Bagaimana ya aku mengatakannya? Benar-benar aku sungguh bingung. Mungkin aku hidup di zaman yang salah. Baiklah, sebaiknya aku memperkenalkan diri dulu. Namaku Dhinary, umurku 16 tahun, aku hanyalah seorang rakyat jelata yang menyukai seorang pangeran yang beribu jutek dan galak serta sedikit jahat. Aku mempunyai seorang teman lelaki bernama Valdro Alvaro. Dia selalu baik terhadapku, selalu menolongku dalam keadaan apapun, selalu ada saat aku butuhkan dan selalu menemaniku.
Suatu hari aku mengalami kejadian yang tidak mengenakkan di sekolah.
“Kamu tau, murid perempuan di sekolah ini tidak boleh berponi melebihi alis. Dan kamu sudah melanggarnya!” gertak guru yang paling ku benci di sekolah formal itu, Pak Gottardo.
“Iya, maafkan saya.”
“Baiklah, saya beri kamu tolenransi, sekarang kamu pulang dan potong rambut depanmu yang sudah panjang itu.”
“Sekali lagi, maafkan saya Pak.”
“Iya..iya.”
Sepeninggal Pak Gottardo, pangeran yang sudah lama aku sukai itu menghampiriku.
“Hei, kamu nggak apa-apa kan kena semprot Pak Gottardo?”
“Vallent?” betapa terkejutnya aku melihat dia yang ternyata peduli denganku.
“Pulang bareng yuk, kan rumah kamu deket sama rumah aku. Kebetulan hari ini aku membawa kuda.”
Pulang bareng seorang pangeran? Astaga…
“Apa nanti Ratu nggak sewot liat kita berdua pulang bareng?” tanyaku memastikan.
“Ah, jangan pedulikan ibuku yang kurang bersosialisasi itu.” Senyumnya.
“Tapi…” aku masih berpikir panjang tetapi dia sudah menyeretku keluar sekolah.
Siang itu poniku memang ku ikat kebelakang. Dan sebelum pulang, Vallent mengajakku ke tukang cukur rambut untuk merapikan poniku yang sudah panjang itu.
“Gimana, sekarang udah lebih baik kan?” Tanya Vallent sambil membelai rambutku yang pirang itu.
“Tapi…aku nggak pede nih…” mataku melihat keatas, melihat poni yang sudah pendek itu.
“Pede aja. Udah sore, langsung pulang yuk!” ajaknya.
Sepanjang perjalanan, aku benar-benar merasa kikuk naik kuda kerajaan bersama pangeran yang sangat aku sukai itu. Aku duduk di depan Vallent, sehingga posisi Vallent seperti memelukku, padahal tidak. Perasaanku benar-benar tak keruan, wajahku memerah, dan suhu tubuhku mungkin naik 5 derajat. Aku sebentar-sebentar melirik Vallent, dia hanya senyum-senyum dan sekali-sekali menghela napas panjang. Aku tidak mengerti apa yang sedang dipikirkannya. Aku hanya diam dan sesekali menghela napas juga.
Celaka 13! Aku melihat Sang Ratu tengah menunggui Vallent di halaman parker kuda. Aku sudah menepuk jidat dan senyum Vallent pun kandas sudah.
“VALLENT!!!” teriak Sang Ratu dengan suara melengking.
“Aduh, tadi kan aku sudah bilang, aku nggak mau kita pulang bareng..jadinya seperti ini kan?” protesku.
“Tapi kan aku kira ibuku sedang tidak berada di istana…”
Aku sudah ngeri duluan melihat wajah Sang Ratu yang……tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata.
“Sudah berapa kali Ibunda bilang, kau jangan dekat-dekat wanita miskin itu! Apa kurang jelas, Vallent?”
“Ibunda! Sampai kapan Ibunda melarang aku untuk bebas? Apakah Ibunda tidak memikirkan perasaan aku?” Vallent rupanya sudah kehilangan kesabaran.
“Oh, jadi kamu sudah berani menentang Ibunda? Bagus, sejak kau mengenal gadis kere itu kau jadi semakin berani melawanku! Mulai besok kamu akan pindah sekolah! Dan lagi pula Ibunda sudah ingin kau bertunangan dengan Putri dari kerajaan Eropa!!”
“Ibunda! Kau tidak bisa memutuskan hal itu begitu saja! Lagi pula aku telah memilih Dhinary untuk menjadi kekasihku!”
Hah? Jadi selama ini, Vallent menyukaiku?? Ternyata…selama ini cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.
“Apa?! Pengawal! Bawa Pangeran ke dalam kastil! Jangan biarkan dia bertemu dengan gadis miskin ini lagi!!” tidak ada lagi yang berani melarangnya.
Vallent mencoba memberontak dan ingin membawaku pergi dengan kudanya, tetapi semuanya sudah terlambat. Vallent tidak bisa menghalau 3 orang pengawal berbadan kekar itu. Lalu tinggal aku sendiri menghadapi Sang Ratu. Aku hanya memandangnya dengan ketakutan, seperti menghahadapi Pak Gottardo yang masih ada hubungan saudara dengan Sang Ratu.
“Kau!” gertaknya. “Sadarlah bahwa kau tidak lebih dari seorang sampah masyarakat! Kau dan temanmu itu, hanya kutu busuk yang mengotori istanaku! Aku akan lebih senang jika kau pergi menjauh dari areal ini.” Ia menunjuk emperan istana itu. “Dan jangan pernah sekalipun memanggil atau sekalipun berkhayal tentang Vallent. 3 hari lagi ia akan segera aku tunangkan dengan seorang putri. Seseorang yang benar-benar akan memberikan kebahagiaan pada Vallent!”
Sang Ratu mendorongku hingga aku terjatuh di kubangan lumpur. Baru sadar aku, ternyata aku sangatlah tidak berarti apa-apa di mata Vallent atau pun orang-orang kerajaan. Aku bangkit sendiri menuju gubuk kecil milikku yang berada kira-kira berjarak 20 meter itu. Ternyata aku menangis dalam diam. Gaun lusuhku menjadi kotor dan aku melihat Valdro melihatku empati di depan gubuknya.
“Dhinary…kamu..”
“Sudahlah, jangan pegang aku…nanti kamu kotor..”
“Pada situasi seperti ini kamu masih bilang seperti itu? Aku benar-benar heran dengan sikapmu, Dhinary. Bukankah dari dulu aku sudah mengatakan bahwa kamu tidak boleh lagi mendekati Pangeran!”
“Kamu bilang aku mendekati Vallent? Seharusnya kamu satu sekolah denganku, agar kamu tau siapa yang mendekati siapa!” bentakku lalu membanting pintu rumahku.
Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku melepas gaunku yang kotor lalu memanjakan diri di bath-tab. Menangisku mengingat hati yang berdebar saat memandang Vallent dari dekat, mengingat kejadian barusan membuatku menjadi sungguh minder jika aku bertemu lagi atau mungkin jika aku tidak sengaja bertemu dengan Vallent suatu hari nanti. Tidak akan ada lagi lelucon-lelucon yang membuatku meringis saat aku dihukum oleh para guru disekolah. Dan yang lebih parahnya lagi, aku akan segera tersingkir dari wilayah Ratu Enlyna ini.
Setelah aku tidur sejenak, aku memutuskan untuk keluar dari gubuk kecilku itu. Aku melihat para pengawal berangkat entah kemana dengan membawa…mungkin itu perhiasan atau apalah yang membuatku berpikir. Ya, aku baru mengerti sekarang, para pengawal itu membawa hadiah untuk Putri yang 3 hari lagi akan bertunangan dengan Vallent itu. Aku hanya bias menghela napas sambil menahan air mataku yang sudah menggenangi mata bulatku.
Gubrraaak! Aku merasa menabrak sesuatu.
“Dhinary! Yang ini ke-20 kalinya kamu menjatuhkan air yang kubawa.” Seru Valdro.
“Eh……sorry, aku nggak liat.”
Valdro adalah temanku dari kecil. Kami sama-sama dibesarkan disekitar lingkungan istana. Bahkan kami adalah teman seperjuangan, dia selalu ada untukku. Tetapi dia tidak pernah membuatku kecewa.
“Ya jelas aja kamu nggak liat, aku tau kamu lagi depresi kan?”
“Nggak enak ngobrol diluar, mendingan masuk yuk.” Aku masuk begitu saja ke dalam gubuk Valdro.
Gue melihat para pengawal yang masih berjalan menuju gerbang utama.
“Dhin, kamu nggak apa-apa dibegituin sama Ratu?”
“Yah…sebenernya kecewa juga sih…tapi aku nggak bisa sedih berlarut-larut. Mungkin saja setelah insiden ini gue lebih sering melamun..”
“Hm…susah juga naksir seorang pangeran. Tapi apa benar Vallent tulus menyukaimu?” Tanya Valdro sambil menyiapkan kanvas.
“Aku rasa iya..” kami saling berpandangan.
“Tapi gue nggak yakin tuh.” Dengan cueknya ia mulai melukis.
“Dari mana lo bisa nggak yakin?”
“Dari...yah pokoknya aku nggak yakin aja. Percaya deh sama aku, aku kan nggak pernah salah.”
Iya juga sih...emang Valdro nggak pernah salah di mataku. Aku bahkan mempercayakan uangku padanya.
“Aduh..gak tau deh..aku nggak mau ambil pusing.”
Sore itu menjadi sore yang kelabu buatku.
Ж≈Ф
Sudah 3 bulan berlalu semenjak kejadian itu. Poniku pun sudah memanjang kembali. Rambutku yang pirang itu melambai-lambai tertiup semilir angin. Valdro yang memboncengku dengan sepeda sore itu sudah sangat lelah karena mendayuh sepeda dari bawah bukit hingga sampai keatas. Tidak sengaja aku dilihat oleh Vallent yang sedang bermurung itu. Aku buru-buru memalingkan wajah. Aku tidak mau terlanjur menyukainya.
“Dhinary, nanti malam mau nggak pergi denganku?” ajak salah seorang penghuni asrama yang kebetulan lewat daerah itu.
“Sorry, kamu siapa?” tanya Valdro.
“Aku Bile, anak asrama dibelakang.” Jawabnya.
“Sorry Bile, aku belum mengenalmu.” Jawabku.
“Tak apa, nanti malam saja kita saling mengenal, bagaimana?”
Aku dan Valdro berpandangan.
“Tidak bisa, nanti malam Dhinary akan keluar bersamaku.”
“Valdro??” aku bingung. Baru kali ini Valdro seperti itu.
“Oh...kalo malam besok?” tanya Bile.
“Dia besok harus mengikuti bimbel.”
Aku semakin tidak mengerti dengan Valdro yang seenaknya menjawab.
“Kalo malam minggu besok?”
“Dhinary harus cek up ke dokter.”
“Tunggu..!” selaku, “Kamu Bile yang tukang buat onar itu kan?” tanyaku.
“Iya...tapi sungguh gue udah tobat kok!” dia mengacungkan dua jari tangannya.
Aku melihat Valdro masih memasang wajah juteknya.
“Gini ya Bile...bukannya aku tidak mau..tapi apa yang dikatakan Valdro itu benar. Jadi sorry banget ya...”
Bile tampak menelan kecewa. Aku juga sebenarnya ingin melepas penat yang selama 3 bulan ini sudah meracuni seluruh organ tubuhku. Tetapi rupanya Valdro memang benar-benar tidak menginjinkan ku untuk pergi. Yah...mau dikata apa lagi, Valdro sudah seperti kakakku sendiri, walaupun umurku sedikit lebih besar darinya.
“Ya udah, nggak apa-apa. Mungkin lain kali... bye...” Bile tertunduk lesu.
Tapi aku mengingat suatu hari yang mungkin membuat Bile senang, aku mencegahnya pergi.
“Bile!” seruku memanggil.
“Ya?”
“Bagaimana kalau hari Minggu pagi? Hari itu aku tidak ada kegiatan apa-apa.”
“Benarkah??” senyum merekah dibibirnya.
“Iya, kamu bisa kan?”
“Dhinary?!” Valdro ingin memprotes lagi, tapi ku tak dengarkan dia.
“Bisa...bisa...bisa banget....kita kemana?”
“Gimana kalo ke pantai?”
“Pantai, oke..oke...aku jemput kamu?”
“Nggak usah, kita jalan kaki aja, toh pantainya nggak terlalu jauh. Gimana?”
“Boleh, nggak keberatan kok. Okey, aku tunggu kamu jam 9 di gerbang belakang, biar lebih dekat jalannya. Bye!” senyumnya memecah.
“Iya...iya....bye juga...”
Sepeninggalan Bile, Valdro dengan sangat mencuekkan aku masuk ke dalam gubuknya. Aku juga sedikit kesal dengannya, dia terlalu menjaga aku, terkadang aku merasa tertekan juga. Huh...mau bagaimana lagi, memang dari kecil dia selalu begitu. Aku juga terkadang sangat bingung dengann tingkahnya.
“Dhinary!” panggil Valdro dari luar.
Aku yang sore itu sedang asyik membuat kerajinan tangan kecil, tiba-tiba konsentrasi ku buyar karena panggilan Valdro.
Selalu saja pada saat seperti ini... “Ya masuk!”
Valdro membuka pintu perlahan, lalu menengokku dengan wajah yang berseri-seri.
“Lagi apa?” tanyanya.
“Biasa, kamu mengganggu.” Ucapku selalu begitu.
“Maaf, aku hanya membawa kabar dari Bile.”
“Kenapa Bile? Mau mengubah rencana?”
“Bukan, tapi dia mendadak harus pulang kampung Minggu besok,jadi acara kalian batal deh!”
“Kamu senang kan acaraku dengan dia batal?”
“Iya.” Jawabnya ringan.
“Kenapa sih kamu selalu senang jika rencanaku selalu gagal?” aku mulai sedikit panas.
“Itu...”
“Bulan lalu seharusnya aku pergi dengan Vincent, dua minggu yang lalu aku seharusnya naik gunung bersama Dany, lalu minggu besok seharusnya aku ke pantai bersama Bile...kenapa selalu gagal?” aku jengkel dan lalu duduk di serambi depan.
“Soal itu...aku benar-benar minta maaf.”
“Minta maaf katamu?”
“Aku tidak bermaksud membuat kesenanganmu batal! Aku Cuma tidak mau kamu pergi dengan cowok lain.”
“Apa?!”
“Sebenarnya sudah lama aku ingin pergi bersamamu, tapi aku tidak bisa mengatakannya.”
“Kenapa tidak dari dulu kamu mengatakannya? Kamu takut pergi bersamaku?”
Valdro ikut duduk disampingku.
Aku sudah sangat keeesal dengan Valdro.
“Bagaimana kalau sekarang kita pergi ke pantai?” tanyanya sambil meraih tanganku.
Tidak biasanya Valdro menjadi seperti ini...dia kenapa ya?
“Sekarang?” tanyaku memastikan.
“Iya.”
“Bagaimana yah?”
“Ayolah...moodku sedang ada sekarang.”
“Iya kan mood kamu, mood aku sekarang lagi nggak ada.”
Aku melihat Vallent sedang bersama seorang putri yang tubuhnya semampai, mereka bergandengan tangan. Miris aku melihatnya, maka aku putuskan sore itu mengiyakan ajakan Valdro.
“Tunggu, aku bersiap dulu.”
“Baik, aku tunggu.” Jawab Valdro bersemangat.
Masih dalam kesalku, aku mengingat Vallent yang bermesraan dengan putri itu. Tapi aku mulai tidak bisa berpisah dari Valdro sejak 3 bulan yang lalu. Valdro tidak menegurku, walaupun panjang poniku sudah melebihi mata. Jika aku bersama Vallent saat ini, maka rambut poniku ini sudah dihabisinya.
“Kok dari tadi kamu diam sih?” tanya Valdro seraya memecah lamunanku tentang Vallent.
“Nggak, Cuma lagi berpikir.”
“Apa?”
“Apa ya?”
“Yee ditanya malah kamu nanya balik...lagi mikirin Vallent ya?”
“Enggak, lagi mikirin kamu.” Jawabku suka-suka.
“Mikirin aku?”
“Hah? Iya...aku Cuma pengen tanya.”
“Apa?”
“Hm...kenapa sih kamu nggak pengen liat aku pergi sama orang lain?”
“Oh....itu aku Cuma khawatir aja. Soalnya kan..aku sayang kamu.”
“Kamu sayang aku? Ow...ya? makasie Valdro.”
Ж≈Ф
Entah mengapa sejak Valdro mengucap sayang itu aku jadi semakin memikirkannya setiap hari. Kini perlahan Vallent menghilang dari hati dan pikiranku. Aku juga bingung, apakah ini cinta? Aku terus memikirkan itu berulang-ulang kali. Hingga suatu saat Valdro hampir menyatakan sesuatu hal padaku.
“Dhinary, aku ingin mengatakan sesuatu..”
Kini aku tahu, keadaan sekitarku sudah berubah drastis.
“Apa?” aku benar-benar menunggu ia mengatakan hal itu.
“Aku.....ci......”
“Hei....ada Raja dan Ratu menuju gubuk Valdro!” teriak salah seorang teman Bile.
Seketika itu konsentrasiku dan konsentrasi Valdro buyar. Aku melihat sepasang Raja dan Ratu sedang memasang wajah senang saat menuju gubukku. Aku pikir mereka akan mencari Valdro karena lukisan-lukisan Valdro sangat terkenal.
Tetapi aku salah besar.
“Dhinary!” peluk Raja itu membuatku bingung setengah mati.
“Dhinary!!” sang Ratu ikut-ikutan memelukku.
Aku bingung! Ada apa ini sebenarnya?? Apakah aku melakukan sebuah kesalahan?
“Maaf,” tanyaku sesopan mungkin, “Raja dan Ratu mencari Valdro kan?”
“Bukan, kami sudah bertahun-tahun mencarimu!” ucap Raja yang berlinang airmata itu.
“Mencari...saya?” tanyaku gugup karena dilihat oleh orang banyak.
Aku juga melihat Ratu kejam yang melongo di seberang sana. Rasa bercampur menjadi satu.
“Iya, kamu Dhinary Stollyn.” Ucap sang Ratu.
“Tunggu, sebenarnya ini ada apa?” tanyaku yang mulai melupakan hormat-menghormati.
“Jadi kau belum mengetahuinya?” tanya Ratu.
“Tahu tentang apa?” tanyaku balik.
“Jadi Ratu yang berdiri disana tidak memberitahumu?”
Aku menoleh ke arah Ibu Vallent berdiri. Dia hanya terlihat salah tingkah.
“Dengarkan Dhinary...kamu itu adalah putri yang hilang. Kau adalah putri kami yang hilang 16 tahun yang lalu karena badai besar yang melanda negeri Permata.”
“Negeri Permata? Putri? Hilang? Kalian ini sebenarnya membicarakan apa?”
“Kau adalah putri kamu yang hilang, dengan kata lain kau adalah putri yang berasal dari negeri Permata! Kami datang ke sini ingin membawamu pulang ke tempat dimana kamu seharusnya berada. Ayolah Nak, pulang bersama Ayah dan Ibu.”
Aku kacau, aku melihat Valdro yang benar-benar kecewa setelah mengetahui bahwa aku sebenarnya adalah putri yang hilang selama 16 tahun belakangan. Aku tidak tahu harus mengambil keputusan apa saat ini.
“Benarkah kalian orang tuaku? Apakah kalian yakin aku putri kalian?”
“Mengapa tidak? Ibu sangat yakin, karena dibawah telinga kirimu ada tanda lahir disana.”
“Tanda lahir?” aku benar-benar tidak mengetahuinya.
Kebetulan di sampingku ada cermin. Aku mencoba melihat apa yang dikatakan Beliau tersebut, ternyata memang benar. Dan sangat tepat.
“Jadi....”
“Ayo pulang Dhinary...Ayah sudah menyuruh pengawal untuk membereskan barang-barangmu yang ada di dalam gubuk.”
“Sebentar!”
“Kenapa Dhinary?” Valdro membuka mulutnya.
“Aku tidak ingin tinggal di istana.”
“Mengapa?” tanya Ibu berkecewa.
“Karena aku tidak suka dengan peraturan yang selalu mengikat, perjodohan, dan segala macamnya.”
“Bagaimana ini?” tanya Ayah kepada Ibu.
“Karena digubuk ini aku besar dan tumbuh, karena gubuk ini menyimpan banyak sekali kenanganku bersama Valdro, Ayah.”
Sang Raja menangis lagi karena aku memanggilnya dengan ‘Ayah’.
“Dhinary, benarkah kau tidak ingin tinggal bersama kami?”
Itu membuat bergantian melihat antara kedua orangtuaku dengan Valdro.
“Ratu, bolehkah saya berbicara sebentar dengan Dhinary?” pinta Valdro.
“Silakan.”
“Kenapa Val?”
“Kamu harus pulang! Orang tuamu sudah jauh-jauh datang kemari!”
“Tapi aku tidak bisa meninggalkan gubuk ini Valdro!”
“Kenapa? Toh ini hanya sebuah gubuk yang jika hujan atapnya semua bocor!”
“Bukan itu Valdro!”
“Lantas apa lagi?”
“Aku tidak bisa jauh darimu!”
Terlontarlah kalimat itu. Ternyata aku tahu mengapa aku tidak bisa tidak memikirkan Valdro.
“Aku tau, kamu pasti sangat berat menerima kenyataan bahwa aku seorang...putri! Karena aku tau dan aku masih sangat ingat, kamu tidak ingin jatuh cinta kepada seorang putri saat kau menasehatiku karena aku jatuh hati pada Vallent yang pangeran itu!”
“Baiklah, kamu harus pulang.” Valdro memaksaku pulang, tetapi aku malah memeluknya.
“Aku nggak bisa pulang dengan keadaan seperti ini.” Aku menangis.
“Tapi...kamu harus menghormati mereka sebagai orangtuamu, Dhinary...”
Terbesit satu jalan keluar di dalam otakku.
“Baiklah kalau itu membuatmu senang dan bahagia.” Aku mengusap airmataku dan menemui kedua orangtuaku kembali.
“Bagaimana Dhinary?”
“Aku akan menuruti permintaan kalian.”
Mereka terlihat begitu senang.
“Tapi, ada 2 syarat yang harus Ayah dan Ibu setujui.”
“Apapun itu Nak!” ucap Ayahku.
“Aku mau pulang jika, pertama..Valdro ikut bersama kita ke Negeri Permata dan aku ingin dia menduduki jabatan sebagai pelukis kerajaan. Kedua, aku ingin gubuk-gubuk yang ada disini tidak berubah walaupun aku dan Valdro tidak berada di disini lagi.”
“Tapi Nak...” Ibu merasa kurang sreg dengan keputusan yang ku ambil.
“Terserah kalian mau atau tidak. Jika kalian bersedia, aku akan ikut dengan kalian bersama 2 persyaratan tersebut. Tapi jika tidak, ya aku juga tidak akan ikut kalian pulang.”
“Baiklah. Apapun untuk Dhinary.”
“Aku dan Valdro akan menyusul kalian nanti. Aku ingin berbenah dulu.”
“Biarkan pengawal yang melakukannya Nak.” Pinta Ibuku, tapi aku menolak.
“Meskipun aku putri, aku bisa melakukan semuanya sendiri.”
“Baiklah, kami semua akan menunggu di depan gerbang utama.”
Lalu mereka semua bubar dan menyepi.
Vallent menghampiriku dan menarikku.
“Dhinary!!”
“Vallent?”
Tanpa kusadari aku bergandengan tangan dengan Valdro dan ia tidak melepaskannya ketika Vallent menghampiriku.
“Aku ingin meminta maaf jika selama ini aku...”
“Maaf katamu? Aku tau, kau tidak benar-benar ingin menjadikanku sebagai kekasihmu waktu itu. Kamu hanya menjadikan aku tameng terhadap ibumu agar kau tidak terjerat dengan perjodohan itu, benar kan?”
“Dhinary?” Vallent merasa terkejut. “Bagaimana jika waktu itu aku benar-benar mencintaimu?”
Genggaman tangan Valdro semakin erat.
“Saat seperti ini kamu masih bisa bilang cinta? Hah...aku benar-benar heran, aku melihatmu berciuman dengan putri, dengan tunanganmu itu kemarin. Dan kamu masih bilang mencintaiku? Lalu kau apakan tunanganmu itu? Boneka pelampiasan?”
“Dhinary, aku rasa kita tidak punya banyak waktu lagi.” Valdro mengingatkanku.
“Tapi Dhinary, aku...”
“Vallent, dengarkan baik-baik,...aku dan Valdro akan segera bertunangan dan menikah. Aku harap kau melupakan aku dan tatap masa depanmu dengan tunanganmu itu.”
Aku segera berbenah dan pergi meninggalkan gubuk tercinta itu.
Ж≈Ф
Sungguh penuh dengan kejutan hidupku ini. Pertama, aku jatuh hati kepada seorang pangeran, kedua, aku mencintai seorang pelukis, ketiga, ternyata aku adalah seorang putri Negeri Permata. Aku tidak tahu, setelah ini ada kejutan apa lagi di hidupku.
Seperti 3 bulan yang lalu, aku naik kuda bersama seorang pangeran. Tapi kali ini benar-benar pangeran di hati gue. Valdro memelukku sambil mengendarai kuda. Kami berjalan paling belakang di barisan. Aku melihat kedua orang tuaku sangat mesra walaupun aku tahu mereka sudah tidak muda lagi. Aku hanya tersipu malu disertai jantungku berdebar sangat-sangat-sangat keras. Valdro kembali memasang senyum yang membuatku menderita melihatnya.
“Dhinar, kamu yakin dengan keputusanmu ini?”
“Kenapa tidak? Aku yakin Vallent pun...tidak bahagia dengan tunangannya.”
“Hm...yang tadi kau katakan itu benar tidak sih?”
“Yang mana?”
“Sewaktu kau bilang bahwa...kau akan bertunangan denganku?”
“Kenapa jadi diperdebatkan sih?” Bagaimana aku menjawabnya?!
“Aku hanya memastikan...soalnya kan kau bilang tidak ingin jauh dariku?”
“Itu kan cara untuk membujukmu supaya kamu mau ikut bersamaku ke istana.”
“Oh..jadi Cuma karena itu?” Valdro mengendarai kuda dengan kecepatan tinggi.
“Valdro! Aku takut... jangan...kudanya nanti ngamuk! Kyaaa...”
Keduaorangtuaku heran melihat kami berdua yang tiba-tiba jauh mendahului mereka.
“Habis kamu nggak mau jujur sama aku.”
“Nggak jujur gimana? Itu sudah yang paling jujur!”
Lagi-lagi Valdro membuat kuda itu berlari kencang.
“Valdro, jangan, gue paling takut sama kuda yang larinya cepat! Lo tau kan gue pernah jatuh dari kuda?”
Aku panik! Deg-degan dan ... semua rasa bercampur jadi satu! Karena aku takut, spontan aku memeluk Valdro.
“Iya..iya aku jujur .... tapi hentikan kuda ini dulu!”
“Baiklah.” Valdro dengan gampang menjinakkan kuda itu.
Aku menenangkan diri dari rasa trauma itu.
“Okey....” aku menatap malu kepada Valdro.
“Lalu?”
“Aku mencintaimu.”
“Jujur?” tanyanya membuatku kesal.
“Lalu kau ingin aku berkata apa lagi?”
Pada saat yang bersamaan, dia mengecup pipiku. Ciuman itu mendarat di pipiku yang merah membara karena rasa cinta dan rasa malu itu. Para pengawal mnyoraki kami, karena mereka sempat melihatnya. Betapa malunya aku disertai dengan rasa yang berbunga-bunga. Aku hanya bisa menyender di dada Valdro mennyembunyikan wajahku yang memerah semerah matahari sore itu.
Betapa aku sangat mensyukuri hidup ini karena dipertemukan dengan mereka semua yang benar-benar sayang dan peduli kepadaku.
Ж≈Ф
6 bulan kemudian...
Aku ingin tahu bagaimana keadaan Vallent dan ibunya saat ini. Apa mereka bahagia atau tidak. Karena Bile dan semua teman-temannya mengikuti aku ke istanaku. Karena itu aku memutuskan untuk kembali mengunjungi mereka bersama Valdro siang ini. Aku dan Valdro memilih menaikki kuda biar pun matahari menyengat seperti ini.
Astaga, ternyata kerajaan bukan milik Vallent atau ibunya lagi. Kerajaan itu telah berpindah tahta menjadi milik Pak Gotarrdo. Dan istana itu berubah fungsi menjadi sekolah. Vallent kini tampak sendirian tanpa tunangannya itu. Dan Ibu Vallent menjadi seorang guru biasa di bawah pimpinan Pak Gottardo.
Kami disambut dengan baik di istananya. Bahkan kami diajak berkeliling istananya yang indah itu. Setelah itu, kami mengunjungi gubuk tercinta kami. Keadaannya maih sama seperti dulu, hanya saja berdebu. Kami benar-benar mengingat-ingat masa bahagia itu, dimana kami mengalami semua masalah. Dan tak lupa aku dan Valdro mengunjungi pantai cinta itu...semuanya tampak sama, tidak ada yang berubah.
Sebelum aku kembali ke Negeri Permata, aku menorehkan sebuah puisi di atas meja didalam gubukku.
Cinta
Lambat laun mereka
Menumbuhkan rasa cinta
Yang tlah hilang
Karena tersapu badai
Bahagia tercermin di wajah mereka
Kesukaan ada dihati dan raga
Mereka tidak membohongi perasaan
Mereka jatuh cinta kembali
Cinta...cinta...cinta
Menghiasi hari-hari mereka
Dalam suka dalam tanda
Mereka jatuh cinta
TAMAT
hai hai.. Ravla.. salam kenal ya..
BalasHapus