Minggu, 23 Oktober 2011

KINGDOM STORY -part 2-

Tahun ini masuk tahun ke 3 aku bersahabat dengan mereka berdua. Akhirnya kami jauh semakin dekat sejak kami mendeklarasikan persahabatan kami kala itu. Kami tumbuh bersama sampai kami berumur 19. Dan aku sangat heran, mengapa Tia dan Fox belum mempunyai “seseorang” yang special di hati mereka. Dan rupanya aku harus mempertanyakan hal ini kepada mereka. Aku yang sedang termenung di kamar ini langsung mencari mereka. Biasanya mereka sedang bermain di ruang perpustakaan.
Tapi bukan Tia ataupun Fox yang aku temui, tetapi ayah dan ibu.
“Ara…tumben ke perputakaan lagi?” tanya ibu yang sedang menemani ayah membaca buku.
“Iya..aku mencari Tia dan Fox. Kalian melihatnya tidak?”
“Tidak, biasanya kalian sama-sama terus?” tanya ibu sambil mengelus rambutku.
“Iya, hari ini aku bangun kesiangan…jadi aku tidak melihat mereka dari tadi pagi.”
“Ya sudah, temani kami saja disini?” pinta Ibu.
“Jangan…pasti nanti dia jenuh di sini…Ara kan tidak suka membaca…” kata ayah kepada ibu.
“Padahal ibu ingin bersama kamu di sini…” ibu memajukan bibirnya.
Aku bingung harus menjawab apa. “Iya…” kemudian aku langsung pergi menuju bagian lain dari istana.
Iseng, aku menuju kamar Kak Aya, dia sudah mempunyai kekasih hati dan tahun depan langsung akan melaksanakan pernikahan dengan seorang jenderal dari kerajaan Porte. Sekarang pacarnya itu sedang memimpin perang nun jauh disana, di negeri antah berantah. Tapi ruangan itu pun kosong, tidak ada. Lalu Kak Hojo menyapaku.
“Ara?”
“Eh, kakak…sedang apa disini?”
“Aku mencari Aya, Tiara ingin berbicara dengannya.”
“Oh, tidak ada dikamarnya.” Laporku.
“O ya?”
“Iya..Kak Hojo lihat Fox dan Tia tidak?”
“Oh..tadi pagi-pagi sekali sih lihat. Aku kira kamu bersama mereka?”
“Pagi-pagi sekali?” tanyaku sekali lagi untuk memastikan.
“Iya, aku tidak tahu mereka ke mana.”
“Jam berapa?”
“Ya..sekitar jam 6.”
“Jam 6?” waduh…mereka ke mana ya? Kok aku nggak diajak sih?
“Jadi, kamu lihat Aya tidak?”
“Tidak, aku juga baru bangun, jadi tidak tau apa-apa.”
“Oh, jika nanti bertemu dengan Aya..tolong bilang Tiara mencarinya. Penting.”
“Iya, pasti.”
Kak Hojo kembali ke kamarnya, menemani Kak Tiara yang sedang sibuk memberi ASI kepada bayi mereka. Aku mencoba keluar istana, tapi tanda kehadiran mereka tidak ada. Lalu aku duduk di pinggir kolam, dan ditempat inilah pertama kali aku berbicara dengan Fox. Dan waktu itu dia benar-benar menjengkelkan! Tapi ku akui, dia itu misterius…itulah yang membuat aku menerima tawarannya sebagai sahabatku.
“Ara !!!” panggil Tia dari tempat yang jauh.
“Tia?” aku berusaha mencari dimana asal suara itu berada.
Aku berjalan menjauhi istana, sampai aku tiba di depan hutan yang tidak pernah aku kunjungi sebelumnya. Ada keraguanku untuk memasuki hutan itu. Aku takut semua orang mencemaskan aku. Karena aku pergi sejauh ini tanpa sepengetahuan mereka yang ada di istana.
Suara Tia semakin menjauh, aku takut salah langkah. Aku juga takut jika mereka berdua hanya mengerjai aku. Siapa tau mereka ada di sekitar istana sana. Tapi aku nekat masuk kehutan itu dan agak gelap dan banyak jaring laba-laba. Aku melihat jejak manusia disana, dan aku mencoba mengikutinya. Jejak itu menuntunku jauh lebih dalam memasuki hutan, jauh sekali dari bibir hutan itu. Sampai aku menemukan mahkota Tia terjatuh disana.
“Lho? Ini kan milik Tia? Pasti dia masuk ke sini bersama Fox? TIA !!!!” aku memanggil namanya di dalam hutan itu sambil berteriak dan suaraku menggema.
Tidak lama kemudian samar-samar aku mendengar suara Tia memanggil namaku, tapi itu sangat samar, aku jadi ragu..itu hanya perasaanku saja atau memang benar aku mendengarnya. Saat aku mau melangkah lagi, jejak Tia hanya sampai di tempat aku berpijak. Setelah itu aku tidak tau harus ke mana. Jika aku melanjutkan langkahku, bisa-bisa aku tersesat lebih jauh dan tidak bisa menemukan mereka, kemudian aku harus kembali ke istana dan memberitahukan semua ini kepada Kak Hojo.

“Jadi? Kamu temukan ini di dalam hutan sana?” tanya Kak Hojo yang sudah panic, aku saja ngos-ngosan!
“Iya…kayaknya kita harus kirim pasukan, soalnya jejaknya hilang sampai aku menemukan mahkota ini..aku juga sempat mendengar beberapa kali suara Tia memanggilku..tapi aku tidak tahu dia sedang berada di mana.”
“Baik, kamu tunggu disini, aku akan bilang pada Raja dan segera mengerahkan pasukan!”
Lalu aku menunggu di depan sampai akhirnya KaK Hojo serta Kak Tiara  turun dan membawa sekitar 50 pasukan.
“Kalian yakin mau masuk ke hutan itu?” tanya Kak Tiara yang kelihatannya sangat khawatir dengan kami.
“Yakin, kamu harus menunggu kami disini. Kami yakin, kami akan baik-baik saja.” Ucap Kak Hojo lalu mencium Tiara dan bayi mereka.
“Ara….” Cegah Kak Tiara sebelum aku iku berangkat dengan Kak Hojo. “Hati-hati, ada sesuatu di hutan itu…” kemudian Kak Tiara menangis dan kembali ke dalam istana. Ayah dan Ibu terlihat sangat khawatir dengan aku, tak berlama-lama, aku langsung menaiki kuda dan berlari menuju bibir hutan.
Kali ini aku tidak menggunakan gaunku. Aku menggunakan baju perang, jadi sama seperti Kak Hojo. Rambutku yang sudah panjang itu pun aku potong sendiri menjadi sebatas bahu, seperti Tia yang memotong 3 tahun yang lalu. Lalu bersama yang lain aku dan Kak Hojo memimpin barisan di depan, sampai kami tiba di jejak terakhir Tia.
“Disini aku menemukan mahkota itu.” Aku memandang Kak Hojo dan menunggu instruksi selanjutnya.
“Bagaimana jika kita menyebar?” usul Kak Hojo.
“Apa Kak Hojo yakin?”
“Iya. Aku kearah kiri, kamu ke kanan. Pasukan kita bagi 2.”
“Baik.” Aku menuruti perintah itu.
“Baik, pasukan kita bagi 2. Setengah ikut denganku dan setengahnya lagi ikut Putri Ara.”
“Sampai berjumpa di istana.” Salam terakhir Kak Hojo kepadaku sebelum kami berpisah.
Kemudian dengan pasukan yang ku punya sekarang, aku bingung harus berbuat apa. Untung saja diantara pasukanku itu ada satu orang yang umurnya sebaya denganku dan sangat kebetulan kudaku berada pas disamping kudanya.
“Hai, sebenarnya aku baru pertama kali melakukan hal ini…jadi aku tidak tau harus bagaimana?” tanyaku langsung kepadanya.
“Oh, Tuan Putri tidak perlu bingung.. kami akan mengikuti apa pun perintah Tuan Putri.” Ucapnya memberiku sebuah penjelasan pendek.
“Oh?” di sela-sela itu aku malah mendengar suara Tia lagi. Aku menghentikan kudaku, dan semuanya juga berhenti.
“Ada apa Tuan Putri?” tanyanya.
“SSSTTTT..” aku mempertajam lagi indera pendengaranku.
“Ara…..!!!!!” suara itu perlahan mulai menjelas.
“Kalian dengar suara Putri Tia?” tanya ku pada seluruh pasukan.
Ada yang bilang tidak, tapi orang yang disekitarku bilang dengar.
“Saya mendengarnya, Putri.”
“Kalian tau dari mana arah suara itu?” tanyaku pada mereka.
“Dari arah Utara…karena angin berhembus dari sana…tapi bisa saja Putri Tia tidak berada di utara…bisa saja dia berada di selatan.” Ucap orang yang sebaya denganku tadi.
“Jadi yang benar dari arah selatan atau utara?”
Di mendadak jadi bingung juga. Dan tidak ada satupun yang menjawab pertanyaanku.
“Baik jika begitu. Tim ini akan aku bagi 2 lagi. Kamu,” Aku menunjuk seseorang yang lain untuk memimpin pasukan yang ke tiga. “Nama kamu siapa?”
“Robert.”
“Baik Robert, kamu pimpin pasukan kearah selatan! Cepat laksanakan!”
Dan setengah dari pasukanku pergi kearah selatan.
“Kamu bersamaku, kita ke arah utara. Kamu tau kan arah utara ke mana?”
“Tau, ke arah depan.”
“Kalau begitu kamu berada di depan. Pimpin kami!”
“Kenapa aku? Kenapa tidak yang lainnya?”
“Untuk yang lainnya, kalian tau arah mata angin?”
Semuanya menggeleng.
“Karena itu kenapa aku memilih kamu dibarisan depan. Cepat!!” bentakku kepadanya.
Kuda kami berlari menuju arah utara.
Ku rasa sudah 2 jam kami melakukan perjalanan, tapi kami tak kunjung bertemu dengan pasukan dari Kak Hojo ataupun pasukan yang aku pecah menjadi 2 tadi. Dan kami sudah tiba di sebuah pada rumput yang luas. Istanaku pun terlihat amat kecil dari sini. Ini adalah daerah yang tinggi. Aku turun dari kudaku sejenak, siapa tahu ada benda-benda milik mereka yang terjatuh. Ada! Aku temukan 1! Sebuah belati milik Fox!
“Aku temukan ini.” Aku menyerahkan belati itu kepada pasukanku yang sebaya denganku itu.
“Ini kan milik…”
“Kamu tau?”
“Iya…milik Pangeran Fox! Ini pemberian dariku!”
“Kamu mengenalnya?”
“Aku dulu anak buahnya. Namaku Gamma.”
“Kamu tau Fox kearah mana?”
Lalu Gamma mengendus belati itu dan kemudian menunjuk kearah gunung berbatu di depan sana.
“Ada apa disana?”
Lalu Gamma memeriksa belati itu lagi, dibukanya sarung belati itu, ada sebercak darah.
“Darah?” ucapku kaget.
“Ini darah…” Gamma tidak melanjutkan kalimatnya, malah membuka tempat minumnya dan menyiramkan air itu ke belati.
Aku tidak percaya apa yang aku lihat, “Itu sebuah tulisankan?”
“Sudah ku duga, penyihir jahat itu.”
“Apa? Ada penyiir di negeri kita??” aku benar-benar tidak tahu hal itu, apakah ini yang dikatakan Kak Tiara? Aku kira penyihir itu hanya ada dalam dongeng.
“Iya, ayah Pangeran Fox pernah bercerita kepadaku, jika penyihir itu mengincar salah satu putri dari kerajaan Syse.”
“Kamu ngaco!”
“Ngapain aku bohong Tuan Putri? Tapi sampai sekarang kami tidak tahu siapa yang di incarnya.”
“Lalu kamu yakin jika Tia dan Fox ada disana?”
“Iya.. bisa dilihat dari pesan darah di belati ini.”
“Apaan katanya?” tanyaku sangat penasaran.
“Fox dan Tia ada ditangan penyihir jahat itu. Putri Ara harus menolong mereka, jika tidak, …” Gamma hanya memandangku penuh arti.
“Jika tidak , apa??”
“Penyihir itu akan membuat mereka menjadi budaknya. Selamanya.”
“Berapa lama untuk sampai ke gunung itu?”
“Malam nanti baru sampai disana. Jalan yang paling dekat adalah menyeberangi sungai yang lebar itu.” Gamma menyarankan lewat sungai, dan memang itu jalan yang paling dekat.
“Dengarkan semuanya. Kita ada 13 orang disini, aku, Gamma, dan 4 orang lagi ikut denganku. Lalu sisanya cari pasukan yang lain! Kak Hojo juga. Usahakan jika kalian semua tiba di tempat ini sebelum matahari terbenam. Setelah kalian tiba di tempat ini, kekuasaan aku serahkan Kak Hojo. Mengerti?”
“Siap !!!” 7 orang yang lainnya pergi mencari pasukan yang lain. Aku bersama 5 orang lainnya menyewa perahu kecil dan Gamma beserta yang lainnya aku suruh mendayung dengan cepat. Sementara kuda kami tinggalkan di pemukiman warga. Aku harus menunggu dengan sabar saat yang lainnya sedang mendayung.

Ini sudah malam, tapi aku belum melihat tanda-tanda dari Tia lagi. Sampai pada akhirnya, kami tiba di bawah gunung itu.
“Putri Ara, kita sudah sampai.” Ucap Gamma sambil menepi.
“Kamu yakin penyihir itu ada di gunung ini? Tapi aku tidak melihat sebuah gua?”
“Guanya cukup jauh dari sini. Kita harus menempuhnya dengan berjalan kaki.”
“Tidak ada kuda disini?”
“Percuma, jalannya cukup curam. Aku sudah pernah melewatinya. Sebaiknya Tuan Putri selalu berada di belakangku saja.”
“Iya…” akhirnya kami melewati jalan yang suram itu. Aku hampir beberapa kali terjatuh, untung saja Gamma selalu menyelamatkanku. Aku berhutang nyawa padanya.
Akhirnya dan akhirnya kami menemuka sebuah gua di balik gunung itu, karena sudah malam dan tidak ada penerangan kami jadi terhambat memasuki gua tersebut. Tapi kami tidak kehabisan akal. Prajurit yang bersamaku ternyata sangat terlatih, mereka membawa obor dan sebuah korek. Jadi kami punya penerangan malam ini. Gua ini sumpek dan bau jamur..kami susah bernapas di dalamnya, dan banyak batu-batu besar di bawahnya. Aku sudah berkali-kali jatuh, tapi entah mengapa Gamma begitu baik terhadapku, ya mungkin tidak lebih karena aku seorang Putri kerajaan yang harus senantiasa di lindungi. Dia menggandengku di gua yang gelap dan dingin tersebut. Tapi aku merasa janggal, mengapa gue ini sepi sekali? Aku menoleh ke belakang, 3 prajuritku hilang!!
“Gamma! Yang lain kemana?” tanyaku panik.
“Mereka hilang?” tanya Gamma yang juga sama-sama kaget.
“Bukannya tadi mereka ada di belakang kita? Bersama kita?”
“Ada sesuatu yang tidak beres di gua ini. Ayo percepat langkahmu!”
Gamma menarikku dan kami masuk jauh lebih dalam. Aku bingung, kenapa Kak Hojo belum tiba juga, jika normal, harusnya Kak Hojo sudah di sini bersamaku. Aku sangat mengkhawatirkan Kak Hojo. Aku takut dia kenapa-kenapa dan akulah yang harus bertanggung jawab dengan Kak Tiara, oh tidak! Otakku kacau!
“Perhatikan langkahmu!” pinta Gamma kepadaku.
Kami sudah seperti berlari di dalam gua—dan kami memang sedang berlari! Untungnya kami menemukan suatu ruangan yang besar di dalam gunung tersebut. Gayanya sepert sebuah istana kegelapan, memiliki tangga yang melingkar dan tentunya gelap dan berbau jamur. Sepi, aku tidak mendengar apa-apa. Kami mencoba menaiki tangga itu, dan tanganku masih lekat di genggamnya. Rupanya dia sangat takut jika genggaman tangan ini sampai terlepas. Kami terus menaiki tangga itu yang mengantarkan kami ke tempat penahanan—atau lebih tepatnya penjara.
Aku dan Gamma mengintip satu persatu ruang  itu, tapi tampak lengang. Tidak ada siapa pun di dalamnya. Lalu kami mendengar suara si penyihir itu sedang tertawa, sepertinya dia menyadari kehadiran kami di kastil ini.
“Gawat, kita ketahuan!” Gamma menarikku ke tengah, menjauhi semua pintu-pintu itu.
Muncullah sesosok wanita tua yang amat jelek dan bau kehadapan kami.
“Selamat datang di gunung kematianmu…kalian pasti prajurit yang ingin menyelamatkan Putri dan Pangeran itu kan?” jari jemari itu membawa kami dekat padanya tanpa kami minta.
Aku dapat menarik kesimpulan, jika penyihir ini tidak tahu jika aku ini adalah yang dia cari selama ini. Tidak, kami di pisahkannya! Aku terlempar jauh kekanan, dan Gamma ke kiri. Dia tampak lemas dengan lemparan itu, aku juga. Tapi aku berusaha bangkit dan memukul penyihir itu, tapi aku tidak menjangkaunya, malah aku dibawa ke satu ruangan dan aku melihat Gamma yang ingin menyelematkan aku, tapi penyihir ini sangat cepat membawaku. Dalam hati aku berkata, selamatkan aku Gamma! Aku yakin kamu bisa!!

Aku pingsan, saat aku membuka mata, tangan dan kakiku sudah di ikat dengan rantai di tembok ini. Aku melihat Tia yang tidak sadarkan diri di dalam peti kaca, seperti Putri Salju, dia membeku dan tak sadarkan diri—berbaring begitu saja di atas balok es.
Aku melihat Fox! Tapi tunggu, dia seperti tersihir, menatapku kosong. Dan penyihir itu memegang pundaknya, mengucapkan sesuatu kepada Fox dan kemudian Fox menuju ke arahku sambil membawa sebuah pedang. Aku yakin dia ingin melepaskan rantaiku, ya memang benar. Aku terbebas dari rantai-rantai yang mengikat tangan dan kakiku. Tapi setelah itu Fox mencekikku! Aku … tidak … bisa….bernapas !!!
Lalu entah dari mana datangnya suara Tia itu—“Dorong dia! Dia dalam pengaruh sihir!”
Aku mendorong Fox, tapi pedang itu hampir menusuk jantungku.
Jantungku berdebar tak karuan, jika aku salah langkah tadi, aku sudah mati detik ini. Aku tetap pada posisi siap, aku tidak berfikir untuk meraih senjata apa pun, karena orang yang ada dihadapanku ini adalah Fox!
“Kamu tidak akan bisa keluar hidup-hidup dari sini prajurit bodoh!” gertak penyihir jelek itu.
“Penyihir jelek!!” teriakku memberanikan diri.
Tidak, dia mengontrol Fox. Fox sudah siap menikam jantungku dengan pedang panjangnya itu, tapi Gamma datang mencegah Fox.
“Lari !!” pintanya. Tapi aku tidak ingin jadi pengecut, aku mengambil pedang yang di pegang Fox dan mengancam penyihir itu. Hiiiy, pedang itu berubah menjadi ular. Aku langsung melemparnya, tetapi ketika penyihir itu memegang ular itu, maka kembali menjadi pedang dan malah mengembalikannya kepada Fox. Fox mendorong Gamma sampai ia pingsan, dan kemudian kembali berhadapan denganku. Aku menyempatkan mengambil belati milik Fox yang di bawa oleh Gamma, Gamma tak berdaya. Dia mencegahku mengambil belati itu,  tapi aku mengambilnya dengan paksa. Jadi sekarang ini aku dan Fox sama-sama mengancam, dan aku dengan belati kecil sedangkan Fox dengan pedang panjangnya. Tapi perlahan aku mengatarahkan belati itu ke leherku, apakah usaha ini akan menyadarkan Fox, tapi ternyata tidak. Matanya masih menatapku kosong, dan sikapnya begitu dingin.
“Hahaha, rupanya kau mau menghabisi nyawamu sendiri kan di sini?”
Aku diam dan berpikir..berpikir..dan terus berpikir, bagaimana cara agar Fox terlepas dari kutukan itu. Lagi-lagi suara Tia bergema di kepalaku—“Cium Fox! Hanya itu cara agar sihirnya terlepas, aku sudah mencobanya, tapi tidak bisa! Hubungan persaudaraan mengikat kami, jika dia sadar dari sihirnya, maka aku juga terbangun!!”
Dalam hati aku membalas suara itu—“Apa? Aku harus menciumnya? Tapi bagaimana? Gamma melihatku!! Aku tidak mau menyakiti Gamma, aku mengerti dengan perasaannya!!”
Suara Tia membalasnya—“Tak apa! Pasti dia mengerti!! Cepat lakukan! Jika satu menit saja saja terlambat, sihir ini akan abadi!!”
Mau tidak mau dan sangat terpaksa, aku harus melakukannya demi kedua sahabatku yang aku sayangi dengan cara seperti itu. Aku langsung mencium Fox, sihirnya luntur dan penyihir tua itu berubah menjadi seekor tikus.
“Gamma, cepat bunuh tikus itu!!” aku langsung memberikan belatiku kepadanya dan dengan gesit Gamma menusuk tikus itu, kemudian mati seketika.
Aku langsung menyadarkan Fox dan menolong Tia yang berada dalam kotak kaca itu. Dia sudah sadar, tetapi mengalami hiportemia keras. Gamma dan Fox bingung bagaimana cara menghancurkan kotak kaca itu. Aku meraih pedang yang nganggur di lantai dan menyuruh Fox dan Gamma minggir.
“Awas, minggir!”
Terlihat wajah Tia yang pucat, aku langsung saja memecahkan kotak kaca itu dan langsung mengangkat tubuh Tia yang sudah menggigil itu. Aku memberikan jubah yang ku kenakan pada Tia, kami langsung pulang dan menjelaskan semuanya.
 Kami sampai di pemukiman warga itu. Ternyata prajuritku yang hilang itu pingsan akibat sihir dari penyihir jahat itu. Kak Hojo juga pingsan di gua itu, tapi sekarang semuanya sudah terkendali dan aman. Kami kembali menuju istana dan tidak ada satu pun dari kami yang mati. Fox mungkin tidak sadar dengan apa yang sudah aku lakukan kepadanya. Tapi Gamma dan Tia bisa bercerita hal itu kapan saja kepada Fox.
“Hei, kok diam aja?” sapa Fox.
“Hah?”
Tia masih memelukku erat, dia lemah sekali. Dan Fox satu kuda dengan Gamma. Gamma memandangku aneh, aku jadi kikuk.
“Hei, kamu ini punya telinga gak sih?” Fox membentakku.
“Apaan sih?” aku balik membentaknya.
Gamma memalingkan wajah.
“Kamu ini ditanya diam aja?!”
“Memangnya kenapa sih? Aku masih takut tau sama penyihir tadi!”
“Hahahhaha, dasar penakut! Aku aja berani, Tia aja berani?”
“Iya, kalian kan kena pengaruh sihirnya! Jelas aja jadi nggak sadar? Mana penyihirnya bau lagi? Kayak kamu tau baunya!”
“Iiiihhh, ngomong seenaknya!! Masa pangeran setampan aku bau sih?”
“Iya, kamu bau…” kata Tia lemah.
“Kamu lagi ikut-ikutan…” Fox ikut memarahi Tia.
Gamma mendahului kami, “Kamu kok bisa dengar suaraku sih?” tanya Tia kepadaku.
“Aku juga tidak tahu, mungkin karena ikatan batin kita kuat?” jawabku sekenanya.
“Tapi waktu sebelum kamu mencium Fox, kamu bisa menjawabku kan?”
“Aku juga tidak tahu kenapa..ingin saja aku menjawabnya.”
“Kamu kelihatannya serius amat waktu kasi ciuman ke Fox? Kamu mulai ada hati ya sama dia?”
“Ah, emang kamu lihat?”
“Iya, meskipun aku pingsan, tapi rohku kan ada di luar tubuhku. Penyihir itu goblok banget. Padahal aku udah bilang, namaku bukan Ara. Tapi dia ga percaya aku malah ditangkap, dimasukin ke dalam kotak kaca bawahnya ada balok es…trus ga tau deh di apain lagi. Tau-tau aku lihat tubuhku, takut sih..trus aku ingat kamu…jadinya manggil-manggil kamu trus, untung kamu pinter langsung bawa pasukan. Kayaknya kamu cocok deh jadi Putri Perang.”
“Hahaha.” Aku hanya bisa tertawa. “Sudah jangan banyak bicara, kamu itu masih lemah.”
“Kalau kamu pangeran, aku mau nikah sama kamu.”
Lalu aku menjitak kepalanya.
Semua orang menyambut kami dengan gembira. Terutama Kak Tiara yang langsung menghampiri Kak Hojo dan memeluknya. Kemudian Kak Hojo memeluk Tia dan Fox memeluk Gamma, lalu siapa yang memelukku? Ternyata semua orang memelukku. Aku tidak menyangka.
“Kami bangga padamu Nak.” Ucap ayah. Ibu langsung membawakan mahkotaku yang ku tinggal di dalam kamar.
“Ibu?”
“Pakai saja…”
“Tapi aku tidak sedang memakai gaun!”
“Bawa saja..” aku membawa mahkotaku. Tidak lupa ibu membawakan mahkota milik Tia.
“Ini milikmu, sengaja menjatuhkan ya?”
“Iya. Dan aku yakin kamu akan menemukannya.”
Lalu Fox menghampiri aku, seperti dulu lagi. “Aku rasa kamu lebih cocok memakai pakaian prajurit ini dari pada pakai gaun.” Aku dibuatnya kesal, maka aku menaruh mahkotaku di kepalanya, dia merasa tidak terima dan meletakkan itu di kepalaku.
“Ini lebih cocok buatmu, aku punya yang lebih bagus dari pada yang ada di kepalamu.”
Aku melihat Gamma, dia kembali ke barisan para prajurit.
No..No..No, Tia mengawasiku.
“Dengarkan wahai semua prajuritku!!” ayah menggelar acara dadakan dan tertutup untuk umum.
“Ini adalah misi yang berbahaya, dan Putri Ara telah menyelamatkan sahabatnya dengan sangat baik dan terpuji. Perlu kalian ketahui bahwa ini adalah sebuah contoh keberanian, meskipun ini bukanlah sikap Putri yang sebenarnya. Tapi perlu diketahui, sejak kecil Putri Ara memang suka menolong orang lain, tapi ini adalah pengalaman pertamanya menyelamatkan Putri dan Pangeran dari Kerajaan Werck. Aku ingin kalian, semua prajurit mencontoh Putri Ara yang tidak pernah takut mengambil resiko apa pun dalam keadaan apapun.” Ayah mundur dan bertanya sesuatu kepadaku.
“Ayah dengar ada salah satu prajurit pemberani yang menemanimu melawan penyihir itu?”
“Iya benar, kenapa?”
“Siapa namanya?”
“Gamma.”
Ayah kembali ke podiumnya, “Untuk itu, demi keselamatan Putri Ara ada salah satu prajurit yang gagah berani  yang telah menemani Putri Ara melawan penyihir jahat itu, Gamma.”
Aku melihat ekspresi ayah yang kaget melihat seorang pemuda yang sebaya denganku maju mendekati podium. Sampai-sampai ayah memangillnya 2x.
“Ayah, itu yang namanya Gamma.” Bisikku dari belakang.
“Oh…baiklah. Mulai saat ini Gamma menjadi Jenderal Perang dari Kerajaan Syse.”
Aku melihat ekspresi Gamma yang kaget. Karena aku sendiri tidak menyangka jika ayah akan memberikan gelar itu kepada Gamma, aku ikut bertepuk tangan.

Malam harinya ada pesta kecil-kecilkan untuk para prajurit. Aku melihat Gamma di arak-arak oleh yang lainnya, mereka larut dalam suka itu. Sedangkan, seperti biasa, kami bertiga berkumpul di gazebo belakang. Sekedar mengobrol.
“Hei, dari tadi kamu memperhatikan mereka trus? Kayaknya ada yang gak beres ini.” Ucap Fox sambil menikmati teh hangat itu.
“Tidak ada apa-apa.”
Dari tadi Tia bersin melulu, “Jangan bohong.”
Memang ya, kalau sudah dekat seperti ini harus jujur semuanya.
“Iya deh…”
“Tuh kan??!” Tia dan Fox melakukan tos.
“Tapi aku nggak usah cerita ya.”
“Hho…kenapa sih emangnya?” Fox memegang daguku, aku jadi memandang dia, lalu aku melirik Tia, dia hanya mengangkat bahu.
“Aku rasa ini sama sekali tidak penting buat kalian.”
“Ok..ok, kamu mau kami menjelaskan kenapa kami meninggalkanmu pagi itu kan?”
“Iya, kalian belum cerita.”
“Kami itu sebenarnya ingin memberikan kejutan kepadamu. Kamu lupa yang kemarin itu hari apa?”
“Ingat, hari jadian kita bertiga kan?”
“Nah, maka dari itu…kami sengaja pergi ke hutan untuk mencari buah cemara. Tapi karena nggak ada, kami berencana untuk balik. Tapi Tia hilang, aku melihat seseorang menculiknya. Dia sengaja menjatuhkan mahkotanya untukku dan untukmu, aku berusaha mengejarnya. Aku mendapatkan Tia, tapi kami berdua ada di dalam jebakan yang sama, sehingga kami di bawa oleh penyihir jahat itu. Di awal kami sudah bilang jika kami bukan anak Raja dari kerajaan Syse, tapi penyihir itu tidak percaya. Aku melihat Tia di masukkan ke dalam peti kaca itu dan blang!!! Semuanya menjadi gelap. Kata Tia benar aku disihir ya?”
“Iya..” jawabku pendek. Mataku masih mengarah ke Gamma dibawah sana.
Aku meneguk pelan teh hangatku.
Kemudian Fox bertanya kepada kami, “Tapi aku masih bingung, kok tiba-tiba aku bisa sadar ya?”
Tidak, aku tersedak!! Uhuk-uhuk-uhuk, air tehnya keluar lewat hidungku.
“Hei, hei, kau ini kenapa sih?” Fox membantu memukul-mukul punggungku.
“Hati-hati…” Tia mengelap hidungku dengan sapu tangannya.
“Ini aku rasa ada yang aneh…” Fox merasakannya, aku dan Tia sudah saling pandang.
“Emang, kamu aja yang terlalu serius mikirnya.” Cetus Tia.
“Hei, memang sudah seharusnya aku tau kan bagaimana aku bisa sadar?”
Tia awalnya ingin memberitahukannya, tapi aku menarik tangannya terlebih dahulu.
“Kamu mau tau?” tanyaku.
“Iya, bagaimana?”
“Aku membenturkan kepalamu ke tembok!”
“Apa? Kamu jahat banget sih?”
“Habis aku tampar, kamu nggak sadar-sadar! Dasaar bebal.”
“Sudah..sudah….tidak perlu bertengkar hanya karena hal-hal ini.”
“Aku mau tidur..kau, Tia kau ikut tidak?”
“Iya…”
Aku berjalan mendahului Tia.
“Sudah-sudah…kita lanjut besok pagi saja ya.” Aku mendengar Tia berkata seperti itu kepada Fox.
Tapi aku berhenti saat harus melewati kerumunan prajurit yang sedang pesta itu.
“Ayo jalan, kenapa berhenti?” tanya Tia.
“Itu…”
“Itu kenapa sih?” Fox nyosor lagi.
“Aduh, ada jalan lain tidak menuju kamar?” tanyaku.
“Kamu ini kenapa sih?” Tanya Fox semakin curiga.
Aku belum bisa bilang yang sejujurnya. Jadi aku diam, mencari sosok Gamma.
“Oh…aku mengerti. Kamu malu kan sama mereka?”
“Hah? Malu kenapa?”
“Udah umur segini blum punya pacar jugaaa…”
“Bukan..bukan itu…!!”
“Buat apa aku jadi sahabat kamu kalo nggak bisa jadi tameng?”
Tidak, semuanya salah paham!
Fox menggandeng tanganku, aku menoleh ke Tia. Lagi-lagi Tia mengangkat bahu. Kami berjalan di antara prajurit-prajurit itu..semoga saja tidak bertemu dengan Gamma. Tapi kenapa jadi ada Gamma di situ? Dia melihatku sedang bergandengan tangan dengan Fox, dan parahnya…Fox menghampiri dia, aku menoleh Tia, tapi Tia tidak bisa melakukan apa-apa.
“Hallo, Jenderal..” Fox menyapanya, aku bersembunyi dibalik Fox..tapi sayangnya tanganku masih digenggamnya.
“Pangeran Fox?”
“Terima kasih karena waktu itu kamu telah menyelamatkan aku. Ga sia-sia ayahku melatih kamu untuk menjadi prajurit yang hebat seperti ini.”
“Sebenarnya…” aku menyela kalimat Gamma.
“Ini sudah  malam, sebaiknya kita kembali ke istana.” Pintaku kepada Fox. Sial! Gamma melihatku dengan Fox sedang bergandengan tangan, eskpresinya langsung berubah, seolah mengatakan, “Itu apa? Lalu saat di gua itu kamu anggap aku apa?”
“Baiklah, sekali lagi terima kasih.” Ucap Fox, lalu kami bertiga kembali ke dalam istana.
Lalu saat sudah jau dari mereka, aku lepaskan genggaman tangan itu.
“Kamu ini apa-apaan sih?” tanya ku kepada Fox.
“Lho? Salah?”
“Ya jelas salah!! Aduh..kalian tidak mengerti!!” aku jadi ruwet sendiri.
“Hei..hei…sebenarnya ini ada apa??” tanya Fox yang jadi ikutan bingung.
“Sebaiknya aku jelaskan besok pagi saja.”
“Tidak, aku mau sekarang.” Lagi-lagi Fox menahan aku.
“Aku bilang, besok pagi.”
“Tapi aku maunya sekarang! Pasti terjadi kesalahpahaman di sini.”
Tia menjadi pihak yang paling netral.
“Oke..oke !! Dengarkan aku…. Aku mohon, kamu tidak berfikir yang  macam-macam dengan penjelasanku ini.”
“Ok.”
“Kamu tau tidak jika semua ini bohong?”
“Bohong? Apanya?”
“Yang menyelamatkan kamu itu bukan Gamma.”
“Itu kamu yang bohong.”
“Terserah kamu mau percaya atau tidak. Aku sudah menjelaskannya.”
Fox, menahanku lagi. “Belum, itu belum semua.”
Aku mencoba sabar, “Saat itu memang aku hanya berdua dengan Gamma. Dan di gua itu…Gamma membuat aku percaya dengannya. Dia menggandeng tanganku.” Di kerajaan ini apabila gadis dan laki-laki bergandengan tangan itu dianggap punya hubungan khusus. “Sampai kami dipisahkan oleh penyihir itu, dan kemudian aku bertemu dengan kalian dan menyelamatkan kalian.”
“Tapi aku ingin tau, kenapa aku bisa sadar dari pengaruh sihir itu? Dan aku yakin kamu bisa menjelaskannya.”
Mulutku benar-benar tidak bisa menjelaskan perkara yang satu ini.
“Jelaskan Ara.” Akhirnya Tia angkat bicara juga.
“Tapi aku tidak bisa…”
“Please, jangan buat aku penasaran?” Fox memohon kepadaku.
Aku bingung, antara menjelaskan atau tidak.
“Aku yakin, setelah aku menjelaskannya..hubungan kita bertiga tidak seharmonis dulu lagi.”
“Memangnya apa yang sudah terjadi?” tanya Fox memojokkanku.
Aku sangat bingung…OMG….
“Katakan saja, ini akan jadi rahasia kita berempat.” Ucap Tia.
“Berempat?”
“Gamma juga melihatnya.”
“Memangnya seberat itukan yang dilakukan?”
Tidak ada yang menjawab Fox malam itu. Aku masih mendengar para prajurit berpesta.
“Please, katakan padaku.” Fox sampai berlutut di hadapanku, aku sempat kaget.
“Tapi kamu harus janji sama aku, gak bakal anggap hal ini serius. Karena hanya itu satu-satunya cara menyelamatkan kalian dari pengaruh sihir penyihir jahat itu.”
“Iya, aku janji.”
“Aku mencium kamu untuk menghilangkan pengaruh sihir itu. Tia yang memberitahu caranya. Dan kamu tau arti ‘mencium’ itu berarti bertunangan kan?”
Fox terlihat terkejut, “Tapi bagaimana caranya..Tia kan..”
“Rohku terpisah dengan ragaku, aku bisa berbicara lewat hati dengan Ara. Aku tau cara itu, aku membawa sebuah petunjuk yang ada di dinding. Dulu rupanya kejadian serupa pernah terjadi disana.”
“Tapi bagaimana…”Fox sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
“Makanya, aku tidak mau menjelaskan kejadian ini sama kamu. Aku tau gimana kamu, tapi aku udah terlanjur suka sama Gamma. Memang aku akui, sejak pertama kenal kamu, pertama kali lihat kamu pakai jas putih itu, diam-diam aku kagum sama kamu. Tapi ngga pernah kepikiran buat aku suka sama kamu. Tapi semenjak hal itu terjadi, dan itu juga terpaksa, aku jadi bingung. Apa lagi kamu gandeng tanganku tadi di depan Gamma, aku itu takut banget Gamma mikir yang engga-engga! Karna aku sama Gamma…aduh aku juga susah jelasinnya mau gimana!”
“Iya..iya aku ngerti. Nggak mungkin juga kita harus bilang semuanya ini sama yang lain…aku juga bingung Ra…kita udah sahabatan gini..masa` rusak sama hal-hal yang begini. Apa lagi aku seorang Pangeran, gak bisa seenaknya gitu kan bilang kalo di antara kita nggak ada apa-apa? Padahal tadi di depan mereka kita udah….arrggghhh!!” Fox kesal pada dirinya sendiri.
“Apa nggak sebaiknya kita bicarain berempat?” usul Tia.
“Ya Cuma antara kita saja. Prajurit yang lain kan juga melihat. Apalagi saat ayah dan ibu tau aku suka dengan jenderal perang seperti itu..bisa malu aku!”
“Berarti kamu malu sama cinta kamu sendiri?” tanya Tia.
“Kamu benar-benar suka sama Gamma?” tanya Fox kemudian.
Dan…aku tidak bisa menjawab itu.
“Kamu yakin suka sama Gamma?” tanya Fox sekali lagi.
“Kamu kenapa sih mojokin Ara?” tanya Tia.
Fox memegang tanganku lagi, “Jawab aku, kamu benar-benar menyukai Gamma?”
“Aku tidak tahu!”
“Gini deh ya, sekarang kalian nggak boleh bohongi perasaan masing-masing. Waktu itu kan keadaan yang memungkinkan kamu dengan Gamma melakukan hal itu, jadi salah jika Gamma menganggap kalian mempunyai hubungan khusus. Tapi jika kamu menanggapi Gamma, maka dia akan ada di posisi yang benar.” Ujar Tia.
“Iya aku tahu, aku membuat Gamma ada di posisi yang benar.”
“Tapi kenapa?”
“Aku kira tidak akan menjadi seperti ini…tapi waktu aku melakukan hal itu kepadamu, sikon juga yang membuatnya seperti itu. Dan seharusnya kamu berada di posisi yang benar, dan aku yang salah.”
“Bukan, tidak ada yang salah disini. Keadaannya memang begitu kan?” Tia mencoba meluruskan lagi. “Jika kamu tidak melebih-lebihkannya, maka itu tidak akan menjadi sesuatu yang berarti, kan?”
“Tia, kamu ngga pernah tau kan jika pertama kali aku melihatnya, aku langsung jatuh cinta padanya?” aku Fox dihadapan mereka berdua.
“Kamu nggak sedang bercanda kan?” tanya Tia yang tidak percaya dengan pengakuan Fox itu.
“Kelihatannya aku sedang bercanda atau tidak?!” Fox membentak Tia.
Aku tahu, Fox sudah suka denganku sejak pertama kali kami bertemu. Pada saat aku mengenalkan diri pada perjamuan makan itu, dia memberi senyuman itu kepadaku. Aku tau, itu bukan senyuman yang biasa. Memang dia bilang ingin bersahabat denganku waktu itu, tapi dengan berjalannya waktu, mungkin bisa merubah semua itu. Dan aku sendiri ingin terus berada di dekat Fox walau dia menjengkelkanku. Tapi kedekatan itu bukan sebagai “status” yang akan jelas, tapi sebagai teman. Di sisi lain aku menyukai Fox sebagai orang yang benar-benar aku sukai.
“Jawab aku, apa kamu menyukai Gamma?”
“Secara status enggak….”
“Kamu suka kan sama perlakuan dia ke kamu? Wajar dia melakukan itu, dia itu prajurit, wajib melindungi kaum kita.”
“Tapi prajurit tidak serendah itu.” Ujar Tia kemudian.
“Tapi itu memang tugasnya kan? Kita ini wajib mendapat perlindungan yang xtra.”
“Sekarang aku tanya kamu, jika seandainya aku dalam bahaya, kamu bisa memberikan perlindungan kepadaku?” pertanyaanku menutup debat malam itu.
Keesokan harinya …
Hari ini aku sengaja menemui Gamma di kandang kuda, aku ingin menjelaskan semuanya.
“Gamma..”
“Tuan Putri? Mau berkuda?”
“Ngga, yang kemarin itu…kamu terpaksa melakukan hal itu karena sikon kan?”
“Oh, iya. Jangan dianggap sesuatu hal yang berlebihan. Tuan Putri sendiri sudah bertunangan dengan Pangeran Fox iya?”
“Masalah itu jangan dibahas.”
“Maaf, saya lancang.”
“Tolong juga, kejadian kemarin jangan ceritakan pada siapapun. Ini rahasia kita berempat.”
“Iya, aman Tuan Putri.”
“Terima kasih, sudah mau menjaga rahasia ini.”
“Iya, kepuasan Putri yang utama.”
“Terima kasih juga sudah menolongku kemarin.”
“Merupakan suatu kehormatan bisa menolong Putri secantik Anda.”
“Iya, kalau gitu aku pergi dulu.”
Untung saja Gamma bisa mengerti hal itu. Tidak seperti Fox yang terlalu melebih-lebihkan hal itu.
“Sudah kan? Respon dia gimana?” tanya Tia yang menungguku di luar.
“Dia sangat mengerti, tidak seperti Fox.”
“Tapi Fox tadi sempat bertemu denganku.”
“Sekarang dia dimana?”
“Sedang berburu dengan Kak Hojo.”
“Tadi memangnya ngomongin apa aja sih?”
“Iya, dia memang anggap ciuman itu serius. Dan dia memang suka sama kamu.”
“Tapi itu sikonnya yang nyuruh kita begitu..”
“Iya, aku ngerti…aku ngerti banget…tapi kalo aku ada di posisi kamu. Aku akan kasi kesempatan buat Fox. Aku lihat dia tidak main-main dengan keputusannya.”
“Tapi aku nggak mau hubungan persahabatan kita hancur.”
“Kok hancur? Engga kayak gitu lagi. Kamu aja yang mikirnya terlalu gitu banget…kalo kamu sama dia kan kita malah tambah deket.”
“Iya itu kan kamu sama aku…aku sama dia gimana?”
“Ya emangnya kenapa? Kamu kelihatannya khawatir banget?”
“Iya kalau aku jadi sama dia, kalo engga? Lagian umur kita masih segini ini…kalo aku di posisi Kak Aya baru aku langsung iyain.”
“Jalani aja dulu, kalo nggak cocok jadi sahabat lagi.”
“Aku rasa lebih baik jadi sahabat, kalau udah tiba waktunya baru aku kasi dia jawaban. Tolong nanti kamu bilang ke dia ya? Aku mau ke kamar aja, mood ku hilang gara-gara masalah ini.” Aku bingung dan puyeng, aku menenangkan diri di kamar aja. Itulah jalan yang terbaik saat ini untuk diriku.

Malam harinya aku keluar ke ruangan perjamuan. Seperti biasa, disana ada semua kakak-kakakku dan juga ayah dan ibu. Tapi aku tidak melihat Tia dan Fox. Lalu aku mencarinya keluar, ternyata mereka sedang mengobrol di luar.
“Hai, makanan sudah siap. Siapa ya yang menangkap burung – burung itu? Kelihatannya lezat.” Hiburku.
“Aku yang memburunya tadi pagi.”
“Waow, hebat…pasti Kak Hojo kan yang ajari kamu?” aku mencoba tidak memancing percakapan yang membuatku bête.
“Aku belajar dari ayahnya.”
“Oh..”
“Kalau begitu kita makan yuk?” ajak Tia.
“Kamu duluan saja. Aku belum lapar.” Ujar Fox.
“Ya udah kalo gitu …” Tia meninggalkan kami berdua.
Aku dan dia diam, takut untuk memulai duluan.
“Kamu ngga lapar?”
“Lapar, tapi aku mau makan kalo kamu makan juga.”
Lalu dia menoleh ke arahku.
“Biarkan semua itu indah pada waktunya.” Ujarku, dan rupanya dia pun mengerti.
“Ya udah, makan yuk?” ajak Fox, kami berjalan dan saling merangkul. Jika itu yang terjadi, maka persahabatan kami akan terus berjalan.
Malam ini kami makan burung panggang yang ditangkap oleh Kak Hojo dan Pangeran Fox tadi pagi. Lezaaatttt !!! ^^ ..


 TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar