Lorong rumah sakit ini diterpa oleh cahaya keemasan dari matahari yang sedang bersuka ria di sore indah ini. Lorong ini selalu tampak sepi karena hanya beberapa perawat yang berani mengadu nyalinya untuk berjalan menyusuri lorong sepi ini. Terdengar beberapa issue yang menyebutkan lorong ini mempunyai beberapa kejadian mengerikan. Tetapi sudah selama issue ini berkembang selama lebih kurang 10 tahun, tidak ada yang terjadi di lorong ini. Cuma terkadang tampak seekor kucing hitam yang suka melintasi lorong sepi ini. Beberapa perawat sudah melihatnya sendiri, dan cerita yang beredar malah semakin rumit.
“Maaf, saya mau cari kamar nomor 365, dimana ya?” tanya Moon kepada resepsionis yang berjaga sore ini.
“Silakan naik ke lantai 3 lalu belokan kedua sebelum gang terakhir.”
Moon sibuk dengan rambutnya, “O? Ya terima kasih kalau begitu, permisi.”
Moon langsung menuju lift kemudian naik ke lantai 3. Dia terburu-buru, entah kenapa dia menjadi belok pada lorong yang terakhir.
“Eh? Kok nggak ada kamar disini? Bukankah perawat tadi bilang lantai 3 lorong terakhir? Tapi ini hanya sebuah lorong...apa aku salah masuk ya?”
Saat Moon hendak berbalik, dia melihat seekor kucing putih yang terluka. Entah dari mana datangnya, tetapi yang Moon tahu kucing itu terluka. Segera Moon mengendong kucing itu lalu membalut luka kucing itu dengan sapu tangan bermotif bunga yang ia simpan disakunya.
“Aduh....kamu kasian banget....pasti kamu di kejar-kejar sama anjing liar ya?’
“Miaow..” kucing itu bermanja-manja di pelukan Moon.
Moon yang kebetulan penyuka kucing itu jadi ingin memelihara kucing cantik tersebut. Tetapi karena rumahnya sudah penuh dengan kucing angora, maka ia dengan sangat terpaksa meninggalkan kucing itu di lorong yang sepi itu lalu kembali mencari kamar 365.
Malam sudah ternyata langit pun mendung. Tidak ada satu bintang pun yang menyapa Roe <dibaca Ruu> yang sedang memandang langit luas.
“Hei, percuma kau pandangi langit luas itu. Kutukan itu tidak akan hilang jika kau belum menemukannya.”
“Aku tau itu Puu. Cukup sekali kau katakan, akan selalu terngiang di telingaku.”
Puu berlalu di pekatnya malam.
Roe sedang menunggu seseorang yang bisa menghilangkan kutukannya. Iseng-iseng dia berkeliling kota agar suntuknya hilang.
Moon masih sibuk dengan dirinya sendiri. Sampai-sampai ia menabrak Roe yang sedang berjalan nikmati malam mendung ini.
“Ouw..!” teriak Roe yang mengaduh karena lengannya yang terluka itu terkena tangan Moon.
“Ah! Maaf..maaf! Aku lalai! Kamu tidak apa-apa kan?”
Roe langsung menyembunyikan tangannya yang terluka.
“Aku....baik-baik saja.”
Moon terpesona melihat wajah Roe yang tampan itu. Saat itu pun bulan purnama muncul menyinari mereka berdua. Suasananya sangat romantis.
“Kamu...rasanya aku pernah melihatmu.....” Moon mencoba mengingatnya.
“Oh tidak, kita sama sekali tidak pernah bertemu.” Dengan sigapnya Roe melepas kain yang melekat di tangannya lalu menyimpannya ke dalam saku celananya.
“Namaku Moon.”
“Roe <Ruu>.”
“Sedang apa malam-malam begini Roe?”
“Aku kebetulan sedang ingin menikmati bulan purnama.” Kilahnya.
“Bagaimana jika singgah dulu ke rumahku? Dari rumahku bisa melihat bulan purnama dengan jelas loh.”
“Ke rumahmu? Apa tidak salah? Kita kan baru bertemu?”
“Memangnya kenapa? Bukankah ini waktu yang tepat untuk saling mengenal?”
“Kalau kau memaksa, boleh lah.”
Moon dan Roe berjalan dalam diam, tetapi ada yang menarik perhatian Moon. Ada anak kucing yang terlantar begitu saja.
“Tunggu!” Moon langsung menghampiri anak kucing itu lalu membawanya.
“Eh, kucingnya kotor lho?”
“Biarkan, yang penting dia sekarang nggak sendirian lagi.”
“Maksudmu, kamu ingin memeliharanya?”
“Iya, sekalian biar rumahku ramai dengan bunyi ‘Miaow...’” ucapnya sambil tersenyum manis.
“Kamu suka kucing?”
“Aku penyayang binatang sih, tapi entah kenapa aku paling suka sama kucing. Rasanya kucing adalah binatang yang sakral. Jadi perlu perawatan ekstra dalam memeliharanya.”
“Kamu nggak takut sofa-sofa di rumah kamu rusak gara-gara cakaran mereka?”
“Nggaklah, mereka kan aku kandang. Tapi kalau aku lagi dirumah, aku lepas mereka. Kasian, binatang kan juga ingin kebebasan. Sama seperti kita enggak ingin di kekang kan?”
Roe menatap Moon dengan tatapan seperti anak kucing. Moon sendiri sampai heran.
“Hei, jangan pandang aku seperti itu.”
“Maaf. Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan pandanganku?”
“Aku jadi ingat mendiang kucingku yang sudah mati.”
“Maaf, aku kan nggak tau.”
“It’s okey...tapi aku nggak bisa ngelupain kucingku itu...”
“Kenapa memangnya?”
“Namanya Neko. Dia mati ditabrak mobil sebulan yang lalu. Aku nggak tau kalo dia kabur dari rumah. Pagi-pagi temanku bilang jika ia melihatnya ditabrak pada malam hari saat aku sedang mencarinya di taman.”
“Tragis. Pasti orang yang menabrak itu bakal sial.”
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dan udara semakin dingin.
“Aku juga nggak habis pikir, tega banget orang yang nabrak Neko. Padahal kan ketabraknya di taman, nah taman kan terang, masa’ gak lihat ada kucing yang lagi nyebrang jalan?”
Roe merasa aneh.
“Mukamu kenapa tegang sekali?” tanya Moon yang mendekap hangat anak kucing itu.
“Ah? Tidak, aku hanya sedikit kelelahan.”
Tidak sengaja Moon melihat lengan kiri Roe terluka, seperti luka yang disebabkan oleh benda tajam.
“Itu.....tanganmu kena apa?”
“Em...ini hanya luka kecil.”
“Ya itu sih namanya bukan luka kecil. Kenapa sih? Kayaknya ada yang disembunyiin gitu?”
“Nggak, ini Cuma kena besi aja. Nggak sengaja aku lewat di depan toko besi yang ada di dekat rumah sakit, jadi begini deh. Aku juga yang salah, jalan malah lihat langit, nggak lihat jalannya.”
“Hahaha, kamu lucu juga ya?”
Moon membuka pintu rumahnya, krieet bunyinya. Rumah ini bergaya lama, dan memiliki 2 lapis pintu. Dari dalam rumah sudah terdengar suara kucing yang kelaparan.
“Roe, kamu duduk dulu ya temani anak kucing ini. Aku mau memberi makan kucing-kucing yang lain.”
Roe malah berkeliling melihat foto-foto yang terpajang di dinding. Salah satunya ada foto Moon bersama seekor kucing, mungkin itu Neko pikir Roe. Dia mengamati Neko, ternyata Roe pernah melihatnya di sekitar kota.
“Ini Neko?”
“Iya...lucu ya? Waktu mati usianya 4 tahun...udah ah jangan di ingat lagi, jadi sedih nih aku.”
“Sorry.”
Lalu Moon membiarkan anak kucing itu tidur di sofanya. Roe yang sudah berada di teras atas itu menunggu Moon yang masih sibuk dengan urusannya.
“Maaf lama. Aku mengambil kotak P3K.”
“Buat apa?”
Moon langsung meraih tangan Roe yang terluka dan mengobatinya lalu membalutnya.
“Ini buat apa?”
“Kamu bodoh. Luka sebesar itu jangan dibiarkan terbuka. Nanti bisa infeksi. Bahaya.”
“Kamu terlalu protect.”
“Harus, kan harus tolong menolong.” Katanya sambil menggerai rambutnya yang panjang berwarna-warni itu.
“Kamu pake wig?”
“Enak aja. Ini rambut asli tau. Keren ya?”
“Aneh. Tapi unik sih.”
“Thanks, kamu orang pertama yang memujiku hari ini.”
Mereka berdua larut dalam imajinasi masing-masing sambil menatap bulan purnama yang indah.
“Jadi, kamu nggak tidur nih? Ini sudah hampir tengah malam loh?” tanya Moon yang sudah mulai mengantuk itu.
“Em, aku insomia. Nggak bisa tidur di malam hari.”
“Tuh kan kamu lucu, kayak kelelawar aja sih?”
“Moon, aku nggak lagi bercanda kok. Jangan dong ketawa.”
“Habis kamu lucu di mata aku....sorry.”
“Kalau begitu aku pulang ya?”
“Sekarang?”
“Tuh lihat di cermin, mata kamu udah merah. Pasti kamu udah capek banget kan?”
“Iya sih..tapi aku masih pengen ngobrol sama kamu. Lagi pula purnama masih ada kan?”
“Bulan depan juga masih ada.”
“Nggak, maksudku malam ini.”
“Tapi matamu udah nggak kuat tuh...mendingan kamu tidur gih? Ntar kamu sakit gara-gara aku lagi?”
“Nggak apa deh. Sekali-sekali aku begadang. Mumpung ada yang menemani.”
“Kamu sendirian di rumah sebesar ini?”
“Iya. Jelek jadi anak tunggal. Di warisi rumah sebesar ini....mana nggak punya pembantu.....”
“Em....”
“Apa? Aku rasa kamu ingin mengatakan sesuatu?”
“Keberatan nggak jika aku mengontrak di sini? Pastinya di sini banyak kamar kan? Lagi pula aku bisa ajak temanku juga? Bagaimana? Biar kamu tidak sendirian?”
“Hm...kontrak rumahku? Jujur aku belum begitu percaya dengannmu....tapi karena keadaan yang kayak gini....,okelah. Kapan temanmu akan datang?”
“Besok mungkin. Tenang akan aku bayar nanti....berapa kau memasang harga?” tanya Roe yang masih segar menatap bulan purnama itu.
Moon sudah tertidur, entah kapan ia memejamkan mata. Roe membawanya ke dalam sebuah kamar yang sudah pasti kamar milik Moon. Karena hanya kamar ini yang terlihat berpenghuni.
“Hm? Aku dikamar? Siapa yang membawaku kemari?” tanya Moon pada dirinya sendiri. Matahari sudah tinggi menjulang, tetapi kucing-kucing itu tenang tidak seperti biasanya.
Moon turun kebawah untuk melihatnya, siapa tau ada kucing yang mati atau sakit.
“Pagi, bagaimana tidurnya semalam?” tanya Roe yang ternyata masih ada pagi ini.
“Roe? Jadi semalam itu kamu yang mengangkat aku ke dalam kamar? Tapi lenganmu kan...”
“Sudah..tidak apa-apa kok. O ya, nanti siang temanku akan datang ke sini. Berapa kamar yang kosong?”
“Hm ada 4 sih.......temanmu berapa orang?”
“Cewek dan Cowok. Tak apa kan?”
“Nggak sih...”
“Berapa uang yang harus aku bayar?”
“Nggak perlu. Nggak pelru bayar, gratis.”
“Ah yang bener?”
“Iya....tapi aku minta bantuan kalian saja.”
“Apa yang bisa dibantu?”
“Kamu tau sendiri rumah ini begitu luas dan banyak kucing-kucing yang harus di urus, jadi aku minta bantuanmu dan 2 temanmu untuk membantuku mengurus rumah tua ini.”
“Oke, nggak masalah. Aku malah senang.” Senyumnya.
“Kalau begitu aku mandi dulu ya.”
“Tunggu!” Roe tanpa sadar menggenggam tangan Moon.
“Apa lagi?”
“Aku sudah bikinkan sarapan, makan dulu ya?”
“Tapi aku belum mandi....bau nih...”
“Coba sedikit saja, please...”
“Baiklah, tapi aku basuh muka dahulu.”
Moon tidak beranjak dari tempatnya.
“Kenapa? Bukannya kamu mau basuh muka?”
“Iya, tapi tangan kamu membekukan langkahku.”
“Ow, sorry.”
Moon hanya tersenyum.
“Ini namanya makanan apa?”
“Aku juga tidak tau namanya, tapi yakin, ini lezat.”
“Nggak bikin sakit perut kan?”
Moon langsung menyantap kue-kue mungil yang dibuat oleh Roe. Lezat memang, tapi terlalu manis.
“Manis banget ya?”
“Iya...coba deh kamu rasain....kamu suka manis ya?”
“Aduh...sorry.....aku tadi emang nggak ngerasain...sorry ya?”
“Nggak apa-apa. Justru dari kegagalan itu kita bisa menjadi lebih baik. Iya nggak?”
“Moon, kemarin aku sempat melihatmu ke rumah sakit. Siapa yang sedang sakit?”
“Itu.....temanku. Bisa dibilang dia orang yang paling dekat denganku selama ini. Untung saja sekarang ada kamu, jadi aku nggak sendirian lagi.”
“Walaupun pertemuan kita aneh?”
“Maksudmu?”
“Aku tau pertemuan kita semalam mendadak. Tapi apa kamu tidak merasa aneh?”
“Aneh gimana maksud kamu? Aku nggak ngerti.”
“Lupain aja.” Roe langsung mengurusi kucing-kucing itu.
Seperti biasanya, Moon pergi ke rumah sakit. Kali ini tidak salah lagi. Kamar 365. ia berangkat bersama Roe mengunjungi Akif yang sedang sakit di kamar 365.
“Yakin dia bukan pacar kamu?”
“Bukan Roe. Dia sahabat aku. Dia begini gara-gara kucing.”
“Kok bisa?”
“Iya. 2 bulan yang lalu ada kucing rabies yang gigit dia. Fatal. Dia kira digigit biasa, tapi setelah periksa, dia kena virus rabies kucing. Jadinya kayak gini. Tingkat kesadarannya hilang, hanya bisa mendengar. Tidak bisa membuka mata atau berbicara.”
“Aku turut berduka.”
“Trims.”
Moon meraih tangan Akif yang tak sadarkan diri itu. Moon menceritakan tentang siapa Roe dan pertemuannya dengan Roe yang sedikit mendadak itu.
Akif orang yang sangat dekat dengan Moon sejak ortu Moon meninggal karena syndrome penyakit yang sama yang menderita Akif sekarang. Meninggalnya sangat tragis. Mula-mula seperti orang yang sehat walafiat, kemudian mulai pusing-pusing, penglihatan mulai kabur, dan yang terakhir lumpuh total, tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya tinggal menunggu kematian tiba.
“Kapan Akif akan sadar Dokter?”
“Saya tidak tahu. Tunggu waktu saja, keadaannya sudah normal tetapi masih butuh perawatan yang intensif.”
“Bisa tidak rawat jalan?”
“Bisa saja, tetapi sirkulasi udaranya harus bersih dan tidak ada kucing disekitarnya. Karena virus ini akan membawa dampak akan alergi bersin-bersin jika dekat dengan kucing.”
Roe langsung menjaga jarak.
“Kenapa Roe?”
“Tidak, ada kecoa yang hampir ku injak.” Lagi-lagi berkilah.
“Kalau begitu jam besuknya sudah habis. Bisa ke sini lagi esok hari.”
“Terima kasih Dokter, sudah mau menjaga Akif. Saya tidak tahu harus membalas dengan apa.”
“Ya sama-sama.”
“Moon, lalu kau membayar biaya rumah sakit ini dengan apa?”
“Akif itu anak yang punya rumah sakit ini.”
“Uh, aku kira kamu yang akan membayar biaya nya.”
“Tidaklah, kerjaan aja aku belum beres, masih serabutan.”
“Kamu kuliah kan?”
“Iya sih, tapi sering absen. Habis pekerjaan juga pada numpuk.”
“Aku lapar, kita makan yuk? Sebentar lagi temanku kan datang?”
“Baiklah....”
“Jadi kamu ini sebenarnya kerja apa Roe?”
“Aku pengangguran. Sebenarnya aku anak kuliahan sama ama kamu. Tapi aku nggak punya biaya buat ngelanjutin semester 3 jurusan kebumian, jadi aku berhenti kuliah.”
“Nasib kamu hampir sama denganku. Uangku juga sebentar lagi akan habis.”
Roe merasa lengannya semakin sakit. Rasanya panas, seperti terbakar.
“Kenapa Roe? Tangan kamu terasa sakit?”
“Oh nggak, mungkin reaksi obatnya.”
“Obat apa? Aku tidak memberi obat pada lukamu. Aku hanya membersihkan lalu membalutnya. Atau kamu minum obat pengurang rasa sakit?”
“Tidak, hanya rasanya tanganku menjadi keras.”
Moon mencoba mengeceknya. Dan memang, lengan Roe mengeras seperti tubuh mayat.
“Kamu ini sebenarnya kena besi atau digigit sesuatu?”
“Ih, udah aku bilang kena besi panas......kamu in nggak percaya banget sih?”
“Hai Roe, Puu dan Yuu datang nih!”
“Moon, ini temanku yang aku ceritakan.”
“Roe, tanganmu!” teriak Yuu.
“Tidak apa, aku ke toilet sebentar ya.”
“Roe, tapi...”
“Jadi gimana nih kontraknya?” Puu sudah menyabet duluan.
“Aduh, sakit nih.........apa benar yang dibilang dokter tadi? Apakah aku akan berakhir seperti ortu Moon?”
Roe menahan sakit yang teramat yang terjadi pada lengannya. Rasanya seperti ada yang menggerogoti di dalamnya.
“Bagaimana obrolan kalian?” tanya Roe yang sudah terlihat normal itu.
“Yap, Moon sudah setuju dan mulai siang ini juga aku dan Yuu bisa mulai membereskan rumah Moon.”
“Terima kasih banyak ya. Maaf sudah membuat kalian repot.”
“Sama-sama. Kalau begitu kami yang akan jaga rumah.”
Moon menyerahkan kunci rumahnya pada Puu dan Yuu.
“Tanganmu?”
“Sudah tidak apa-apa. Eh aku mau bicara sesuatu nih, kita jalan yuk?”
“Bicara apa? Di sini aja?”
“Nggak enak, banyak orang. Ikut aku, aku punya tempat menarik.
Maka Moon dan Roe pergi ke tempat yang dimaksud.
“Roe, tempatnya tinggi sekali? Apa kamu tidak takut jatuh?”
“Awalnya memang iya, tetapi sudah biasa. Hati-hati.”
Moon menaiki sebuah atap gedung yang kecil, tetapi dari atas sini semuanya bisa terlihat indah. Dan luasnya laut terlihat berkilauan bagaikan lautan berlian. Udara yang berhilir pun terasa sangat sejuk.
“Kita mau ngapain sih di sini?” Moon sudah tidak tenang melihat ke arah bawah.
“Aku ingin bicara sesuatu yang penting denganmu.”
“Apa? Harus ditempat ini?”
“Harus. Dan aku sudah menunggu ini.”
“Menunggu apa? Bicara mu pun semakin kacau. Ada apa sih?”
“Aku tau mungkin ini memang aneh, tapi kau merasakan tidak.....perasaan yang tidak biasa?”
“Aduh Roe, aku jadi nggak konsen nih...berdiri di sini aja aku masih sulit...”
Tanpa ba-bi-bu, Roe menarik kedua tangan Moon dan dilingkarkannya pada tubuhnya. Dengan kata lain mereka berpelukan.
Moon terdiam mengikuti Roe.
“Aku tanya sekali lagi, apakah kamu merasakan perasaan yang tidak biasa dari biasanya?”
“Perasaan yang tidak biasa dari biasanya?”
“Aku merasakannya. Sejak aku bertemu denganmu sore itu, aku tau kamulah orangnya.”
“Aku...orangnya? Sore itu?”
“Kamu mungkin menganggap aku tidak waras, tetapi sore itu...kamu menolong aku, dan aku tau, kamu akan datang ke lorong sore itu.”
“Lorong? Rumah sakit? Kucing putih?”
“Iya.”
“Sori, kamu ini ngomongin apa sih?”
“Pendek kata, akulah kucing yang kau tolong sore itu.”
“Please Roe, kamu itu manusia. Bukan kucing!”
“Aku memang manusia, tetapi aku melakukan sebuah kesalahan yang membuatku seperti itu.”
“Kata-katamu semakin membuatku bingung.”
Lalu Roe mengambil sapu tangan milik Moon yang diberikan sore itu.
“Kamu belum percaya jika aku memegang sapu tangan milikmu ini? Bahkan bercak darahnya masih segar membekas di sini.”
Moon mengambilnya dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Baru kemarin sore ia memberikan sapu tangan itu kepada seekor kucing, bukan manusia.
“Kamu...”
“Memang susah menjelaskannya Moon, tapi apa kamu masih nggak percaya?”
“Aku juga susah menerimanya di akal sehatku.” Moon semakin erat memeluk Roe.
“Sebenarnya, aku terkena virus rabies juga. Sama seperti Akif. Dan maaf....aku yang menabrak Neko.”
“Roe?!”
“Malam itu aku sedikit mabuk, lalu aku tidak tahu jika ada kucing melintas di depan mobiku, aku hanya merasakan mobilku menginjak sesuatu dan aku kira itu katak.”
“Neko....” Moon menangis mengingat Neko.
“Dan kemudian aku kena kutukan.”
“Kutukan?”
“Ada seeorang yang mengutuk aku menjadi kucing.”
“Siapa?”
“Kamu.”
“Aku?!” Moon terkejut mendengarnya.
“Kamu masuk dalam mimpiku, dan berkata akan mengutukku menjadi kucing karena aku telah melindas Nekomu yang sangat kamu sayangi. Dan kamu juga bilang padaku bahwa aku harus menyayangi kucing. Karena selama ini aku telah membuat kucing-kucing sengsara dengan memukul atau menganiayanya.”
“Benarkah aku mengutuk kamu? Orang yang sudah terlanjur aku sayangi?”
Kini giliran Roe yang terkejut.
“Aku juga tidak tahu mengapa rasa sayang ini tiba-tiba muncul. Kemarin saat aku bertemu denganmu dibawah sinar bulan, aku langsung merasakan ada yang lain. Makanya aku menahanmu semalam, baru kali ini aku dekat lagi dengan lelaki setelah Akif yang sudah seperti kakakku sendiri.”
“Dan hanya kamu yang bisa hilangkan kutukan ini. Jika sampai purnama bulan depan tak juga hilang kutukan ini, maka aku akan jadi kucing selamanya.”
“Tapi aku nggak ingin kehilangan orang yang aku sayangi lagi.” Moon mendekap Roe yang terlihat rapuh itu. “Bagaimana cara kutukan itu hilang?”
“Aku tidak tahu, aku pun bingung harus bagaimana menghilangkan kutukan ini.”
“Jika kutukanmu hilang, apakah luka di tanganmu juga akan hillang?”
“Tidak, maka dari itu aku merasa waktuku sudah semakin singkat.”
Moon menatap wajah Roe yang putus asa itu. Tapi masih ada secercah harapan yang terbesir di antara keputusasaan itu.
“Kamu bisa. Aku yakin kamu bisa.” Sambil berlinang air mata, Moon mengecup lembut bibir Roe.
Roe merasa ada yang aneh dengan tubuhnya, semuanya menjadi ringan.
“Roe, kutukannya hilang!”
Mata Roe kembali seperti semula, awalnya matanya seperti anak kucing yang memohon belas kasihan, tetapi kini sudah kembali normal.
“Terima kasih.” Pelukan erat mendarat lagi kepada Moon.
“Tapi lukanya tidak hilang...”
“Aku tahu.”
“Kalian ini kemana saja?” tanya Yuu.
Moon dan Roe hanya memberikan senyum berarti.
Setelah pengakuan itu, Moon jadi semakin sayang kepada Roe, tetapi apa mau dikata, akhirnya Roe masuk rumah sakit juga. Kini ia berbaring lemah di sebelah Akif yang masih tak sadarkan diri itu.
“Roe.....”
“Moon, jangan pasang wajah seperti itu....aku jadi semakin ingin memelukmu.”
“Roe....” Tidak bisa menahannya lagi, Moon menangis.
“Moon, aku sudah tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas. Tapi aku tau kamu sedang menangis kan?”
“Roe...”
“Sssstttt, jangan berisik. Nanti Akif akan terganggu.”
Moon sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Tenaganya habis untuk menangisi 2 orang yang disayanginya, Akif dan Roe.
“Moon...” panggil Roe lemah tak berdaya.
“Apa?” jawab Moon sambil menyeka air matanya lalu menggenggam erat tangan Roe dan Akif.
“Masih ingat ketika pertama kali kita bertemu?”
“Jangan tanyakan hal itu, jangan buat aku menangis lagi.”
“Aku ngantuk.” Ucap Roe.
“Baiklah, tidur yang nyenyak. Aku akan keluar sebentar.”
Roe tersenyum manis sekali.
Moon kembali ke lorong yang sudah menyebabkan issue-issue tidak benar. Keadaan lorong itu masih sama, senyap. Yang setia hanyalah sinar matahari yang berwarna keemasan selalu menyinari lorong itu. Tidak ada lagi kucing di lorong itu. Yang hanya adalah debu tebal karena lorong itu tida pernah dijamah oleh siapa pun kecuali Moon seorang yang kerap mengunjunginya.
Suara gaduh terdengar dari kamar 365, kamar rawat Akif dan Roe.
“Dok, bagaimana ini?”
Moon menguping dari luar.
“Sudah.”
Ada yang tidak enak yang Moon rasakan.
“Mbak,” panggil perawat itu.
Moon hanya menatap kosong mata perawat itu, seolah mendapatkan sebuah jawaban.
Tidak ada kata-kata, Moon langsung pingsan begitu saja.
Nyanyian-nyanyian sudah dilantunkan di gereja kota. 2 orang meninggal secara bersamaan dan disebabkan oleh penyakit yang sama. Moon tidak tahu harus berbuat apa. Puu dan Yuu pun hanya bisa mencoba menabahkan hati Ungu yang benar-benar hancur tak tersisa. 2 mayat manusia telah dikremasi dan siap untuk dikuburkan sebentar lagi. Entah apa yang terbersit di benak Moon, dia langsung pergi meninggalkan ritual kematian ini.
Berlari dia! Berlari! Menuju sebuah tempat yang bisa berikan kedamaian. Moon berdiam diri di atas gedung. Tempat dimana saat pengakuan semuanya terbeberkan.
Menatap seluas-luasnya, semuanya jelas terlihat, kemudian ia tak sadarkan diri.
“Sekarang bagaimana ini? Mau kita apakan kucing sebanyak ini?” tanya Yuu.
“Lepaskan sajalah, toh pemiliknya sudah nggak ada.”
Maka Yuu dan Puu melepaskan kucing-kucing itu dan langsung meninggalkan rumah Moon yang besar itu. Baik Akif, Roe, maupun Moon sudah tenang dialam sana. Bersama kucing-kucing bersayap.
Kami.....bahagia.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar