“Sekarang pakai gincumu.”
Lalu aku memoleskan gincu pink itu di bibirku, dan menambah sedikit eyeshadow di kelopak mataku. Jadi !

“Kamu siap?”
“Sangat.”
Aku dan Tiffany berjalan keluar dan memandang semua mata mereka yang menyerang kearah kami.  Terus berjalan sambil tersenyum, aku melihat kedua kakakku yang bengong itu, ayah dan ibu juga. Bahkan ibu menutupi mulutnya dengan tangannya. Seakan-akan yang dihadapannya ini bukan anak bungsunya. Lalu aku menangkap sosok si cowok angkuh, dia tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya, entah apa arti senyuman itu, aku tidak tau. Sedangkan Tiffany memainkan rambut panjangnya dan memasang wajah yang elegan, seperti gaun yang di kenakannya, berwarna kuning keemasan dengan kain yang menyala. Sedangkan gaun yang aku pakai berwarna hijau muda dengan bahu terbuka, dileherku ada kalung berliontinkan T yang artinya Tiffany. Begitu juga di leher Tiffany, ada kalung berliontinkan K yang berarti Karra.
Aku duduk di barisan paling depan, menunggu untuk merasakan moment yang paling mendebarkan dalam hidup Kak Tiara Radvora.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Tiffany setelah kami duduk dengan tenang.
“Luar biasa, lebih dari yang ku duga. Sejak ada kamu, hidupku berubah drastis.”
“Biasa, ini emang selalu ngefek.”
“Tapi aku rasa kali ini aku lebih cantik darimu.”
“Tidak, kita imbang. Kita punya keunikan masing-masing.”
“Ya kamu benar.”
Kami menikmati acara ini dengan hikmad, tenang dan sacral.

Kini acara makan-makan tiba!!
“Kamu yakin mau makan? Aku tidak selera nih tiba-tiba.” Ucapku.
“Kamu sakit?”
“Aku tidak tahu. Sepertinya aku belum lapar deh. Kalau kamu mau makan, duluan saja.”
“Tidak, jika kamu tidak makan, aku juga tidak makan. Kita kan saudara kembar?”
“??” aku melihatnya dari ujung kaki sampai ujung kepala, tidak ada yang sama dengan diriku.
“Kenapa?” lalu dia memutar badannya. “Kita bagai permata dibelah dua kan?”
“Mimpi lo!”
Kak Hojo dan Kak Tiara menghampiri kami berdua.
“Ara, nanti malam acara puncaknya. Kamu nanti siap-siap ya menjadi pembawa bunga.”
“Iya Kak, aku dipasangkan dengan siapa?”
“Nanti kami beritahu, sekarang kami harus menjamu para tamu, ok?” kedip Kak Tiara.
“Baiklah…”
“Eh, mereka berdua itu serius banget? Kayaknya ada sesuatu yang mereka sembunyiin dari kamu.”
“Masa` sih? Aku kok nggak sadar? Perasaan kamu aja kali?”
“Mungkin juga sih…eh…aku boleh bilang sesuatu tidak?”
“Apa?”
Tiffany membisikkanku sesuatu, “Sepupuku memperhatikan kamu dari tadi. Itu dia ada di pinggir kolam.”
“Hah? Serius kamu? Masa`?”
“Kalau kamu tidak percaya, lihat dia di belakang.”
“Aduuh, nggak ah. Malu aku.”
“Kenapa malu? Kayaknya dia nunggu kamu disana deh. Samperin sono!”
“Tapi ngapain juga aku mesti kesana? Kenapa nggak dia yang ke sini?”
“Dia lebih malu lagi kalo harus nyamperin Putri Ara di depan banyak orang gini, disana kan sepi! Udalah, tunggu apa lagi?”
“Kamu jaga disini ya, siapa tau saja ntar ada orang yang lewat sini?”
“Iya, udah sana…dia udah nunggu itu!”
Aku menghampiri cowok angkuh itu, dengan ragu aku mencoba duduk di pinggir kolam itu. Awalnya aku hanya memberi senyum kilat, entah dibalas atau tidak.
“Hai.” Sapaku datar.
“Kenapa dipotong?”
“Nggak tau, ini kerjaan Tiffany. Kenapa? Jelek ya?”
“Nggak terlalu buruk.”
“Oh. Aku mau tanya sesuatu.”
“Apa?”
“Kamu kok terus-terusan mencegatku di lorong sih?”
“Cuma 2x kan?”
“Ya, Cuma 2x sih..tapi dari mana kamu tau jika aku lewat sana? Bukannya tidak ada orang yang lewat sana selain aku dan Tiffany?”
“Emang penting ya buat aku ngasi tau?”
“Kamu angkuh banget ya?”
“Memang, baru tau?”
“Aku kan nanya baik-baik sama kamu!” aku berdiri dan mula geram dengan tingkahnya.
“Aku jawabnya juga baik-baik kan?”
“Terserah, capek ngomong sama kamu.”
Cowok angkuh itu pergi, sepertinya dia marah padaku. Dan Tiffany menghampiriku.
“Eh, ada apa sih?”
“Salah aku kenal sama dia.”
“Emang kamu kenal dia?”
“Enggak. Sampai sekarang saja namanya aku tidak tahu.”
“Astaga! Jadi, selama kamu ngobrol tadi, kamu nggak tanya namanya dia?”
“Ngga penting banget buat tau siapa namanya.”
“Aduh, kamu salah besar!”
“Salah gimana maksud kamu? Aku jadi nggak ngerti?”
Tiffany duduk di pinggir kolam dan berkata, “Kamu tau ngga artinya?”
“Artinya apa sih?”
“Tadi dia pergi gitu aja kan?”
“Iya, trus?”
“Itu artinya dia nggak mau ngomong lagi sama kamu! Dulu aku juga digituin sama dia. Hasilnya kamu bisa liat sendiri kan?”
“Nggak masalah.”
Aku melihat Kak Aya memperhatikanku. Sialan ! Pasti dari tadi dia melihatku dengan cowok angkuh itu.
“Jangan gitu dong, minta maaf sana!”
“Ogah. Aku nggak merasa salah kok!”
“Meskipun gitu…”
“Kamu ini berisik banget sih? Aku bilang nggak mau. Kamu aja yang minta maaf sana!”
“Iih, kamu kok jadi marah ke aku sih?”
“Aku lapar, mau makan.”
Uh, cowok angkuh itu bikin mood ilang aja…udah dandan segini cantiknya…muka malah jadi ditekuk gini. Disuruh senyum, maksa banget. Mana bisa? Pasti Kak Tiara marah lagi dah ini nanti.
“Maaf, tadi aku maksa ya?”
“Iya.”
“Ya deh, lain aku nggak ikut campur masalah kamu sama dia lagi.”
Dan sampai pesta di siang ini usai, aku tidak melihat sosok si cowok angkuh itu lagi. Aku tidak tau dia bersembunyi dimana.

Ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku membuka pintu dan Kak Hojo sudah berdiri di depan pintuku.
“Ara.”
“Ada apa Kak?”
“Kak Tiara sedang mempersiapkan dandanan untukmu.”
“Oh, ya?”
“Iya, dia memintaku mengantarkan kamu supaya kamu di dandani.”
“Ok…sebentar ya Kak?”
Aku kembali ke dalam kamar dan mengambil gincu keberuntunganku.
“Aku rasa disana sudah ada banyak.” Kata Kak Hojo.
“Tapi aku Cuma mau pakai yang ini.”
“Baiklah. Tiffany mana?”
“Dia sedang merangkai bunga bersama para dayang.”
“Oh,….. ayo?”
Aku diantarkan ke sebuah ruangan yang belum pernah aku masuki selama aku tinggal di istana ini. Di sana sudah ada ibu dan Kak Tiara.
“Ibu?”
“Ara, nanti kamu jalan di barisan depan. Jadi, kamu mau pilih gaun yang mana?” ibu memberiku pilihan gaun, dan semuanya itu bagus.
“Tapi semuanya bagus Bu..aku jadi bingung pilih yang mana?”
Di hadapanku sekarang ada 5 gaun yang sangat bagus. Berwarna putih, biru muda, krem, merah, dan kuning keemasan. Dengan model gaun yang berbeda pula.
“Jadi, yang mana Ara?” terlihat Kak Tiara yang tidak sabar ingin memakaikan aku gaun-gaun itu.
“Aku bingung..menurut kalian aku cocok pakai yang mana?”
Jawaban mereka beragam. Kak Hojo menunjuk gaun yang berwarna kuning keemasan dengan lengan panjang. Ibu menginginkan aku mengenakan yang merah dengan hiasan bahu yang mengembung, sedangkan Kak Tiara menunjuk gaun berwarna putih dengan bawahan yang mengembang. Aku jadi semakin pusing!!
“Kalian semakin membuatku bingung…” lalu Tiffany datang.
“Ara! Gaun itu…”
“Iya….aku bingung mau pakai yang mana…habis semuanya bagus..”
Lalu Tiffany menunjuk yang berwarna biru muda, dengan bagian punggung terbuka.
“Aku rasa aku pakai yang warna krem saja…” gaun itu tampak polos, tidak ada hiasan yang mencolok dan dengan bahu yang terbuka. Tampak seperti kain yang hanya di lipat ke kanan dan ke kiri.
Maka aku mengganti baju dengan gaun pilihanku. Setelah itu aku ditinggalkan sendirian dengan seorang yang mendandani aku.
“Putri Ara tampak cantik sekali dengan gaun itu. Saya sampai bingung, yang menikah ini Putri Tiara atau Putri Ara ya?” ucap dayang yang mendandani aku.
“Aku juga kaget, dari mana mereka mendapatkan gaun-gaun secantik itu. Saya dengar ada yang meminang Putri Ara??”
“Apa? Siapa?”
“Maaf, saya lancang.”
“Tidak, katakan padaku.”
“Mungkin saya salah dengar, habis nama panggilan Putri Ara dengan Putri Aya hampir sama.”
“Oh, mungkin saja gaun-gaun ini buat Kak Aya?”
“Mungkin Tuan Putri.”
Dayang itu membuat rambutku keriting, memoles bedak yang agak tebal, dan menambah eyeshadow. Saat dia mengambil gincu, aku menolaknya.
“Jangan, pakai punyaku saja.”
“Tapi warnanya jadi tidak seimbang. Gaunnya krem, seharusnya pakai gincu dengan warna bibir, bukan pink seperti milik Tuan Putri.
Aku berpikir ulang, “Jangan, pakai saja punyaku.”
Dayang itu tidak bisa memaksa, maka dia mengoleskan gincu ini pada bibirku, dan aku sudah menjelma sebagai—aku juga tidak tahu apa namanya—pendamping pengantin (mungkin).
Pengawalanku begitu ketat sampai aku tiba diruang pengantin wanita. Aku disana menunggu Kak Tiara yang sebentar lagi kelar dandan. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa yang akan jadi pendampingku.
“Ara, kamu cantik sekali.” Baru kali ini Kak Tiara berbicara lembut kepadaku. “Terima kasih, kamu mau meluangkan waktu untuk perayaanku. Maaf ya jika selama ini aku selalu kasar kepadamu. Sebagai gantinya, aku punya kejutan untukmu.” Usai dia berdandan, kami menuju ruang pengantin laki-laki. Seharusnya ini kan tidak boleh dilakukan?
“Kak, emang boleh kita ke sini?”
“Kenapa tidak? Dia kan sudah jadi suamiku. Kamu itu yang tidak boleh masuk. Tunggu di sini, berbalik ya. Jangan coba-coba lihat ke belakang.”
“Baiklah…” aku mengikuti kata-katanya.
Aku menunggu diluar dan  berbalik. Kira-kira mereka didalam sedang apa ya?
Aku mendengar ada yang keluar, aku yakin pasti itu Kak Tiara.
Aku melihat seikat bunga, tapi aku yakin yang ada di sampingku itu bukan Kak Tiara. Aku melihat kesamping dan ternyata si cowok angkuh itu.
“Kok kamu lagi?”
“Mau tidak?” dia mengacungkan rangkaian bunga itu, dan aku meraihnya.
“Ngapain kamu disini?”
“Nemenin kamu.”
“Ngapain nemenin aku?”
“Jadi kamu sama sekali belum tahu ya?” kemudian dia tertawa.
Aku jadi tidak mengerti, “Hei, kenapa kamu ketawa?”
“Mereka tidak mengatakannya kepadamu?”
“Apa?”
“Kamu kan yang jadi pembawa bunga nanti?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Pasangan kamu siapa?”
“Nggak tau!”
“Kamu mau tahu?”
“Emang kamu tahu apa?” aku masih sangat kesal dengan dia.
“Aku? Aku tau semuanya.”
“Maksud kamu?”
“Iya, aku tahu semuanya.”
“Semuanya itu maksud kamu apa?”
“Kamu cantik tapi bego.”
“Eh, kamu sadar nggak sih, kata-katamu itu nyakitin hati tau!” aku membanting bunga itu ke lantai, aku menjauh darinya.
“Aku sudah yakin kamu akan melempar bunga itu, untung saja aku berikan yang palsu.”
Aku tidak ingin memandang wajahnya! Benar-benar mengesalkaaan !!
“Kenapa? Ngambek? Kamu itu suka main-main sama perasaan ya?”
Aku tidak mengerti dengan apa yang dia katakan.
Aku masih di dekat jendela, kesal. Dia tidak mengoceh lagi sampai akhirnya Kak Hojo dan Kak Tiara keluar, dan aku hanya mengikuti mereka dari belakang, tentunya bersama si cowok angkuh itu. Dan kami sama sekali tidak berbicara. Kami berempat jalan menuju sebuah ruangan dimana sebelum aku keluar mengantarkan bunga ke mereka semua yang ada di luar. Tapi sampai acaranya hampir dimulai, bunganya belum berada di tanganku!
“Kak, bunganya mana?” tanya ku pada mereka berdua. Cowok angkuh itu tetap tenang tidak panic seperti kami. Lalu tidak lama kemudian Tiffany datang.
“Lho? Kamu kok belum pegang bunga yang aku rangkai tadi?”
“Seharusnya aku yang tanya dong? Kamu sudah rangkai bunganya kan?”
“Sudah, tadi aku serahkan semuanya kepada para dayang!”
Si cowok angkuh itu masih saja bersikap tenang seperti tidak ada apa-apa.
“Tapi sekarang mana bunganya? Kamu tau kan acaranya sebentar lagi dimulai?”
“Oke, akan ku tanyakan pada mereka.” Tiffany berusaha membantu. Tetapi Kak Tiara terlihat stress. Aku berusaha melakukan pendekatan.
“Kak, kakak jangan panik. Ini biasa terjadi…semuanya akan baik-baik saja.” Lalu aku kembali ke posisiku dan memandang cowok angkuh itu dengan lebih angkuh lagi.
“Ini bunganya, maaf. Dayang itu lupa jika bunga ini akan dibawa olehmu.” Tiffany datang ngos-ngosan mengantarkan bunga yang ia rangkai tadi sore. Acara sudah mundur 10 menit.
“Terima kasih Fa.”
“Meskipun hubunganmu sekarang sedang tidak baik dengan dia, aku harap kamu bisa professional demi kakak kita.” Bisik Tiffany, dan aku mengikuti nasihatnya.
Cowok angkuh itu memberikan tangannya biar aku genggam. Jika tidak karena kamu sepupu Tiffany, aku sangat malas menggenggam tanganmu, tangan si cowok angkuh! 
Pintu besar ruangan ini di buka perlahan, aku sedikit nervous. Ini pengalaman pertamaku mengiringi sepasang pengantin dengan ditemani seorang cowok (angkuh) pula. Kakiku mulai melangkah di karpet merah, mencoba merangkai senyum seindah-indahnya demi kebahagiaan kakak tersulungku.
Kaki terus melangkah perlahan di iringi musik pernikahan. Malam ini terasa begitu hangat dengan adanya acara ini, aku sesekali memandang Tiffany yang mengacungkan jempol kepadaku. Aku mencuri senyum kepadanya. Dan Tiffany berada di antara cowok-cowok itu. Aku memperhatikan langkahku, aku mengusahakan agar semuanya tidak berjalan di luar rencana. Dan aku tidak tahu mengapa, aku merasa nyaman berdampingan bersama cowok angkuh ini. Tapi aku menepis fikiran-fikiran yang berhubungan dengan dia, karena misi ini lebih penting.
Kakiku melangkah di karpet merah itu dengan gaun krem yang menempel di badanku, sepatu hak tinggi yang sangat nyaman, dan tentunya dengan gincu yang membuatku sangat percaya diri. Aku menebar senyum kepada semua orang, aku melihat semua anggota keluargaku tersenyum dan bangga terhadap kepadaku.
Aku dan pasanganku (si cowok angkuh) menepi membiarkan kedua mempelai lewat dan menyelesaikan urusannya di depan, memberi sambutan dan lain-lain. Aku meminta dia melepaskan tangannya dari tanganku, tetapi dia tidak melepasnya. Aku kesal tapi aku tetap tersenyum, lalu aku mengirim sinyal ini kepada Tiffany. Aku memberikan tanda mata dan menunjuk ke tangan kananku yang tidak dilepaskan oleh sepupu Tiffany itu. Respon Tiffany malah memberiku kode bibir, “Dia suka kamu!” oh tidak, aku paling tidak suka bagian ini!
Bunga yang ku pegang akhirnya Kak Hojo ambil dan diberikan kepada Kak Tiara. Lalu Kak Tiara berbalik, dan bersiap untuk melempar bunga yang dibuat oleh Tiffany itu. Aku dan pasanganku mencoba lebih ke pinggir lagi agar yang lain bisa menangkap bunga itu. Kak Tiara akhirnya melempar bunga itu, bunga itu melambung tinggi, kemudian Tiffany tidak berhasil menangkapnya, berpindah tangan ke Kak Aya, tetapi dia melemparnya kembali, dan berada di tangan salah satu cowok yang berada dekat Tiffany, tetapi cowok itu tidak berhasil memegangnya sampai akhirnya rangkaian bunga itu jatuh ke tangan……kyaaaaaa!!!!!!!!!!! Tidak mungkin!!!!!!!!!!!! Ini pasti mimpi!!
Hei, sepupuku mendapatkan bunga yang di lemparkan Kak Tiara!” teriak Tiffany, dan semua mata memandang ke arahnya, dan juga  ke arahku! Aku langsung melepaskan genggaman tanganku dengan dia. Aku langsung membuang muka, maunya aku langsung pergi saat ini juga, tapi semua anggota keluargaku termasuk Kak Hojo dan Tiffany memandangku dengan senyuman mereka.
Cowok angkuh itu hanya tersenyum sambil mengangkat rangkaian bunga itu. Aku tidak mengerti apa maksudnya.
***
Kami semua lelah dengan pesta semalam, pagi ini banyak orang yang telat bangun.
“Fa, udah siang deh kayaknya?”
Tiffany masih tidak bangun juga, mungkin kelelahan merangkai bunga segitu banyaknya buat acara semalam. Aku juga malas bangun, mataku terbuka tapi badanku masih di dalam selimut hangat. Aku berpikir, kenapa bisa dia yang mendapatkan rangkaian bunga itu. Apa ini sebuah kebetulan atau memang dia set kayak gitu ya? Rasanya mustahil banget kalo dia yang dapat rangkaian bunga itu. Seharusnya kan wanita yang mendapatkan bunga itu, tapi kenapa jadi dia…? Apa lagi dia yang jadi pasanganku kemarin.
“Kenapa sih? Aku masih ngantuk nih…” keluh Tiffany.
“Aku kira kamu masih tidur?
“Kamu sih nanya, aku jadi kebangun nih..capek banget tau! Nih kamu liat tanganku, pada merah-merah gara-gara buat bunga kemaren.”
“Hooo…” aku mengamati tangannya.
“Jadi, kamu kemarin memang lagi bertengkar ya sama dia?”
“Iya, habis dia ngejengkelin banget.”
“Kamu ngga perlu cerita. Aku udah tau wataknya, secara dari kecil gitu aku gaul sama dia.”
“Memangnya beneran dia suka sama aku? Tapi aku ngga suka sama dia.”
“Iya mungkin, dia juga nggak pernah bilang langsung sama aku tentang masalah itu. Tapi kalo menurut pandanganku, iya. Tapi masa kamu ngga suka sih sama dia?”
“Emang enggak. Ngga pernah aku suka sama dia.”
“Trus kenapa kamu deg-degan waktu ngobrol sama dia?”
“Kapan?”
“Itu waktu beberapa bulan yang lalu…waktu kalian mulai ribut.”
“Oh, waktu aku menghampiri dia di kolam itu?”
“Iya.”
“Nggak, Cuma aku ngga tahu harus ngobrol apa sama dia. Habis kan nggak terlalu kenal sama dia. Ngobrol pertama aja itu juga nggak sengaja.”
“Tapi misalnya hari ini dia ngungkapin perasaannya, gimana?”
“Ngungkapin perasaan apa?”
“Ya suka lah!”
“Suka apa dulu.”
“Suka kamu.”
“Hanya suka saja? Lalu apakah aku harus menjawab?”
“Hmm, perlu nggak sih dijawab?” Tiffany malah nanya balik.
“Kamu sendiri ngga ngerti kan, apa yang dimaksud mengungkapkan perasaan?”
Tiffany tidak menjawabny, malah pergi ke kamar mandi. Aku menunggunya selesai mandi, mungkin di dalam sana dia sedang memikirkan apa yang ku katakan barusan.
Setelah usai membersihkan diri dan memperbaiki rambut, kami berdua menuju meja perjamuan makan, disana masih banyak tamu ternyata. Dan kebanyakan orang sudah selesai makan.
“Fa, aku rasa kita makan di kedai saja bagaimana?”
“Kamu jadi ngajakin aku makan di kedai?”
“Iya, aku kan udah berhutang sama kamu. Ya udah, sekarang aku yang bayarin makan kamu gimana?”
“Tau aja uang lagi tipis ini…”
“Huu, dasar kamu aja yang mata duitan.” Aku dan Tiffany menuju kedai sederhana itu, tetapi aku bertemu dengan dia lagi di kedai itu, dia baru saja masuk.
“Eh, apa nggak sebaiknya kita semeja dengannya?” tanya Tiffany.
“Ah, ngapain? Masih banyak meja kosong itu.”
Aku memesan makanan, dan dan dan..dugaanku benar. Dia bergabung di meja kami. Tiffany menungguku berbicara, tapi aku tidak akan memulai pembicaraan ini. Kami diam untuk beberapa saat, sampai Tiffany membuka mulutnya, hanya membuka mulutnya.
“Hsssttt…lalat masuk tu!” cowok angkuh itu mengibas-ngibaskan tangannya di depan mulut Tiffany.
Akhirnya dia yang berbicara pertama kali.
“Kamu ini jual mahal banget?” tanyanya kepadaku.
Ampun!
Kali ini aku benar-benar tidak menahan emosiku, aku langsung keluar dari kedai itu. Aku tinggalkan uangku untuk Tiffany. Aku menyendiri di kolam. Sungguh sebal. Aku mendengar suara gitar, tidak Cuma satu, tetapi banyak dan serempak. Dia menyanyi, aku tidak tahu ternyata dia pandai melantunkan nada.
“Aku minta maaf.”
“Setelah apa yang kamu lakukan kepadaku?”
Tiffany hanya mengintipku dari balik kedai.
“Aku kan tidak melakukan apa-apa!”
“Tapi kamu itu aneh! Dan kamu itu maunya apa?”
“Aku hanya ingin bersahabat denganmu! Tidak lebih.”
“Aku tidak percaya!”
“Terserah, kali ini aku tidak bisa menahan emosiku lagi. Jangan salahkan aku jika suatu hari kamu sadar jika aku tidak pernah berbohong padamu!”
Aku tidak tahu ini tindakan yang benar atau salah, membiarkannya kembali ke Kerajaan Werck.
***
Tiffany tetap tinggal bersamaku di istana Syse ku. Kak Hojo juga akhirnya tidak kembali ke kerajaannya. Aku juga tidak mengerti kenapa waktu itu aku begitu sangat marah kepada si cowok angkuh. Padahal setelah aku fikir berulang-ulang, dia tidak begitu salah kepadaku. Malah aku yang jadi merasa salah kepadanya.
“Sudah, dia akan baik-baik saja disana. Kamu khawatir ya dengannya?”
“Iya, takut dia kangen sama aku.”
“Lho, jadi beneran kamu suka dia?”
“Nggak, aku sama sekali nggak pernah suka dia, aku Cuma kagum.”
“Trus gimana perasaan kamu pas berdampingan dengan dia?”
“Gimana ya? Ya bangga aja bisa jalan bareng sama dia. Habis aku kagum sama dia.”
“Yakin Cuma kagum?”
“Iya, kamu ini lho!”
“Iya deh iya…tapi niat kamu dia itu apa sih sebenarnya?”
“Aku pengen sahabatan ama dia, kayaknya dia anaknya asik.”
“Oh kalo soal itu aku tidak tahu.”
“Tuan Putri, ada seseorang yang mencari Anda. Dia menunggu di depan.” Pengawal kepercayaanku mendatangiku.
Kami langsung turun, dan melihat siapa yang datang mencariku.
“Kamu? Ngapain di sini?” tanyaku yang masih saja dengan nada tinggi.
“Kenapa? Ada yang salah.” Dia tetap staycool.
“Aku rasa ini moment yang tepat.” Ujar Tiffany. Dia mendorongku supaya lebih mendekat ke cowok angkuh itu.
“Maaf, aku yang salah.” Aku langsung mengakuinya.
Dia memegang bahuku, dan berkata “Tidak, kita semua salah disini. Tiffany juga, dia tidak pernah menjelaskan bagaimana aku kepadamu, aku tidak pernah mendekatimu dengan cara yang positif. Dan kamu, kamu terlalu bermain dengan perasaanmu. Aku tidak menyalahkan walaupun kita salah, karena niatku hanya ingin bersahabat denganmu, dan memperbaiki hubunganku dengan sepupuku, Tiffany.”
“Maaf ya Ara..aku kurang berterung terang kepadamu. Jadinya pada salah paham begini.”
“Tak apa Fa, kamu udah jadiin aku sebagai sahabat kamu, walaupun kita baru kenal, tapi aku sudah sangat yakin denganmu. Aku yakin menjadikanmu orang yang selalu ada untuk ku bagikan keluh kesahku. Dan kamu…” aku kembali kepada cowok angkuh itu, “Kamu udah nyadarin aku bahwa tidak selamanya cowok itu angkuh.” Aku tersenyum sambil sedikit tertawa.
“Jadi, bagaimana kalau kita sepakat sahabatan?” tanya si cowok (angkuh) itu.
“Ok, siapa takut? Ara?” tanya Tiffany.
Mereka sudah mengumpulkan tangan. “Jujur, aku masih punya satu problem.”
“Apa lagi sih?” Tiffany nyaris mengeluh lagi.
“Jangan mengeluh, aku hanya masih belum lega jika harus memanggil dia dengan sebutan `cowok angkuh`.”
Mereka menertawai aku.”
“Hei, ada yang lucu?”
“Tidak, hanya saja kamu benar-benar membuatku lupa akan sesuatu, yaitu memperkenalkan namaku.”
“O ya? Kalau begitu, setelah kau ucapkan namamu..kita bertiga menjadi sahabat.”
“Namaku mahal lho harganya!.....Baiklah..mau yang singkat atau yang lengkap?”
“Aku beli!” ucapku.
“Yang lengkap!” Tiffany semangat sekali, padahal yang penasaran kan aku (?).
“Sebelumnya, aku adalah seorang pangeran. Aku sepupu Tiffany Yadera, ibunya mempunyai seorang kakak laki-laki dan aku lah anaknya. Namaku Flisaz Obert Xarius. Dan aku biasa dipanggil FOX.”
“Hah? Sepanjang itu namamu? Aku saja tidak bisa langsung mengingatnya..” protesku.
“Wah…namanya terlalu rumit…selama ini aku hanya dengar nama panggilanmu saja, Fox.”
“Hehe, singkat aja Fox, si Ara juga punya nama panjang…tapi panggilannya Cuma tiga kata, sama kan?” ujar Fox.
“Iya, nama panjangku Karra Quinnsy Anastasya.” aku ku.
“Ku rasa nama Tiffany Yadera itu terlalu panjang?” Fox member pandangan berari kepadaku.
“Oh, I see…”
Tiffany bingung, aku dan Fox tetap berpikir.
“Aha! Bagaimana kalau Ifa saja?” ucapku.
“Tidak..tidak…coba dengan Era?”
“Jelek..jelek..murahan banget…orangnya kan cantik..namanya juga harus cantik…” ucapku lagi.
Tiffany rupanya punya usul sendiri untuk nama panggilannya, “Fara? Gimana?”
Kami berdua menolak, karena itu terdiri dari 4 huruf.
“Tia…tia…seperti bagus juga.” Tiffany menemukannya saat bermain dengan ujung-ujung rambutnya.
“Setuju!” ucap kami bertiga serempak.
“Jadi mulai hari ini, …… Putri Ara, Pangeran Fox, dan Putri Tia resmi menjadi sahabat!” teriak Fox.
“YEEEAAAAAHHHHH !!!!” teriak kami membuat para penjaga menjadikan kami sebagai sasaran tembak, dan kami hanya mengacungkan 2 jari dan berteriak… “PEACE !!”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar